• Tidak ada hasil yang ditemukan

ekonomi melalui revitalisasi pertanian kakao

Dalam dokumen Kemitraan untuk Mencapai Keberlanjutan (Halaman 40-43)

Indonesia telah menjadi produsen kakao terbesar ketiga di dunia selama dua puluh tahun terakhir. Kakao adalah sumber pendapatan dan mata pencaharian utama untuk lebih dari satu juta rumah tangga petani kecil di seluruh Indonesia. Di bawah proyek yang dilaksanakan oleh LSM Swiss Contact, dengan hibah dari Fasilitas Pendanaan Pembangunan Ekonomi Aceh (EDFF), 19.000 petani kakao dilatih untuk meningkatkan teknik pertanian sekaligus merehabilitasi pertanian kakao mereka. Proyek ini bertujuan untuk memberi lebih banyak kendali kepada petani kecil atas kesinambungan jangka panjang produksi kakao mereka, dan memulihkan peluang ekonomi yang ditawarkan kakao kepada masyarakat pedesaan yang miskin.

Sejak tsunami 2004 yang disusul dengan berakhirnya konflik jangka panjang, produksi kakao telah meningkat secara bertahap di Aceh. Banyak area pertanian yang terisolasi dan semula diabaikan atau terlantar selama konflik mulai ditata dan berproduksi. Banyak juga korban tsunami yang kembali ke desa asal mereka di daerah produksi kakao dan kopi setelah rumah,

desa dan mata pencaharian mereka di dekat pantai hancur terhantam gelombang.

Desa Balee Panah adalah tempat yang damai, bersih dan sederhana, yang rumah-rumahnya tersebar di sela-sela pohon yang tinggi. Kondisi ini tidak selalu demikian.

Pak yusrizal adalah koordinator tingkat kabupaten untuk Swiss

Contact di Bireuen.

“Desa ini terkena dampak konflik serta sering mengalami penculikan dan pembakaran rumah,” ujar Pak yusrizal. Ia menjelaskan bagaimana proyek yang didanai EDFF telah membantu masyarakat:

“Sebelum Swiss Contact memulai sekolah lapang, masyarakat menanam kakao, lalu membiarkannya tumbuh dengan sendirinya. Bahkan pada saat itu mereka menyebutnya dengan hutan kakao. Sekarang mereka menyadari bahwa tanaman tersebut harus dipelihara seperti perkebunan pada umumnya. Sekarang mereka telah menyebutnya dengan istilah kebun kakao. Mereka saat ini memahami proses pengembangan kakao secara keseluruhan, mulai dari penanaman benih sampai pengelolaan panen. Sekarang

mereka menjadi petani yang utuh. Mereka bekerja sebagai kelompok dengan baik dan lebih saling membantu.”

Kegiatan yang dilakukan oleh proyek ini mengajarkan masyarakat mengenai

manfaat sekolah lapang dalam mengembangkan keterampilan bertani. Setiap kelompok petani memiliki sekolah lapangnya sendiri. tiga orang memimpin pelatihan, salah satunya adalah petani andalan. Masyarakat berpartisipasi dalam memilih langsung petani ini untuk dapat dilatih oleh Swiss Contact. “Sangatlah penting untuk memilih petani andalan yang tepat” jelas Pak yusrizal. “Penting bagi kelompok untuk memilih seseorang yang mau berbagi pengetahuan dan merupakan tokoh panutan yang baik.”

Pak Zulkifli adalah salah satu panutan.

“Saya rasa masyarakat memilih saya karena saya lulusan SMK pertanian. Sekarang saya dapat menunjukkan kepada petani di kelompok saya hal baru yang saya pelajari, misalnya cara membuat sarang semut sebagai pestisida alami.”

32

“sebeluMnya saya Menyandang senjaTa;

seKarang saya MeMbawa Pacul”

Selain petani andalan, setiap kelompok juga memiliki Ketua dan Wakil Ketua. Di kelompok ini Pak Idris adalah wakil ketuanya.

“Pendapatan kami meningkat secara signifikan sejak

bergabung dengan kelompok petani,” ujar Pak Idris. Para penerima manfaat menyatakan bahwa sebelum adanya sekolah lapang, mereka memanen 600 kilogram kakao untuk satu hektar lahan, dan sekarang mereka dapat memanen 1.000 kilogram per hektar. Setiap petani di kelompok yang beranggotakan 30 orang ini memiliki kebun sendiri, tapi para petani bekerja sebagai kelompok untuk saling membantu.

Sementara itu, di desa tetangga, Utuen Gathom, ketua dan mantan kombatan Samsul

Bahri, sedang bekerja di kebun kakaonya. Samsul menceritakan transformasi yang ia alami dari kombatan menjadi petani. “Saya mewarisi lahan dari ayah saya. Saya mulai menanam kakao setelah terjadi tsunami dan konflik berakhir, tapi saya saat itu sama sekali tidak tahu cara bertani. Saat Swiss Contact membawa proyek ini ke desa kami, masyarakat memilih saya untuk menjadi ketua. Saya mempelajari banyak hal di sekolah lapang. Dulunya saya panen setiap 20 hari sekali, tapi sekarang bisa setiap minggu.” Kelompok Samsul mencakup 34 petani kakao lain. “Ini merupakan pekerjaan berat tapi kami saling membantu,” ujarnya. Ia secara rutin memberikan pengarahan dan peragaan. Ia bahkan menulis buku panduan untuk kelompoknya. “Saya

memodifikasi buku pelatihan agar lebih praktis dan mudah dipahami. Sekarang setiap anggota memakai buku tersebut sebagai pedoman utama,” ujarnya bangga.

Dalam waktu dekat Samsul akan membentuk kelompok kakao baru untuk mantan kombatan. Ini adalah upaya swadaya dimana ia akan menyisihkan satu hektar lahannya untuk peragaan.

“Saya melakukan hal ini karena dulu kami pernah mengalami masa sulit bersama. Setelah saya berhasil menjadi petani, saya ingin memberi peluang bagi mantan kombatan lain untuk menjadi petani yang lebih baik.” Ia berhenti sejenak, lalu

menambahkan, “Sebelumnya, saya menyandang senjata; sekarang saya membawa pacul dan peralatan bertani.”

Pak Samsul Bahri, seorang mantan

kombatan menjadi Petani Andalan di kelompoknya. Kedepannya ia akan secara swadaya membentuk kelompok tani yang terdiri dari para mantan kombatan. ”Saya ingin para mantan kombatan menjadi petani yang lebih baik.”

Foto: tAMIZy HARvA UNtUK SEKREtARIAt MDF

Keuangan

Kemitraan merupakan kunci keberhasilan MDF. Proyek MDF dilaksanakan melalui mitra pemerintah dan nonpemerintah, termasuk berbagai badan PBB dan LSM.

Foto: MoSIStA PAMBUDI/KANtoR BERItA ANtARA UNtUK SEKREtARIAt MDF

34

M

DF merupakan kumpulan dana hibah yang diberikan oleh 15 donor untuk memenuhi kebutuhan rekonstruksi pascatsunami dan gempa bumi secara efektif dan efisien di Aceh dan Nias. Pengawasan dan

pengelolaan keuangan dipercayakan kepada Bank Dunia selaku Wali Amanat MDF.

KOMItMEN

Pada bulan September 2011, MDF telah

menerima dana berjumlah AS$654,7 juta dalam bentuk komitmen dari 15 donor. Komitmen

ini diformalkan dalam bentuk kesepakatan kontribusi (contribution agreement). Jumlah nilai komitmen berfluktuasi sesuai dengan nilai tukar sewaktu dana diterima oleh MDF. Sepanjang tahun 2011, diformalkan pengurangan komitmen Pemerintah Belanda sejumlah AS$25,4 juta.

Dalam dokumen Kemitraan untuk Mencapai Keberlanjutan (Halaman 40-43)

Dokumen terkait