• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eksistensi/Keberadaan Direksi ( Nominee ) menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Perseroan Terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Sedangkan UUPT 1995 dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.184

Dilihat dari sudut sifat Perseroan (corporate nature), Perseroan adalah merupakan persoon yang tidak terlihat, tidak teraba dan artifisial (invisible intangible and artificial person). Namun demikian, hukum atau undang-undang memberikan kepadanya untuk menikmati semua hak yang dapat dimiliki dan dinikmati oleh masusia atau persoon alamiah (natural persoon). Perseroan memiliki kebangsaan, tempat kedudukan di negara mana Perseroan berada, serta Perseroan itu memiliki hak untuk diperlakukan dan dilindungi dengan cara

183 Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Bandung: Penerbit PT. Alumni, 2004), hlm. 175. Lihat juga Yahya A.Z., “Perbandingan Hukum Tanggung Jawab Direktur (PT) Antara Sistem HukumCivil LawdenganCommon Law”, 21 Juli 2009, dapat diakses di http://yahyazein.blogspot.com/2009/07/perbandingan-hukum-tanggung-jawab.html, terakhir diakses pada tanggal 01 Desember 2012, dikatakan, “Sistem Hukum Civil Law (Indonesia) tidak mengenal pranata “fiduciary relation”, sehingga hubungan antara direktur dengan perusahaan tidak merupakan hubungan antara “trustee” dengan “beneficiary” seperti dalam sistem Common Law. Dalam sistem hukumCivil Lawseperti di Indonesia, hubungan tersebut hanya merupakan hubungan antara pemberi kuasa (perusahaan) dengan penerima kuasa (direktur) atau jika direktur diberi upah, maka secara legal hubungan tersebut merupakan hubungan perburuhan. Oleh karena itu, … direktur sebagai penerima kuasa hanya akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia menjalankan tugasnya melebihi kuasa yang yang diberikan kepadanya. Hal tersebut dapat dilihat dalam anggaran dasar perusahaan. Oleh karena itu, secara konkrit dapat dikatakan jika dalam sistem hukumCommon Law, direktur bertindak menurut standar tertentu sebagai trustee, sedangkan menurut sistem Civil Law, direktur pada prinsipnya bertindak hanya dengan memperhatikan anggaran dasar perusahaan.”

yang sama sesuai dengan proses yang dibenarkan oleh hukum (due process of law).185

Konsep bahwa PT adalah badan hukum melahirkan keberadaan PT sebagai subjek hukum mandiri, dengan keberadaan yang terpisah dari para pemegang sahamnya. Keberpisahan ini mengakibatkan bahwa PT mutlak memerlukan Direksi sebagai wakilnya. Berbeda dengan manusia, karena PT adalah suatu

artificial person, maka dia hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan manusia sebagai wakilnya. Sebagai sebuah badan hukum, oleh hukum, anggota Direksi ditugaskan untuk mewakili PT di dalam maupun di luar pengadilan. Jadi yang harus mewakili PT di dalam maupun di luar pengadilan harus manusia atau orang perseorangan. Diatur dalam Pasal 97 ayat (1) UUPT bahwa: Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1).”186

Apabila pengaturan mengenai persyaratan untuk menjadi Direksi belum ditemukan dalam KUHD187, pengaturan tersebut kemudian telah diatur di dalam UUPT 1995 dan lebih lanjut diperbaharui dengan diundangkannya UUPT 2007. Pengaturan tentang syarat untuk dapat diangkat sebagai Direksi ini utamanya adalah bertujuan untuk memastikan agar yang nantinya bertindak untuk dan mewakili kepentingan Perseroan Terbatas adalah benar mereka yang mampu dan sanggup mengemban tanggung jawab untuk mengurus PT yang bersangkutan. Sebagaimana

185M. Yahya Harahap, “Separate Entity, Limited Liability, danPiercing The Corporate Veil”, Artikel Utama pada Jurnal Hukum Bisnis Volume 26 – No. 3 – Tahun 2007, (II), hlm. 44.

186 Nike K. Rumokoy, “Pertanggungjawaban Perseroan selaku Badan Hukum dalam Kaitannya dengan Gugatan atas Perseroan (dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas sebagai Acuan Pembahasan)”, dapat diakses di

http://repo.unsrat.ac.id/48/1/2.Nike.pdf, terakhir diakses pada tanggal 27 Juni 2012.

187 Lihat Achmad Ichsan,Op. cit., hlm. 386, dikatakan, “Pasal 44 KUH Dagang menyatakan bahwa perseroan itu diurus (beheer) oleh suatu pengurus yang diangkat oleh para pesero dari sesama pesero atau orang luar dengan atau tanpa upah, dan dengan atau tanpa pengawasan komisaris.” Lebih lanjut dalamIbid., hlm. 389, dikatakan, “Undang-Undang tidak menetapkan siapa-siapa yang dapat diangkat sebagai pengurus, karena itu siapa saja dapat diangkat, sekalipun bukan seorang pemegang saham, kecuali apabila ditetapkan lain dalam anggaran dasarnya.”

diungkapkan oleh Try Widiyono, alasan utamanya adalah dikarenakan mengurus Perseroan bukan merupakan hal yang mudah.188

Namun konsep nominee untuk anggota Direksi mulai dari KUHD/WvK sampai dengan diundangkannya UUPT, baik UUPT 1995 atau yang terbaru di dalam UUPT 2007 belum diatur ataupun dikenal lebih lanjut selain daripada konsep Direksi sebagaimana lazimnya. Apabila dirujuk kepada hukum positif yang ada, yakni UUPT 2007, maka dapat diketahui bahwa tidak ada satu pasal atau ayat pun di dalam UUPT 2007 yang memberikan landasan hukum bagi keberadaan Direksi Nominee dalam suatu PT di Indonesia.

Adapun dalam praktik kemudian memang keberadaan Direksi Nominee

menjadi semakin marak adalah murni disebabkan oleh pengaruh daripada ketentuan hukum asing yang seringkali (secara langsung maupun tidak langsung) dibawa dan diterapkan oleh dan melalui para pelaku ekonomi/bisnis dari luar (baca: asing) yang berhubungan dengan pihak Indonesia. Akan tetapi, konsep apapun itu, setiap direktur memiliki tanggung jawab yang sama terhadap keberlangsungan perusahaan.189

188

Try Widiyono, (II),Op. cit., hlm. 41. 189

Financial Supervision Commission, Op. cit., hlm. 2, dikatakan, “Every director has an equal duty of responsibility to the company. A director who neglects that responsibility in the interests of, or on the orders of, a principal will be guilty of breach of duty. Directors should not allow others to unduly influence them in a way as to undermine the exercise of their powers, in good faith, in the best interests of the company. … The directors must make their own decisions, after receiving appropriate professional advice if necessary. (Setiap Direktur memiliki sebuah duty of responsibility yang sama terhadap perseroan. Seorang direktur yang gagal memenuhi pertanggung jawabannya demi kepentingan dari, atau mematuhi perintah dari, seorang prinsipal akan dinyatakan bersalah melanggar wewenangnya. Direksi tidak seharusnya mengizinkan pihak lain secara tanpa hak mempengaruhi mereka sedemikian rupa untuk mengesampingkan pelaksanaan kewenangannya, dengan itikad baik, dan demi kepentingan perseroan. … Direksi harus membuat keputusannya sendiri, setelah merujuk pada nasihat professional yang diterimanya apabila diperlukan.)”

According to the Companies and Securities Law Review Committee, the term ‘nominee director’ signifies persons who, independently of their method of appointment, are expected to act as directors in accordance with some understanding or arrangement which creates an obligation or mutual expectation of loyalty to some person or persons other than the company as a whole. This defenition seems too wide, because it covers a case where the extraneous duty of loyalty is owed to a person who has not played a part in appointing the director to office. Nonetheless, it captures the central idea that a problem will arise whenever an extraneous duty of loyalty exists.190 (Berdasarkan kepada the Companies and Securities Law Review Committee, terminologi “direktur nominee’ menunjukkan perserorangan yang, secara independen dalam tata cara pengangkatan, diharapkan akan bertindak selayaknya direktur mengacu pada beberapa pemahaman atau pengaturan yang menimbulkan sebuah kewajiban atau harapan bersama terhadap loyalitas ke beberapa orang selain daripada perusahaan secara keseluruhannya. Definisi ini kelihatannya cukup luas, karena itu meliputi sebuah kasus dimana kewajiban akan loyalitas cukup luas dibebankan untuk seseorang yang tidak terlibat di dalam penunjukan direktur untuk mengurus keseharian. Sekalipun demikian, hal tersebut telah mencakup ide utama bahwa akan timbul permasalahan ketika kewajiban akan loyalitas diberlakukan.)

Adapun yang juga perlu diperhatikan lebih lanjut, pengurus (dalam hal ini Direksi) tidak harus terikat dalam hubungan kerja layaknya pemberi kerja dengan penerima kerja, sehingga dengan sendirinya pengurus tidak identik dengan buruh atau tenaga kerja dari PT yang bersangkutan. Walaupun umum dipraktikkan bahwa mereka yang menduduki jabatan Direksi atau Dewan Komisaris PT (khususnya yang tercatat sebagai nominee) adalah mereka yang ternyata masih tercatat sebagai karyawan aktif daripada PT yang bersangkutan ataupun afiliasinya.191 Tidak dapat

190R.P. Austin,Op. cit., hlm. 2-3.

191 Lihat Mary Fulton, Op. cit., hlm. 14, dikatakan, “A director is not an employee of the company by virtue of his directorship. … If he has additional duties above and beyond normal board duties, he may be an employee. … If he is removed as a director at a company meeting this may not end the employment although his directorship has been ended.(Seorang direktur adalah bukan seorang pekerja dari sebuah perusahaan dimana ia adalah berada di jajaran direksinya. … Dalam hal yang bersangkutan memiliki tugas tambahan selain daripada fungsi direktur lazimnya, dimungkinkan dia adalah seorang pekerja. … Apabila yang bersangkutan diberhentikan sebagai direktur menurut

dikesampingkan pula bahwa masih dapat dijumpai Direksi atau Dewan Komisaris PT yang mengutamakan profesionalisme192 dalam menjalankan fungsi jabatan sebagaimana mestinya.

Sebagaimana diungkapkan oleh Stephen W. Mayson, dkk., bahwa, “The fact that a person is a director of a company does not in itself make that person an employee (what used to be called a ‘servant’) of the company. Being a director of a company is usually categorized as ‘holding an office’ rather than being an employee.”193

Hubungan diantara pengurus dengan perseroan dapat dianggap sebagai hubungan dimana pengurus selaku karyawan atau buruh apabila pengurus itu menerima gaji yang merupakan suatu hubungan kerja. Atas dasar inilah diberlakukan

pertimbangan perusahaan tidak kemudian secara serta merta mengakhiri pula hubungan kerjanya tersebut.)”

192Lihat Budi Untung,Hukum dan Etika Bisnis, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2012), hlm. 219-220, dikatakan,”… bahwa seseorang telah menerapkan profesionalisme, jika telah menunjukkan beberapa ciri-ciri, yakni:

Pertama, adanya keinginan untuk memperbaharui pengetahuan, yang berarti secara aktif mencari ilmu baru, tidak sekedar menunggu diajari atau mendapattraining perusahaan (passion for knowledge);

Kedua, memiliki sense of business dimana selalu dapat melihat setiap kegiatan yang dilakukan dalam perusahaan dalam konteksbusiness(passion for business);

Ketiga, adanya kemauan untuk melayani, dimana orang tersebut tidak ragu untuk membantu dan melayani siapapun dalam organisasi (passion for service); dan

Keempat, memiliki kemampuan untuk bekerja sama dengan siapapun dalam lingkup bisnisnya secara efektif (passion for people).”

193Stephen W. Mayson, Derek French & Christopher L. Ryan,Op. cit., hlm. 474. Bandingkan dengan Rachmadi Usman, Op. cit., hlm. 177, dikatakan, “… Menurut Civil Law Sytem, seorang Direksi hanya orang upahan saja yang didasarkan pada pemberian kuasa maupun hubungan ketenagakerjaan. … seorang Direksi bertindak mengikuti atau menuruti aturan dan ketentuan yang ditetapkan dalam anggaran dasar karena dirinya hanya bertindak sebagai penerima kuasa dari perseroan. Dengan demikian, antara Direksi dengan perseroan merupakan individu yang terpisah, dimana perseroan itu seolah-olah bukan miliknya.”

ketentuan dalam Pasal 1601 KUH Perdata dan seterusnya serta undang-undang dan peraturan perburuhan yang berlaku.194

Dalam kedudukannya sebagai karyawan atau buruh, maka pengurus dalam hal ini dapat diberhentikan dan dapat dibebaskan dari tugasnya. Hak untuk memberhentikan ada pada para pemegang saham dalam RUPS, sedangkan hak untuk membebaskan dari tugas pengurusan ada pada komisaris. Dengan ini, maka pemberhentian pengurus apabila dilakukan sebelum RUPS harus didahului dengan suatu schorsing yang dilakukan oleh para komisaris baru kemudian dilanjutkan dengan pemberhentiannya. … Selama schorsing ini, hubungan kerja dianggap belum terputus, sehingga pengurus masih berhak menerima gajinya.195

Menurut UUPT, fungsi utama dari Direksi adalah untuk menjalankan pengurusan Perseroan sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat dalam batasan-batasan yang telah ditentukan oleh UUPT maupun anggaran dasar Perseroan. Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 94 ayat (1) UUPT, bahwa, “Anggota Direksi diangkat oleh RUPS.” Kemudian dalam Pasal 105 ayat (1) UUPT, disebutkan, “Anggota Direksi dapat diberhentikan sewaktu-waktu berdasarkan keputusan RUPS dengan menyebutkan alasannya.” Dengan demikian, sepanjang pengangkatan dan/atau pemberhentian terhadap anggota Direksi dilaksanakan melalui forum resmi, yakni RUPS, maka kewenangan yang ada pada Direksi tetap dapat berjalan. Dalam hal ini, anggota Direksi harus melaksanakan pengurusan atas Perseroan dengan baik,

194 Achmad Ichsan, Op. cit., hlm. 388. Saat ini pengaturan perundang-undangan yang mengatur tentang perburuhan adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, sedangkan untuk produk turunannya lazim mengacu pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, dan peraturan teknis terkait lainnya.

untuk kemudian akan dapat mempertanggungjawabkannya secara sah kepada dan hanya melalui forum RUPS.196

E. Eksistensi/Keberadaan Direksi (Nominee) menurut Anggaran Dasar

Dokumen terkait