• Tidak ada hasil yang ditemukan

S

abai Nan Rancak tidak tahu berapa lama dia menangis menelungkup di rumput seperti itu. Dia baru hentikan tangis, usap kedua matanya ketika dia menyadari bahwa dia tidak lagi seorang diri di Lembah Merpati itu.

Si nenek cepat bangkit dan duduk. Hanya tiga langkah di hadapannya dilihatnya duduk seorang kakek berkepala botak, berpakaian putih lusuh. Kakek ini memandang ke arahnya dengan pandangan dan sinar mata sayu.

“Aneh, walau aku tadi tenggelam dalam perasaan mengapa aku sampai tidak mendengar suara langkah kakinya mendatangi. Dia tahu-tahu muncul seolah burung yang melayang terbang lalu hinggap tanpa suara! Aku tak kenal si botak ini. Agaknya dia

memiliki kepandaian tinggi.”

“Apakah kehadiranku mengejutkan dirimu?” Kakek botak menegur. Dia tersenyum walau senyuman ini tidak dapat memupus air mukanya yang sayu.

“Kau bukan saja mengejutkan! Tapi juga kurang ajar! Berani mendekati perempuan di tempat sepi seperti ini. Padahal kita tidak saling kenal!”

Kakek botak bermuka sayu kembali tersenyum. “Lembah ini memang sepi dan indah sekali. Itu sebabnya aku tertarik datang ke sini. Tapi aku lebih tertarik setelah melihat dirimu yang tergolek di rumput, menangis sedih dalam keadaan menelungkup. Memang hanya kita berdua di tempat ini dan kita tidak saling kenal. Tapi apakah ada dan masihkah tua bangka seperti kita ini mau melakukan yang bukan-bukan walau hanya kita berdua saja yang ada di tempat ini? Maafkan kalau aku telah mengejutkan dirimu. Di tempat sepi begini berteman adalah lebih baik daripada seorang diri. Walau tidak tahu pangkal sebabnya tapi aku ikut hiba mendengar tangismu tadi. Nenek bertopi seperti tanduk kuda, menurut penglihatanku kau pasti datang dari jauh, dari tanah seberang. Jauh-jauh datang ke sini lalu menangis ini adalah satu hal yang ingin aku ketahui....”

“Hemmmm.... Ternyata selain kurang ajar kau juga lancangi” semprot Sabai Nan Rancak.

“Lancang bagaimana maksudmu Nek?”

“Kita tidak saling kenali Kau datang diam-diam secara kurang ajar. Kini hendak mencampuri urusan orang! Bukankah itu namanya lancang?!”

Si kakek usap-usap kepalanya yang botak. “Menurutmu lancang. Tapi menurutku lain lagi. Karena maksudku bertanya hanyalah dengan niat menolong semata. Siapa tahu, walau tidak kenal aku bisa membantu melepaskan dirimu dari kesedihan yang tengah kau hadapi....”

“Sedih? Siapa bilang aku sedih?!”

“Orang menangis biasanya karena sedih, Bukankah begitu?” ujar si kakek pula. “Tidak selamanya!”

“Ah, bagaimana kau bisa berkata begitu?”

“Karena aku menangis bukan sebab musabab sedih. Aku menangis karena ingin mati! Kau tadi bilang ingin menolongku! Nah bisakah kau membantuku! Membunuh diri tua bangka keropos ini sampai mati?!”

Kakek botak ternganga lalu geleng-gelengkan kepala. “Kau ini ada-ada saja Nek. Tapi kau tahu, aku suka berbincang-bincang dengan orang seperti m u ini. Mungkin kita bisa membagi pengalaman....”

“Sayang, aku justru tidak suka bicara denganmu! Apalagi membagi pengalaman!” kata Sabai Nan Rancak.

“Kalau begitu dengan berat hati aku terpaksa pergi meminta diri. Namun sebelum pergi maukah kau mendengar beberapa bait nyanyianku...?”

“Ah, rupanya kau adalah seorang kakek pengamen. Maaf saja. Bicaramu saja suaramu tidak enak, apalagi menyanyi!”

Si kakek botak tertawa lebar. “Suaraku memang tidak sedap didengar. Jangankan manusia, tikus pun akan lari mendengar suaraku. Tapi jangan suara yang jadi jaminan. Cobalah kau simak bait-bait dalam nyanyianku. Mungkin bisa sedikit memberi kelegaan di lubuk hatimu....”

Lalu tanpa perduli apakah orang suka atau tidak si kakek dongakkan kepala memandang ke langit di atas Lembah Merpati dan mulai melantunkan nyanyiannya.

Jauh berjalan banyak nan dilihat Lama hidup banyak nan dirasa Salah jalan bisa tersesat Salah hidup bisa celaka

Lama hidup banyak nan dirasa Segala suka segala duka

Kalau duka berlebihan dari suka Pertanda diri akan binasa

Salah jalan bisa tersesat

Mengapa tidak kembali ke pangkal jalan Salah hidup bisa celaka

Mengapa tidak mencari letaknya salah

“Tua bangka botak gila! Aku tak suka mendengar nyanyianmu! Lekas menyingkir dari hadapanku!” membentak Sabai Nan Rancak.

Tapi seolah tidak mendengar ucapan orang, kakek botak terus saja menyanyi. Kalau dendam membakar hati

Kalau dendam membakar pikiran Kasih indah di masa muda seolah api Membakar asmara menjadi ajang kematian Apakah itu maunya manusia?

Kalau hati berselimut dendam Kalau darah dibakar amarah Lautan cinta menjadi padang maut Padang asmara menjadi neraka kematian

Bisakah kesalahan ditumpahkan pada hanya satu insan?

Tidakkah ada lagi kasih sayang di hati manusia Tidakkah ada lagi seberkas cahaya kenangan indah Tidakkah ada lagi kenangan indahnya asmara di hati insan

Apakah hidup hanya dibatasi garis bara api antara yang benar dan yang salah

Antara yang sengsara dan yang sesat

Kalau kematian memang sudah menjadi niat Kalau malaikat maut memang sudah terpanggil Lalu manusia bertindak sebagai pencabut nyawa diri sendiri dan nyawa orang lain

Alangkah sedihnya nasib dunia

Ratap minta pengampunan bukan lagi pelebur amarah

Desah kesedihan tidak lagi dorongan untuk me- nanyai diri sendiri

Manusia hanya bisa melihat jauh pada diri orang lain Seolah tidak mampu melihat dekat pada diri sendiri Manusia ingin melihat kegelapan

Padahal dalam dirinya ada cahaya terang Mengkaji lubuk hati

Sama hikmahnya dengan menyingkap rahasia diri Datanglah dendam

Datanglah salah sangka Datanglah maut

Datanglah kematian

Dekap tubuh tua penuh dosa erat-erat dalam

pelukanmu yang paling ganas Kematian datangnya hanya sekejap Sengsara tetap berbekas sampai kiamat Apakah manusia lupa bahwa Tuhan selalu membuka pintu tobat?

Orang tua berkepala botak itu batuk-batuk beberapa kali. Dia seperti tercekik. “Ah suaraku memang tidak sedap didengar! Aku jadi malu sendiri! Maafkan kelakuanku yang tidak mengenakkan. Aku minta diri....”

Kakek ini membungkuk lalu putar tubuhnya.

“Tunggu!” seru Sabai Nan Rancak. Sepasang matanya memperhatikan orang di hadapannya mulai dari kepala sampai ke kaki.

“Siapa kau sebenarnya...?” tanya si nenek.

“Kau tak suka padaku. Perlu apa tahu namaku...?”

“Nyanyianmu itu.... Apa maksudmu dengan nyanyian tadi?”

“Ah, nyanyian hanya sekedar paduan kata-kata yang dikeluarkan secara berirama. Kalau suaraku tidak sedap harap maafkan. Kalau aku hanya mengganggumu harap

maafkan. Kalau bait-bait dalam nyanyianku menyinggung perasaanmu aku juga minta maaf beribu maaf.”

“Tidak bisa! Aku ingin tanya! Tahu apa kau tentang diriku?!”

“Seperti katamu bukankah kita sebelumnya tidak saling kenal? Jadi apa yang bisa kukatakan tentang dirimu? Sekali lagi harap maafkan diriku!”

Kakek botak itu kembali membungkuk. Lalu berkelebat ke arah lembah sebelah barat. Sabai Nan Rancak tegak termangu-mangu. Dari mulutnya meluncur kata-kata. “Suaranya tidak sama. Wajahnya tidak serupa. Tapi mengapa hatiku menaruh syak wasangka...? Ah sudahlah! Lebih baik aku juga pergi dari sini! Tapi aku mau pergi ke mana...?”

Sabai Nan Rancak memandang berkeliling. Saat itu hanya berada seorang diri di Lembah Merpati yang sunyi dia merasa betapa sepi dan terpencilnya dirinya di dunia ini.

Tak terasa air mata meluncur jatuh ke atas pipinya yang keriput. Tiba-tiba saja si nenek

teringat pada cucunya. “Puti Andini... di mana kau berada Nak....” Si nenek memandang lagi berkeliling. Dia menarik nafas berulang kali. “Aku harus mencari cucuku itu....”

* * * TAMAT Episode berikutnya :

Dokumen terkait