• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Eskresi Amonia

Konsumsi pakan dapat meningkatkan produksi panas dalam tubuh, juga meningkatkan konsumsi oksigen. Peningkatan dalam laju metabolik ini dikenal sebagai spesific dynamic action (SDA) dari pakan yang dikonsumsi. Pada ikan SDA meningkat cepat setelah makan mencapai maksimum, dan setelah itu menurun secara teratur sampai level sebelum makan. Biokimia SDA belum sempurna dipahami, tetapi energi yang dilepaskan pada umumnya terjadi karena deaminasi asam amino. Apabila laju pencernaan asam amino lebih besar dari laju penggunaannya dalam sintesa protein, asam amino yang berlebihan akan dideaminasi, sehingga memungkinkan terjadinya oksidasi biologis atau penimbunan sisa karbon.

Jika karbohidrat dan lemak yang digunakan sebagai sumber energi, maka lemak dan karbohidrat ini akan menghasilkan oksidasi lengkap menjadi karbondioksida dan air, tetapi jika protein dipakai sebagai sumber energi, hanya ikatan karbonnya yang dipakai sebagai sumber energi, sedangkan nitrogen (Amino) tidak dipakai sebagai sumber energi, maka tidak dapat dimetabolisme dan harus dikeluarkan. Proses kimia dimana gugus amino dikeluarkan dari asam amino dikenal sebagai proses transaminasi dan deaminasi. Reaksinya dikatalisis oleh enzim amino transferase di dalam sitosol hepatocyt dan enzim glutamate dehidrogenase dalam mitokondria. Amonia yang telah terbentuk kemudian dilepaskan ke pembuluh darah hepatik untuk selanjutnya diangkut ke organ pengeluaran yang dalam hal ini insang melalui sistem sirkulasi darah (Hepher 1990; Dosdat et al. 1996). Nitrogen yang dieskresikan oleh ikan khususnya ikan-ikan teleostie sebagian besar berupa amonia (75 – 90 %). Karena ikan-ikan mengeluarkan kelebihan nitrogen dalam bentuk amonia, maka ikan dikenal dengan hewan ammonotelik.

Esksresi amonia menunjukkan jumlah relatif protein pakan yang dicerna untuk sintesis protein atau sumber energi (Ming, 1985). Amonia dalam perairan terdapat dalam dua bentuk yaitu un-ionized (NH3) dan ionized (NH4+). Amonia

dalam bentuk NH3 bersifat lipofilik yang mudah berdifusi melalui membran respirasi sehingga bersifat toksik bagi kehidupan akuatik dibandingkan NH4+

Tingkat toksisitas amonia dipengaruhi oleh pH dan temperatur lingkungan perairan, dimana konsentrasi amonia meningkat dengan meningkatnya pH dan temperatur. Lingkungan yang mempunyai konsentrasi amonia tinggi dapat yang kemampuan penetrasinya ke dalam membran respirasi lebih kecil (Jobling 1994).

Meningkatnya eskresi amonia dengan cepat lebih banyak disebabkan oleh laju eskresi nitrogen eksogenous yang lebih tinggi dibandingkan eskresi nitrogen endogenous (Ming 1985). Laju eskresi amonia eksogenous lebih banyak dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi (kadar protein pakan, kualitas protein bahan pakan, keberadaan energi non-protein) dan laju pemberian pakan, sedangkan eskresi amonia endogenous diperoleh dari deaminasi asam amino hasil katabolisme protein jaringan tubuh (Jobling 1994).

Ming (1985) mengemukakan bahwa eskresi amonia meningkat dengan cepat sebagai respon terhadap penambahan protein pakan. Degani et al. (1985) menyatakan bahwa produksi amonia berkolerasi secara linier dengan kadar protein pakan. Hal ini telah dibuktikan melalui penelitiannya dimana produksi ikan Anguilla-anguilla yang diberi pakan dengan protein 25 – 35% lebih rendah dibandingkan dengan yang diberi pakan 45 – 55% protein.

Jobling (1994) mengemukakan bahwa eskresi amonia ikan yang diberi pakan lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan yang puasa, peningkatan tersebut bahkan bisa sampai 2 kali lebih tinggi (Koshio et al. 1993). Eskresi amonia akan meningkat begitu selesai mengkonsumsi pakan dan beberapa jam kemudian terjadi puncak eskresi. Selanjutnya Dosdat et al. (1996) dalam penelitiannya melihat bahwa eskresi amonia tertinggi pada ikan berukuran 10 g ditemukan 3 – 5 jam sehabis mengkonsumsi pakan dan pada ikan berukuran 100 g terlihat 5 – 8 jam setelah makan. Tinggi rendahnya amonia yang dikeluarkan ikan bergantung pada kadar protein pakan, keberadaan energi non-protein (rasio energi protein), kualitas protein bahan pakan dan kondisi lingkungan hidupnya (pH dan temperatur).

menyebabkan ikan stres, menghambat pertumbuhan dan dapat menyebabkan kematian ikan (Jobling 1994).

Tingkat toleransi hewan akuatik terhadap amonia berbeda dan bergantung pada spesies, kondisi fisiologis ikan dan kondisi lingkungan hidupnya (Ming 1985). Secara umum konsentrasi amonia dalam air tidak boleh lebih dari 1 mg/1. Konsentrasi amonia sebesar 0.4–2 mg/1 dalam waktu yang singkat dapat menyebabkan kematian pada ikan.

3 METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Lapang Pusat Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (PSIK IPB) – Ancol Jakarta Utara pada bulan Juli – Oktober 2010. Analisa proksimat, analisa kandungan lemak dan glikogen dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ikan Departemen Budidaya FPIK IPB, sedangkan analisa Total Amonia Nitrogen (TAN) dilakukan di Laboratorium Lingkungan Departeman Budidaya Perairan FPIK IPB.

3.2. Bahan dan Alat Penelitian 3.2.1. Pakan Uji

Pakan uji yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 8 jenis pakan dalam bentuk pelet kering dengan empat tingkat kadar protein (33, 37, 41, 45) dan dua tingkat rasio energi protein (9 dan 11 kkal GE/g) yang berbeda. Pembuatan pakan uji dan analisa proksimatnya dilakukan di Lab. Nutrisi Ikan Departemen Budidaya Perairan FPIK IPB.

Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan Uji/100 g pakan

Bahan Pakan

Perlakuan (% Protein ; Rasio Energi Protein C/P) A1B1 (33;9) A1B2 (33;11) A2B1 (37;9) A2B2 (37;11) A3B1 (41;9) A3B2 (41;11) A4B1 (45;9) A4B2 (45;11) Tepung ikan 20.87 15.99 35.57 33.46 32.55 24.17 30.41 36.13 Tepung kepala udang 22.96 14.85 21.34 20.77 14.53 7.77 5.91 6.19

PBM 5.06 2.28 0.59 2.31 4.17 18.56 24.76 29.3

DDGS 20.87 17.77 14.86 14.46 13.35 8.91 6.78 5.18

Bahan lain 24.21 40.55 21.58 17.3 29.22 26.78 24.24 7.73

Minyak Ikan 0.04 2.63 0.12 5.77 0.2 7.9 1.98 9.67

Vit dan Mineral 5.98 5.94 5.93 5.94 5.97 5.91 5.93 5.81

Tabel 2. Komposisi Proksimat Pakan Uji

Komposi proksimat Perlakuan (% Protein ; Rasio Energi Protein C/P)

(% kering) A1B1 (33;9) A1B2 33;11) A2B1 (37;9) A2B2 (37;11) A3B1 (41;9) A3B2 (41;11) A4B1 (45;9) A4B2 (45;11) Protein kasar 33.39 33.23 37.44 37.18 41.18 41.01 45.03 44.65 Lemak kasar 8.52 9.61 9.23 14.80 8.60 15.90 10.92 19.45 BETN 11.51 24.06 13.89 15.16 15.02 16.49 13.43 9.29

Energi (Kcal/g feed) 316.00 377.03 355.42 411.69 375.21 449.24 412.30 473.60

Energi/protein (C/P) 9.46 11.35 9.49 11.07 9.11 10.95 9.16 10.61

Keterangan: Total energi protein, lemak dan karbohidrat masing-masing adalah 5,6; 9,4 dan 4,1 kkal; BETN : Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen

3.2.2. Ikan Uji

Ikan uji yang digunakan adalah juvenil ikan kuwe ukuran berat rata-rata 1.61±0.06 gram dan panjang rata-rata 4 cm yang berasal dari Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol. Sebelum pelaksanaan penelitian, ikan uji terlebih dahulu diadaptasikan dengan kondisi percobaan, baik pakan uji maupun kondisi lingkungan percobaan selama 2 minggu.

3.2.3. Wadah dan Media Percobaan

Wadah yang digunakan untuk percobaan adalah akuarium dengan ukuran 60x50x40 cm yang telah disterilisasi dengan menggunakan kaporit dan dilengkapi peralatan aerasi dan sistim resirkulasi. Akuarium sebagai wadah percobaan tersebut kemudian diisi dengan air laut bersalinitas 28-30 ppt. Sebelum digunakan air laut disaring terlebih dahulu kemudian ditampung dalam bak penampungan dan disterilkan dengan kaporit pada dosis 15 – 20 ppm, selanjutnya disalurkan ke wadah-wadah percobaan.

Dokumen terkait