• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspresi Verbal Peribahasa Jawa yang Terkait Nilai-Nilai Kebangsaan dalam Berbangsa dan Bernegara Indonesia di Kota Surakarta

Wakit Abdullah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret

B. Hasil dan Pembahasan

1. Ekspresi Verbal Peribahasa Jawa yang Terkait Nilai-Nilai Kebangsaan dalam Berbangsa dan Bernegara Indonesia di Kota Surakarta

a. Peribahasa Jawa yang Mencerminkan Perilaku (Watak) yang Memberikan Spirit Nasionalisme

Misalnya (1) Ekspresi verbal peribahasa Jawa lobok atine ’longgar hatinya’ secara kultural mencerminkan kearifan lokal Jawa. Oleh karena ekspresi lobok bermakna leksikal ’longgar’ yang secara ilustratif dapat mencerminkan konsep suatu ruang, arena, sifat (legawa ‘ikhlas’) tempat atau lokasi. Adapun terkait kearifan hidup masyarakat Jawa di Kota Surakarta ekspresi verbal

lobok ’longgar’ sering dimaknai secara kultural mengilustrasikan suasana

rasa atau ati ’hati’. Sehingga ekspresi verbal lobok ’longgar’ yang berstruktur secara morfologis dengan ekspresi verbal atine ’hatinya’. Struktur tersebut secara kultural bermakna mencerminkan sifat kearifan hidup masyarakat Jawa ketika menyikapi keadaan, terutama dalam rangka menyatukan semangat hidup berkebangsaan Indonesia dalam rangka nasionalisme. Sebaliknya apabila satu dengan yang lain yang eksistensi keindonesiaannya bersifat pluralistik, tetapi tidak bisa lobok atine ’longgar hatinya’, maka tidak mustahil yang muncul yaitu watak dan sifat egoisme (mbaguguk makutha

waton), sehingga akan menjadi lubang kehancuran dari tujuan berbangsa dan

ber-Indonesia. (2) Ekspresi verbal peribahasa Jawa manis eseme ’senyumnya menggiurkan’ secara kultural merupakan potensi karakter yang dapat memberikan modal berkomunikasi positif. Maksudnya ekspresi senyum dapat diidentifikasi menunjukkan potensi sikap kompromistis, damai, rukun dan pertanda awal yang baik. Sebaliknya di sisi lain dapat dipahami di balik senyum yang menggiurkan itu ada sesuatu yang bisa diidentifikasi yang lain. Terbawa oleh ekspresi manis ’manis’ yang mengandung positif, maka hal itu

menjadi penting untuk membentuk kondisi saling mengenal, saling menghargai, saling memahami, saling mengasihi dan saling positif yang lain sebagai sesama anak bangsa. (3) Ekspresi verbal peribahasa Jawa momot atine ’sabar/penyabar’ secara kultural mencerminkan kearifan hidup, terutama dalam rangka berbangsa Indonesia. Dalam konteks itu momot ’muat/sabar/ penyabar’ akan memberikan kontribusi mentalistik bangsa yang dapat memcerminkan suasana saling memahami, ngemong, dan mengedepankan kebersamaan. (4) Ekspresi verbal peribahasa Jawa dawa ususe ’sabar sekali’ secara kultural dapat memberikan kontribusi yang bersifat mentalistik untuk membangun semangat kebangsaan Indonesia. Kondisi bangsa Indonesia yang bhinneka, mengedepankan sifat sabar dapat menjadi modal spiritual kebersamaan. (5) Ekspresi verbal peribahasa Jawa adus kringet ’mandi keringat’ secara kultural mengilustrasikan semangat juang, kerja, sungguh-sungguh, pantang menyerah, tidak mau berpangku tangan, gigih dalam mencapai cita-cita dan mempertahankannya, serta tidak takut menderita dan menghadapi cobaan. Oleh karena itu peribahasa Jawa tersebut dalam hubungannya dengan semangat kebangsaan menjadi modal penting. Dengan semangat itu bangsa Indonesia akan segera mencapai cita-citanya. (6) Ekspresi verbal peribahasa Jawa wani mati ’berani mati’ secara historis dan nasionalistis menggambarkan semangat para pahlawan Indonesia. Mereka berasal dari berbagai kalangan bangsa Indonesia. Oleh karena itu sangat diharapkan para generai penerus dapat mewarisi jiwa berani mati dalam rangka membela bangsa dan negara Indonesia. (7) Ekspresi verbal peribahasa Jawa wedi wirang ’takut malu’ dalam kerangka nasionalisme dan semangat kebangsaan Indonesia telah menjadi kekuatan mental untuk tidak berbuat ceroboh dan gegabah. Hal itu nampak dalam karakter pendiri dan pahlawan bangsa Indonesia, terutama watak para pembela bangsa utama yang ditunjukkan lebih baik mati dari pada menyerah kepada musuh. Ekspresi heroisme itu terangkum dalam “Merdeka ataoe mati”. (8) Ekspresi verbal peribahasa Jawa ngangsu kawruh ’menimba pengetahuan’ merupakan bagian penting ekspresi verbal peribahasa Jawa yang mengilustrasikan betapa kesadaran bangsa Indonesia menimba pengetahuan menjadi salah satu kekuatan untuk menegakkan semangat nasionalisme Indonesia. Sosok Soekarno, Hatta, Syahrir, Yamin, Agus Salim dan yang lain menjadi contoh aktualisasi nilai-nilai yang terangkum dalam peribahasa jawa tersebut. Betapa mereka menjadi cerdas, berani dan mumpuni karena mencari ilmu atau pengetahuan. (9) Ekspresi verbal peribahasa Jawa ngendhaleni hawa

nepsu ’mengekang napsu’ merupakan bagian dari ekspresi verbal yang

merangkum nilai-nilai kekuatan mental spiritual bangsa Indonesia. Apabila dalam perjuangan tidak mampu mengendalikan hawa nafsu, maka yang muncul bukan semangat kebangsaan, melainkan semangat pengekangan, perampasan, penindasan, pembiaran, pemasabodohan, dan watak buruk yang lain. Watak buruk itu jika dibiarkan pada ujungnya adalah kehancuran dan

kebinasaan. (10) Ekspresi verbal peribahasa Jawa ana dina ana upa secara leksikal bermakna ‘ada hari ada nasi’, sedangkan secara kultural bisa bermakna untuk membangun motivasi kehidupan agar senantiasa bersemangat dan optimis. (11) Ekspresi verbal peribahasa Jawa rukun agawe santosa, crah agawe

bubrah secara leksikal bermakna ‘rukun menjadi kuat, bertengkar menjadi

rusak’, sedangkan secara kultural bermakna rukun membuat kuat dan bercerai berai menyebabkan lemah bahkan hancur. (12) Ekspresi verbal peribahasa Jawa nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake bermakna leksikal ‘menyerang tanpa bala tentara, menang tanpa membuat malu (lawan)’, sedangkan secara kultural bermakna setiap orang harus belajar dan memiliki cara dan strategi berdiplomasi untuk memenangkan suatu persoalan dengan tetap mengangkat dan menghargai lawan, sehingga lawan karena kesadaran sendiri akan mengikuti alur diplomasi yang dikembangkan. (13) Ekspresi verbal peribahasa Jawa tiji tibeh akronim dari mati siji mati kabeh, mukti siji

mukti kabeh bermakna leksikal ‘mati satu mati semua, mukti satu mukti

semua’, sedangkan secara kultural bermakna kesatuan dalam semangat dan tekad untuk berjuang demi mewujudkan kemerdekaan, jika menang akan mukti bersama, tetapi jika kalah mati juga dihadapi bersama-sama. (14) Ekspresi verbal peribahasa Jawa rawe-rawe rantas malang-malang putung bermakna leksikal ‘ujian hidup dihadapi, tantangan hidup tidak boleh dihindari’ dan bermakna kultural dalam memperjuangkan cita-cita ujian dan tantangan pasti datang, maka harus dihadapi dengan tekad kuat dan sabar, serta pasrah kepada keberkahan Allah swt. dan jangan menghindari apabila ingin sampai tujuan (lulus doktor, hidup merdeka, hidup cukup, keluarga rukun, tetap di jalan iman dan taqwa, khusnul khotimah, dan sebagainya. (15) Ekspresi verbal peribahasa Jawa nglurug tanpa bala ’menundukkan dengan keluhuran budi, berjuang tanpa pamrih’ dalam rangka berani menghadapi semua rintangan kehidupan. Secara kultural menunjuk pada watak bangsa Indonesia sebagai orang Timur, khususnya para pahlawan bangsa yang tidak berharap apa- apa, kecuali kejayaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Maka mereka relakan semuanya untuk menempuh cita-cita itu. (16) Ekspresi verbal peribahasa Jawa sugih tanpa bandha ’kaya tanpa harta benda/ mengutamakan persaudaraan dengan siapa saja’. Makna tersebut secara kultural dapat diinterpretasikan bahwa untuk memperkuat persatuan bangsa Indonesia semangat mengutamakan persaudaran menjadi persoalan penting dan harus dipedomani siapapun dan sampai kapanpun oleh bangsa Indonesia. Apabila sebaliknya maka akan terjadi persoalan kebangsaan. (17) Ekspresi verbal peribahasa Jawa digdaya tanpa aji ’sakti tanpa mantra, mukjizat’. Secara kultural dapat diinterpretasikan bahwa perilaku baik akan membawa simpati dari siapapun dan di manapun. Untuk itu konsep tersebut menjadi penting dipahami dan dipedomani oleh anak bangsa yang menginginkan Indonesia menjadi negara bersatu dan kuat. (18) Ekspresi verbal peribahasa Jawa menang

tanpa ngasorake ’menang dengan cara yang baik/ menghargai, cara yang

damai’. Ekspresi tersebut secara kultural dapat diinterpretasikan bahwa semua persoalan secara alami dapat diselesaikan dengan cara-cara yang baik (musyawarah, saling mendengarkan, bicara dari hati ke hati, tidak merendahkan satu dengan yang lain, terbuka tanpa ada yang tertindas dan dirugikan, dan sebagainya). Oleh karena itu satu dengan yang lain tanpa ada yang merasa dipermalukan, dikalahkan, dihinakan, dan persepsi negatif yang lain. (19) Ekspresi verbal peribahasa Jawa aja kengguh mring krincinging

dhinar ’jangan tergiur terhadap gemerlapannya uang/ harta’. Secara kultural

ekspresi verbal tersebut memberikan pesan moral agar seluruh bangsa Indonesia menyikapi godaan yang berupa uang/suap, sehingga menyebabkan berbagai kerugian negara dan bangsa. (20) Ekspresi verbal peribahasa Jawa aja

kengguh mring klubuking mina ’jangan tergiur terhadap berkeloknya ikan,

jangan mengikuti para penjilat, jangan menuruti bisikan orang jahat’. Prinsip kearifan hidup yang terangkum dalam peribahasa Jawa tersebut mengilustrasikan bahwa para pemimpin bangsa Indonesia, bahkan seluruh rakyat Indonesia agar tidak membudayakan budaya suap yang telah membuat negara dan bangsa Indonesia terjebak pada perilaku jahat berupa suap dan korupsi. (21) Ekspresi verbal peribahasa Jawa aja kengguh mring klimising

wentis kuning ’jangan tergiur terhadap mulusnya betis (wanita)’. Ekspresi

tersebut membawa pesan moral bahwa setiap anak bangsa agar tidak terjebak pada perilaku jahat berupa perselingkuhan, tergoda wanita murahan. Akibatnya karir, kewibawaan, moral, kedudukan dan sejenisnya menjadi hancur dan hina. (22) Ekspresi verbal peribahasa Jawa jer basuki mawa beya ’mencapai kesuksesan perlu adanya biaya’. Kearifan hidup yang terangkum dalam ekspresi verbal tersebut memberikan spirit agar semua anak bangsa Indonesia rela berkorban demi kejayaan bangsa Indonesia. (23) Ekspresi verbal peribahasa Jawa yen dibeciki liyan tulisen jroning watu ’jika diberi kebaikan tulislah di batu’. Ekspresi verbal tersebut memberikan pesan kepada semua bangsa Indonesia agar tidak melupakan budi baik orang lain, sehingga persatuan bangsa Indonesia tetap terjaga baik. Harapan itu diibaratkan agar kebaikan itu ditulis dibatu agar abadi dan tidak hilang begitu saja. (24) Ekspresi verbal peribahasa Jawa yen mbeciki liyan tulisen jroning lebu ’bila menaruh kebaikan pada orang lain, janganlah selalu diingat’. Secara kultural mengandung pesan dan dipahami agar bangsa Indonesia memiliki jiwa ikhlas dan rela berkorban untuk negara. (25) Ekspresi verbal peribahasa Jawa sapa

nandur ngundhuh wohing pakarti ’siapa menanam memetik hasilnya’. Ekspresi

verbal tersebut mengandung pesan bahwa bangsa Indonesia agar hati-hati untuk bertindak, karena setiap perbuatan akan kembali pada diri sendiri. (26) Ekspresi verbal peribahasa Jawa ngelmu pari saya isi saya tumungkul ’ilmu padi semakin isi semakin menunduk’. Pesan yang terkandung dalam ekspresi verbal tersebut agar bangsa Indonesia memiliki watak rendah hati tetapi

mantap dan mendalam isinya. Bukan sebaliknya sombong dan menabur permasalahan di tengah kehidupan dunia.

b. Peribahasa Jawa yang Mencerminkan Perilaku (Watak) Menjadi Penghalang Nasionalisme

Misalnya (1) Ekspresi verbal peribahasa Jawa gedhe endhase ’sombong’ merupakan ekspresi verbal yang memperburuk citra kebangsan Indonesia yang dikenal dunia internasional ramah-tamah dan memegang budaya Timur. (2) Ekspresi verbal peribahasa Jawa peteng atine ’susah batinnya, gelap mata’ secara kultural mengandung pesan bahwa bangsa Indonesia agar bisa menghindari karakter yang diliputi oleh suasana tersebut. Dengan harapan tetap bisa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. (3) Ekspresi verbal peribahasa Jawa

pingget atine ’kecewa’. Ekspresi verbal tersebut secara kultural mengandung

pesan nasionalisme agar bangsa Indonesia tidak gampang kecewa, karena apabila bersikap demikian maka ujungnya adalah menuju pada situasi yang membawa dendam, bahkan dendam kesumat. (4) Ekspresi verbal peribahasa Jawa cilik atine ’penakut/minder’ mengandung pesan karakter yang kurang bagus bagi pelaksanaan pembangunan. Apalagi ketika zaman perjuangan melawan penjajah dulu, karena mencerminkan watak penakut, gampang menyerah, tidak tahan uji, tidak berani mati, dan bahkan bisa membawa pada watak pengecut dan gampang berkhianat di tengah-tengah situasi genting dan sulit. (5) Ekspresi verbal peribahasa Jawa mata dhuwiten ’sangat perhitungan’ merupakan ekspresi yang mengilustrasikan karakter atau watak serba mengukur dengan uang. Bahkan dalam batas inmateri, spiritual, atau apapun berusaha untuk diuangkan demi keuntungan dan kepentingan pribadi. Karakter yang terangkum dalam ekspresi tersebut sangat tidak mendukung watak dan jiwa nasionalisme Indonesia. Aktualisasinya tercermin dalam watak para koruptor. (6) Ekspresi verbal peribahasa Jawa kethul atine ’bodoh’ dalam rangka nasionalisme menjadi bagian dari sifat yang kontra produktif bagi bangsa Indonesia. Oleh karena karakter itu secara empiris kurang memberi sumbangan maksimal terhadap pembangunan intelektual, bahkan menjadi hambatan kemajuan bangsa dan nasionalisme Indonesia. Dalam hal nasionalisme sifat bodoh dan kurang memahami nasionalisme gampang dijebak dan diperdayai oleh bangsa asing atau kaki tangan asing di Indonesia. (7) Ekspresi verbal peribahasa Jawa mbukak wadi ’membuka rahasia’. Dalam konteks intelejen Indonesia karakter yang terangkum dalam ekspresi tersebut merupakan ilustrasi sifat yang kontra produktif, karena membahayakan eksistensi bagi rahasia negara dan bangsa Indonesia. (8) Ekspresi verbal peribahasa Jawa rai gedheg ’muka tembok, tidak punya malu’. Ekspresi verbal tersebut mengilustrasikan watak yang kurang membawa kebaikan bangsa, karena watak rai gedheg menunjukkan suatu sifat orang yang tidak punya

malu, sehingga ketika berbuat salah, merugikan rakyat (koruptor, penjahat) tidak merasa berdosa kepda Tuhan dan tidak merasa bersalah kepada sesama. (9) Ekspresi verbal peribahasa Jawa adiguna ’kepandaian’ mengandung pesan kritikan untuk orang yang sok, yaitu sok tahu, sok pinter, sok paham, dan sok bisa. (10) Ekspresi verbal peribahasa Jawa ora katon dhadhane ’tidak kelihatan batang hidungnya’. Pesan yang terkandung dalam ekspresi verbal tersebut dalam konteks nasionalisme mengilustrasikan watak yang tidak jantan, tidak berani, penakut menghadapi kenyataan yang berbahaya. Bahkan berubah menjadi pengecut dan menjadi pengkhianat mana kala tertekan atau terpojok ketika memegang amanah (pemimpin, komamdan, tugas khusus, mata-mata untuk intelejen negara, dan sebagainya). (11) Ekspresi verbal peribahasa Jawa adigang, adigung, adiguna ’membanggakan kekuasaan, keluhuran dan kepandaian’. Mengandung pesan yang mengilustrasikan karakter yang kurang baik karena menyombongkan kekuatannya/ kekuasaannya, besarnya/derajat tinggi, dan kepintarannya (menjadi licik). Dalam rangka nasionalisme bangsa Indonesia karakter tersebut kurang produktif. (12) Ekspresi verbal peribahasa Jawa asu gedhe menang kerahe ’orang besar selalu menang’. Secara kultural kebangsaan Indonesia karakter itu kurang produktif, karena ekspresi tersebut mengilustrasikan karakter yang sewenang-wenang, otoriter, sombong, mengambil keuntungan kelompok dan dirinya. Ekspresi asu ‘anjing’ bentuk sarkasme manusia yang berwatak jahat dan gedhe ‘besar’ menunjuk pada orang yang berpangkat.

2. Nilai-nilai kebangsaan yang Terangkum dalam Peribahasa Jawa untuk

Dokumen terkait