• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFIL PERESEPAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN PRE-EKLAMPSIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA TAHUN 2005 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PROFIL PERESEPAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN PRE-EKLAMPSIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA TAHUN 2005 SKRIPSI"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

PROFIL PERESEPAN OBAT ANTIHIPERTENSI

PADA PASIEN PRE-EKLAMPSIA DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA

TAHUN 2005

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh : Beatrix Marendeng

NIM : 028114167

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

PROFIL PERESEPAN OBAT ANTIHIPERTENSI

PADA PASIEN PRE-EKLAMPSIA DI INSTALASI RAWAT INAP

RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA

TAHUN 2005

Yang diajukan oleh : Beatrix Marendeng

NIM : 028114167

telah disetujui oleh

Pembimbing Utama :

(3)
(4)

In every step you take

For choices that you make

Dreams aren

t made to be erased

(Anggun)

Which causes the most pain is that

which caused the most joy. You can’t

have joy without pain or pain without

joy

( kahlil gibran)

Kupersembahkan untuk :

Tuhanku Yesus Kristus atas kasih dan petunjuk-Nya, Mama dan Papa sebagai

ungkapan rasa hormat dan baktiku, Opel, my

natural comedian Rannu dan Hilde atas doa

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah dan bimbingan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PROFIL PERESEPAN OBAT ANTIHIPERTENSI PADA PASIEN PRE-EKLAMPSIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT PANTI RAPIH YOGYAKARTA TAHUN 2005”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm) Program Studi Ilmu Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini karena bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak yang telah memberikan saran, kritik, dan dukungan kepada penulis. Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Rita Suhadi, M.Si., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma dan selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran kepada penulis.

2. dr. Luciana Kuswibawati, M.Kes yang telah membimbing dan memberikan kritik dan saran kepada penulis.

3. Drs. Mulyono, Apt selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran kepada penulis.

4. Seluruh staf rekam medik di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

5. Mama dan Papa atas dukungan kepada penulis agar senantiasa pantang menyerah. 6. Nenek mama dan Nenek papa (Alm) thanks for loving me unconditionally

7. Rannu dan Hilde atas segala pengorbanan, dukungan, dan kasih sayangnya sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini. Thanks for making my world worthwhile.

8. Mas wawan, terima kasih buat kursus kilat ilmu komputernya dan semua pengalaman hidup.

9. Opel untuk semua tuntutan dan tawa.

(6)

11. Teman-temanku: Riri, Berta, Wira, Elni, Hen, Sindu, Fitri, Tesa, Ratih, Diyu, Vero, Arianto, Mitae, Mila, Mega.

12. Teman-teman KKN : Lukas, Agnes, Danang, Murni, Mas Vincent, Afril, Yosi, Niken, dan Hanik untuk kebersamaan selama di bometen kidul tercinta

13. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Yogyakarta, 30 januari 2007

Penulis

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 30 Januari 2007

Penulis

(8)

INTISARI

Penyakit hipertensi dalam kehamilan termasuk pre-eklampsia dan eklampsia sampai saat ini masih merupakan masalah dalam pelayanan obstetri di Indonesia (Armanza dan Karkata, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman profil penggunaan obat antihipertensi pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta. Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui karakteristik pasien pre-eklampsia, jenis dan golongan obat, jumlah obat antihipertensi yang digunakan, cara pemberian obat, lama perawatan, dan potensial interaksi antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi lain yang diberikan kepada pasien pre-eklampsia.

Penelitian ini termasuk penelitian observasional dengan rancangan penelitian deskriptif non analitik. Langkah-langkah penelitian yang dilakukan meliputi pengambilan data, analisis terhadap profil penggunaan obat antihipertensi, dan analisis data.

Dari hasil penelitian diperoleh kasus pre-eklampsia sebanyak 40 pasien, berdasarkan umur, kelompok umur 20–34 tahun sebesar 77,5% dan untuk kelompok umur ≥ 35 tahun sebesar 22,5%. Berdasarkan diagnosis, pre-eklampsia berat sebesar 82,5% dan persentase pre-eklampsia ringan sebesar 17,5%. Golongan obat yang digunakan meliputi antihipertensi yang bekerja sentral 45,3%, antagonis Ca 32,8%, diuretik 17,2%, penghambat α 3,1% dan penghambat ACE 1,6%. Jumlah obat antihipertensi yang digunakan: tunggal 32,5%, dua kombinasi 25%, tiga kombinasi 17,5%, 4 kombinasi 2,5% dan 6 kombinasi 2,5%. Cara pemberian obat secara oral 87,5%, secara injeksi 9,4%, dan secara sublingual 3,1%. Persentase menginap terbanyak yakni 20% dengan lama menginap selama 4 hari dan 5 hari. Interaksi yang paling sering terjadi adalah interaksi antara metildopa dengan nifedipin sebesar 23,9%.

(9)

ABSTRACT

Hypertension in pregnancy including pre-eclampsia and eclampsia nowadays is still a problem in maternal care in Indonesia. This research aims to understand the using of antihypertension medicine for the patients of pre-eclampsia in Panti Rapih Hospital Yogyakarta. The specific goal is to know the pre-eclampsia patient characteristics, medicines type and category, the amount of medicine, medicines taking method, the treatment duration and the interaction potential between antihypertension medicine and other antihypertension medicine that is given to the pre-eclampsia patient.

This research is an observational research with non analytical descriptive plan. The steps of the research covers collecting data, doing the analysis toward the profile of medicine using, and data analysis.

From the research, it can be obtained the case of pre-eclampsia consist of fourty patients, based on the age, there are 77,5% for 20-34 year old patient, 22,5% for ≥35 year old patient. While, based on the diagnosis, it consists of severe pre-eclampsia (82,5%) and light pre-pre-eclampsia (17,5%). Used medicine category covers centrally antihypertension 45,3%, antagonis Ca 32,8%, diuretic 17,2%, α blocker 3,1% and ACE inhibitor 1,6%. The amount of antihypertension medicines that are used: single 32,5%, two combination 25%, three combination 17,5%, four combination 2,5% and six combination 2,5%. Orally medicine given is 87,5%, 9,4 % by injection and 3,1% by sublingual. The most patients stay in the hospital 4 day and 5 day are 20%. The most interaction happened between metildopa and nifedipin are 23,9%.

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vii

INTISARI ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Keaslian Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

E. Tujuan Penelitian ... 6

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 7

A. Pre-eklampsia... 7

1. Definisi ... 7

2. Etiologi ... 8

3. Patogenesis ... 9

4. Manifestasi Klinis ... 12

5. Diagnosis ... 13

6. Pencegahan... 14

7. Srategi Terapi ... 15

(11)

C. Pengobatan Rasional ... 27

D. Interaksi Obat ... 29

1. Interaksi Farmasetik ... 31

2. Interaksi Farmakokinetik ... 31

3. Interaksi Farmakodinamik ... 32

E. Keterangan Empiris... 32

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 33

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 33

B. Definisi Operasional ... 33

C. Bahan Penelitian ... 34

D. Lokasi Penelitian ... 35

E. Tata Cara Pengumpulan Data ... 35

F. Tata Cara Analisis Hasil ... 36

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

A. Karakteristik Pasien Pre-eklampsia... 38

1. Distribusi Umur Pasien Pre-eklampsia ... 38

2. Distribusi Usia kehamilan ... 39

3. Distribusi Paritas ... 40

4. Distribusi Macam Persalinan………. 41

5. Distribusi Diagnosis Utama………... 42

6. Distribusi Tekanan Darah Sistolik………. 43

7. Distribusi Tekanan Darah Diastolik………... 44

B. Profil Peresepan Obat Antihipertensi... 44

1. Jenis dan Golongan Obat Antihipertensi Yang Digunakan... 45

2. Jumlah Penggunaan Obat Antihipertensi secara Tunggal maupun Kombinasi... 50

3. Cara Pemberian Obat Antihipertensi ... 56

4. Lama Perawatan... 57

5. Interaksi Obat Antihipertensi dengan Obat Antihipertensi Lainnya... 58

(12)

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

LAMPIRAN ... 71

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel halaman

I. Obat Antihipertensi yang Dapat Digunakan Pada Pre-eklampsia …… 17 II. Rekomendasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Ibu Hamil . …… 20 III. Distribusi Penggunaan Kombinasi >2 Jenis Obat Antihipertensi

pada Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 55 IV. Distribusi Cara pemberian Obat Antihipertensi pada Pasien

Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta Tahun 2005………... 56 V. Distribusi Lama Perawatan Pasien Pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 58 VI. Distribusi Interaksi Jenis Obat Antihipertensi dengan Obat

Antihipertensi Lainnya di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 ... 59 VII. Distribusi Interaksi dan Sifat Interaksi Obat Antihipertensi

dengan Obat Antihipertensi Lainnya di Instalasi Rawat Inap

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar halaman

1. Distribusi Umur Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005……… 38 2. Distribusi Usia Kehamilan Pasien Pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 39 3. Distribusi Paritas Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 40 4. Distribusi Macam Persalinan Pasien Pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 41 5. Distribusi Diagnosis Utama Pasien Pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005 ... 42 6. Distribusi Tekanan Darah Sistolik Pasien Pre-eklampsia di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tahun 2005 ... 43 7. Distribusi Tekanan Darah Diastolik Pasien Pre-eklampsia di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tahun 2005 ... 44 8. Distribusi Jenis Obat Antihipertensi yang Digunakan di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tahun 2005 ... ... 46 9. Distribusi Golongan Obat Antihipertensi yang Digunakan di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

Tahun 2005 ... 46 10.Distribusi Jumlah Penggunaan Obat Antihipertensi Secara

Tunggal maupun Kombinasi di Instalasi Rawat Inap Rumah

(15)

11.Distribusi Penggunaan Jenis Obat Antihipertensi Secara Tunggal di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta Tahun 2005... 52 12.Distribusi Penggunaan Kombinasi 2 Jenis Obat Antihipertensi di

Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran halaman

1. Standar Pelayanan Medik Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta……… ... 71 2. Data Umum Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap

Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005... 72 3. Gejala, Tanda Fisik dan Data Laboratorium Pasien

Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah sakit Panti Rapih

Yogyakarta tahun 2005... ... 74 4. Daftar Obat yang Digunakan oleh Pasien Pre-eklampsia di

Instalasi Rawat Inap Rumah sakit Panti rapih Yogyakarta tahun

(17)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Dalam pelayanan obstetri, selain Angka Kematian Maternal (AKM) terdapat

Angka Kematian Perinatal (AKP) yang dapat digunakan sebagai parameter

keberhasilan pelayanan. Namun, keberhasilan menurunkan AKM di negara-negara

maju saat ini menganggap AKP merupakan parameter yang lebih baik dan lebih peka

untuk menilai kualitas pelayanan kebidanan. Salah satu penyebab kematian perinatal

adalah penyakit hipertensi dalam kehamilan (Sudhaberata, 2001).

Penyakit hipertensi dalam kehamilan (HDK) termasuk pre-eklampsia dan

eklampsia sampai saat ini masih merupakan masalah dalam pelayanan obstetri di

Indonesia. Walaupun sudah jauh menurun, angka morbiditas dan mortalitas maternal

dan perinatal akibat pre-eklampsia dan eklampsia masih tinggi dan merupakan salah

satu dari ketiga penyebab utama kematian ibu, di samping perdarahan dan infeksi

(Armanza dan Karkata, 2005).

Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda–tanda hipertensi, edema, dan

proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam

trimester ke-3 kehamilan dan sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan oleh

wanita yang bersangkutan sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbul

pre-eklampsia berat, bahkan eklampsia. Eklampsia adalah pre-eklampsia yang

disertai dengan kejang (Wiknjosastro, 2002).

(18)

Di Indonesia pre-eklampsia masih merupakan sebab utama kematian ibu,

disamping perdarahan dan infeksi dan penyebab kematian perinatal yang tinggi. Dari

berbagai penelitian di Indonesia diketahui kematian ibu berkisar antara 9,8% -25,5%

sedangkan kematian bayi di negara maju lebih kecil (Wiknjosastro, 2002). Menurut

Zuspan dan Arulkumaran (cit., Sudhaberata, 2001), melaporkan angka kejadian

pre-eklampsia di dunia sebesar 0-13%, di Singapura 0,13-6,6%, sedangkan di Indonesia

3,4-8,5%. Penelitian yang dilakukan oleh Soejoenoes (cit., Sudhaberata, 2001), di 12

RS Pendidikan di Indonesia, didapatkan kejadian pre-eklampsia–eklampsia 5,30%

dengan kematian perinatal 10,83 perseribu (4,9 kali lebih besar dibandingkan dengan

kehamilan normal). Penelitian yang dilakukan oleh Meizia dan Mose (cit., Armanza

dan Karkata, 2005), jumlah kematian ibu di duabelas rumah sakit pendidikan di

Indonesia antara tahun 1997–1980 berkisar 30-40% yang diakibatkan oleh

pre-eklampsia. Menurut Dwijayasa (cit., Armanza dan Karkata, 2005) pada dekade

1990-an pre-eklampsia d1990-an eklampsia sudah merupak1990-an penyebab kemati1990-an maternal y1990-ang

paling banyak yaitu sebesar 30%.

Pada pre-eklampsia–eklampsia juga didapatkan risiko persalinan prematur

2,67 kali lebih besar, persalinan buatan 4,39 kali lebih banyak, dan mempunyai

kecenderungan lebih tinggi untuk mendapatkan bayi dengan berat badan lahir rendah

(Sudhaberata, 2001).

Tingginya kematian ibu dan anak di negara–negara berkembang disebabkan

oleh kurang sempurnanya pengawasan antenatal dan natal, penderita–penderita

eklampsia sering terlambat mendapat pengobatan yang tepat. Oleh karena itu

(19)

penanganannya perlu segera dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu

dan anak (Wiknjosastro, 2002).

Salah satu upaya untuk menurunkan AKP akibat pre-eklampsia–eklampsia

adalah dengan menurunkan angka kejadian pre-eklampsia–eklampsia. Angka

kejadian dapat diturunkan melalui upaya pencegahan, pengamatan dini, dan terapi

(Sudhaberata, 2001).

Pada dasarnya penanganan pre-eklampsia terdiri atas terapi medik dan

penanganan obstetrik. Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada

saat yang optimal. Terapi medik hanya dapat dilakukan secara simptomatis karena

etiologi pre-eklampsia belum diketahui. Salah satu terapi medik pada pre-eklampsia

adalah obat antihipertensi. Penanganan pre-eklampsia ringan dapat dilakukan dengan

beristirahat yang cukup dan mengurangi konsumsi garam. Penanganan pasien dengan

tanda-tanda dan gejala-gejala pre-eklampsia berat segera harus diberi sedatif yang

kuat untuk mencegah timbulnya kejang (Wiknjosastro, 2002).

Penanganan eklampsia dilakukan di rumah sakit, terutama untuk

pre-eklampsia berat. Salah satu rumah sakit terbesar di Yogyakarta adalah Rumah Sakit

Panti Rapih. Rumah Sakit Panti Rapih adalah Rumah Sakit Swasta Katolik di Daerah

Istimewa Yogyakarta yang didirikan pada tanggal 14 September 1929 dengan tujuan

dapat melayani masyarakat umum termasuk mereka yang kekurangan. Rumah Sakit

Panti Rapih adalah Rumah Sakit swasta tipe madya dan memiliki 316 tempat tidur

(20)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat disusun perumusan

masalahnya sebagai berikut di bawah ini.

1. Seperti apakah karakteristik pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah

Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005?

2. Jenis dan golongan obat antihipertensi apakah yang diberikan pada setiap pasien

pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

tahun 2005 ?

3. Berapa jumlah obat antihipertensi yang diberikan secara tunggal maupun

kombinasi pada setiap pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 ?

4. Dengan cara pemberian apakah obat antihipertensi diberikan pada pasien

pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun

2005 ?

5. Berapa lama perawatan yang dijalani oleh setiap pasien pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 ?

6. Apakah terdapat potensial interaksi antara obat antihipertensi dengan obat

antihipertensi lainnya yang diberikan pada pasien pre-eklampsia di Instalasi

(21)

C. Keaslian Penelitian

Penelitian serupa pernah dilakukan oleh Juwita (2004), yaitu tentang pola

peresepan pasien hipertensi gestasional di Bangsal Rawat Inap Obstetri dan

Ginekologi Rumah Sakit DR.Sardjito Yogyakarta tahun 2002. Penelitian ini berbeda

dengan penelitian terdahulu dalam hal objek pengamatan, lokasi pengamatan, dan

waktu pengamatan. Selain itu, penelitian ini hanya mengamati obat antihipertensi

yang digunakan pada pasien pre-eklampsia (tidak mengamati seluruh obat yang

digunakan oleh pasien pre-eklampsia). Pada penelitian ini peneliti menggunakan

instalasi rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 dan yang

diteliti sebagai objek lebih spesifik yaitu kasus pre-eklampsia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

Dapat digunakan sebagai informasi untuk mengembangkan konsep pelayanan

farmasi di rumah sakit.

2. Manfaat praktis

a. dapat dijadikan evaluasi untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan

melalui penggunaan obat secara rasional khususnya untuk kasus pre-eklampsia

b. dapat dijadikan referensi untuk penyusunan standar terapi di suatu rumah

(22)

E. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profil peresepan obat

antihipertensi pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti

Rapih Yogyakarta.

2. Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan khusus untuk mengetahui:

a. karakteristik pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti

Rapih Yogyakarta tahun 2005.

b. jenis dan golongan obat antihipertensi yang digunakan pada pasien

pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta

tahun 2005.

c. jumlah obat antihipertensi yang diberikan secara tunggal maupun kombinasi

pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih

Yogyakarta tahun 2005.

d. cara pemberian obat antihipertensi pada pasien pre-eklampsia di Instalasi

Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005.

e. lama perawatan pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit

Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005

f. potensial interaksi antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi

lainnya yang diberikan pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap

(23)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pre-eklampsia 1. Definisi

Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda–tanda hipertensi, edema, dan proteinuria yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam trimester ke-3 kehamilan, tetapi dapat terjadi sebelumnya, misalnya pada mola hidatidosa (Winknjosastro, 2002).

Pre-eklampsia adalah penyakit pada wanita hamil yang secara langsung disebabkan oleh kehamilan. Definisi pre-seklampsia adalah hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Gejala ini dapat timbul sebelum 20 minggu bila terjadi penyakit trofoblastik (Manuaba, 2001).

Hipertensi biasanya timbul lebih dahulu daripada tanda-tanda lain. Untuk menegakkan diagnosis pre-eklampsia, penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat (Winknjosastro, 2002).

The National High Blood Pressure Education Program Working Group on

High Blood Pressure in Pregnancy mengelompokkan hipertensi dalam kehamilan menjadi 4 kelompok sebagai berikut.

a. Pre-eklampsia. Diagnosis pre-eklampsia ditetapkan bila tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg yang muncul pada wanita hamil setelah minggu ke–20 yang mana sebelum minggu ke–20, tekanan darah wanita hamil normal. Adanya protein pada urin sebesar

≥30mg/dl atau hasil test dipstik +1.

(24)

b. Hipertensi kronik. Diagnosis hipertensi kronik ditetapkan bila tekanan darah

≥ 140/90 mmHg sebelum minggu ke–20 atau jika pengukuran setelah minggu

ke–20 tekanan darah tetap >140/90 mmHg sampai 12 minggu setelah melahirkan.

c. Superimpose pre-eklampsia dengan hipertensi kronis didefinisikan sebagai hipertensi kronis pada wanita hamil yang kemudian berkembang menjadi pre-eklampsia dengan adanya protein urin, trombositopenia, atau peningkatan enzim hati.

d. Hipertensi gestasional adalah hipertensi pada kehamilan yang tidak disertai dengan tanda- tanda pre-eklampsia seperti adanya protein urin (Gifford dkk, 2000).

Pre-eklampsia dan eklampsia hampir secara ekslusif merupakan penyakit pada primipara. Biasanya terdapat pada wanita masa subur dengan umur ekstrim, yaitu pada remaja belasan tahun atau pada wanita yang berumur lebih dari 35 tahun. Pada multipara, penyakit ini biasanya dijumpai pada keadaan-keadaan berikut:

a. kehamilan multifetal dan hidrops fetalis

b. penyakit vaskuler, termasuk hipertensi essensial kronis dan diabetes mellitus c. penyakit ginjal (Manuaba, 2001).

2. Etiologi

(25)

3. Patogenesis

Walaupun apa yang menjadi penyebab pre-eklampsia sampai sekarang belum diketahui. Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan patogenesis penyakit tersebut. Adapun teori–teori tersebut antara lain :

a. teori genetik, menyebutkan bahwa hipertensi dalam kehamilan ada kemungkinan diturunkan, khususnya pada kehamilan pertama. Tingkat kejadian pre-eklampsia pada anak perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan menantu wanita (Manuaba, 2001).

b. teori imunologik, menyebutkan bahwa janin adalah ”benda asing”. Pada kehamilan normal terdapat human leukocyte antigen (HLA). HLA G terdapat pada jaringan plasenta pada kehamilan normal. HLA G mempunyai peran dalam merangsang respon imun terhadap ”benda asing” yang terdapat di plasenta. Pada pre-eklampsia memiliki HLA G yang lebih sedikit atau memiliki protein HLA G yang berbeda sehingga terjadi gangguan adaptasi terhadap ”benda asing” dalam hal ini janin (Grifford, 2000).

(26)

Akibat labilnya distribusi oksigen ke plasenta, maka akan menghasilkan radikal bebas dan menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel akan mengakibatkan terjadi agregasi dan adhesi trombosit di tempat kerusakan pembuluh darah. Timbunan agregasi dan adhesi trombosit disekitar pembuluh darah yang rusak mengakibatkan kerusakan dan lisis dari trombosit, dan akhirnya berakibat menurunnya jumlah trombosit sehingga memudahkan terjadi perdarahan (Manuaba, 2001).

d. teori radikal bebas. Teori ini menjelaskan jika oksigen labil distribusinya akan menimbulkan produk metabolisme samping yaitu radikal bebas, dengan ciri terdapat “elektron bebas”. Elektron bebas ini akan mencari pasangan dengan merusak jaringan, khususnya endotel pembuluh darah. Antiradikal bebas yang dapat dipakai untuk menghalangi kerusakan membran sel sebagai anti aksi adalah vitamin C dan Vitamin E. kerusakan dari membran sel akan merusak dan membunuh sel endotel (Manuaba, 2001).

e. teori kerusakan endotel

(27)

endotel akan menimbulkan gangguan relaksasi pembuluh darah. Kerusakan endotel menyebabkan gangguan produksi prostaglandin total, terjadi gangguan keseimbangan produksi dengan lebih banyak tromboksan, yang merupakan vasokontriksi pembuluh darah yang poten sehingga hipoksia plasenta makin bertambah. Kerusakan khas dari endotel pembuluh darah, terutama pada ginjal menimbulkan glomerular endotheliosis yang menyebabkan proteinuria (Manuaba, 2001).

f. teori trombosit, menyebutkan pada kejadian pre-eklampsia terjadi ketidakseimbangan pada produksi derivat prostaglandin. Derivat prostaglandin yang terganggu adalah protasiklin (PGI2) yang dapat menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah serta menghalangi agregasi dan adhesi trombosit pada endotel pembuluh darah, derivat prostaglandin yang lain yang juga terganggu adalah tromboksan A2 yang bekerja sebaliknya, yaitu menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah dan menyebabkan agregasi dan adhesi trombosit pada endotel pembuluh darah yang rusak. Kerusakan trombosit meningkatkan pengeluran tromboksan sehingga tromboksan dibandingkan prostasiklin yaitu 7:1 (Manuaba, 2001). Akibat tingginya pengeluaran tromboksan, berakibat terjadinya vasokontriksi pembuluh darah yang menyebabkan tekanan darah meningkat (Manuaba, 2001).

g. teori diet ibu hamil

(28)

diperlukan untuk mempertahankan agar konsentrasi dalam darah menjadi konstan. Bila terjadi kekurangan kalsium, maka kalsium ibu hamil akan dikuras untuk memenuhi kebutuhan sehingga terjadi pengeluaran kalsium dari jaringan otot. Manifestasi yang terjadi akibat kalsium keluar dari otot jantung adalah melemahnya kontraksi otot jantung dan menurunkan stroke volume, sehingga aliran darah akan menurun dan seterusnya mengakibatkan ischemia regio uteroplasenter, selain itu keluarnya kalsium dari otot pembuluh darah akan menimbulkan kompensasi terjadinya vasokontriksi pembuluh darah akibatnya tekanan darah meningkat dan terjadi hipertensi (Manuaba, 2001).

Dalam standar pendidikan obstetri dan ginekologi tersurat teori yang dianut yaitu teori ischemia regio uteroplasenter dengan dukungan teori yang lainnya (Manuaba, 2001).

4. Manifestasi klinik

(29)

5. Diagnosis

Pada umumnya diagnosis pre-eklampsia didasarkan atas adanya dua dari tiga tanda utama yaitu hipertensi, edema, dan proteinuria. Penambahan berat badan yang berlebihan bila terjadi kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali. Edema terlihat sebagai peningkatan berat badan, pembengkakan kaki, jari, tangan, dan muka. Tekanan darah

≥140/90mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat (Mansjoer dkk, 1999).

Dahulu, kenaikan tekanan darah sistolik sebesar >30mmHg atau tekanan diastolik meningkat >15mmHg walaupun nilai absolut tekanan darahnya dibawah 140/90 mmHg merupakan salah satu kriteria diagnosis pre-eklampsia, tetapi menurut

The National High Blood Pressure Education Program Working Group on High

Blood Pressure in Pregnancy, hal ini tidak lagi merupakan salah satu kriteria diagnosis, karena bukti klinis yang ada menunjukkan bahwa pasien pada kategori ini tidak mengalami perburukan keadaan. Namun, penilaian para praktisi klinik menyatakan bahwa pasien yang mengalami peningkatan tekanan darah sistolik sebesar >30mmHg atau tekanan diastolik meningkat >15mmHg perlu pengawasan yang ketat, khususnya jika terdapat protein urin dan nilai asam urat sama dengan atau lebih besar dari 6mg/dl (Grifford, 2000).

(30)

Menurut Sudhaberata (2001), eklampsia dibagi menjadi 2 yaitu, pre-eklampsia ringan dan pre-pre-eklampsia berat. Kriteria diagnosis pre-pre-eklampsia ringan sebagai berikut ini.

a. Tekanan darah ≥140mmHg/90mmHg

b. Edema tungkai, lengan atau wajah, atau kenaikan berat badan 1 kg/minggu. c. Proteinuria 0,3g/24 jam atau plus 1-2.

d. Oliguria.

Kriteria diagnosis pre-eklampsia berat yaitu apabila pada kehamilan lebih 20 minggu didapatkan satu atau lebih tanda berikut ini.

a. Tekanan darah >160/110mmHg diukur dalam keadaan relaks dan tidak dalam keadaan his.

b. Proteinuria >5g/24 jam atau +4 pada pemeriksaan kualitatif. c. Oliguria : urine <500 ml/24 jam disertai kenaikan kreatinin plasma d. Gangguan visus dan serebral

e. Nyeri epigastrium/hipokondrium kanan. f. Edema paru dan sianosis.

g. Gangguan pertumbuhan janin intrauterin.

h. Adanya sindrom HELLP (Hemolysis, Elevated Liver enzyme, Low platelet Count).

6. Pencegahan

(31)

istirahat, diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam, dan pertambahan berat badan yang tidak berlebihan (Wiknjosastro, 2002).

Belum ada kesepakatan dalam strategi pencegahan pre-eklampsia. Beberapa penelitian menunjukkan pendekatan nutrisi (diet rendah garam, diet tinggi protein, suplemen kalsium, magnesium, dan lain-lain) atau medikamentosa (teofilin, antihipertensi, aspirin, diuretik, dan lain-lain) dapat mengurangi kemungkinan timbulnya pre-eklampsia (Mansjoer dkk, 1999).

7. Strategi Terapi

Pengobatan hanya dapat dilakukan secara simptomatis karena etiologi pre-eklampsia dan faktor-faktor yang menyebabkan belum diketahui. Tujuan utama penanganan ialah untuk mencegah terjadinya pre-eklampsia berat dan eklampsia, melahirkan janin hidup, dan melahirkan janin dengan trauma sekecil–kecilnya (Wiknjosastro, 2002).

Pada dasarnya penanganan pre-eklampsia terdiri atas pengobatan medisinal dan penanganan obstetrik. Penanganan obstetrik ditujukan untuk melahirkan bayi pada saat yang optimal, yaitu sebelum janin mati dalam kandungan, akan tetapi sudah cukup matur untuk hidup diluar uterus (Wiknjosastro, 2002).

Penanganan pre-eklampsia dibagi menjadi 2 bagian yaitu perawatan aktif dan perawatan konservatif. Perawatan aktif terbagi pengobatan medisinal dan pengobatan obstetrik.

a. Terapi medisinal meliputi :

(32)

2). total bed rest dalam posisi lateral decubitus.

3). diet cukup protein, rendah karbohidrat-lemak dan garam. 4). antasida.

5). anti kejang:

a). magnesium sulfat (MgSO4)

Syarat: tersedia antidotum kalsium glukonat 10% (1 ampul secara i.v dalam 3 menit), reflek patella positif kuat, kecepatan nafas >16 kali/menit, tanda distress nafas negatif, produksi urin >100 cc dalam 4 jam sebelumnya. Cara pemberian:

loading dose secara intravena (i.v): MgSO4 20% 4g dalam 4 menit, intramuskuler (i.m): 4g MgSO4 40% gluteus kanan, 4g MgSO4 40% gluteus kiri. Jika ada tanda

impending eklampsia loading dose diberikan i.v dan i.m, jika tidak ada loading dose cukup diberikan secara i.m saja. Maintenance dose diberikan 6 jam setelah

loading dose, secara i.m 4g MgSO4 40% dalam 6 jam, bergiliran pada gluteus kanan atau gluteus kiri.

b). diazepam: digunakan bila MgSO4 tidak tersedia, atau syarat pemberian MgSO4 tidak dipenuhi. Cara pemberian: drip 10mg dalam 500 ml, maksimal 120 mg dalam 24 jam. Jika dalam dosis 100 mg dalam 24 jam tidak ada perbaikan, alih rawat ke ruang ICU.

6). antihipertensi

(33)

Tabel I. Obat Antihipertensi yang Dapat Digunakan pada Pre-eklampsia (Wiknjosastro, 2002).

NO Jenis Obat Dosis

1 Penghambat adrenergik a. Adrenergik sentral

1). Metildopa 2). Klonidin

b. Penghambat beta 1). Pindolol c. Penghambat alfa

1). Prazosin

d. Penghambat alfa-beta 1). Labetalol

3x125 mg/hari sampai 3x500 mg/hari

3x0,1 mg/hari atau 0,30 mg/500ml dekstrosa 5% / 6 jam

1x5 mg/hari sampai 3x10 mg/hari

3x1 mg/hari sampai 3x5 mg/hari

3x100 mg/hari 2 Vasodilator

1). Hidralazin 4x25 mg/hari atau parenteral 2,5mg – 5 mg 3 Antagonis kalsium

1). Nifedipin 3x10 mg/hari

(34)

7). kardiotonika

8). lain-lain seperti antipiretika jika suhu >38,5°C, antibiotika jika ada indikasi, analgetika, dan sebagainya (Sudhaberata, 2001).

b. Pengobatan obstetrik meliputi pengobatan pada tahap belum inpartu dan tahap sudah inpartu. Tahap belum inpartu meliputi amniostomi atau oksitosin drip bila

bishop score > 8 setelah 3 menit terapi medisinal dan seksio sesarea bila terdapat kontraindikasi oksitosin drip atau selama 12 jam diberi oksitosin drip belum masuk fase aktif. Tahap sudah inpartu meliputi kala I dan kala II. Pada kala I dilakukan seksio sesarea bila dalam 6 jam tidak masuk fase aktif atau dilakukan amniotomi pada fase laten dan 6 jam kemudian bila pembukaan belum lengkap dilakukan seksio sesarea. Pada kala II untuk persalinan pervaginam, dilakukan partus buatan vakum ekstraksi atau forcep ekstraksi. Untuk kehamilan <37 minggu, bila memungkinkan terminasi ditunda 2x24 jam untuk maturasi paru janin (Sudhaberata, 2001).

Perawatan konservatif kehamilan preterm <37 minggu tanpa disertai tanda-tanda impending eklampsia, dengan keadaan janin baik. Perawatan tersebut terdiri dari terapi MgSO4 dan terapi lain sama seperti di atas. Perawatan konservatif dianggap gagal jika dalam waktu lebih dari 24 jam tidak ada perbaikan, harus diterminasi atau jika sebelum 24 jam hendak dilakukan tindakan, diberikan MgSO4 20% 2 g secara i.v terlebih dahulu.

(35)

B. Obat Antihipertensi

Terapi obat antihipertensi direkomendasikan untuk wanita hamil dengan tekanan darah sistolik 160-180 mmHg atau tekanan darah sistolik yang lebih besar dari 180 mmHg dan tekanan darah diastolik 105–110 mmHg atau tekanan darah diastolik yang lebih besar dari 105–110 mmHg. Tujuan terapi adalah untuk menurunkan tekanan sistolik sampai 140–155 mmHg dan tekanan diastolik sampai 90–105 mmHg. Untuk menghindari terjadinya hipotensi, tekanan darah harus diturunkan secara perlahan–lahan (Wagner, 2004).

Hipertensi ringan hingga hipertensi berat selama kehamilan adalah umum. Obat antihipertensi sering digunakan dengan harapan bahwa penurunan tekanan darah akan mencegah berkembangnya penyakit menjadi lebih parah dan dengan demikian meningkatkan kondisi pasien (Abalos dkk, 2001).

1. Rekomendasi Terapi Hipertensi Ringan Dalam Kehamilan

Tujuan terapi hipertensi ringan dalam kehamilan adalah untuk mencapai tekanan darah diastolik 80–90 mmHg (grade D). Adapun obat lini pertama adalah metildopa (grade A), obat lini kedua adalah labetalol (grade A/B), pindolol (grade

A/B), oxprenolol (gradeA/B), nifedipin (grade A/B), dan obat lini ketiga adalah kombinasi klonidin dengan hidralazin (grade A, tetapi sebaiknya monoterapi), kombinasi metoprolol dengan hidralazin (grade A, tetapi sebaiknya monoterapi), klonidin (grade B), dan kombinasi metildopa dengan obat lini kedua atau hidralazin (grade D) (Rey dkk, 1997).

(36)

(grade C) dan antagonis reseptor angiotensin II (grade D). Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain, fungsi neuromuscular dan tekanan darah ketika menggunakan nifedipin bersamaan dengan magnesium sulfat, dan tanda-tanda ß-blockage pada janin yang baru lahir dari ibu yang diberi penghambat β (Rey dkk, 1997).

2. Rekomendasi Terapi Hipertensi Berat Dalam Kehamilan

Tujuan terapi hipertensi berat dalam kehamilan adalah untuk mencapai tekanan darah diastolik 90–100 mmHg (grade D). Adapun obat lini pertama adalah hidralazin (grade B), labetalol (grade B), nifedipin (grade B). Indikasi khusus untuk pasien yang tidak dapat diberi obat lini pertama digunakan diazoxide (grade D) dan sodium nitroprusside (grade D). Hal-hal yang harus diperhatikan antara lain, fungsi

neuromuscular dan tekanan darah ketika menggunakan nifedipin bersamaan dengan magnesium sulfat (grade D) dan perlu memonitor denyut jantung bayi selama terapi akut (grade D) (Rey dkk, 1997).

3. Rekomendasi Terapi Hipertensi Post Partum

Obat yang direkomendasikan adalah metildopa (grade B), nifedipine (grade B), timolol (grade B) (Rey dkk, 1997).

4. Rekomendasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Ibu Hamil

Tabel II. Rekomendasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Ibu Hamil (Rey dkk, 1997)

Kategori CHS NHBPEP ASSH

Hipertensi ringan Obat pilihan

Metildopa, labetalol, pindolol, oxprenolol,

nifedipin

Metildopa Metildopa, labetalol, oxprenolol, klonidin Obat yang harus

(37)

Hipertensi berat Obat pilihan Hidralazin, labetalol,

nifedipin

Hidralazin Hidralazin, labetalol, nifedipin, diazoxide Kejang

Obat untuk pencegahan

Magnesium sulfat Magnesium sulfat

Magnesium sulfat, fenitoin Obat untuk

pengobatan

Magnesium sulfat Magnesium sulfat

Diazepam secara i.v Keterangan

CHS : Canadian Hypertension Society (Kanada)

NHBPEP : National High Blood Pressure Education Program Working Group ( Amerika Serikat)

ASSH : Australasian Society for Study of Hypertension (Australia)

Klasifikasi obat antihipertensi berdasarkan pada tempat regulasi utama atau titik tangkap kerjanya sebagai berikut:

1. diuretik

Obat antihipertensi golongan diuretik menurunkan tekanan darah terutama dengan cara mendeplesi simpanan natrium tubuh. Awalnya, diuretik menurunkan tekanan darah dengan menurunkan volume darah dan curah jantung sedangkan tahanan perifer tidak berubah pada awal terapi (Benowitz, 2001).

Penurunan tekanan darah terlihat setelah pemberian diuretik, hal ini disebabkan karena efek utamanya yaitu diuresis. Diuresis menyebabkan penurunan volume plasma dan stroke volume yang akan menurunkan curah jantung dan akhirnya menurunkan tekanan darah (Saseen dan Carter, 2005).

Obat–obat diuretik yang digunakan dalam terapi hipertensi antara lain: a. diuretik tiazid dan sejenisnya

(38)

maksimal kira–kira 4–6 jam setelah pemberian dengan durasi selama 6–12 jam (Lacy dkk, 2003).

b. diuretik kuat

Diuretik kuat bekerja menurunkan tekanan darah dengan cara menghambat reabsorpsi natrium dan klorida pada ascending loop henle dan di tubulus distal ginjal, mempengaruhi sistem transpor pengikatan klorida sehingga menyebabkan peningkatan eksresi dari air, natrium, klorida, magnesium dan kalsium (Lacy dkk, 2003). Diuretik kuat merupakan diuretik yang lebih poten dibandingkan tiazid, sehingga pemberian obat ini harus diberikan dengan dosis rendah dan diawasi untuk mencegah ketidakseimbangan cairan tubuh.

c. diuretik hemat kalium

Jenis diuretik ini merupakan diuretik lemah, merupakan antagonis aldosteron. Mekanisme kerjanya dengan cara berkompetisi dengan aldosteron pada bagian reseptor di tubulus distal, sehingga dapat menghambat efek aldosteron pada otot halus arteriola dengan baik, meningkatkan eksresi garam dan air, mencegah kehilangan kalium dan ion hidrogen (Lacy dkk, 2003). Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah atau mengurangi efek hipokalemia dari diuretik lain (Benowitz, 2001).

2. obat antihipertensi yang bekerja sentral

(39)

aktifitas saraf simpatis bersamaan dengan peningkatan aktifitas saraf parasimpatis, dapat menurunkan denyut jantung, curah jantung, dan tahanan perifer. Klonidin sering digunakan untuk terapi hipertensi berat sedangkan metildopa merupakan obat pilihan utama untuk terapi hipertensi dalam kehamilan (Saseen dan Carter, 2005).

3. antagonis kalsium

Kontraksi dari otot halus pembuluh darah bergantung pada konsentrasi ion Ca2+ di intrasel. Penghambatan pergerakan dari ion Ca2+ akan mengurangi jumlah total ion Ca2+ yang mencapai intrasel, sehingga terjadi penurunan kontraktilitas otot jantung. Penurunan kontraktilitas otot jantung akan mengakibatkan penurunan curah jantung.

Antagonis kalsium menghambat masuknya kalsium melalui saluran kalsium, menghambat pengeluaran kalsium dari retikulum sarkoplasma (Oates dan Brown, 2001). Contoh obat golongan ini adalah nifedipin, diltiazem, amlodipin, nimodipin, verapamil, felodipin, dan isradipin.

4. vasodilator

Vasodilator bekerja menurunkan tekanan darah dengan cara merelaksasi otot polos arteriol, sehingga dapat menurunkan tahanan vaskuler sistemik. Relaksasi arteriol menyebabkan penurunan tahanan arteri sehingga terjadi penurunan tekanan darah arteri. Hal ini menyebabkan terjadinya kompensasi oleh baroreseptor dan sistem saraf simpatis (Benowitz, 2001).

(40)

terjadi retensi air dan garam yang mana hal–hal tersebut diatas melawan efek hipotensi dari vasodilator. Oleh karena itu, pemberian vasodilator harus diberikan bersama dengan diuretik dan penghambat β untuk mengatasi adanya kompensasi dari baroreseptor (Saseen dan Carter, 2005).

5. penghambat enzim pengkonversi angiotensin (penghambat ACE)

Enzim pengkonversi angiotensin (ACE) memfasilitasi terbentuknya angiotensin II yang mempunyai peran penting dalam pengaturan tekanan darah arteri. Enzim pengkonversi angiotensin (ACE) terdistribusi dalam banyak jaringan dan terdapat dalam beberapa tipe sel yang berbeda, tetapi secara umum ACE terletak pada sel endotelial. Oleh karena itu, produksi utama angiotensin II terletak di pembuluh darah bukan di ginjal (Saseen dan Carter, 2005).

(41)

6. penyekat adrenoreseptor β

Mekanisme penyekat adrenoreseptor β sebagai antihipertensi masih belum diketahui pasti. Diduga penyekat adrenoreseptor β menurunkan tekanan darah dengan cara penyekat adrenoreseptor β mengurangi denyut jantung dan kontraktilitas otot jantung sehingga mengurangi curah jantung. Selain itu adrenoreseptor β juga terletak pada permukaan membran dari sel juxtaglomerular dan penyekat adrenoreseptor β menghambat pelepasan renin (Saseen dan Carter, 2005). Obat-obat penyekat adrenoreseptor β yang sering digunakan adalah propanolol, pindolol, acebutolol, bisopralol, timolol, penbutolol, dan satolol.

Penghentian penggunaan penghambat β secara tiba-tiba dapat mengakibatkan infark miokardial, angina pektoris dan bahkan dapat menyebabkan kematian pada pasien dengan penyakit koroner . Penghentian penggunaan penghambat β secara tiba-tiba juga dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah secara tiba-tiba-tiba-tiba dengan nilai tekanan darah diatas nilai sebelum terapi. Untuk menghindari hal ini, maka dosis pemberian penghambat β ditingkatkan bertahap selama selama 1 sampai 2 minggu sebelum akhirnya melanjutkan pemakaian obat ini (Saseen dan Carter, 2005).

7. penyekat adrenoreseptor α (penyekat α)

(42)

vena. Dilatasi arteriola menurunkan tahanan perifer sehingga menurunkan tekanan darah (Benowitz, 2001).

Retensi garam dan cairan terjadi apabila obat tersebut diberikan tanpa diuretik. Obat ini menjadi lebih efektif apabila digunakan dalam kombinasi dengan obat lain seperti penyekat adrenoreseptor β dan diuretik, dibandingkan jika digunakan secara tunggal (Benowitz, 2001).

8. antagonis reseptor angiotensin II

Angiotensin II dihasilkan oleh dua jalur enzimatis yaitu melalui sistem renin angiotensin–aldosteron, yang melibatkan ACE dan melalui jalur lain yang menggunakan enzim–enzim lain seperti enzim kimase. Penghambat ACE menghambat efek dari angiotensin II yang berasal dari jalur sistem renin angiotensin–aldosteron, sedangkan antagonis reseptor angiotensin II menghambat angiotensin II dari semua jalur.

(43)

Contoh obat yang termasuk antagonis reseptor angiotensin II yaitu losartan kalium dan valsartan.

C. Pengobatan Rasional

Penggunaan obat yang tidak tepat, tidak efektif, tidak aman dan juga tidak ekonomis atau yang lebih populer dengan istilah tidak rasional, saat ini telah menjadi masalah tersendiri dalam pelayanan kesehatan (Anonim, 2000).

Penggunaan obat dikatakan tidak tepat jika risiko yang mungkin terjadi tidak imbang dengan manfaat yang diperoleh dari tindakan memberikan suatu obat. Penggunaan obat dapat dinilai tidak rasional jika:

1. indikasi penggunaan tidak jelas atau keliru.

2. pemilihan obat tidak tepat artinya obat yang dipilih bukan obat yang terbukti paling bermanfaat, paling aman, paling sesuai, dan paling ekonomis.

3. cara penggunaan obat tidak tepat, mencakup besarnya dosis, cara pemberian, frekuensi pemberian, dan lama pemberian.

4. kondisi dan riwayat pasien tidak dinilai secara cermat, apakah ada keadaan– keadaan yang tidak memungkinkan penggunaan suatu obat, atau mengharuskan penyesuaian dosis atau keadaan yang akan meningkatkan risiko efek samping obat.

5. pemberian obat tidak disertai dengan penjelasan yang sesuai kepada pasien atau keluarganya.

(44)

Dampak negatif penggunaan obat yang tidak rasional dapat dilihat dari berbagai segi. Selain pemborosan dari segi ekonomi, pola penggunaan obat yang tidak rasional dapat berakibat menurunnya mutu pelayanan pengobatan, misalnya meningkatnya efek samping obat, meningkatnya kegagalan pengobatan, meningkatnya resistensi antimikroba dan sebagainya.

Adapun langkah–langkah yang dilakukan untuk mencapai pengobatan yang rasional yaitu sebagai berikut ini.

1. Ketika pasien berhadapan dengan dokter, seharusnya dilakukan proses konsultasi secara lengkap untuk menentukan atau memperkirakan diagnosis dan memberikan tindakan terapi setepat mungkin. Komunikasi antara dokter dengan pasien memegang peranan penting dalam farmakoterapi.

2. Pemberian obat harus tepat indikasi 3. Penilaian kondisi pasien harus tepat

4. Pemilihan obat tepat, yakni obat yang efektif, aman, ekonomis dan sesuai dengan kondisi pasien.

(45)

6. Mengevaluasi dan tindak lanjut dilakukan secara tepat (Anonim, 2000). D. Interaksi Obat

Interaksi obat dapat didefenisikan sebagai respon farmakologik dan klinik pada pemberian kombinasi obat yang berbeda yang didahului dengan pengetahuan tentang efek dari kedua obat tersebut jika digunakan secara tunggal. Hasil secara klinik dari interaksi tersebut dapat bersifat antagonis, sinergis, atau bersifat idosinkratik (Tatro, 2001).

Penilaian potensial dari interaksi obat utamanya memperhatikan manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh interaksi tersebut dan arti klinis dari interaksi. Arti klinis dari interaksi obat berhubungan dengan jenis dan besarnya efek yang ditimbulkan. Hal yang juga perlu diperhatikan yaitu terus memonitor keadaan pasien dan mengganti terapi untuk mencegah efek samping yang berbahaya. Faktor utama yang mendefinisikan arti klinis dari interaksi obat yaitu significance rating yang terdiri atas onset dari timbulnya efek, potensi keparahan dari interaksi, dan dokumentasi manifestasi klinis dari interaksi yang telah terjadi (Tatro, 2001).

(46)

Onset didefinisikan kecepatan efek klinis yang dapat timbul dari suatu interaksi. Onset dibedakan menjadi dua yaitu cepat dan tertunda. Dikategorikan onset cepat jika efek klinis yang muncul dalam 24 jam setelah pemberian dan dibutuhkan tindakan segera untuk mengatasi efek yang timbul sedangkan onset tertunda adalah efek klinis dari interaksi obat yang timbul dalam beberapa hari atau beberapa minggu setelah pemberian dan tidak diperlukan tindakan segera untuk mengatasi efek yang timbul (Tatro, 2001).

Tingkat keparahan terdiri dari mayor, moderat, dan minor. Keparahan interaksi tergolong mayor jika efek yang terjadi membahayakan jiwa pasien atau dapat menyebabkan kerusakan permanen. Keparahan interaksi tergolong moderat jika efek yang terjadi dapat menyebabkan perburukan status kesehatan pasien sehingga mungkin dibutuhkan rawat inap di rumah sakit, perawatan yang lebih lama atau terapi tambahan. Keparahan interaksi minor jika efek yang timbul biasanya ringan atau mungkin tidak timbul dan tidak mempengaruhi outcome terapi dan tidak dibutuhkan terpai tambahan (Tatro, 2001).

(47)

Dikategorikan possible jika efek dari interaksi mungkin terjadi tetapi data yang ada sangat terbatas. Dikategorikan unlikely jika terjadinya efek dari interaksi diragukan dan tidak ada data bukti klinis yang baik tentang perubahan efek klinis (Tatro, 2001). Mekanisme interaksi secara garis besar dapat dibagi menjadi 3 yaitu:

1. interaksi farmasetik atau inkompatibilitas

Interaksi ini terjadi jika antara dua obat yang diberikan bersamaan tersebut terjadi inkompatibilitas atau terjadi reaksi langsung, yang umumnya di luar tubuh dan berakibat berubahnya atau hilangnya efek farmakologik obat yang diberikan. Sebagai contoh, gentamisin mengalami inaktivasi bila dicampur dengan karbenisilin (Anonim, 2000).

2. interaksi farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik adalah peristiwa suatu obat merubah laju atau jumlah dari absorpsi, distribusi, atau eliminasi (metabolisme dan eksresi) dari obat yang lain (Tatro, 2001). Interaksi dalam proses absorpsi misalnya terjadi pada absorpsi tetrasiklin yang berkurang bila diberikan bersamaan dengan logam berat (kalsium, besi, magnesium atau aluminium) karena terjadi ikatan langsung antara molekul tetrasiklin dengan logam-logam tersebut sehingga tidak dapat terabsorpsi (Anonim, 2000).

(48)

Interaksi dalam proses metabolisme terjadi kalau metabolisme suatu obat dipacu atau dihambat oleh obat lain (Anonim, 2000).

Interaksi dalam proses eksresi terjadi jika eksresi suatu obat (melalui ginjal) dipengaruhi oleh obat lain (Anonim, 2000).

3. interaksi farmakodinamik

Interaksi farmakodinamik adalah interaksi antara obat-obat yang mempunyai khasiat atau efek samping yang serupa atau berlawanan. Interaksi ini disebabkan oleh kompetisi pada reseptor yang sama, atau terjadi antara obat-obat yang bekerja pada sistem fisiologik yang sama. Sebagai contoh adalah meningkatnya efek toksik glikosida jantung pada keadaan hipokalemia (Anonim, 2000).

E. Keterangan Empiris

(49)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian tentang profil peresepan obat antihipertensi pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta termasuk jenis penelitian observasional dengan rancangan deskriptif non analitis. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data retrospektif dengan melakukan penelusuran dokumen terdahulu, yaitu pada lembar catatan medis pasien pre-eklampsia selama tahun 2005.

B. Definisi Operasional

1. Profil peresepan meliputi jenis dan golongan obat antihipertensi, jumlah penggunaan obat antihipertensi secara tunggal maupun kombinasi, cara pemberian obat antihipertensi, lama perawatan, dan potensial interaksi antara obat antihipertensi dengan obat anti hipertensi lainnya yang digunakan oleh setiap pasien.

2. Pasien pre-eklampsia adalah pasien yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005 dengan diagnosis pre-eklampsia ringan dan pre-eklampsia berat.

3. Umur pasien adalah data usia pasien pre-eklampsia yang menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005. 4. Jenis obat adalah nama generik dari obat antihipertensi yang diberikan pada

pasien pre-eklampsia yang menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005, misalnya nifedipin, metildopa.

(50)

5. Golongan obat adalah kelompok obat antihipertensi berdasarkan mekanisme kerja yang diberikan kepada pasien pre-eklampsia yang menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005, misalnya kelompok diuretik, penghambat ß, antagonis Ca, vasodilator, antihipertensi yang bekerja sentral.

6. Jumlah obat antihipertensi adalah jumlah jenis obat antihipertensi yang diberikan secara tunggal maupun kombinasi pada pasien pre-eklampsia. 7. Cara pemberian adalah cara pemberian obat antihipertensi kepada pasien,

misalnya per oral, sublingual, injeksi.

8. Lama perawatan adalah jumlah hari dari mulai pasien masuk hingga diperbolehkan pulang bagi pasien pre-eklampsia yang menjalani perawatan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005 9. Potensial interaksi obat adalah kemampuan suatu obat untuk mempengaruhi obat

lain yang diberikan dalam waktu yang bersamaan dan dapat menyebabkan efek yang menguntungkan maupun merugikan antar obat antihipertensi yang dikaji secara teoritis dengan mengacu kepada Drug Interaction Facts, Tatro (2001) dan Informatorium Obat Nasional Indonesia, Depkes (2000).

C. Bahan Penelitian

Bahan-bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi catatan medik (medical record) pasien pre-eklampsia selama tahun 2005 di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta.

D. Lokasi Penelitian

(51)

sub bagian rekam medik Rumah Sakit Panti Rapih Jalan Cik Ditiro no 36 Yogyakarta, data yang diambil selama tahun 2005.

E. Tata Cara Pengumpulan Data

Penelitian mengenai profil peresepan obat antihipertensi pada pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:

1. pengambilan data

Tahap pengambilan data diawali dengan penelusuran jumlah pasien yang menderita penyakit pre-eklampsia selama tahun 2005, didapatkan data total pasien pre-eklampsia selama tahun 2005 sebanyak 40 pasien, kemudian dilakukan pencatatan data rekam medik dari 40 pasien tersebut yang meliputi : a) nomer register pasien, b) nama pasien, c) usia pasien, d) usia kehamilan, e) diagnosis pasien, f) kehamilan yang keberapa, g) macam persalinan h) nama obat yang digunakan pasien, i) cara penggunaan obat, j) tekanan darah pasien sebelum dan sesudah perawatan, k) data laboratorium pasien, l) tanggal masuk dan tanggal keluar pasien pre-eklampsia.

2. penyelesaian data

(52)

F. Tata Cara Analisis Hasil

Hasil penelitian dikerjakan dengan melakukan kajian secara deskriptif untuk memperoleh informasi tentang:

1. persentasi usia pasien, dibagi menjadi 3 kelompok usia yaitu, usia ≤ 19 tahun, usia 20 tahun-24 tahun, dan usia ≥ 35 tahun.

2. persentasi usia kehamilan, dikelompokkan berdasarkan kelompok <37 minggu, 37-42 minggu, dan >42 minggu.

3. presentasi paritas, dikelompokkan menjadi nullipara, primipara, dan multipara (2-4).

4. persentasi macam persalinan dikelompokkan menjadi pervaginam dan per-abdominal.

5. persentasi distribusi tekanan darah sistolik dikelompokkan menjadi tekanan darah sistolik 130mmHg–160mmHg dan tekanan darah sistolik > 160mmHg. 6. persentasi distribusi tekanan darah diastolik dikelompokkan menjadi tekanan

darah diastolik 80mmHg–110mmHg dan tekanan darah diastolik > 110mmHg.

7. persentasi diagnosis, dikelompokkan berdasarkan dari berat ringannya penyakit pre-eklampsia tersebut.

(53)

9. persentasi jumlah penggunaan obat antihipertensi secara tunggal maupun kombinasi.

10.persentasi cara pemberian obat yang digunakan, dikelompokkan berdasarkan cara pemberian obat yang diberikan pada pasien.

11.persentasi lama perawatan, dikelompokkan berdasarkan lama perawatan yang diberikan pada pasien.

(54)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah kasus pre-eklampsia di Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005 sebanyak 40 kasus dari 1526 kelahiran. Dari data di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta, pre-eklampsia merupakan salah satu komplikasi yang dialami oleh ibu hamil.

A. Karakteristik Pasien Pre-eklampsia

Proses penelusuran data dilakukan dengan cara mengamati kartu status rekam medik penderita. Pasien yang diteliti adalah seluruh penderita pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005. Dicatat nomer register pasien, nama pasien, umur pasien, usia kehamilan, kehamilan keberapa, macam persalinan, diagnosis utama, tekanan darah, tanggal masuk dan tanggal keluar pasien, nama obat antihipertensi yang digunakan, jumlah obat antihipertensi yang diberikan, cara penggunannya, dan data laboratorium pasien pre-eklampsia.

1. Distribusi Umur Pasien Pre-eklampsia

0

77,50% 22,50%

≤ 19 tahun 20-34 tahun ≥ 35 tahun

Gambar 1. Distribusi Umur Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005

Distribusi penderita pre-eklampsia berdasarkan kelompok umur di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih selama tahun 2005 dapat dilihat pada gambar

(55)

1, bahwa dari 40 kasus yang ada 77,5% (31 kasus) terjadi pada usia 20–34 tahun dan 22,5% (9 kasus) terjadi pada usia ≥ 35 tahun. Dari data ini dapat diketahui bahwa angka kejadian pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih selama tahun 2005 paling banyak diderita pada kelompok umur 20–34 tahun dan dari data ini juga dapat diketahui bahwa tidak ada pasien pre-eklampsia yang berusia kurang dari 19 tahun. Menurut beberapa referensi, angka kejadian pre-eklampsia paling banyak ditemukan pada usia ekstrim yaitu kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun sedangkan menurut berbagai penelitian, angka kejadian pre-eklampsia paling banyak terjadi pada umur 20-34 tahun.

2. Distribusi Usia Kehamilan

40%

60%

0%

<37 minggu 37-42 minggu

>42 minggu

Gambar 2. Distribusi Usia Kehamilan Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005

(56)

sebesar 40% (16 kasus) dan tidak terdapat kejadian pre-eklampsia pada usia kehamilan >42 minggu) di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005.

3. Distribusi Paritas

2,50%

55% 43%

Nullipara Primipara Multipara(2-4)

Gambar 3. Distribusi Paritas Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005.

(57)

4. Distribusi Macam Persalinan

28,20%

71,80%

Pervaginam Per-abdominal

Gambar 4. Distribusi Macam Persalinan Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005.

(58)

5. Distribusi Diagnosis Utama

17,50%

82,50%

Pre-eklampsia ringan Pre-eklampsia berat

Gambar 5. Distribusi Diagnosis Utama Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005.

Distribusi diagnosis utama pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta tahun 2005 terlihat pada gambar 5. Persentasi kasus pre-eklampsia terbanyak yaitu pre-eklampsia berat sebesar 82,5% (33 kasus) sedangkan persentasi pre-eklampsia ringan hanya sebesar 17,5% (7 kasus).

Penentuan diagnosis ini berdasarkan perjalanan penyakit pasien dan didukung oleh pemeriksaan laboratorium serta tanda–tanda yang dialami pasien yang mengindikasikan adanya perburukan kondisi pasien. Diagnosis pre-eklampsia berat ditetapkan salah satunya bila tekanan darah > 160/110 mmHg diukur dalam keadaan relaks (minimal setelah istirahat 10 menit) dan tidak dalam keadaan his.

(59)

tekanan darah atau tidak mengalami kenaikan tekanan darah, dan hanya sedikit proteinuria (Sibai, 1996).

Sebagai tambahan 20% diantara wanita yang menderita pre-eklampsia dan kemudian berkembang menjadi eklampsia memiliki tekanan diastolik dibawah 90 mmHg. Hal ini menyebabkan pentingnya memperhatikan gejala-gejala yang mengindikasikan adanya perburukan kondisi pasien dan tidak hanya berpatokan pada nilai tekanan darah dan proteinuria (Sibai, 1996).

6. Distibusi Tekanan Darah sistolik

47,50%

52,50%

TD Sistolik 130-160 mmHg Td Sistolik >160 mmHg

Gambar 6. Distribusi Tekanan Darah Sistolik Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005.

(60)

7. Distribusi Tekanan Darah Diastolik

75,00% 25,00%

TD Diastolik 80-110 mmHg Td Diastolik >110 mmHg

Gambar 7. Distribusi Tekanan Darah Diastolik Pasien Pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005.

Pasien dinyatakan pre-eklampsia bila tekanan darah diastolik ≥90mmHg dan dikategorikan pre-eklampsia berat bila tekanan darah Tekanan darah >110mmHg. Dari pengambilan data di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih tahun 2005 didapatkan data tekanan darah diastolik ibu hamil berkisar antara 80–120mmHg, baik kejadian pre-eklampsia berat maupun pre-eklampsia ringan. Dari gambar 7 dapat diketahui bahwa tekanan darah diastolik 80–110mmHg mempunyai persentasi yang lebih besar yaitu 75% sebanyak 30 kasus dan tekanan darah diastolik >110mmHg sebesar 25% sebanyak 10 kasus.

B. Profil Peresepan Obat Antihipertensi

(61)

1. Jenis dan Golongan Obat Antihipertensi Yang Digunakan

Untuk mencegah kejadian kelainan serebrovaskular pada kehamilan akibat hipertensi yang semakin parah, pemberian antihipertensi dianjurkan untuk menurunkan tekanan darah. Antihipertensi diberikan bila tekanan sistolik >160 mmHg, tekanan diastolik >105–110mmHg atau bila mulai terlihat gangguan pada organ target seperti hipertropi ventrikel kiri, penurunan fungsi ginjal (Chanprapaph, 2004).

Prevalensi terjadinya kematian perinatal dan terhambatnya perkembangan janin akan meningkat seiring dengan peningkatan tekanan darah pada wanita hamil dengan proteinuria atau tanpa proteinuria, sehingga perlunya terapi antihipertensi untuk mencegah kematian perinatal dan terhambatnya perkembangan janin (Rey, 1997).

Pemberian antihipertensi pada wanita hamil dengan tekanan darah tinggi mampu meningkatkan hasil terapi perinatal yang mana pemberian antihipertensi mampu menurunkan angka kejadian pre-eklampsia, gangguan pada plasenta, kelahiran prematur dan kematian janin (Sibai, 1996).

40,60%

Gambar 8. Distribusi Jenis Obat Antihipertensi yang Digunakan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005.

(62)

45,30%

32,80%

17,20%

1,60%3,10%

Golongan obat Antihipertensi

Per

sent

ase(

%

)

Antihipertensi bekerja sentral

Antagonis kalsium

Diuretika

Penghambat ACE

Penghambat α

Gambar 9. Distribusi Golongan Obat Antihipertensi yang Digunakan di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005.

Dari gambar 8 dapat diketahui bahwa jenis obat antihipertensi yang paling banyak digunakan oleh pasien pre-eklampsia di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta selama tahun 2005 adalah metildopa sebesar 40,6%. Menurut Gifford dkk (2000), dalam The National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Pregnancy, metildopa adalah obat pilihan untuk terapi antenatal dalam jangka panjang sedangkan hidralazin, nifedipin atau labetolol untuk treatment hipertensi akut pada masa kehamilan.

(63)

Metildopa bekerja dengan jalan menstimulasi reseptor adrenergik α2 di otak sehingga akan menghambat kerja saraf simpatis. Hal ini mengakibatkan penurunan denyut jantung, penurunan curah jantung dan juga mengakibatkan menurunnya vasokonstriksi yang akan menurunkan tahanan perifer. Efek dari hal-hal tersebut diatas akan menurunkan tekanan darah (Schenbrenner, 2002). Penggunaan metildopa pada penelitian ini sebesar 40,6 %. Metildopa merupakan obat antihipertensi yang paling sering digunakan untuk terapi pre-eklampsia dan penggunaan metildopa pada trimester ketiga tidak mempengaruhi uteroplasenta atau hemodinamik dari janin (Saseen dan Carter, 2005). Lebih lanjut telah diketahui bahwa metildopa merupakan obat antihipertensi yang sangat aman berdasar pada data pemantauan selama 7,5 tahun yang menyebutkan bahwa tidak ditemukan efek samping pada perkembangan anak (Saseen dan Carter, 2005).

(64)

Nifedipin merupakan obat golongan antagonis kalsium yang bekerja dengan cara menghambat pergerakan transmembran dari ion Ca2+ sehingga kontraksi otot pembuluh darah berkurang yang pada akhirnya menurunkan tekanan darah. Nifedipin lebih berpengaruh pada pembuluh darah dan kurang berpengaruh pada miokardium (Anonim, 2000). Antagonis kalsium juga merupakan alternatif obat antihipertensi, sediaan oral nifedipin telah digunakan tetapi tidak disetujui oleh The Food and Drug Administration (FDA) karena telah dilaporkan memberikan efek hipotensi disertai gangguan pada janin. Penggunaan nifedipin pada penelitian ini sebesar 31,2%.

Furosemid merupakan diuretika kuat yang bekerja dengan menghambat reabsorpsi cairan dari ascending loop henle dalam tubulus ginjal. Hipokalemia dapat terjadi pada penggunaan obat ini. Furosemid bekerja dalam 1 jam setelah pemberian oral dan diuresis sempurna dalam 6 jam, sehingga jika perlu dapat diberikan 2 kali dalam satu hari tanpa mengganggu tidur. Pada pemberian secara intravena, furosemid menunjukkan efek puncak dalam waktu 30 menit (Anonim, 2000). Penggunaan furosemid pada penelitian ini sebesar 15,6%.

Spironolakton merupakan diuretik hemat kalium sehingga dapat mengurangi efek hipokalemia yang dapat terjadi pada penggunaan diuretik tiazid maupun diuretik kuat. Spironolakton memperkuat kerja tiazid atau diuretika kuat dengan cara mengantagonisasi aldosteron. Spironolakton merupakan diuretik yang lemah (Anonim, 2000). Penggunaan spironolakton pada penelitian ini sebesar 1,6%.

(65)

sel otot polos yang akan menyebabkan vasodilatasi (Saseen dan Carter, 2005). Penggunaan terazosin pada penelitian ini sebesar 3,1%.

Amlodipin besilat merupakan antagonis kalsium yang cara kerjanya sama dengan nifedipin. Amlodipin besilat tidak menimbulkan efek inotropik negatif seperti yang ditunjukkan oleh semua golongan obat antagonis kalsium. Masa kerja Amlodipin besilat lebih lama dibanding nifedipin sehingga dapat diberikan sekali sehari (Anonim, 2000). Penggunaan amlodipin besilat pada penelitian ini sebesar 1,6%.

(66)

2. Jumlah Penggunaan Obat Antihipertensi Secara Tunggal maupun Kombinasi

Terapi hipertensi dengan menggunakan satu jenis obat sering dihubungkan dengan efek samping yang lebih besar dibandingkan kombinasi obat dengan dosis yang lebih rendah. Hanya rata-rata setengah bagian dari pasien yang terapi dengan 1 jenis obat antihipertensi yang dapat dikontrol tekanan darahnya dengan baik. Setengah bagian dari pasien akan membutuhkan 2 macam kombinasi obat antihipertensi (Neutel, 2002).

20%

Gambar 10. Distribusi Jumlah Penggunaan Obat Antihipertensi Secara Tunggal maupun Kombinasi di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2005.

Dari gambar 10 dapat kita ketahui bahwa terdapat 8 orang pasien dari total 40 pasien pre-eklampsia, yang tidak mendapatkan terapi antihipertensi. Dari pengumpulan data diketahui bahwa 5 pasien dari 8 pasien yang tidak mendapatkan antihipertensi mempunyai tekanan darah <160/105mmHg sehingga belum dibutuhkan antihipertensi dan pasien tersebut tidak menunjukkan gejala impending eklampsia, sedangkan 3 pasien lainnya mempunyai tekanan darah >160/105mmHg

(67)

tetapi tidak mendapat antihipertensi karena pasien tidak menunjukkan tanda-tanda

impending eclampsia.

Dari data diatas juga dapat diketahui bahwa persentasi penggunaan obat antihipertensi secara kombinasi lebih besar dibandingkan penggunaan obat antihipertensi secara tunggal yaitu sebesar 47,5%. Penggunaan obat antihipertensi secara tunggal sebesar 32,5%. Dari data diatas juga dapat diketahui bahwa kombinasi obat antihipertensi yang paling banyak adalah 2 macam kombinasi obat antihipertensi yaitu sebesar 52,6% dari total penggunaan kombinasi obat antihipertensi.

Antihipertensi yang ideal memenuhi kriteria sebagai berikut antara lain, efektif lebih dari 24 jam dengan dosis satu kali sehari, mempunyai respon yang tinggi untuk semua kelompok penderita hipertensi, tidak mempunyai efek samping, tidak mempunyai efek samping metabolik dan murah. Karena sulit mencapai kriteria obat antihipertensi yang ideal dengan monoterapi maka telah dilakukan percobaan untuk mencapai terapi obat antihipertensi yang ideal dengan mengkombinasikan obat antihipertensi tambahan dengan dosis rendah (Neutel, 2002).

84,60%

Jenis Obat Antihipertensi yang Digunakan secara Tunggal

Gambar

Tabel
Gambar
Tabel I. Obat Antihipertensi yang Dapat Digunakan pada Pre-eklampsia
Tabel II. Rekomendasi Penggunaan Obat Antihipertensi pada Ibu Hamil (Rey
+7

Referensi

Dokumen terkait

68/MPP/Kep/2/2003 Penjualan local produk tissue yang dilakukan antar pulau tidak termasuk dalam kelompok produk yang wajib PKAPT. Tidak

Hal inilah yang melatarbelakangi Penulis untuk melakukan Penulisan Hukum dengan judul “ Pelaksanaan Kewenangan atas Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio bagi

Pada lahan sawah tadah hujan dengan pola tanam padi gogorancah - padi walik jerami , perbaikan cara budi daya dengan (1) penggunaan varietas intro- duksi Situ Patenggang untuk

Laba akuntansi didasarkan pada transaksi aktual yang dilakukan oleh perusahaan (terutama pendapatan yang timbul dari penjualan barang atau jasa dikurangi biaya yang diperlukan

Sejalan dengan hal di atas, Arikunto (1993) menyatakan bahwa “tes diagnostik adalah tes yang digunakan untuk mengetahui kelemahan-kelemahan siswa, sehingga

Pembuatan permen soba dengan penambahan rumput laut Eucheuma cottonii merupakan penelitian utama dengan perlakuan penambahan rumput laut Eucheuma cottonii 30%, 40%

Untuk mengetahui perbandingan produksi, nilai produksi serta biaya pada usahatani jagung hibrida dan lokal maka dilakukan uji-t dengan masing-masing 25 responden.. Uji t Produksi,

[r]