• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEOR

2.2. Debt to Equity Ratio

Debt to Equity Ratio (DER) pada dasarnya termasuk dalam rasio leverage. Rasio leverage sendiri digunakan untuk menjelaskan penggunaan utang untuk membiayai sebagian dari aktiva perusahaan (Muslich, 2003:49). Pembiayaan dengan utang akan berpengaruh terhadap perusahaan, dikarenakan utang mempunyai beban yang bersifat tetap yaitu bunga. Kegagalan perusahaan dalam melunasi bunga akan menyebabkan kesulitan finansial yang bisa berakibat kebangkrutan perusahaan. Namun, penggunaan utang juga memberikan subsidi pajak atas bunga yang dapat menguntungkan pemegang saham. Oleh karena itu, penggunaan utang harus diseimbangkan antara keuntungan dan kerugiannya.

Debt to Equity Ratio menunjukkan persentase penyediaan dana oleh pemegang saham terhadap pemberi pinjaman (Darsono & Ashari, 2005:54). Semakin tinggi rasio, semakin rendah pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham. Begitu pula sebaliknya, Semakin rendah rasio semakin tinggi pendanaan perusahaan yang disediakan oleh pemegang saham. Dari perspektif kemampuan membayar kewajiban jangka panjang, semakin rendah rasio akan semakin baik kemampuan perusahaan dalam

membayar kewajiban jangka panjang. Begitu pula sebaliknya, semakin tinggi rasio akan semakin buruk pula kemampuan perusahaan dalam membayar kewajiban jangka panjang. Rumusnya adalah :

DER = Saham Pemegang Ekuitas Utang Total

(Horne & Wachowicz, 2005:209)

Debt to Equity Ratio merupakan perbandingan hutang dengan modal sendiri yang dipunyai perusahaan. Modal sendiri yang dimaksud disini adalah sejumlah dana yang telah disetor oleh para pemegang saham tentunya untuk kepentingan investasi dalam bentuk saham. Para kreditor umumnya lebih menyukai tingkat DER yang rendah atau dengan kata lain para pemegang saham lebih banyak menyediakan dana untuk kegiatan operasional perusahaan. Hal ini dikarenakan perlindungan terhadap kreditor akan lebih besar jika terjadi penyusutan terhadap nilai aktiva ataupun ketika perusahaan mengalami kerugian yang besar.

Debt to Equity Ratio mengindikasikan sejauh mana perusahaan dapat menanggung kerugian tanpa harus membahayakan kepentingan kreditor. Kreditor berhak mendapatkan hak klaim atas aset perusahaan dibandingkan pemegang saham apabila perusahaan mengalami likuidasi. Dalam sudut pandang kreditor, jumlah ekuitas merupakan katalisator. Jumlah ekuitas dapat dijadikan aset yang memadai untuk menutup klaim pihak lain. Debt to Equity Ratio yang tinggi menunjukkan bahwa jumlah aset yang dimiliki tidak akan dapat menutup klaim secara penuh. Apabila perusahaan yang memiliki Debt to Equity Ratio yang tinggi akan melakukan pendanaan

melalui pinjaman, kreditor akan mengenakan bunga yang tinggi untuk melakukan perlindungan terhadap pinjaman tersebut.

Ukuran kunci dalam mengevaluasi struktur dan kapasitas jangka panjang adalah rasio utang terhadap ekuitas. Jika rasio ini terlalu tinggi, bisa jadi menunjukkan bahwa perusahaan telah menggunakan seluruh kapasitas pinjamannya dan tidak mempunyai ruang gerak untuk menghadapi kejadian- kejadian di masa mendatang. Jika rasio terlalu rendah, ini bisa terjadi pengungkit yang tersedia tidak dimanfaatkan oleh pemilik. Jika rasio bergerak naik, bisa diartikan bahwa laba terlalu rendah untuk menanggung kebutuhan perusahaan. Dan, jika rasio bergerak turun, bisa diartikan perusahaan berjalan dengan lancar dan siap untuk mengadakan perluasan usaha (Arens dan Loebbecke et. al.).

Dalam hubungannya dengan struktur keuangan dan struktur kekayaan, dikenal adanya pedoman atau aturan struktur keuangan yang konservatif, baik vertikal maupun horisontal. aturan struktur finansial konservatif yang horisontal memberikan batas imbangan antara besarnya modal sendiri disatu pihak dengan besarnya aset tetap plus sediaan dilain pihak. Atau dengan kata lain keadaan yang dianggap normal oleh aturan tersebut ialah keadaan besarnya modal sendiri sama besarnya dengan jumlah aset tetap plus sediaan. Sedangkan aturan struktur finansial (struktur keuangan) konservatif yang vertikal memberikan batas imbangan yang harus dipertahankan oleh suatu perusahaan mengenai besarnya modal asing (utang) dengan modal sendiri. Berdasarkan anggapan bahwa pembelanjaan yang sehat itu pertama-

tama harus dibangun oleh modal sendiri, yaitu modal yang tahan risiko, maka aturan tersebut menetapkan bahwa besarnya modal asing (utang) dalam keadaan bagaimanapun juga tidak melebihi modal sendiri. Koefisien utang, yaitu angka perbandingan antara jumlah modal asing dengan modal sendiri tidak boleh melebihi 1:1. Setiap perluasan basis modal sendiri akan memperbesar kemampuan perusahaan dalam menanggung risiko yang akan

dibelanjainya. Pandangan ini terutama didasarkan pada ”Prinsip Keamanan”, hal ini akan memberikan pengaruh yang baik terhadap kreditor maupun terhadap perusahaan sendiri (Nafarin et. al.).

Rasio hutang terhadap ekuitas dapat dijadikan indikator akan kesehatan keuangan perusahaan dan kesulitan keuangan yang dialami. Rasio utang terhadap ekuitas yang tinggi bisa mengindikasikan kesehatan keuangan perusahaan. Rasio utang terhadap ekuitas yang tinggi akan cenderung meningkatkan kesalahan dalam perusahaan. Oleh karena itu, biasanya auditor akan lebih meningkatkan perhatian terhadap laporan keuangan. Hal ini dikarenakan laporan keuangan kurang dapat dipercaya akan kebenarannya. Lebih lanjut lagi, rasio hutang yang tinggi akan menambah kecenderungan munculnya masalah-masalah baru seperti masalah likuiditas dan masalah keberlangsungan hidup perusahaan yang mana memerlukan audit yang lebih mendalam lagi.

Rasio utang terhadap ekuitas yang tinggi menunjukkan adanya resiko keuangan yang tinggi pula. Begitu pula sebaliknya, rasio utang terhadap ekuitas yang rendah menunjukkan resiko keuangan yang rendah pula. Rasio

utang terhadap ekuitas yang tinggi juga menunjukkan keadaan perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan. Bila perusahaan mengalami kesulitan keuangan, akan menjadi berita buruk bagi perusahaan. Hal itu akan mengakibatkan pandangan yang buruk akan perusahaan di mata masyarakat umum.

Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan akan membutuhkan waktu yang lebih dalam penyelesaian proses audit akan laporan keuangannya dibanding perusahaan yang tidak mengalami kesulitan keuangan. Perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan cenderung akan menunda penyerahan laporan keuangan auditannya kepada instansi yang berwenang. Hal ini disebabkan perusahaan membutuhkan waktu yang lebih untuk bisa menekan Debt to Equity Ratio (DER) serendah-rendahnya sampai batas yang mungkin bisa dicapai oleh perusahaan (Hassanudin dalam Wiwik U).

Hasil penelitian Hossain & Taylor (1998), serta Wiwik Utami menunjukkan bahwa Debt to Equity Ratio tidak berpengaruh signifikan terhadap audit delay. Namun, pada penelitian Ahmad & Kamarudin (2001) yang dilakukan di Malasyia menunjukkan bahwa variabel ini berpengaruh signifikan terhadap audit delay.

Dokumen terkait