• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

E. Ekstraksi

3. Mengetahui konsentrasi hambat minimum yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus dari kedua metode ekstraksi.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang baik harus bisa memberikan manfaat bagi penulis maupun untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Manfaat dari penelitian ini yakni :

1. Untuk peneliti:

Menambah pengetahuan tentang potensi antibakteri dari daun kenikir serta mengetahui cara ekstraksi tanaman untuk pengujian antibakteri.

2. Untuk masyarakat:

Sebagai informasi dan bukti yang ilmiah tentang potensi daun kenikir (C.

caudatus) sebagai antibakteri.

3. Untuk pendidikan:

Hasil penelitian bisa dijadikan sebagai salah satu sumber pembelajaran untuk melengkapi pembelajaran di SMA pada materi Archaebacteria dan Eubacteria.

A. Tana 1. Klas K sebagai b Gambar 2 Sumber : 2. Mor K hingga s bercaban empat de man Kenik sifikasi Tan Klasifikasi ta berikut: 2.1 Tanama : Dokument rfologi dan F Kenikir (C. atu tahun.K ng banyak. engan alur m TIN kir naman Kenik anaman ken an Kenikir ( tasi pribadi Fisiologi K caudatus)m Kenikir mem Tinggi tan membujur d BAB I NJAUAN P kir nikir dalam Kingd Divisi Subdiv Classi Ordo Famili Genus Spesie (Cosmos cau enikir merupakan t mpunyai bat aman ini m dan berambu II PUSTAKA ITIS Catalo dom : P io :M visio : M is :A : A ia : A s : C es :C udatus Kun tanaman he tang yang k mencapai 1-ut. ogue of Life Plantae Magnoliophy Magnoliopsi Asteranea Asterales Asteraceae Cosmos Cosmos caud nth.) erba yang m kokoh, kuat - 2,5 m. Ba e (2016) ada yta ida datus Kunth mempunyai t, tegak dan atangnya be alah h. umur n juga ersegi

Posisi daun berhadapan, mempunyai tangkai yang panjang berbentuk seperti talang. Helaian daun yang rendah menyirip rangkap 3-4 atau berbagi menyirip. Panjang dan lebarnya mencapai 15-25 cm. Daun bagian atas berturut-turut bertangkai makin pendek, lebih kecil dan kurang berbagi. Daun pembalut yang terluar berwarna hijau kemudian berujung melengkung kembali. Daun kenikir menimbulkan bau aromatis bila diremas.

Dasar bunga majemuk mempunyai sisik seperti jerami. Bunga bertepi 8, pinggiran memanjang hingga bulat telur terbalik dan ujungnya bergigi 3. Bunga berwarna merah muda. Bunga kenikir memiliki banyak cakram, berkelamin 2, tinggi mahkotanya 1 cm, bertaju 5, berwarna pucat dengan bagian pangkal berwarna kuning. Tabung kepala sari berwarna cokelat kehitaman. Jumlah cabang tangkai putik 2, runcing dan bagian luar berambut panjang. Buah keras berbentuk spul sempit beralur berwarna coklat kehitaman. Mempunyai bagian yang berparuh yang panjangnya sekitar 1-1,5 cm ( Steenis, dkk.,2008).

3. Habitat

Kenikir berasal dari daerah Amerika tropis dan kemudian menyebar ke daerah tropis. Kenikir biasa ditemukan di pembatas sawah, tepi ladang dan juga sebagai pagar. Kenikir kadang juga tumbuh liar di semak belukar.

Kenikir tahan terhadap cuaca yang panas. Tanaman kenikir menyukai tempat tumbuh yang langsung terkena sinar matahari dengan tanah berpasir atau berbatu, berlempung, liat berpasir atau berlempung dengan kelembaban sedang atau lebih (Diperta Jabar, 2010).

4. Senyawa dan Manfaat

Kandungan kimia yang ada dalam daun kenikir yakni saponin, flavonoid, polifenol dan minyak atsiri. Akarnya mengandung hidroksieugenol dan koniferil alkohol (CCRC Farmasi UGM, 2014). Daun kenikir memiliki potensi sebagai sayuran berkhasiat obat karenamemiliki kemampuan menetralisasikan radikal bebas (Huda,et al., 2009). Daun kenikir sering dikonsumsi masyarakat sebagai sayuran. Secara tradisional daun ini juga digunakan untuk obat penambah nafsu makan, lemah jantung, penguat tulang dan pengusir serangga.

Pada penelitian Chotiah (2015) ekstrak etanol daun kenikir (C. caudatus) memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Streptococcus mutans dan Staphylococcus epidermis. Penelitian Dwiyanti, dkk. (2014),ekstrak daun Kenikir berpotensi sebagai antibakteri terhadap bakteri Bacillus cereus. Penelitian Safita, dkk. (2015) juga menunjukkan hasil bahwa daun kenikir memiliki aktivitas antibakteri terhadap bakteri Staphylococcus aureus. Hal ini dikarenakan ekstrak dari daun kenikir memiliki beberapa kandungan kimia diantaranya yakni flavonoid, tanin, alkaloid, kuinon dan polifenol.

B. Bakteri

Bakteri merupakan organisme uniseluler yang berarti satu sel bakteri merupakan individu mandiri (Harti, 2015). Bakteri dikelompokkan menjadi beberapa golongan mulai dari ukuran, perbedaan suhu pertumbuhan, pewarnaan Gram, perbedaan pH, dan kebutuhan oksigen. Setiap bakteri mempunyai ukuran yang berbeda. Ukuran bakteri dinyatakan dalam satuan mikron.

Menurut Irianto (2006) bentuk bakteri dibedakan menjadi 3 macam :

a. Bulat (Kokus)

Merupakan bakteri dengan bentuk bulat. Bakteri dengan bentuk bulat masih bisa dibedakan berdasarkan jumlah bulatan yakni:

-Monokokus, yaitu bakteri berbentuk bulat tunggal.

-Diplokokus, bakteri berbentuk bulat dan bergandengan dua-dua.

-Sarkina, bakteri berbentuk bulat berkelompok empat-empat, hingga

menyerupai kubus.

-Streptokokus, bakteri berbentuk bulat berkelompok membentuk rantai. - Stafilokokus, bakteri berbentuk bulat yang bergerombol seperti buah

anggur. b. Batang (Basil)

Bakteri dengan bentuk batang dapat juga dibedakan berdasar jumlah batang. Bentuk basil dapat dibedakan atas :

-Basil tunggal, yakni bakteri yang hanya berbentuk satu batang tunggal. -Diplobasil, yakni bakteri berbentuk batang yang bergandengan dua-dua.

-Streptobasil, bakteri bentuk batang yang bergandengan memanjang

membentuk rantai. c. Spiral

Bakteri dengan bentuk spiral atau koma dibedakan menjadi tiga macam yakni :

-Spiral, yakni bakteri dengan bentuk seperti spiral dan sel tubuh umumnya kaku.

-Vibrio, merupakan bakteri dengan bentuk koma atau spiral tak sempurna. -Spirochaeta, yakni golongan bakteri berbentuk spiral dengan sifat yang

lentur. Pada saat bergerak tubuhnya dapat memanjang dan mengerut.

Bakteri juga dibedakan menjadi dua sesuai dengan pewarnaan gram yakni, bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Harti (2015) menyebutkan bahwa pewarnaan gram digunakan untuk membedakan bakteri yakni dengan melihat hasil akhir dari pewarnaan. Pewarnaan gram pertama kali ditemukan oleh Christian Gram tahun 1884.

Teknik dari pewarnaan ini menurut Alexander et.al.(2003), pertama-tama bakteri diletakkan pada gelas benda kemudian difiksasi menggunakan aquades, setelah itu ditetesi dengan kristal violet dan didiamkan beberapa saat. Kedua, gelas benda dibilas dengan air mengalir setelah itu ditetesi menggunakan larutan iodium dan didiamkan beberapa saat. Sampai tingkat pengecatan ini maka semua bakteri akan terwarna ungu. Proses selanjutanya, preparat didekolorisasi menggunakan alkohol, setelah dicuci dengan air maka preparat diwarna kontras yakni safranin.

Pada akhir pengecatan akan terlihat bakteri gram positif yang berwarna ungu sedangkan bakteri gram negatif berwarna merah. Hal ini terjadi karena bakteri gram positif mampu menahan zat warna ungu (kristal violet) sehingga zat warna yang lain (safranin) tidak terlalu berpengaruh. Bakteri gram negatif pada akhir pewarnaan akan terlihat berwarna merah karena bakteri ini tidak mampu menahan zat warna ungu (kristal violet) sehingga menyerap warna kontras safranin yang berwarna merah (Irianto, 2006).

Perbedaan bakteri gram negatif dan bakteri gram positif juga bisa dilihat pada Tabel 2.1 menurut Harti (2015) :

Tabel 2.1 Perbedaan Bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif

Keterangan Gram positif Gram negatif

Dinding sel Sederhana Lebih kompleks

Struktur dinding sel 1 lapisan pepdoglikan 2 lapisan :

a. Bagian luar berupa lipopolisakarida dan protein.

b. Bagian dalam berupa peptidoglikan.

Ketebalan 15-80 nm 10-15 nm

Berat 50% berat kering sel 10% berat kering sel

Syarat nutrisi Lebih kompleks Sederhana

Ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi pertumbuhan bakteri yakni :

1. Media Pembiakan/ Nutrisi

Bakteri membutuhkan media yang baik untuk mendukung pertumbuhannya. Media yang tepat akan menghasilkan bakteri yang sesuai dengan standar pengujian. Media pembiakan dasar adalah media pembiakan sederhana yang mengandung zat-zat yang umum diperlukan sebagian besar mikroorganisme untuk tumbuh. Kebutuhan bakteri pada umumnya adalah terpenuhinya karbon, nitorgen, sumber garam-garam anorganik, fosfat dan sulfat sebagai anion; potasium, sodium magnesium, kalsium, besi dan mangan sebagai kation. (Harti, 2015 )

2. Suhu

Pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh suhu. Suhu pertumbuhan minimum merupakan suhu terendah bakteri dapat hidup. Suhu optimum merupakan suhu yang diperlukan bakteri untuk dapat tumbuh secara cepat. Suhu pertumbuhan maksimum adalah suhu tertinggi yang memungkinkan bakteri dapat hidup. Perbedaan suhu untuk pertumbuhan pada bakteri membuat adanya penggolongan bakteri sesuai dengan suhu pertumbuhannya. Berikut penggolongan jenis bakteri sesuai dengan suhu optimum pertumbuhannya : a. Psikrofil,bakteri yang mampu tumbuh pada suhu 0°C. Diambil dari kata

psychros = dingin dan philic = menyukai, maka bakteri ini hanya akan tumbuh pada kondisi dingin. Pada umumnya bakteri golongan psikrofil akan mati bila ditempatkan pada suhu 30°C (Irianto, 2006).

b. Mesofil, bakteri yang dapat tumbuh pada suhu 10-47°C dengan suhu

optimum untuk pertumbuhan 30-45°C. Bakteri yang ada pada golongan ini biasa hidup dalam tanah, air dan tubuh vertebrata (Irianto, 2006).

c. Termofil, bakteri yang dapat tumbuh pada suhu diatas 45°C(Irianto, 2006). 3. Tekanan Osmotik

Bakteri membutuhkan kondisi dengan tekanan osmosis yang seimbang antara isi sel dengan keadaan lingkungan yang disebut kondisi isotonik. Apabila kondisi cairan di lingkungan lebih tinggi (hipertonis) maka sel bakteri akan lisis. Akan tetapi apabila kondisi cairan di lingkungan lebih rendah (hipotonis) maka sel bakteri akan kisut(Irianto, 2006).

4. Kondisi pH

Kondisi asam-basa suatu medium juga mempengaruhi pertumbuhan bakteri. Pada umumnya bakteri tumbuh pada pH yang netral yakni pH 6,5-7,5. Namun ada bakteri yang mampu hidup dengan kondisi asam yang mampu tumbuh pada pH 2,0 disebut bakteri Asidofil. Ada pula bakteri yang hanya mampu tumbuh pada kondisi basa pada pH 9,0 disebut bakteri Alkalofil(Brooks, dkk., 2008).

5. Oksigen

Oksigen berperan sebagai akseptor hidrogen pada bakteri. Bakteri yang lain menggunakan zat lain sebagai akseptor hidrogen. Berdasarkan kebutuhannya akan oksigen maka bakteri dikelompokkan sebagai berikut:

a. Bakteri aerob, yakni bakteri yang membutuhkan oksigen untuk

pertumbuhannya.

b. Bakteri aerob fakultatif, yakni kelompok bakteri yang bisa hidup dengan oksigen atau tidak adanya oksigen.

c. Bakteri anaerob, merupakan bakteri yang tidak memerlukkan oksigen

dalam pertumbuhannya.

d. Bakteri mikroaerofilik, yakni bakteri yang memerlukan oksigen dalam jumlah yang sedikit dalam pertumbuhannya(Brooks, dkk., 2008).

C. Bakteri Staphylococcus aureus

1. Klasifikasi Staphylococcus aureus

Bakteri S. aureus merupakan salah satu spesies bakteri dari 30 spesies lainnya dalam genus Staphylococcus. Bakteri yang ada dalam genus ini biasanya berupa bakteri patogen. Menurut Rosenbach (1884) dalam ITIS Catalogue of Life (2016) klasifikasi bakteri S. aureus adalah sebagai berikut:

Domain : Bacteria Kingdom : Eubacteria Filum : Firmicutes Classis : Bacilli Ordo : Bacillales Familia : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

2. Morfologi dan Identifikasi

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang berbentuk bulat bergerombol seperti anggur, termasuk bakteri gram-positif. Pada biakan yang masih muda akan terlihat coccus berwarna keunguan yang menunjukkan bahwa bakteri termasuk dalam gram-positif, akan tetapi pada biakan yang sudah tua banyak sel menjadi negatif. Perubahan sel bakteri yang telah tua menjadi gram-negatif disebabkan sel yang sudah tua tidak mampu lagi menahan warna ungu, sehingga warna merah dari safranin masuk kedalam dinding sel dan

menyeba 24 jam s akan tam B bisa jug fakultatif ataupun 3. Pato B pada ma adanya p steroid a inang. diantaran penyakit abkan perub setelah dibia mpak bulat, h Bakteri S. a ga dalam s f, yang ber tanpa oksig ogenitas Bakteri S. a anusia. Infek perubahan h atau obat lai Infeksi S.au nya bisul, je t yang diseb bahan pewa akkan.Bila halus, meno Gambar 2 aureus mam suhu kamar rarti bahwa gen (Brooks aureus meru ksi serius ak hormon, ada in yang me ureus dihub erawat, pne babkan oleh arnaan gram ditumbuhka onjol dan be 2.2 Bakteri Sumber : Sc mpu tumbuh r yakni 20 a bakteri S s, dkk., 2008 upakan bak kan terjadi anya penyak empengaruh bungkan d eumonia, me h bakteri in m. Pengujia an dalam m erkilau-kilau Staphyloco cience libra h secara op 0-25°C. Ba S. aureus b 8). kteri yang s ketika kead kit, luka, at hi imunitas dengan beb eningitis, da ni memprod an bakteri y media padat u(Brooks, d occus aureus ary. ptimal pada akteri ini b bisa hidup ering meny daan inang tau perlakua sehingga te berapa ko an arthritits duksi nanah yang baik a maka bakte dkk., 2008). s suhu 37°C bersifat an dengan ok yebabkan in melemah k an menggun erjadi pelem ondisi pato s. Sebagian , oleh karen adalah eri ini C, tapi aerob ksigen nfeksi karena nakan mahan ologi, besar na itu

bakteri ini disebut piogenik (Madigan,et.al., 2015). Infeksi yang lain terjadi akibat kontaminasi pada luka yang terbuka (Brooks, dkk., 2008)

Bakteri ini menghasilkan katalase, yaitu enzim yang mengkonversi H2O2 menjadi H2O dan O2, (Madigan,et.al., 2015). S. aureus menghasilkan koagulase, protein mirip enzim yang menggumpal plasma dan mengandung oksalat. Koagulase dihubungkan dengan patogenitas karena penggumpalan fibrin terkumpul di sekitar bakteri sehingga imun dari inang kesulitan mencapai bakteri dan fagositosis terhambat (Brooks, dkk., 2008).

D. Antibakteri

Antibakteri merupakan suatu zat yang dapat menghambat atau bahkan membunuh pertumbuhan bakteri dan relatif aman digunakan oleh manusia (Tjay dan Rahardja, 2007). Pemakaian bahan antibakteri merupakan suatu usaha yang bertujuan untuk mengendalikan bakteri yang merugikan. Tujuan utama dari pengendalian adalah mencegah terjadinya infeksi, membasmi bakteri pada inang yang telah terinfeksi serta mencegah terjadinya kerusakan yang disebabkan pembusukan mikroorganisme (Pelczar dan Chan, 1988).

Menurut Madigan, et.al (2015), berdasarkan sifat toksisitas selektifnya, senyawa antibakteri mempunyai 3 macam efek terhadap pertumbuhan bakteri yaitu:

1. Bakteriostatik memberikan efek dengan cara menghambat pertumbuhan tetapi tidak membunuh. Senyawa bakterostatik seringkali menghambat sintesis protein atau mengikat ribosom. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan

antibakteri pada kultur mikrobia yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat antibakteri pada fase logaritmik didapatkan jumlah sel total maupun jumlah sel hidup adalah tetap.

2. Bakteriosidal memberikan efek dengan cara membunuh sel tetapi tidak terjadi lisis sel atau pecah sel. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antibakteri pada kultur bakteri yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat antibakteri pada fase logaritmik didapatkan jumlah sel total tetap sedangkan jumlah sel hidup menurun.

3. Bakteriolitik menyebabkan sel menjadi lisis atau pecah sel sehingga jumlah sel berkurang atau terjadi kekeruhan setelah penambahan antibakteri. Hal ini ditunjukkan dengan penambahan antibakteri pada kultur bakteri yang berada pada fase logaritmik. Setelah penambahan zat antibakteri pada fase logaritmik, jumlah sel total maupun jumlah sel hidup menurun.

Daya antibakteri diukur secara in vitro agar dapat ditentukan kemampuan suatu zat antibakteri (Brooks, dkk., 2008). Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan metode pengenceran. Uji difusi cakram dilakukan dengan mengukur diameter zona bening (clear zone) yang merupakan petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dalam ekstrak (Hermawan, 2007).

Metode difusi merupakan merode yang sering dilakukan. Ada tiga cara metode difusi, yakni dengan metode difusi silinder, metode sumuran dan metode cakram kertas. Metode cakram kertas diakukan dengan cara merendam cakram kertas dalam suatu larutan antibakteri dalam waktu tertentu kemudian meletakkan

cakram kertas dalam media yang sebelumnya sudah terdapat inokulum bakteri dan diinkubasi dalam suhu pertumbuhan bakteri (25-37°C) dalam waktu 18-24 jam. Syarat jumlah bakteri untuk pengujian yakni sesuai dengan standar 10-5 - 10-8 cfu/ml (Vandepitte dkk., 2011). Diameter zona bening disekitar kertas cakram menunjukkan tidak adanya pertumbuhan bakteri.

Dalam Vandepitte,dkk.(2011), ada beberapa faktor teknis yang bisa mempengaruhi ukuran zona hambat :

1. Kepekatan bakteri

Pengenceran bakteri yang terlalu encer akan menyebabkan zona hambatan menjadi lebih lebar, akan tetapi bila pengencerannya terlalu pekat maka ukuran zona hambatnya akan menjadi lebih sempit.

2. Waktu peletakkan kertas cakram

Peletakkan kertas cakram yang telah direndam dengan zat antibakteri yang terlalu lama dari waktu penanaman bakteri pada media agar yang menyebabkan zona diameter mengecil.

3. Suhu inkubasi

Suhu optimal untuk pertumbuhan bakteri dan untuk standar baku inkubasi penelitian aktivitas antibakteri adalah 35°C. Apabila suhu lebih rendah maka mengakibatkan zona yang lebih lebar dan waktu pertumbuhan efektif yang lebih panjang.

4. Waktu inkubasi

Masa inkubasi standar untuk pengujian adalah 16-18 jam. Apabila data diambil sebelum masa inkubasi data kurang valid.

5. Ukuran lempeng, ketebalan media dan pengaturan jarak cakram 

Ukuran standar yang disarankan untuk menguji aktivitas antibakteri adalah cawan petri 9-10 cm dan diisi tidak lebih dari 6-7 cakram kertas. Pengaturan jarak cakram yang baik akan memperjelas ukuran diameter zona hambat. Hal ini guna menghindari tumpang tindih diameter zona hambat. Ketebalan media juga berpengaruh pada lebar diameter zona hambat. Semakin tipis media agar yang digunakan maka akan semakin lebar diameter zona hambat.

6. Potensi zat antibakteri

Diameter zona hambat tergantung pada zat antibakteri yang ada pada paper disk. Apabila potensi zat antibakteri rusak karena masa penyimpanan maka akan mengurangi diameter zona hambat.

Kekuatan zat antibakteri bisa digolongkan sesuai dengan lebarnya diameter zona hambat. Menurut Davis and Stout dalam Putri (2015) menyebutkan

bahwa daerah hambatan ≥ 20 mm mempunyai daya hambat yang sangat kuat.

Daerah hambatan 10-20 mm berdaya hambat kuat, daerah hambatan 5-10 mm berdaya hambat sedang, dan daerah hambat ≤ 5 mm berdaya hambat lemah atau tidak berdaya hambat. Hal ini juga disebutkan oleh Rao, et.al dalam Dwiyanti, dkk. (2014) bahwa daerah hambat ≤ 12 mm mempunyai daya hambat yang lemah sedangkan daerah hambat ≥ 18 mm mempunyai daya hambat yang kuat.

Pengujian antibakteri lanjutan dari metode difusi adalah metode pengenceran yang disebut dengan metode pour plate. Pengujian ini untuk melihat kadar hambat minimal suatu larutan antibakteri bekerja. Prinsipnya yakni dengan menambahkan konsentrasi terendah suatu larutan antibakteri dengan bakteri uji yang sudah sesuai standar dalam media NA dengan suhu 45°C. Hasil dari pengujian ini akan nampak pada media uji yang bening tidak ditumbuhi bakteri uji. Konsentrasi minimal konsentrasi yang telah diuji dan mempunyai kenampakan bening ditetapkan sebagai KHM (Konsentrasi Hambat Minimal). Hasil dari KHM dikultur ulang pada media NA yang steril dan diinkubasi selama 18-24 jam. Media yang tetap terlihat bening ditetapkan sebagai KBM (Konsentrasi Bunuh Minimal) (Idris, 2013).

Mekanisme daya hambat menurut Hugo and Russell (2000) ada lima bagian vital yang menjadi target suatu zat antibakteri yakni, dinding sel, ribosom, kromosom, metabolisme folat dan membran sel. Pelczar dan Chan (1988) menjelaskan bahwa mekanisme kerja daya hambat antibakteri terhadap suatu bakteri adalah sebagai berikut :

1. Merusak dinding sel

Lapisan dinding sel bakteri disebut peptidoglikan. Sintesis dinding sel menggunakan banyak reaksi enzim. Zat antibakteriseperti flavonoid yang mampu menghambat reaksi enzim akan menyebabkan sel bakteri lisis. Kerusakan dinding sel akan berakibat juga pada kematian sel.

2. Mengubah permeabilitas membran sel

Membran sel hidup mempunyai permeabilitas selektif. Membran sel berfungsi untuk mengatur keluar masuknya zat antar sel dan lingkungan luar, melakukan pengangkutan zat-zat yang diperlukan dan mengendalikan susunan dalam diri sel. Rusaknya dinding sel akan berpengaruh pada membran sel. Bahan antibakteri seperti fenol, saponin dapat merusak membran sel sehingga permeabilitasnya terganggu dan mengalami kerusakan. Kerusakan pada membran sel akan mengakibatkan kematian sel.

3. Kerusakan sitoplasma

Sitoplasma suatu sel terdiri dari air, asam nukleat, protein, karbohidrat, lipid, ion anorganik dan senyawa yang berbobot molekul rendah. Beberapa zat kimia dengan konsentrasi tinggi menyebabkan kerusakan komponen sel.

4. Menghambat kerja enzim

Enzim merupakan katalis yang mempercepat terjadinya reaksi kimia. Makhluk hidup memerlukan enzim yang membantu dalam proses metabolisme. Perubahan protein yang disebabkan oleh senyawa kimia tertentu akan berakibat pada penghambatan proses enzimatis. Apabila rekasi enzimatis terhambat maka proses metabolisme juga terganggu dan akan menyebabkan kematian sel. 5. Menghambat sintesis asam nukleat dan protein

Protein DNA dan RNA mengambil peranan penting dalam sebuah sel. Bahan antibakteri tertentu mampu menghambat sintesis protein. Terjadinya gangguan dalam sintesis protein mengakibatkan kerusakan pada sel.

E. Ekstraksi

Kandungan terbesar suatu tanaman adalah air, sebagian lagi berupa senyawa bermolekul besar dan juga ada zat-zat dengan molekul kecil. Zat kimia yang bermolekul kecil mempunyai penyebaran yang terbatas, biasanya zat ini disebut dengan metabolit sekunder. Untuk dapat menyari tanaman ini maka dapat digunakan pelarut umum seperti air, etanol, eter benzena (Sirait, 2007).

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut dengan pelarut cair. Menurut Muchtaridi, dkk. (2015) ekstraksi merupakan teknik isolasi senyawa dari bahan alam. Senyawa aktifyang terdapat dalam berbagai simplisia dapat digolongkan ke dalam golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid, dan lain-lain. Diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM, 2000).

Ada beberapa metode ekstraksi menurut jenis pelarutnya dibedakan menjadi dua kelompok besar yakni

1. Cara Dingin a. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakanpelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan (kamar). Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif yang akan larut, karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam

sel dan di luar sel maka larutan terpekat didesak keluar. (Ditjen POM, 2000)

b. Perkolasi

Ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai sempurna. Umumnya proses ekstraksi dilakukan dalam suhu ruangan. Simplisia yang akan digunakan dipindahkan dalam bejana silinder yang bagian bawahnya diberi sekat berpori kemudian pelarut dialirkan dari atas ke bawah melalui simplisia. Pelarut akan melarutkan zat aktif dalam sel simplisia hingga jenuh. Pada tahap terakhir perkolat yang dihasilkan dikumpulkan dan dipekatkan (Atmojo, 2015).

2. Cara Panas a. Soxhletasi

Ekstraksi dengan metode soxhlet yakni dengan cara membungkus simplisia kering dengan kertas saring dimasukkan dalam pipa kemudian pelarut dimasukkan pada tabung distilasi. Labu alas bulat dipanaskan sehingga

Dokumen terkait