• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemurnian Katepsin

4.1.1 Ekstraksi kasar

Pemurnian katepsin diawali dengan ektraksi kasar dari daging ikan bandeng yang sudah memasuki tahap post-rigor. Pemilihan fase ini mengacu pada penelitian terdahulu yang dilakukan Fentiana (2009) yang menyatakan bahwa pada tahap post-

rigor, aktivitas katepsin berada pada aktivitas tertinggi dibandingkan pada fase-fase sebelumnya sehingga akan meningkatkan rendemen katepsin yang dihasilkan. Pada tahap ekstraksi, pemilihan buffer Tris-HCl pH 7,4 dinilai sudah sesuai. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Whitaker (1994) yang menyatakan bahwa ekstraksi enzim sebaiknya menggunakan buffer untuk mengontrol pH dekat dengan 7,5 dan kekuatan ion 0,1-0,5. Buffer diperlukan untuk melindungi enzim dari sejumlah besar asam yang dilepaskan dari vakuola pada saat pecahnya sel. Ekstrak kasar yang dihasilkan memiliki aktivitas spesifik sebesar 0,8598 U/mg dengan kadar protein sebesar 0,1163 mg/mL. Sentrifugasi yang dilakukan pada tahap ekstraksi kasar ialah sentrifugasi metode diferensiasi. Penelitian Toyohara et al. (1981) menyebutkan bahwa ekstrak kasar katepsin A yang berasal dari carp muscle memiliki aktivitas spesifik sebesar 0,279 U/mg.

Sentrifugasi metode diferensiasi diawali dengan sentrifugasi tingkat pertama, dimana hasil pada tingkat pertama ini pelet yang dihasilkan dibuang, kemudian pada sentrifugasi tingkat kedua supernatan kembali disentrifugasi pada kecepatan yang tinggi untuk memisahkan partikel yang berukuran sedang. Pemisahan dapat dicapai melalui sentrifugasi metode diferensiasi dapat ditingkatkan dengan mengulang resuspensi (dua atau tiga kali) pada sentrifugasi tahap ketiga, pelet yang didapatkan dihomogenisasi dengan media yang sesuai dan disentrifugasi kembali. Selanjutnya akan didapatkan supernatan dengan partikel yang kecil (Rana 2006).

Penelitian yang dilakukan Dinu et al. (2002) menyebutkan bahwa pada sentrifugasi tingkat pertama dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 600xg selama 10 menit. Sentrifugasi tingkat kedua dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 10000xg selama 10 menit. Sentrifugasi tahap ketiga dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 4000xg selama 10 menit.

Prinsip dari sentrifugasi itu sendiri ialah berdasarkan fenomena bahwa partikel yang tersuspensi di dalam suatu wadah akan mengendap ke dasar wadah karena pengaruh gravitasi. Laju pengendapan tersebut dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan pengaruh gravitasional terhadap partikel. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan tabung berisi suspensi partikel ke dalam rotor suatu mesin sentrifugasi kemudian diputar dengan kecepatan tinggi (Yuwono 2008).

4.1.2 Presipitasi

Ekstrak kasar yang diperoleh selanjutnya dipresipitasi menggunakan ammonium sulfat. Metpde presipitasi dibagi menjadi 2 grup utama, yakni (1) metode kelarutan protein dikurangi dan presipitasi dilakukan dengan mengubah beberapa sifat fisika-kimia solvent seperti pH, konstanta dielektrik, kekuatan ionik, dan tersedianya air. (2) Metode presipitasi protein yang disebabkan oleh interaksi diantara protein dan agen presipitasi (Sivasankar 2005). Pada penelitian ini metode yang dipakai untuk presipitasi ialah metode yang kedua.

Tiap presipitasi protein memiliki karakteristik pada konsentrasi reagen yang berbeda, pada ammonium sulfat persen presipitasi berselang antara 20%-100%, ini dianggap cukup untuk presipitasi (Bisswanger 2004). Presipitasi dapat dilakukan dengan penambahan garam seperti ammonium sulfat, polimer seperti polyethylene glycol (PEG), atau larutan organik seperti aseton atau alkohol (Scopes 1994 diacu dalam Kumar et al. 2003). Pada penelitian ini ammonium sulfat dipilih sebagai agen presipitasi, ammonium sulfat dipilih karena menurut Javois (1999) presipitasi dengan ammonium sulfat dianggap cepat dan murah. Aktivitas spesifik dan kadar protein setelah mengalami pengendapan dengan ammonium sulfat disajikan pada Gambar 8 dan Gambar 9.

Gambar 8. Aktivitas spesifik katepsin setelah pengendapan dengan ammonium sulfat Aktivitas spesifik (pelet) Aktivitas spesifik (supernatan)

Gambar 9. Kadar protein terlarut setelah pengendapan dengan ammonium sulfat Kadar protein (pelet) Kadar protein (supernatan)

Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa terdapat peningkatan aktivitas spesifik pelet pada beberapa tingkat konsentrasi ammonium sulfat dan mencapai aktivitas optimum pada pelet dengan konsentrasi ammonium sulfat 70%, sementara aktivitas spesifik pada supernatan menunjukkan penurunan aktivitas spesifik. Selama proses presipitasi terjadi penurunan kadar protein dalam supernatan, dan sebaliknya terjadinya peningkatan konsentrasi dalam pelet. Kondisi ektrsaksi yang optimum ditunjukkan oleh aktivitas yang paling tinggi dalam endapan (pelet). Enzim yang dihasilkan dari presipitasi 70% memiliki aktivitas spesifik sebesar 4,4643 U/mg dengan kadar protein sebesar 0,2016 mg/mL. Penelitian Toyohara et al. (1981)

menyebutkan bahwa katepsin A yang berasal dari carp muscle pada hasil pengendapan sulfat didapatkan aktivitas spesifik sebesar 3,43 U/mg.

Kelarutan protein (pada pH dan temperatur tertentu) akan meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi garam (salting in). Peningkatan kelarutan protein akan meningkatkan kekuatan ion larutan. Penambahan garam dengan konsentrasi tertentu kelarutan protein menurun (salting out). Molekul air yang berikatan dengan ion-ion garam semakin banyak yang menyebabkan penarikan selubung air yang mengelilingi permukaan protein sehingga mengakibatkan protein saling berinteraksi, beragregasi, dan kemudian mengendap (Harris 1989).

4.1.3 Dialisis

Pellet yang diperoleh dari pengendapan dengan garam ammonium sulfat (NH4)2SO4, kemudian didialisis menggunakan membran selofan berukuran 12 kDa. Kegunaan utama dialisis ialah untuk pemekatan, pembuangan garam, dan pemurnian bahan-bahan seperti protein, hormon, dan enzim. Zat tertahan ialah berisi protein dengan ukuran molekul yang lebih besar dari ukuran pori dari Molecular Weight Cut Off (MWCO) (Sanagi 2001). Prinsip dari dialisis ialah aplikasi preparasi enzim ke dalam kantong dialisis yang terbuat dari membran semi-permeabel yang memungkinkan molekul berukuran kecil untuk bermigrasi (Grogan 2009). Aktivitas spesifik dan kadar protein dari sampel disajikan pada Gambar 10 dan Gambar 11.

       

Tabel 5. Peningkatan aktivitas katepsin pada berbagai tahap pemurnian

Tahapan Volume (ml) Aktivitas

(U/ml) Kadar protein (mg/ml) Aktivitas spesifik (U/mg) Total protein (mg) Total aktivitas (U) Yield (%) Kelipatan pemurnian Ekstrak kasar 500 0,1 0,1163 0,8598 58,15 50 100 1 Presipitasi 10 0,9 0,2016 4,4643 2,02 9 0,18 5,20 Dialisis 6 2 0,1385 14,4404 0,831 12 1,33 16,80

Gambar 11 Kadar protein zat terlarut setelah didialisis

Gambar 10 menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas spesifik pada pellet yang didialisis. Peningkatan terjadi sampai titik optimum tertentu. Pada penelitian ini titik optimum untuk proses dialisis ialah 6 jam. Enzim yang dihasilkan dari tahap dialisis memiliki aktivitas spesifik sebesar 14,4404 U/mL dengan kadar protein sebesar 0,1385 mg/mL. Gambar 11 menunjukkan bahwa kadar protein selama dialisis mengalami penurunan selama dialisis. Hal ini disebabkan karena protein- protein yang berukuran lebih kecil dari 12 kDa sudah terbuang selama dialisis.

Dokumen terkait