• Tidak ada hasil yang ditemukan

Elemen Elit Pariwisata Lokal (Inklusif) dan Basis-Basis Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Pariwisata

Dalam dokumen PDF Tata Kelola Pariwisata (Halaman 58-62)

Dalam Tata Kelola Pariwisata

C. Elemen Elit Pariwisata Lokal (Inklusif) dan Basis-Basis Pengambilan Keputusan dalam Pengelolaan Pariwisata

Secara garis besar, elit merupakan pusat kekuatan dalam ranah Pekon Teluk Kiluan yang mengakumulasi beragam modal. Akumulasi modal tersebut berimplikasi pada posisi sosial elit yang strategis. Karakter elit pariwisata di Pekon Teluk Kiluan menjadi unik karena ketokohannya berasal dari kalangan tokoh masyarakat dari 3 suku yang berbeda, yakni Jawa, Bali dan Lampung. Dapat dikatakan para elit inilah apa yang disebut sebagai cross cutting person, sebagai aktor penghubung antara kepentingan eksternal pariwisata (seperti : wisatawan, biro perjalanan pariwisata, pemandu wisata, organisasi pariwisata, pemerintah, perguruan tinggi) dengan pihak internal yaitu masyarakat lokal.

Ada tipologi elit pariwisata yang teridentifikasi di Pekon Teluk Kiluan yaitu elit eksklusif dan elit inklusif, diketahui masing-masing memiliki karakter yang spesifik. Elit ekslusif merupakan aktor/kelompok aktor yang mengakumulasi modal dalam Pekon Teluk Kiluan atau dapat disebut dengan ranah pariwisata dan memilikinyanya secara ekslusif. Elit ini tidak berkeinginan untuk berbagi modal dengan aktor/kelompok aktor lainnya dalam ranah pariwisata Pekon Teluk Kiluan. Kelompok elit eksklusif ini relatif memandang masyarakat lokal sebagai pihak bawahan, sehingga relasi sosial

yang dikonstruksi berbasis interaksi ”memerintah diperintah”. Dengan kata

lain konstruksi relasi yang terbangun berbasis patron client,dengan mengidentifikasi dirinya sebagai patron lewat pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya dalam birokrasi pemerintahan.

Sedangkan elit inklusif merupakan katagori elit yang relatif mau berbagi pengetahuan dan pengalaman. Kalangan ini berasal dari para tokoh adat dan tokoh masyarakat, terutama dalam bidang pariwisata, sehingga memiliki biasa bekerja dalam tim dan berorientasi kerja secara terukur. Karakter tersebut mendorong terjalinnya tata relasi sosial yang padu dan akrab dengan menghargai kapasitas masing-masing. Kelompok elit ini percaya tidaklah mungkin bekerja dan sukses sendirian karena telah terbiasa melakukan kerja sama, sehingga menghargai kemampuan para anggota dalam tim. Relasi yang dibangun relatif cair dan hangat, bingkai kesadaran posisional dalam tim bukanlah atasan-bawahan versi birokrat tetapi pertemanan (partner).

Kedua elit pariwisata Pekon Teluk Kiluan memiliki persamaan dalam konteks kepemilikan modal : Pertama, Modal Budaya yang merupakan gelar yang disematkan secara sosial baik formal (melalui institusi pendidikan berupa ijazah atau penghargaan-penghargaan dalam bidang tertentu), maupun kultural (sebagai tokoh masyarakat). Kedua, Modal Sosial yang merupakan jaringan sosial yang mampu dikonstruksi. Untuk konteks Pekon Teluk Kiluan adalah kapasitasnya dalam bekerjasama dengan pihak eksternal pariwisata dan juga dalam melayani wisatawan. Ketiga, Modal Simbolik yang merupakan kemampuan/kuasa untuk memberi nama atau mengkatagorisasi khususnya dalam pengembangan destinasi pariwisata perdesaan di Pekon Teluk Kiluan. Dengan memiliki modal ini, akan membawa aktor/kelompok aktor pada posisi paling strategis dalam ranah pariwisata di Pekon Teluk Kiluan .

Sedangkan perbedaan kedua kelompok elit ini adalah elit eksklusif memandang dirinya sebagai pusat kekuatan dengan membangun relasi memerintah-diperintah. Di sisi lain, elit inklusif memandang dirinya sebagai motivator dan fasilitator, memerlukan aktor/kelompok aktor lainnya dalam ranah untuk bekerjasama mengakumulasi salah satu jenis modal penting yang disediakan oleh pariwisata, yaitu modal ekonomi. Elit ekslusif berposisi sebagai

”kepala” dengan memandang lainnya sebagai ”anak buah”, khas konstruksi

berpikir birokrat. Terlihat berbeda, elit inklusif memandang dirinya sebagai

”ketua” dalam kelompok yang dibangunnya, dengan menganggap yang lainnya sebagai partner. Dengan ketiga modal yang dimilikinya tersebut, elit pariwisata di Pekon Teluk Kiluan merupakan kelompok yang tidak dapat dipandang sebelah mata dalam melakukan social engineering dalam pengembangan Desa Wisata Pekon Teluk Kiluan. Walaupun keberadaan para elit ini sangat strategis dalam ranah pariwisata di Pekon Teluk Kiluan , akan tetapi dalam pengembangan destinasi pariwisata perdesaan, tidaklah tepat jika mengikutsertakan elit tersebut secara personal. Terlalu bertumpu pada kekuatan elit secara personal akan beresiko kepada memusatnya akumulasi

modal, terpolarisasinya manfaat pariwisata, dan memunculkan permasalahan regenerasi. Untuk itu diperlukan tranformasi elit pariwisata di Pekon Teluk Kiluan, yaitu dari elit personal menuju elit institusional.

Pengembangan Pekon Teluk Kiluan bertumpu pada dikonstruksinya sebuah lembaga yang mampu mewadahi kepentingan berbagai stakeholder pariwisata di Pekon Teluk Kiluan. Untuk itu, diperlukan identifikasi para aktor, ranah pariwisata dalam bentuk desa wisata yang dikembangkan, aspirasi para aktornya, dan strategi bersama dalam transaksional modal yang adil untuk menggambarkan basis keputusan pengelolaan pariwisata. Dibahwa ini adalah hasil pemetaan terhadap posisi elit sekaligus basis pengambilan keputusan yang dilakukan.

Basis Keputusan Pada Elit Pariwisata : Sebagai Penggerak Sekaligus Penghambat

Untuk identifikasi aktor diperoleh data bahwa elit merupakan pendorong utama sekaligus penghambat utama dalam penyelenggaraan pariwisata di Pekon Teluk Kiluan. Dikatakan penggerak utama karena elit mampu menyediakan produk pariwisata perdesaan dan berhubungan dengan pihak eksternal dalam rangka perencanaan dan pengembangan pariwisata Pekon Teluk Kiluan. Akan tetapi elit pulalah yang dikatakan sebagai penghambat utama dalam konteks kemajuan pariwisata di Pekon Teluk Kiluan. Realitas historis perkembangan pariwisata di Pekon Teluk Kiluan pasca ditetapkan

sebagai desa wisata adalah realitas ”pertempuran” elit untuk menguatkan

pengaruhnya dalam ranah pariwisata. Masing-masing elit berupaya membangun kekuatan dan kelompok kekuatan dalam rangka membingkai desa wisata versi para elit tersebut. Dalam persaingan antar para elit ini, lembaga pariwisata formal yang ada seperti Kelompok Sadar Wisata Pekon Teluk Kiluan dan Badan Pengelola Desa Wisata Pekon Teluk Kiluan dijadikan ajang unjuk kekuatan kelompok elit ini. Terjadi tata relasi kontra produktif dalam ranah pariwisata di Pekon Teluk Kiluan, ketika elit terlalu mendominasi dan masyarakat lokal hanya terbawa arus dalam tarik-menarik kekuatan elit tersebut. Masyarakat lokal menjadi disorientasi dan menjadi tidak termotivasi dalam merencanakan dan mengembangkan destinasi pariwisata perdesaan. Perlawanan masyarakat lokal bukannya tidak ada, yang ditunjukkan dengan membangun kelompok sendiri terpisah dari pusaran elitis yang ada. Namun faktanya, perlawanan dalam bentuk penyediaan fasilitas akomodasi yang diupayakan relatif gagal, ketika sepi peminat. Wisatawan baik personal

maupun yang difasilitasi biro perjalanan terbukti lebih memilih akomodasi yang disediakan elit, karena lebih baik dan memadai.

Destinasi Pariwisata: Ranah Elit dalam Pengelolaan Pariwisata

Pekon Teluk Kiluan sebagai destinasi pariwisata perdesaan jika dikaji menggunakan konsepsi ranah mengandung arti sebagai sebuah domain tempat para aktor pariwisata berkumpul untuk memperjuangkan modal (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik) dalam pariwisata. Untuk memperolehnya, para aktor harus memiliki kepekaan khas tentang aturan main pariwisata. Kepekaan khas ini, pada akhirnya disebut sebagai habitus pariwisata. Berbekal habitus pariwisata inilah, para aktor akan mengakumulasi modal dalam ranah pariwisata di Pekon Teluk Kiluan. Akan tetapi, tidak semua aktor memiliki kemampuan yang sama dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata Hanya segelintir aktor yaitu elit yang memiliki kapasitas merencanakan dan mengembangkan desa wisata. Keadaan ini yang menyebabkan mulai dari tahap awal perkembangan Pekon Teluk Kiluan (fase embriotik) sampai saat ini telah terjadi dominasi elit. Ini berarti ketika Pekon Teluk Kiluan ditetapkan sebagai desa wisata, para elit ini dapat dikatakan telah memiliki modal, yaitu modal budaya, sosial, serta simbolik. Dengan ketiga jenis modal yang dimilikinya tersebut, menjadikan mereka berada di posisi strategis dalam ranah pariwisata di Pekon Teluk Kiluan. Fakta lain menunjukkan bahwa walaupun para elit ini berada pada posisi yang dominan dalam ranah Pariwisata di Pekon Teluk Kiluan, namun para elit tersebut juga terbukti tidak mampu memaksimalkan modal yang dimilikinya untuk dapat dipertukarkan dengan modal ekonomi. Hal ini dikarenakan Pekon Teluk Kiluan masih merupakan sebuah ruang sosial daripada dipandang sebagai ranah pariwisata.

Kebutuhan dan Aspirasi Elit Pariwisata Lokal

Aktor dan kelompok aktor dalam ranah pariwisata di Pekon Teluk Kiluan, selain para elit (eksklusif dan inklusif), juga teridentifikasi adanya pengurus desa adat. Dapat dikatakan para aktor dan kelompok aktor di luar elit ini masih beraktivitas dalam ruang sosial Pekon Teluk Kiluan, belum melakukan interaksi sosial berbasis ranah pariwisata. Belum terintegrasinya para aktor potensial sebagai stakeholders pariwisata Teluk Kiluan ini menjadikan belum terselenggaranya Desa Wisata secara produktif. Para aktor lainnya masih dengan urusannya masing-masing dan memandang pariwisata sebagai urusannya para elit. Hanya segelintir kelompok non-elit yang mencoba mencari peruntungan di bidang pariwisata dengan menyediakan akomodasi pariwisata dengan memanfaatkan beberapa kamar di rumahnya sebagai homestay. Akan

tetapi kemudian kalah bersaing dengan akomodasi yang disediakan para elit. Dapat dikatakan bahwa para aktor Teluk Kiluan masih menjalankan siasatnya masing-masing. Belum berhimpun secara sinergis untuk menyelenggarakan Desa Wisata Teluk Kiluan. Di level siasat, aktivitas yang dilakukan adalah untuk kepentingan diri dan kelompoknya saja. Sehingga para aktor menjalankan rutinitas keseharian mereka dalam ruang sosial Pekon Teluk Kiluan Tidak ada upaya untuk mengintegrasikan aktivitas sosial lainnya ke dalam ranah pariwisata dalam bentuk desa wisata. Sedangkan para elit sendiri karena terpolarisasi menjadi dua kutub kekuatan antara elit eksklusif dan inklusif, juga menjalankan siasatnya masing-masing. Walaupun untuk tipologi elit inklusif lebih memiliki keinginan untuk berbagi,baik pengetahuan maupun keuntungan pariwisata dengan masyarakat lokal, tetapi juga tidak bisa lepas dari perangkap logika siasat. Siasat yang dilakukan elit inklusif terutama dalam

menghadapi ”serangan” elit eksklusif di beberapa momentum ketika harus

berhadapan di forum-forum baik formal maupun informal di Pekon Teluk Kiluan. Sementara elit eksklusif menjalankan siasat dalam rangka mempertahankan relasi dominatifnya dengan masyarakat lokal.

Dalam dokumen PDF Tata Kelola Pariwisata (Halaman 58-62)