• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekosistem Sebagai Siklus Hidup

Dalam dokumen Potret Ekosistem Musik di Indonesia (Halaman 98-102)

Rencana Pengembangan Nasional Ekonomi Kreatif 2015-2019 memetakan ekosistem seni berdasarkan perputaran uang atau pertambahan nilai dengan asumsi bahwa ekosistem akan berjalan selama pasar bekerja. Dukungan pemerintah difokuskan pada wilayah yang memicu tumbuhnya pasar tersebut. Sebaliknya, perspektif dalam UU Pemajuan Kebudayaan menitikberatkan peran pemerintah dalam mendanai fungsi-fungsi strategis, termasuk terhadap laku atau tidaknya suatu karya seni. Dengan kata lain, seni dipandang tidak hanya sebagai komoditas, tapi juga barang publik. Walaupun dua perspektif itu seperti saling melengkapi, namun keduanya belum secara eksplisit menjelaskan titik kemunculan dan ancaman kematian sebuah ekosistem sebagai hal yang krusial dalam tinjauan ekosistem yang spesifik pada suatu konteks wilayah dan waktu tertentu.

Oleh karena itu, penelitian ini mengadopsi gagasan John Holden yang memandang ekosistem dalam sebuah siklus kehidupan, mulai dari kemunculan (emergence), pertumbuhan (growth), evolusi (evolution), hingga kematian (death) (Holden 2015). Ia berargumen bahwa pandangan seperti itu dapat membantu para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan untuk memahami secara khusus kondisi ekosistem dan tindakan yang perlu dilakukan untuk memaksimalkan vitalitas ekosistem tersebut

(Holden 2015, hal. 18).

84

Potret Ekosistem Musik di Indonesia

Penelitian ini mendeteksi unsur apa yang melahirkan dan menumbuhkan ekosistem musik, jejaring seperti apa yang terbentuk ketika sebuah ekosistem sedang ada di masa kejayaannya, dan elemen apa yang mengancamnya. Penelitian ini juga hendak memahami ekosistem sebagai sebuah siklus hidup yang melengkapi dan memperdalam kedua tinjauan ekosistem di Indonesia, baik itu UU Pemajuan Kebudayaan maupun Rencana Pengembangan Nasional Ekonomi Kreatif 2015-2019, dengan secara khusus menunjuk pada elemen atau peristiwa yang menjadi titik kemunculan dan ancaman kematiannya. Berangkat dari perspektif itu, penelitian akan mampu mendeteksi siasat apa yang dilakukan oleh para pelaku seni ketika sistem pendanaan dan infrastruktur pendukungnya, sangat minim.

John Holden menegaskan bahwa tidak cukup dengan hanya memandang sebuah ekosistem dalam logika ekonomi. Seni dan kebudayaan menghasilkan efek-efek yang lebih dari sekadar pertukaran uang. Pandangan yang melihat ekosistem dengan kacamata ekonomi saja, akan membuat berbagai aktivitas yang umum terjadi di lingkungan kesenian, menjadi luput dari perhatian, seperti kerja sukarela dan kepuasan emosional (Holden 2015, hal. 11). Selain itu, pandangan semacam itu otomatis menempatkan para pelaku seni secara hierarkis, di mana seniman diromantisasikan untuk berada di pusat ekosistem, sementara pelaku lain hanya mendapatkan efek tumpahan (spillover effect) dari pendapatan yang diperoleh musisi. Padahal, arus uang tidak berjalan satu arah.

Musisi sangat mungkin tergantung pada pendapatan pelaku lain. Seni dan kebudayaan juga tidak muncul hanya dari karya cipta individu, melainkan upaya bersama. Penelitian ini mengadopsi pemikiran John Holden (2015) dan Teori Rhizomatik (Deleuze & Guattari 1988) yang berupaya memandang ekosistem dalam sebuah jaringan rimpang.

85

et Ekosistem Musik di Indonesia

Artinya, seluruh pelaku, baik musisi maupun non-musisi, dilihat sebagai pelaku yang saling terkait dalam jejaring sosial yang kompleks. Oleh sebab itu, pertukaran yang diusulkan Holden untuk dianalisis, tidak hanya pada pertukaran uang, melainkan juga perpindahan berbagai modal sosial dan budaya berupa peran, ide, dan produk.

Melalui perspektif ekologi budaya, tim melacak keterkaitan jenis pendanaan (publik, swasta, dan swadaya) terhadap perpindahan peran, ide, produk, dan uang. Melalui wawancara mendalam dengan seluruh narasumber (14 orang dari Kota Makassar dan 13 orang dari Kota Bogor), tim meminta para narasumber untuk mengidentifikasi peristiwa-peristiwa apa yang menurut mereka signifikan dalam perjalanan karier mereka sebagai pelaku musik. Peristiwa tersebut kemudian dikategorikan ke dalam jenis-jenis pendanaan dan pergerakan yang terjadi. Dari penandaan sederhana tersebut, tim menarik beberapa kesimpulan.

Pertama, pendanaan swasta adalah yang paling banyak mendorong terjadinya perpindahan uang. Namun, perpindahan ide juga banyak terjadi pada pendanaan swasta.

Hal ini mengindikasikan bahwa sponsor perusahaan di kedua kota punya peran signifikan dalam pengembangan gagasan-gagasan baru. Pendanaan swasta semacam itu terjadi dalam kegiatan-kegiatan, seperti kerja sama penyelenggaraan acara atau festival musik, pembuatan lagu oleh penulis bayangan (ghostwriting), pembuatan jingle brand atau soundtrack permainan video (video games), penyelenggaraan acara musik reguler pada hotel atau restoran atau kafe (horeka), dan pengajaran di tempat kursus musik.

86

Potret Ekosistem Musik di Indonesia

Kedua, walau perpindahan uang sangat sedikit terjadi pada pendanaan swadaya, namun pendanaan tersebut berperan signifikan dalam mengembangkan karier pelaku, baik musisi maupun non-musisi. Pendanaan swadaya memungkinkan pelaku mengeksplorasi peran-peran baru di ekosistem, seperti pembentukan kolektif musik yang berjejaring secara internasional melalui media sosial; pendirian label luring dan daring, misalnya Hujan! Rekords; radio komunitas, misalnya Kisruh; media musik daring, misalnya infobogor atau Makassar Indie; tata kelola ruang pertunjukan kolektif; serta eksplorasi pada bentuk-bentuk pertunjukan musik baru di ranah daring, misalnya Southern Studio dan Prolog Studio. Sementara itu, perpindahan ide dan produk paling banyak terjadi di pendanaan swadaya.

Ketiga, kegiatan atau peristiwa yang mendapatkan dana publik, memiliki porsi dengan persentase relatif sedikit dibandingkan yang mendapatkan dana swasta dan swadaya (tim menemukan terdapat kegiatan yang diselenggarakan lewat lebih dari satu jenis pendanaan). Di Kota Bogor, pendanaan publik hanya muncul sebanyak 20 dari 144 kegiatan (13,9 persen). Sementara di Kota Makassar, kegiatan dengan pendanaan yang sama, sebanyak 19 dari 127 kegiatan (15 persen). Hal itu sangat jauh dibandingkan pendanaan swasta yang muncul dalam 58 kegiatan di Kota Bogor (40,3 persen) dan 56 kegiatan di Kota Makassar (44,1 persen).

Pendanaan swadaya yang menjadi jenis pendanaan dominan, muncul dalam 72 kegiatan di Kota Bogor (50 persen) dan 53 kegiatan di Kota Makassar (41,7 persen).

87

et Ekosistem Musik di Indonesia

Pendorong Perkembangan Ekosistem Musik

Dalam dokumen Potret Ekosistem Musik di Indonesia (Halaman 98-102)