• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Latar Belakang Lahirnya Hukum Persaingan di Indonesia

2. Ekonomi Indonesia Pasca Kemerdekaan

Upaya Belanda untuk memulihkan kekuasaan mereka terhadap

Indonesia menghadapi berbagai kesulitan ketika Bung Karno dan Bung

Hatta memproklamasikan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Keengganan pemerintah Belanda untuk menerima kenyataan ini memaksa

penduduk Indonesia untuk mengangkat senjata untuk mempertahankan

kemerdekaannya. Perjuangan bersenjata terhadap Belanda berlangsung

selama empat tahun dan baru berakhir dengan penyerahan kedaulatan

secara resmi oleh Belanda kepada Indonesia pada tanggal 27 Desember

1949.

Akibat perjuangan bersenjata terhadap Belanda, pulau Jawa dan

beberapa daerah lainnya di Indonesia terbagi dalam daerah-daerah yang

berhasil diduduki oleh tentara Belanda dan daerah-daerah yang dikuasai

60

oleh pejuang Indonesia. Angka-angka statistik yang tersedia tentang

perkembangan ekonomi Indonesia selama masa repolusi hanya mengacu

pada daerah-daerah kekuasaan Belanda karena fihak Indonesia terlampau

sibuk untuk mengerjakan statistik yang akurat, sebab dihadapkan pada

berbagai masalah didaerah-daerah kekuasaan Indonesia, termasuk ancaman

militer Belanda61. Angka-angka statistik yang tersedia dari daerah-daerah kekuasaan Belanda menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi merupakan

proses yang panjang. Dipulau Jawa hasil produksi pangan pada tahun 1947

masih jauh dibawah tingkat produksi sebelum pendudukan Jepang.

Diperkirakan bahwa pada tahun 1947 hasil-hasil pertanian rakyat baru

mencapai sepertiga dari tingkat yang telah dicapai sebelum perang. Akibat

kelangkaan beras maka harga beras tinggi sekali. Untuk menanggulangi

masalah kekurangan beras ini, Indonesia terpaksa mengimpor beras dalam

jumlah besar, meskipun sebelum perang Indonesia telah swasembada dalam

hal beras.

Produksi hasil-hasil perkebunan, seperti kopi, teh, karet, tebu dan

kelapa sawit terhenti sama sekali, karena gangguan keamanan. Sedangkan

hasil-hasil produksi pertambangan seperti timah, batu bara dan minyak bumi

telah merosot tajam62. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa selama kurun waktu ini ekspor hasil-hasil perkebunan dan pertambangan merosot

dengan tajam, sedangkan impor beras dan barang-barang kebutuhan lain

meningkat dengan pesat, untuk melengkapi kekurangan berbagai barang

61

kebutuhan rakyat. Hal ini menyebabkan Indonesia selama kurun waktu

tersebut mengalami surplus impor, yaitu defisit dalam Neraca Perdagangan

Luar Negeri, meskipun sebelum perang Indonesia selalu mengalami surplus

ekspor, yaitu surplus dalam Neraca Perdagangan Luar Negeri.

2.2. Era Ekonomi Terpimpin (1950 -1965)

Meskipun volume ekspor komoditi-komoditi primer Indonesia

mengalami pertumbuhan yang cukup baik pada awal tahun 1950, bahkan

melebihi tingkat volume yang telah dicapai pada akhir tahun 1930, tetapi

Indonesia hampir tidak berpartisipasi dalam ekspansi perdagangan dunia

yang telah terjadi selama tahun 1950 - 1960. Bahkan selama kurun waktu

tahun 1953 - 1966 volume ekspor Indonesia hanya bertambah dengan

rata-rata 1% per tahun63.

Merosotnya peranan perdagangan luar negeri selama tahun 1950,

terutama disebabkan karena peralatan produksi industri ekspor Indonesia

telah mengalami banyak kerusakan selama masa pendudukan Jepang, dan

perjuangan terhadap Belanda selama kurun waktu 1945 - 1949. Selanjutnya

pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an peranan perdagangan luar

negeri tetap rendah, hal ini diakibatkan pemerintah Indonesia selama

periode ekonomi terpimpin, menempuh kebijaksanaan yang berorientasi

kedalam (inward looking policies). Kebijaksanaan ini dicirikan dengan

adanya kebijaksanaan substitusi impor yang proteksionis, regulasi ekonomi

62

domestik yang ketat, kecenderungan untuk menempuh kebijaksanaan

“berdikari” (berdiri di atas kaki sendiri), dan kebijaksanaan yang sangat

membatasi serta menolak sama sekali penanaman modal asing64. Selama kurun waktu itu perdagangan luar negeri makin banyak dikendalikan oleh

pemerintah Indonesia, baik pertimbangan jangka pendek tentang Neraca

Pembayaran, maupun karena pertimbangan ekonomi, yaitu pertimbangan

Nasionalisme Ekonomi yang dengan tegas menolak untuk melanjutkan pola

ekonomi kolonial sebelum perang (prewar colonial pattern) yang sangat

mengandalkan diri pada ekspor komoditi-komoditi primer. Oleh karena itu

terdapat aspirasi yang besar diantara pemimpin nasional untuk mendorong

industrialisasi sebagai jalan terbaik untuk memperluas landasan ekonomi

Indonesia yang pada waktu itu masih sangat tergantung pada sektor

pertanian65.

Meskipun era Demokrasi Terpimpin diwarnai oleh sikap pemerintah

Indonesia yang sangat bermusuhan dengan negara-negara Kapitalis Barat,

namun kebijaksanaan pemerintah yang dengan lantang mendenggungkan

slogan “berdikari”, justru tetap mengandalkan diri pada bantuan luar negeri,

termasuk bantuan negara-negara Barat. Oleh karena itu kebijaksanaan

pemerintah Indonesia tidak dapat digambarkan sebagai kebijaksanaan yang

berorientasi kedalam murni (pure inward - looking policies), bantuan luar

negeri yang diperoleh terutama digunakan untuk membiayai proyek-proyek

63

Booth, 1992, op cit, Hal. 83 64

Myint, Inward and Outward Looking Countries Revisited : The Case of Indonesia, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol XX No 2 August, 1984, Hal. 41

65

substitusi impor yang direncanakan oleh pemerintah Indonesia66 . Tetapi dengan makin memburuknya hubungan dengan negara-negara Barat,

Indonesia sejak awal tahun 1960 makin berpaling ke Uni Soviet dan

negara-negara sosialis lainnya di Eropa Timur serta RRC untuk

memperoleh bantuan luar negeri antara lain untuk membeli senjata dan

perlengkapan perang lainnya yang diperlukan untuk kampanye militer

merebut kembali Irian Jaya (Papua) dan kemudian untuk kampanye

“Ganyang Malaysia”.

Pemerintah Indonesia pada waktu itu tidak memberikan prioritas

sama sekali kepada pembangunan ekonomi, dan lalai atau engan untuk

menempuh kebijakan makro ekonomi yang sehat. Terlebih lagi pemerintah

Indonesia pada waktu itu mengandalkan diri pada “pembiayaan defisit

anggaran pemerintah” (deficit financing) dengan mencetak uang untuk

menutup defisit yang makin besar dalam anggaran belanja pemerintah.

Defisit anggaran pemerintah ini menjadi besar akibat penerimaan

pemerintah dari pajak yang makin menurun karena stagnasi yang dialami

ekonomi Indonesia, sedangkan di lain pihak pengeluaran pemerintah makin

besar akibat pengeluaran militer yang makin meningkat karena kampanye

untuk merebut Irian Jaya (Papua) dari Belanda, dan konfrontasi bersenjata

dengan Malaysia.

66

Pembiayaan Defisit Anggaran Pemerintah yang dilaksanakan dengan cara

mencetak uang menyebabkan laju inflasi mencapai 595% pada tahun 196567 . Hiperinflasi ini ditambah dengan kekurangan devisa telah menghancurkan

sendi-sendi ekonomi Indonesia dan mengakibatkan berbagai kegiatan

ekonomi mengalami stagnasi, bahkan kemunduran yang memprehatinkan.

Krisis ekonomi yang tejadi telah mengakibatkan pada akhir tahun 1965

ekonomi Indonesia mengalami kontraksi sebanyak 3%68 .

Dokumen terkait