• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 El Nino Southern Oscillation

Penelitian mengenai ENSO telah lama dilakukan dan meningkat dengan pesat seiring dengan berkembangnya teknologi observasi laut-atmosfer. Sarana pengamatan laut-atmosfer di Samudera Pasifik melalui kerjasama internasional semakin bertambah dengan banyaknya hasil penelitian mengenai ENSO dan dinamikanya. Proses mekanisme kerjanya sudah mulai teridentifikasi secara mendetail seiring dengan berkembangnya teknologi pemodelan. Pada saat ini, fenomena ENSO tidak saja hanya dikenal sebagai salah satu fenomena di Samudera Pasifik dimana kolam air hangat yang biasanya berada di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik, karena Angin Pasat Tenggara dan Timur Laut mengalami anomali kemudian bergerak ke arah timur di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik dan menimbulkan dampak iklim yang luas (McPhaden et al., 1998; Neelin et al., 1998; Wallace et al., 1998).

Penelitian untuk memprediksi ENSO sampai saat ini masih terus dilakukan, tetapi misteri penyebab terjadinya El Nino masih belum seutuhnya terungkap. Pengamatan melalui observasi laut-atmosfer dengan menggunakan buoy TOGA/TAO (Tropical Ocean-Global Atmopheric/Tropical Atmosphere-Ocean) dari Pacific Marine Environmental Laboratory (PMEL) NOAA dan buoy TRITON (Triangle Trans-Ocean Buoy Network) dari Japan Marine and Earth Science TecnologyCenter (JAMSTEC) di sepanjang equatorial Samudera Pasifik masih berjalan secara intensif, bahkan pemasangan buoy TRITON di sebelah barat Samudera Pasifik telah mencapai perairan utara Papua Barat. Tujuan pemasangan tersebut adalah memperluas sarana observasi laut-atmosfer untuk mengkaji lebih mendalam pemicu terjadinya El Nino (Kuroda, 2001).

Hasil dari beberapa penelitian sebelumnya memperlihatkan bahwa ada keterkaitan antara terjadinya gangguan angin baratan (westerly wind bursts) di

perairan barat dan tengah ekuatorial sebelah Samudera Pasifik sebelum datangnya El Nino (Latif et al., 1988; Perigaud dan Cassou, 2000; Lengaigne et al., 2004). Kecepatan angin tersebut melebihi 7 m/s dengan durasi antara 5-20 hari (Harison dan Vecchi, 1997) dan terjadi rata-rata sekitar 3 kali pada tahun-tahun terjadinya El Nino (Verbickas, 1998). Gangguan angin baratan ini juga berkaitan dengan fenomena atmosfer termasuk terjadinya siklon tropis dan siklon tropis kembar (Keen, 1982). Gangguan angin baratan ini telah diamati dengan menggunakan data observasi selama 50 tahun dan hasilnya secara signifikan berasosiasi dengan awal kedatangan El Nino (McPhaden, 2004).

Sampai dengan tahap penelitian ini, pemicu terjadinya El Nino masih diyakini berasal dari faktor luar yaitu adanya gangguan angin baratan yang memperkuat dan menekan (downwelling) rambatan Gelombang Kelvin ke arah timur di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik dimana angin baratan ini merupakan hasil dari interaksi laut-atmosfer yang secara detail belum diketahui penyebab kemunculannya. Eisenman et al. (2005) merubah paradigma sebelumnya teori mengenai pemicu terjadinya El Nino dengan mengemukakan bahwa gangguan angin baratan ini bukan sebagai pemicu terjadinya El Nino, tetapi merupakan hasil interaksi laut-atmosfer yang dimodulasi dari proses dinamika El Nino itu sendiri. Faktor eksternal adanya gangguan angin baratan bukan dari proses laut-atmosfer lainnya tetapi merupakan bagian dari proses dinamika El Nino itu sendiri yang memperkuat proses awal El Nino sampai dengan terjadi El Nino kuat. Kesimpulan ini didapat dari penelitiannya menggunakan data observasi, citra satelit dan model gabungan (coupled model) laut-atmosfer Cane-Zebiak dengan menerapkan skenario model dengan dan tanpa adanya gangguan angin baratan.

Sampai dengan akhir 2010, teori mengenai pemicu datangnya El Nino masih bertahan pada kedua teori tersebut yaitu adanya gangguan angin baratan dan hasil proses internal dari dinamika El Nino itu sendiri berupa modulasi kolam air hangat yang mempengaruhi proses dinamika laut-atmosfer. Proses dinamika ENSO itu sendiri yang berkembang pada saat ini adalah beberapa teori yaitu ENSO Oscillator dimulai oleh Bjerknes (1969) dengan hipotesa adanya interaksi laut-atmosfer berupa positive feedback yang mengakibatkan terjadinya anomali

SPL di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik pada saat terjadi El Nino. Anomali SPL ini mengharuskan kembali ke kondisi normal oleh adanya negative feedback dengan beberapa teori yaitu pertama, delayed oscillator (Suarez dan Schopf, 1988) berupa terbentuknya Gelombang Rossby dari pemantulan Gelombang Kelvin di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik. Kedua, recharge oscillator (Jin, 1997) dengan adanya penambahan transpor Sverdrup pada fase negative feedback. Ketiga, western Pacific oscillator (Weisberg dan Wang, 1997) berupa proses interaksi laut-atmosfer dengan terbentuknya siklon di utara dan selatan ekuator sebelah barat Samudera Pasifik bersamaan dengan terbentuknya angin baratan di tengah Samudera Pasifik pada fase positive feedback dan terbentuknya anti siklon memicu terjadinya angin timuran yang melemahkan energi Gelombang Kelvin ke arah timur pada fase negative feedback. Keempat, advective-reflective oscillator (Picaut et al., 1997) yaitu terdapat zona konvergen arus ke arah timur (barat) di tepian sebelah timur (barat) dari kolom air hangat pada fase positive (negative) feedback yang berasosiasi dengan Southern Oscillation Index (SOI). Teori terakhir dari ENSO oscillator adalah unified oscillator (Picaut et al., 2002) merupakan gabungan mekanisme dari keempat teori tersebut di atas.

Wang dan Picaut (2004) kemudian mengklasifikasikan hasil penelti lain mengenai teori dinamika ENSO kedalam beberapa kelompok yaitu pertama, Slow (Sea Surface Temperature/STT) Mode dimana dari hasil interaksi laut-atmosfer terjadi ketidakstabilan yang mengakibatkan gerakan perlahan massa air hangat ke arah timur (barat) pada saat terjadi El Nino (La Nina) tanpa melibatkan dinamika gelombang Samudera. Kedua, a stable mode triggered by stochastic forcing yaitu massa air hangat di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik berada dalam kondisi stabil kemudian muncul gangguan dari luar sistem yang memicu terjadinya El Nino pada fase positive feedback. Fase negative feedback dibutuhkan untuk mengembalikan posisi kolam air hangat ke tempat semula sampai mencapai kondisi stabil dengan menyertakan kemungkinan salah satu atau beberapa proses dari teori delayed oscillator, recharge oscillator, western Pacific oscillator dan advective-reflective oscillator. Teori ini berperan dalam menjawab ketidak- teraturan siklus ENSO yang bervariasi dengan periode antara 4-7 tahun.

Penelitian terakhir telah teridentifikasi terdapat dua tipe yang berbeda dari variabilitas antar tahunan SPL di ekuatorial Samudera Pasifik yang berkaitan dengan fenomena ENSO (Larkin dan Harrison, 2005a; Yu dan Kao, 2007; Ashok et al., 2007; Kao dan Yu, 2009; Kug et al., 2009). Salah satu diantaranya adalah anomali kolam air hangat yang terpusat di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifk dimana tipe ini adalah tipe El Nino tradisional/konvensional atau sering pula disebut Canonical El Nino (Rasmusson dan Carpenter, 1982; Philander, 1990; Wallace et al., 1998; Sarachik dan Cane, 2010). Tipe yang kedua adalah anomali kolam air hangat yang terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik sedikit ke barat kurang lebih pada 180°BT atau 180°BB. Pemberian nama untuk tipe El Nino kedua berbeda-beda karena secara terminologi belum terdapat kesepakatan pemberian istilah untuk El Nino Tipe-2, tetapi secara definitif memiliki arti yang sama yaitu anomali kolam air hangat yang berada di tengah ekuatorial Samudera Pasifik.

Larkin dan Harrison (2005a) memberi nama tipe EL Nino kedua ini dengan sebutan Dateline El Nino karena anomali maksimum SPL berada di dekat International Dateline (180°BT atau 180°BB). Diberikan nama baru karena tipe El Nino ini berbeda dengan El Nino konvensional dimana dampak yang dirasakan di Amerika (Larkin dan Harrison, 2005a) dan di dunia berbeda (Larkin dan Harrison, 2005b). Ketika kolam air hangat berada di sekitar internasional dateline, terjadi dampak yang berbeda antara El Nino konvensional dengan El Nino Dateline dimana pada bulan September-Oktober-November (SON) umumnya terjadi peningkatan suhu diatas normal di BBU, sedangkan pada bulan Desember sampai Februari (DJF) umumnya terjadi peningkatan suhu di sebelah utara Benua Amerika dan penurunan suhu di sebelah utara Benua Asia dan Eropa dibandingkan dengan El Nino konvensional (Gambar 6). Pendefinisian El Nino dan La Nina (NOAA, 2003) oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dengan menggunakan indeks Nino3.4 (anomali SPL pada petak 170°BB-120°BB, 5°LS-5°LU) yang telah diadopsi oleh World Meteorological Organization wilayah IV (WMO region IV) dimana jika nilai anomali positif (negatif) SPL pada Nino3.4 sebesar 0.5°C selama 3 bulan berturut-turut disebut sebagai El Nino (La Nina), akan menjadi tidak efektif

dengan adanya El Nino Dateline. Oleh karena itu, Larkin dan Harrison (2005a) agar dilakukan pendefinisian baru mengenai El Nino dan La Nina dengan memperbaharui indeks-indeks El Nino di Samudera Pasifik untuk mendeteksi fase El Nino Dateline.

Gambar 6 Komposit anomali suhu udara permukaan (°C), diadaptasi dari Larkin dan Harrison (2005b). Kolom kiri adalah El Nino konvensional dan kolom kanan adalah El Nino Dateline. Baris atas pada bulan September-Oktober-November dan baris bawah pada bulan Desember-Januari-Februari.Kotak-kotak memperlihatkan rata-rata suhu udara grid dengan 80% diatas selang kepercayaan dan garis diagonal dibawahnya. Jumlah data dibawah empat dibiarkan kosong.

Ashok et al. (2007) menemukan pola spasial anomali SPL dengan siklus antar tahunan melalui analisis EOF pada Mode kedua EOF dengan keragaman sebesar 12% (Gambar 7b). Anomali positif SPL ditemukan terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dimana kolam air hangat berada. Tipe kedua El Nino ini diberi nama El Nino “Modoki” atau disebut pula Pseudo El Nino yang artinya El Nino semu. Setelah ditemukan tipe El Nino ini, Ashok et al. (2007) membangun sebuah indeks baru untuk mendeteksi kedatangan tipe El Nino Modoki dan diberi nama El Nino Modoki Index (EMI). Indeks ini dibangun dari rata-rata anomali SPL di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (165°BT-140°BB, 10°LS-10°LU) dikurangi setengah dari anomali SPL di sebelah barat (125°BT- 145°BT, 10°LS-20°LU) dan di sebelah timur (110°BB-70°BB, 15°LS-5°LU)

ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 7b) dengan menggunakan data Hadley Centre Global Sea Ice and Sea Surface Temperature (HadISST) antara tahun 1979-2004 hasil reanalisis dari Rayner et al. (2003).

Gambar 7 Pola spasial EOF dari empat mode terbesar SPL dengan menggunakan data dari tahun 1979-2004, diadaptasi dari Ashok et al. (2007). (a) sampai (d) berturut-turut adalah Mode kesatu sampai Mode keempat EOF. (b) adalah tipe dua El Nino dimana kolam air hangat terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dan diberi nama El Nino “Modoki” atau Pseudo El Nino.

Hasil dari perhitungan EMI didapati tujuh puncak EMI positif pada musim panas di BBU antara bulan Juni sampai September (JJAS) yaitu tahun 1986, 1990, 1991, 1992, 1994, 2002 dan 2004, sedangkan pada musim dingin di BBU antara bulan Desember sampai Januari (DJF) terdapat 8 puncak EMI positif yaitu pada tahun 1979-80, 1986-87, 1990-91, 1991-92, 1992-93, 1994-95, 2002-2003 dan 2004-05. Analisis komposit anomali SPL (Gambar 8) pada periode tersebut memperlihatkan kesesuaian dengan pola spasial SPL pada Mode kedua EOF (Gambar 7b). Proses dinamika terjadinya El Nino Modoki melibatkan interaksi antara laut-atmosfer (Ashok et al., 2007) yaitu terbentuknya anomali angin baratan di sebelah barat dan anomali angin timuran di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik yang diikuti dengan anomali positif kedalaman lapisan termoklin di tengah ekuatorial Samudera Pasifik. Penyebab anomali positif

kedalaman lapisan termoklin adalah downwelling gelombang ekuator Kelvin di sebelah barat dan upwelling gelombang ekuator Rossby di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik. Salah satu periode waktu dari fase El Nino Modoki dengan puncak positif EMI terjadi pada musim panas di BBU (JJAS) tahun 2004 (Gambar 9).

Gambar 8 Komposit anomali SPL (°C) pada musim panas (a) dan musim dingin (b) di BBU yang memperlihatkan kesesuaian dengan pola spasial EOF Mode kedua, diadaptasi dari Ashok et al. (2007).

Gambar 9 Komposit anomali SPL (°C) pada musim panas (JJAS) tahun 2004, di BBU yang memperlihatkan puncak fase El Nino Modoki pada tahun 2004, diadaptasi dari Ashok et al. (2007).

Gambar 10 Pola spasial EOF dari data asli anomali SPL. (a) adalah Mode pertama terbesar dengan keragaman sebesar 55.7% dan (b) adalah Mode kedua terbesar dengan keragaman sebesar 11.1%, diadaptasi dari Kao dan Yu (2009).

Kao dan Yu (2009) dengan menggunakan basis data SPL yang sama dengan Ashok et al. (2007) yaitu HadISST antara tahun 1950-2009, melakukan analisis EOF dengan sebelumnya mengurangkan anomali SPL dari data yang digunakan dengan indeks Nino1+2 (90°BB-80°BB, 10°LS-0°) dan Nino4 (160°BT-150°BB, 5°LS-5°LU). Hal ini dilakukan karena dengan menggunakan analisis EOF dari data anomali SPL aslinya, hasil EOF pada Mode kesatu dan kedua terbesar tidak ditemukan pola spasial anomali SPL yang memperlihatkan tipe pertama El Nino (El Nino konvensional) maupun tipe kedua El Nino dimana anomali positif SPL terbesar terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 10). Setelah melakukan pengurangan data anomali SPL dengan indeks Nino1+2 dan Nino4 pada masing-masing Mode kesatu hasil analisis EOF ditemukan pola spasial anomali positif SPL terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 11b) untuk pengurangan dengan indeks Nino1+2 (tipe kedua El Nino) dan anomali SPL terpusat di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik (Gambar 11a) untuk pengurangan dengan indeks Nino4 (tipe pertama El Nino/El Nino konvensional). Kao dan Yu (2009) memberi nama tipe pertama El Nino dengan sebutan EP- ENSO (Eastern-Pasific ENSO) dan tipe kedua El Nino dengan sebutan CP-ENSO (Central-Pasific ENSO). Mekanisme proses evolusi dari EP-ENSO berkaitan erat

dengan proses delayed oscillator (Suarez dan Schopf, 1988), sedangkan CP- ENSO diduga berkaitan dengan proses lokal interaksi laut-atmosfer karena tidak melibatkan pergerakan lapisan termoklin.

Gambar 11 Pola spasial EOF dari data anomali SPL yang telah dikurangkan dengan (a) indeks Nino4 untuk tipe El Nino EP-ENSO hasil EOF Mode pertama terbesar dengan keragaman 36% dan (b) indeks Nino1+2 untuk tipe El Nino CP-ENSO hasil EOF Mode pertama terbesar dengan keragaman 38%, diadaptasi dari Kao dan Yu (2009).

Kug et al. (2009) dengan menggunakan data SPL Extended Reconstructed Sea Surface Temperature versi 2 (ERSST V2) hasil reanalisis dari Smith dan Reynolds (2004), telah mengidentifikasikan terdapat dua tipe El Nino dari tiga tipe El Nino yang ditemukannya antara tahun 1970-2005. Analisis yang digunakan adalah dengan melakukan komposit pada bulan September sampai Februari tahun berikutnya dari data SPL dimana indeks Nino3 memiliki nilai diatas simpangan baku dan hal yang sama dilakukan untuk komposit dengan indeks Nino4 dan Nino3.4. Hasil analisis tersebut didapatkan 12 periode terjadinya El Nino dan dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu anomali SPL yang terpusat di tengah Nino3, Nino4 dan Nino3.4.

Kelompok pertama terjadi anomali positif SPL yang kuat di perairan sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik yaitu pada tahun 1972-73, 1976-77, 1982-83 dan 1997-98 (Gambar 12 kolom tengah) dan tipe El Nino ini diberi nama

oleh Kug et al. (2009) yaitu tipe El Nino Cold Tongue El Nino (CT El Nino). Tipe CT El Nino ini cenderung sama dengan pola anomali SPL dari El Nino konvensional yang telah diteliti sebelumnya (McPhaden et al., 1998; Neelin et al., 1998; Wallace et al., 1998). Kelompok kedua terjadi anomali positif SPL yang terpusat di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dimana anomali SPL di sebelah timur tetap memiliki anomali positif SPL dengan nilai yang tidak terlalu besar. Tahun kejadiannya adalah 1977-78, 1990-91, 1994-95, 2002-03 dan 2004-05, kemudian tipe El Nino ini diberi nama Warm Pool El Nino (WP El Nino). Kelompok ketiga terjadi pada tahun 1986-87, 1987-88 dan 1991-92 dan Kug et al. (2009) menyebutnya sebagai tipe El Nino campuran, sehingga tipe El Nino ini tidak dikelompokan dan tidak termasuk dalam dua kelompok dari tipe CT El Nino maupun WP El Nino. Hasil penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pola sebaran anomali SPL antar tahunan di tengah ekuatorial Samudera Pasifik dari pola El Nino konvensional (WP El Nino), tipe WP El Nino pada pada beberapa dekade terakhir lebih sering terjadi dengan variabilitas yang besar dan dampak yang ditimbulkan oleh WP El Nino baik secara global maupun regional sangat berbeda dengan El Nino konvensional.

Kug et al. (2009) dengan menggunakan data reanalisis curah hujan, tekanan udara, angin dan tinggi muka laut menelaah lebih jauh lagi perbedaan proses dinamika interaksi laut-atmosfer antara WP El Nino dengan CT El Nino. Hasilnya didapati bahwa terdapat perbedaan yang besar peranan angin zonal terhadap anomali SPL dari proses terbentuknya CT El Nino dan WP El Nino. Anomali angin timuran di sebelah timur dan angin baratan di sebelah barat ekuatorial Samudera Pasifik berperan besar dalam pembentukan WP El Nino, sedangkan anomali angin baratan sangat berperan dalam pembentukan CT El Nino. Respon atmosfer di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik pada WP El Nino lebih besar berpengaruh dalam menurunkan SPL melalui proses evaporasi, sedangkan pada CT El Nino proses adveksi vertikal lebih berperan dalam perubahan SPL. Oleh karena itu, dampak dari WP El Nino akan dirasakan secara global karena melibatkan proses interaksi laut-atmosfer yang besar. Pengaruh perubahan tinggi muka laut lebih berperan pada CT El Nino dibandingkan dengan WP El Nino, sehingga mekanisme transpor bahang di lautan lebih dominan dipengaruhi oleh

CT El Nino dan dapat memicu terjadinya La Nina. Adveksi zonal SPL pada WP El Nino yang diperankan oleh arus menjadi sangat penting pada saat WP El Nino mulai melemah, selain respon atmosfer terhadap penurunan SPL melalui proses evaporasi.

Gambar 12 Komposit anomali SPL (garis kontur putih) antara bulan September sampai Februari tahun berikutnya selama tahun 1970-2005 dengan interval 0.3 K. Biru sampai merah menunjukkan anomali SPL yang telah dinormalkan. Kolom kiri memperlihatkan pola spasial tipe WP El Nino, tengah tipe CT El Nino dan kanan tipe El Nino campuran. Kotak hijau menunjukkan Nino4 (kiri), Nino3 (tengah) dan Nino3.4 (kanan). Gambar diadaptasi dari Kug et al. (2009). Kug et al. (2010) melanjutkan penelitiannya mengenai proses dinamika CT El Nino dan WP El Nino dengan menggunakan luaran model GFDL CM2.1 (Delworth et al., 2006; Wittenberg et al., 2006) selama 500 tahun simulasi dan mendefinisikan periode El Nino jika nilai dari indeks Nino3 dan Nino4 lebih besar dari 0.5°C selama bulan November sampai Januari (NDJ). Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh 205 kejadian El Nino dan dipilah kembali untuk tipe WP El Nino dengan syarat jika nilai indeks Nino4 lebih besar dari indeks Nino3 dan sebaliknya jika nilai dari Nino3 lebih besar dari Nino4 didefinisikan sebagai tipe CT El Nino. Hasil pengelompokan tersebut diperoleh 121 kejadian WP El Nino

dan 84 kejadian CT El Nino. Komposit dari kedua tipe El Nino tersebut sangat berbeda baik dari posisi maupun besarnya anomali positif SPL (Gambar 13). Pada CT El Nino anomali positif SPL terpusat di sebelah timur ekuatorial Samudera Pasifik sebesar 2.5 K, sedangkan pada WP El Nino cenderung terpusat di internasional date line (160°BT) sebesar 1.0 K dan menyebar sampai ke sebelah timur dengan nilai yang lebih kecil.

Gambar 13 Komposit anomali SPL (°C) periode CT El Nino (a) dan WP El Nino (b) pada bulan NDJ selama periode 500 tahun, diadaptasi dari Kug et al. (2010).

Pada penelitiannya Kug et al. (2010) memperoleh kesimpulan yang sama mengenai keberadaan dan besarnya nilai anomali SPL dari dua tipe CT El Nino dan WP El Nino dengan menggunakan data luaran model GFDL CM2.1 dengan penelitian sebelumnya yang dilakukannya (Kug et al., 2009). Selain itu dengan memperhitungkan perbandingan antara adveksi SPL zonal dan adveksi SPL vertikal, diperoleh kesimpulan bahwa CT El Nino memiliki proses discharge yang kuat sehingga secara dinamis ketika periode CT El Nino mulai melemah dapat mengontrol mekanisme umpan balik dari fase panas ke fase dingin untuk terbentuknya kejadian La Nina. Sementara itu, WP El Nino memiliki proses discharge yang lemah karena pola distribusi anomali SPL yang menyebar merata dengan nilai anomali positif yang kecil sehingga tidak memungkinkan untuk terjadinya periode La Nina setelah selesainya periode WP El Nino. Kondisi ini

diperkuat dengan hasil dari perhitungan adveksi SPL zonal dari WP El Nino yang cenderung terjadi secara perlahan karena adanya thermal damping process (terhambatnya transpor bahang melalui mekanisme adveksi di lautan).

Kug et al. (2010) menyampaikan bahwa WP El Nino berperan besar dalam menentukan perubahan kondisi normal SPL di Samudera Pasifik secara klimatologi karena pada beberapa dekade terakhir WP El Nino sering terjadi sehingga akan meningkatkan SPL dalam siklus jangka panjang. Korelasi antara indeks Nino4 dengan anomali SPL pada tipe WP El Nino selama 500 tahun cukup kuat sebesar 0.7 dimana telah diketahui sebelumnya bahwa indeks Nino4 memiliki kecenderungan peningkatan suhu dari kondisi normalnya pada siklus dekadal dan antar dekadal. Kug et al. (2010) menyampaikan bahwa terdapat dua kemungkinan yang terjadi dengan eratnya interelasi antara Nino4 dan tipe WP El Nino yaitu pertama, WP El Nino mempengaruhi variabilitas siklus dekadal di tropikal Samudera Pasifik melalui mekanisme efek penyesuaian ketidak-teraturan (Nonlinier rectification effect) yang sebelumnya telah diteliti keberadaan pola dekadal ENSO di Samudera Pasifik (Timmermann, 2003; Rodgers et al., 2004; An et al., 2005; An, 2009). Kemungkinan kedua adalah peningkatan suhu di Samudera Pasifik dalam jangka panjang menyebabkan tipe WP El Nino lebih sering terjadi pada beberapa dekade terakhir karena peranan adveksi SPL zonal sangat besar dalam proses pembentukan WP El Nino.

Harrison dan Chiodi (2009) dengan menggunakan data Optimum Interpolation Sea Surface Temperature NOAA (OISST-NOAA) telah mengidentifikasikan terdapat tiga tipe pola sebaran anomali SPL jika dikaitkan dengan kejadian angin baratan (Westerly Wind Event/WWE) yang berasosiasi dengan EL Nino pada lokasi yang berbeda di sepanjang ekuatorial Samudera Pasifik. Lokasi kejadian WWE tersebut terdapat pada tiga petak yaitu petak pertama pada 130°BT-155°BT, kedua pada 155°BT-180°BT dan ketiga pada 180°BT-150°BB dan masing-masing petak berada pada 5°LS-5°LU. Kriteria komposit yang digunakan adalah selisih dari anomali SPL hari ke 60 dan ke 20 dimana pada tahun yang bersangkutan nilai indeks Nino3 mendekati normal