• Tidak ada hasil yang ditemukan

84

5.2. Hasil Estimasi Pengaruh Perekonomian terhadap Penurunan Kemiskinan dengan Menggunakan Metode Panel Statis, Panel Dinamis dan Panel Instrumental Variabel

xxi DAFTAR GAMBAR

Nomor Hal

1.1. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Maju dan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2008

2

1.2. Perbandingan Rata-Rata PDRB Kabupaten Tertinggal di Wilayah KBI dan KTI dengan Rata-Rata PDRB Nasional

3

1.3. Perkembangan Indeks Gini di Indonesia, Tahun 2002-2008 4

2.1. The Poverty-Growth-Inequality Triangle 19

2.2. Kurva Lorenz 21

2.3. Skenario Pembangunan Daerah Tertinggal 23

2.4. Mekanisme Transmisi dari Investasi Publik 33

2.5. Kerangka Pemikiran Penelitian 35

4.1. Perbandingan Persentase Kabupaten Tertinggal KBI, KTI dan Nasional, Tahun 2005 dan 2010

54

4.2. Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KBI menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010

56

4.3. Perbandingan Persentase Jumlah Kabupaten Tertinggal KTI menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010

57

4.4. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

59

4.5. Perbandingan Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

60

4.6. Perbandingan Angka Indeks Gini Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

62

4.7. Perbandingan Angka Indeks Gini Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

xxii

4.8. Rata-Rata Penurunan Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009

65

4.9. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

66

4.10. Perbandingan Rata-Rata Persentase Penduduk Miskin Kabupaten Tertinggal KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

67

4.11. Perbandingan Pertumbuhan Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT), menurut Provinsi Tahun 2006-2009

71

4.12. Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT) di KBI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

72

4.13. Perbandingan Rata-rata Bantuan Stimulus Infrastruktur (P2IPDT) di KTI, menurut Provinsi Tahun 2006-2009

73

5.1. Growth Incidence Curve Kabupaten Tertinggal di Indonesia,

Tahun 2008-2009

xxiii DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Hal

1. Perkembangan Rata-rata Garis Kemiskinan Kabupaten Tertinggal menurut Provinsi, Tahun 2006-2009

104

2. Daftar 183 Kabupaten Tertinggal di Indonesia 105

3. Jumlah dan Persentase Kabupaten Tertinggal menurut Provinsi Tahun 2005 dan 2010

111

4. Dinamika PDRB atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009

112

5. Dinamika Ketimpangan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009

113

6. Dinamika Kemiskinan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2006-2009 114

7. Hasil Analisis Kuadran (Dinamika Pertumbuhan dan Kemiskinan) di Kabupaten Tertinggal

115

8. Rata-rata Bantuan P2IPDT, Tahun 2007-2009 119

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah “Terwujudnya

Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan” (Kementrian Keuangan,

2011). Visi pembangunan tersebut kemudian dijadikan landasan bagi pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan. Salah satu kebijakan tersebut antara lain adalah percepatan pembangunan daerah tertinggal dalam rangka penanggulangan kemiskinan. Upaya melaksanakan kebijakan tersebut adalah dengan membentuk Kementrian Pembangunan Daerah Tertinggal (Kementrian PDT) yang dalam Perpres No. 9 tahun 2005 memiliki tugas pokok dan fungsi membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal.

Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal dilakukan mengingat masih banyaknya kabupaten yang masuk kategori sebagai daerah tertinggal, yakni sebesar 40,39 % (183 kabupaten) dan masih banyaknya penduduk kabupaten tertinggal yang masuk kategori miskin. Data empiris menunjukkan bahwa pada tahun 2008, masih terdapat lebih dari 34 juta (15,1 %) penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan (BPS, 2008). Dari sejumlah penduduk miskin 66,26 % berlokasi di wilayah kabupaten yang tergolong maju dan 33,74 % penduduk miskin berlokasi di wilayah kabupaten tertinggal (Gambar 1.1). Gambar 1.1 juga memperlihatkan kondisi bahwa pulau dengan persentase jumlah penduduk miskin yang tinggal di wilayah kabupaten tertinggal terbanyak adalah Pulau Sumatera dan Jawa yang tercatat memiliki persentase jumlah penduduk miskin di kabupaten tertinggal masing-masing sebesar 9,39 % dan 8,68 %.

Kenyataan bahwa masih cukup banyaknya penduduk miskin yang berlokasi di wilayah kabupaten tertinggal ini sangatlah ironis, hal ini menimbulkan dugaan awal bahwa kemiskinan yang terjadi di kabupaten tertinggal ini dapat dikategorikan sebagai kemiskinan yang kronis (chronic poverty). Dugaan ini cukup beralasan mengingat berbagai keterbatasan dan keterbelakangan daerah tertinggal jika

2

dibandingkan dengan daerah lain yang tergolong maju, diantaranya rendahnya kualitas sumber daya, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, rendahnya kualitas maupun kuantitas infrastruktur, dan letak geografis yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan sehingga menyebabkan akses penduduk menjadi terbatas.

Sumber : BPS (2008), diolah

Gambar 1.1. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin di Kabupaten Maju dan Kabupaten Tertinggal, Tahun 2008

Kemiskinan di kabupaten tertinggal ini semakin kronis apabila diikuti oleh rendahnya output maupun pertumbuhan ekonomi wilayah kabupaten tertinggal. Data empiris menunjukkan bahwa meskipun tiap tahunnya rata-rata produk domestik regional bruto (PDRB) kabupaten tertinggal baik di wilayah Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI) tiap tahunnya mengalami kenaikan, namun besaran nominalnya masih di bawah capaian rata-rata nasional (Gambar 1.2.). Gambar 1.2 juga menunjukkan bahwa pada tahun 2009, rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KBI hanya sebesar Rp 1.997,05 juta atau hanya sekitar 42,23 persen dari rata-rata nasional, sedangkan rata-rata PDRB kabupaten tertinggal di wilayah KTI hanya sebesar Rp 1.189,09 juta atau sekitar 25,14 persen dari rata-rata nasional. Perbedaan yang cukup signifikan dari rata-rata

Sumatera (9,39%) Jawa (8,68%) Bali&NT (5,59%) Kalimantan Sulawesi (5,00%) Maluku (1,34%) Papua (2,28%) Kab.  Tertinggal 33,74% Kab. Maju 66,26%

output ant Indonesia antarwilay Sumber: Gambar Ket pendapata pendapata masih cuk tahun 200 dan Smith masyaraka untuk men meningkat 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 tara wilaya masih ter yah. BPS (2010), r 1.2. Perb Wilay impangan p an rumahtan an masyarak kup besar d 09, angka in h (2006) an at yang rela ningkat tiap tkan angka 0 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 20 ah KBI, KT rjadi ketimp , diolah andingan R yah KBI da pembanguna ngga. Hal in kat di Indo dan menunj ndeks gini In ngka ini su atif merata. p tahunnya kemiskinan 006 TI dan rata-pangan pem Rata-Rata P an KTI den an ekonomi ni terlihat da onesia, yang jukkan tren ndonesia ad udah tidak Kondisi ke a perlu diw n. 2007 KBI KTI -rata nasion mbangunan PDRB Kab ngan Rata-i tersebut ju ari masih tin g tercermin kenaikan u dalah sebesa lagi mence etimpangan waspadai ter 200 Nasiona nal mengin n ekonomi bupaten Te -Rata PDR uga diikuti d ngginya ket n dari angk untuk period ar 0,36 dima erminkan di yang mem rkait dengan 08 al dikasikan b yang cuku ertinggal di RB Nasional dengan ketim timpangan d ka indeks g de 2004-20 ana menuru istribusi pen miliki kecend n potensiny 2009 3 bahwa di up besar i l mpangan distribusi gini yang 007. Pada ut Todaro ndapatan derungan ya dalam

4

Sumber: BPS (2009a), diolah

Gambar 1.3. Perkembangan Indeks Gini di Indonesia, Tahun 2002-2009

Kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan ketimpangan dioperasionalisasikan pada berbagai program bantuan. Hal tersebut merupakan stimulus bagi daerah tertinggal untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan adanya pemerataan pendapatan. Salah satu bantuan stimulus tersebut adalah Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT) yang dilakukan oleh Kementrian PDT sejak Tahun 2006. Program dan instrumen ini dimaksudkan untuk membantu kabupaten tertinggal agar dapat menjadi kabupaten yang terbuka dan mampu berinteraksi dengan “dunia luar” sehingga akses ke berbagai faktor produksi menjadi semakin mudah untuk dijangkau, yang pada gilirannya dapat membuka peluang semakin bergeraknya perekonomian kabupaten tertinggal.

Upaya mendorong perekonomian kabupaten tertinggal dan mengentaskannya dari ketertinggalan yang telah dilakukan Kementrian PDT melalui instrumen P2IPDT ini sudah cukup tepat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Aziz (1994) bahwa untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lainnya, terdapat beberapa alternatif pengembangan suatu daerah. Alternatif tersebut dapat berupa investasi yang langsung diarahkan pada sektor produktif atau investasi pada bidang social overhead, seperti

0,33 0,32 0,32 0,34 0,36 0,38 0,37 0,36 0,29 0,3 0,31 0,32 0,33 0,34 0,35 0,36 0,37 0,38 0,39 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

5

pembangunan jalan, fasilitas kesehatan, pendidikan dan prasarana infrastruktur lainnya.

Studi terdahulu menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur baik berupa sarana dan prasarana transportasi, jaringan listrik dan telekomunikasi serta pengadaan air bersih sangatlah penting dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat di suatu wilayah (Aschauer,1989; Munnel,1992; Canning dan Pedroni,1999; Sibarani,2002 dan Prasetyo,2010). Sarana dan prasarana infrastruktur dibutuhkan tidak hanya oleh rumah tangga namun juga oleh dunia usaha. Sehingga peningkatan infrastruktur diharapkan dapat membawa kesejahteraan dan mempercepat pertumbuhan ekonomi. Daerah dengan infrastruktur yang memadai mempunyai keuntungan yang lebih besar dalam menarik investasi masuk ke daerahnya sehingga menyebabkan daerah akan menjadi lebih cepat berkembang dibandingkan dengan daerah yang memiliki infrastruktur yang kurang memadai. Hal ini dikarenakan terbukanya keterisolasian daerah sehingga akses ke berbagai faktor produksi dimungkinkan untuk membuka peluang bergeraknya perekonomian daerah.

Pemerintah melalui Kementrian PDT, telah berupaya memberikan bantuan stimulus untuk pembangunan infrastruktur daerah tertinggal. Tabel 1.1 memperlihatkan bahwa dana yang digulirkan Kementrian PDT untuk percepatan pembangunan infrastruktur pedesaan daerah tertinggal mengalami kenaikan yang sangat signifikan. Tercatat pada tahun 2007 Kementrian PDT mengucurkan dana untuk program P2IPDT sebesar Rp 105,37 milyar dan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2008, menjadi sebesar Rp 274,82 milyar. Pola sebaran bantuan yang diberikan cukup sesuai mengingat share bantuan simulus infrastruktur paling besar diberikan pada daerah yang sejatinya merupakan daerah dengan indeks infrastruktur yang rendah (Prasetyo, 2010).

6

Tabel 1.1. Jumlah Bantuan Stimulus P2IPDT Kabupaten Tertinggal di Indonesia Tahun 2007 dan 2008 (Juta Rupiah)

Pulau Tahun 2007 2008 Sumatera 29.030,53 82.253,27 (27,55) (29,93) Jawa 11.949,41 31.219,42 (11,34) (11,36) Bali dan Nusa Tenggara 10.864,06 34.489,76

(10,31) (12,55) Kalimantan 4.646,99 25.613,11 (4,41) (9,32) Sulawesi 27.239,17 55.733,26 (25,85) (20,28) Maluku 8.566,90 16.269,27 (8,13) (5,92) Papua 13.076,91 29.240,72 (12,41) (10,64) Jumlah 105.373,98 274.818,82 (100,00) (100,00)

Sumber: Kementrian PDT (2009), diolah

Cat: Angka dalam kurung menunjukkan nilai proporsi

Kondisi ini mencerminkan bahwa pemerintah memiliki perhatian yang cukup serius untuk melakukan pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal sehingga dapat mengurangi kemiskinan melalui percepatan pembangunan infrastruktur. Studi empirik yang mengkaji mengenai dampak kebijakan tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan kabupaten tertinggal kiranya perlu dilakukan untuk mendeskripsikan implementasi bantuan infrastruktur yang telah dilaksanakan. Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini menganalisis pengaruh program percepatan pembangunan infrastruktur dalam meningkatkan perekonomian serta kaitannya dengan ketimpangan pendapatan dan penurunan kemiskinan di kabupaten tertinggal. Kajian mengenai pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal juga menjadi relevan untuk diteliti, mengingat pola pembangunan infrastruktur yang diterapkan haruslah sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan dasar daerah tertinggal.

7

1.2. Perumusan Masalah

Upaya campur tangan yang dilakukan pemerintah dalam mengurangi ketertinggalan dan mengurangi jumlah rakyat miskin di kabupaten tertinggal dilakukan dengan membentuk Kementrian PDT yang tugas, pokok dan fungsinya adalah membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang pembangunan daerah tertinggal (Perpres No. 9, Tahun 2005). Upaya yang dilakukan oleh Kementrian PDT adalah melaksanakan berbagai program bantuan yang diberikan kepada 183 (seratus delapan puluh tiga) kabupaten yang termasuk kategori kabupaten tertinggal di Indonesia. Salah satu program yang dilaksanakan Kementrian PDT adalah Program Pengembangan Sarana dan Prasarana melalui instrumen Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pedesaan Daerah Tertinggal (P2IPDT). Program dan instrumen ini bermaksud membantu kabupaten tertinggal agar dapat menjadi suatu kabupaten yang terbuka dan mampu berinteraksi dengan “dunia luar” sehingga akses ke berbagai faktor produksi menjadi semakin mudah untuk dijangkau, yang pada gilirannya dapat membuka peluang semakin bergeraknya perekonomian kabupaten tertinggal.

Penelitian sebelumnya menyimpulkan bahwa program bantuan yang dilaksanakan Kementrian PDT mampu secara signifikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi kabupaten tertinggal di Kawasan Timur Indonesia (Sari, 2009). Namun kajian mengenai dampaknya terhadap penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan belum banyak dilakukan. Kajian tersebut perlu dilakukan mengingat keterbatasan anggaran pemerintah (keterbatasan ruang fiskal), sehingga pemerintah tidak mungkin selamanya mampu memberikan dana bantuan, untuk itu kabupaten tertinggal harus mampu secara aktif dan mandiri meningkatkan pertumbuhan ekonominya dengan mewujudkan pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, yang diukur dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang disertai penurunan angka kemiskinan dan pemerataan distribusi pendapatan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, perlu dilakukan studi mengenai dinamika pertumbuhan ekonomi, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan masing-masing kabupaten tertinggal. Terkait dengan besaran belanja modal pemerintah pusat yang

8

dilaksanakan oleh Kementrian PDT melalui instrumen P2IPDT, perlu dilakukan kajian apakah instrumen P2IPDT memiliki pengaruh yang signifikan pada peningkatan perekonomian kabupaten tertinggal. Lebih jauh perlu diteliti pengaruh peningkatan perekonomian yang dicapai kabupaten tertinggal terhadap kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Hal ini perlu dilakukan mengingat masih banyaknya penduduk miskin yang tinggal di kabupaten tertinggal (33,74% dari total jumlah penduduk miskin di Indonesia). Berdasarkan fakta tersebut, penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT?

2. Bagaimana pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal?

3. Bagaimana pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian kabupaten tertinggal dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perekonomian kabupaten tertinggal?

4. Bagaimana hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian yang ingin dicapai antara lain:

1. Menganalisis dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT.

2. Menganalisis pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal yang saat ini telah dilakukan oleh Kementrian PDT.

3. Menganalisis pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian kabupaten tertinggal dan faktor-faktor apa saja yang memengaruhi perekonomian kabupaten tertinggal.

4. Menganalisis hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di kabupaten tertinggal.

9

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari hasil penelitian antara lain: 1. Deskripsi mengenai dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang

terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT diharapkan dapat digunakan untuk menilai dampak dari adanya program P2IPDT di kabupaten tertinggal, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu alat evaluasi bagi Kementrian PDT. 2. Analisis pola pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal diharapkan dapat

memberikan gambaran mengenai pelaksanaan program pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal dan diharapkan dapat memberikan masukan pada pengambil kebijakan, sehingga dapat lebih meningkatkan dampak positif dari pelaksanaan kebijakan.

3. Analisis mengenai pengaruh program P2IPDT melalui studi ekonometrik diharapkan dapat memberikan masukan bagi Kementrian PDT tentang pentingnya program P2IPDT bagi kesejahteraan masyarakat kabupaten tertinggal.

4. Analisis mengenai faktor-faktor yang memengaruhi perekonomian diharapkan dapat memberikan masukan bagi Kementrian PDT maupun pemangku kebjakan yang lain untuk lebih memfokuskan kebijakan maupun programnya pada peningkatan faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan untuk mendorong meningkatnya aktifitas ekonomi suatu daerah.

5. Analisis hubungan perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan diharapkan dapat digunakan oleh Kementrian PDT dan pemangku kebijakan yang lain sebagai bahan masukan dalam perumusan kebijakan yang tidak hanya pro pada pertumbuhan namun juga pro terhadap rakyat miskin.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian meliputi tiga hal. Pertama, memberikan deskripsi dinamika kemiskinan dan ketimpangan pendapatan yang terjadi di kabupaten tertinggal sebelum adanya implementasi program P2IPDT dan setelah adanya implementasi program P2IPDT. Kedua, melakukan studi ekonometrik mengenai

10

pengaruh program P2IPDT terhadap perekonomian dan faktor-faktor yang memengaruhi perekonomian. Ketiga, melakukan studi ekonometrik untuk melihat hubungan antara perekonomian, penurunan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Cakupan analisis dalam penelitian ini adalah pada kabupaten tertinggal, dimana analisis deskriptif yang dilakukan mencakup 199 kabupaten yang dikategorikan tertinggal oleh Kementrian PDT pada tahun 2005, sedangkan analisis ekonometrik difokuskan pada 82 kabupaten tertinggal di Indonesia (KBI dan KTI) yang termasuk dalam 199 kabupaten tertinggal yang telah ditetapkan oleh Kementrian PDT. Pemilihan 82 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan pada kontinuitas dana yang digulirkan oleh Kementrian PDT, dimana 82 kabupaten yang dipilih merupakan kabupaten yang mendapatkan dana bantuan stimulus infrastruktur (P2IPDT) secara terus menerus (2007-2009), selain juga mempertimbangkan faktor ketersediaan data pendukung lainnya.

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN

2.1. Kerangka Teori 2.1.1. Konsep Kemiskinan

Berbagai konsep mengenai kemiskinan dikemukakan oleh para ahli, diantaranya Bellinger (2007) yang berpendapat bahwa kemiskinan memiliki dua dimensi yaitu dimensi pendapatan dan nonpendapatan. Kemiskinan dalam dimensi pendapatan didefinisikan sebagai keluarga yang memiliki pendapatan rendah, sedangkan dari dimensi non pendapatan ditandai dengan adanya ketidakmampuan, ketiadaan harapan, tidak adanya perwakilan dan kebebasan. Kemiskinan dari sisi pendapatan lebih sering didiskusikan karena lebih mudah diukur, dan dapat dibedakan menjadi kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut.

Todaro dan Smith (2006) berpendapat bahwa kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumberdaya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu, atau dapat dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan internasional, selain kemiskinan absolut, beberapa ekonom mencoba mengkalkulasikan indikator jurang kemiskinan total yang mengukur pendapatan total yang diperlukan untuk mengangkat mereka yang masih di bawah garis kemiskinan ke atas garis tersebut. Kemiskinan relatif merupakan ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, biasanya berkaitan dengan ukuran di bawah tingkat rata-rata distribusi pendapatan nasional, indeks gini merupakan salah satu contoh ukuran kemiskinan relatif.

World Bank (1990) menyatakan bahwa garis kemiskinan berbeda untuk tiap negara, tetapi yang umum dijadikan standar untuk membandingkan antar negara adalah garis kemiskinan internasional yang menggunakan pendapatan perkapita sebesar US$ 1 per hari. US dollar yang digunakan adalah US $ PPP (Purchasing

Power Parity), bukan nilai tukar resmi (exchange rate). Studi yang dilakukan oleh

Chen dan Ravallion (2008) menyatakan bahwa menurut standar PPP dari

International Comparison Program (ICP) tahun 2005 bahwa garis kemiskinan

12

untuk itu Chen dan Ravallion menyatakan bahwa garis kemiskinan internasional yang lebih tepat dengan menggunakan nilai PPP tahun 2005 dari ICP adalah sebesar US$ 1,25 per hari.

Badan Pusat Statistik (2008) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari 2100 kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/kapita/tahun di pedesaan dan 480 kg/kapita/tahun di daerah perkotaan. Garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada tahun 2008 sebesar Rp 204,896/kapita/bulan untuk daerah perkotaan dan Rp 161,831/kapita /bulan untuk daerah pedesaan. Garis kemiskinan juga berbeda-beda untuk tiap daerah tergantung besarnya biaya hidup minimum masing-masing daerah. Perkembangan garis kemiskinan dapat dilihat pada Lampiran 1.

Penghitungan indikator kemiskinan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tidak terbatas pada jumlah dan persentase penduduk miskin, BPS juga menghitung rasio kedalaman kemiskinan (poverty gap ratio) dan Indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index) dengan menggunakan metode Foster-Greer-Thorbecke (FGT), yang dirumuskan sebagai:

=  −  = q 1 i i z y z N 1 P α α (2.1) dimana:

z = besarnya garis kemiskinan yang ditetapkan. N = jumlah penduduk.

q = banyaknya penduduk yang di bawah garis kemiskinan. yi

α = 0,1 dan 2.

= rata-rata pengeluaran perkapita sebulan penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (i = 1, 2, 3, ...q), yi < q.

Jika α = 0 maka diperoleh persentase penduduk miskin (P0); jika α = 1 adalah rasio kedalaman kemiskinan (P1); dan jika α = 2 adalah Indeks keparahan kemiskinan (P2). Rasio kedalaman kemiskinan P1 merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap batas kemiskinan. Semakin

13

tinggi nilai P1 berarti semakin besar kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan atau menunjukkan kehidupan ekonomi penduduk miskin semakin terpuruk. Sedangkan P2

Metode penghitungan penduduk miskin yang dilakukan BPS sejak pertama kali hingga saat ini menggunakan pendekatan yang sama yaitu pendekatan kebutuhan dasar (basic needs). Kemiskinan dikonseptualisasikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar, dengan kata lain, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar.

sampai batas tertentu dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin, dan dapat juga digunakan untuk mengetahui intensitas kemiskinan.

Beberapa ahli yang mendalami masalah kemiskinan membagi ukuran kemiskinan tidak hanya berdasarkan P1 maupun P2 saja, namun berdasarkan tipe kemiskinan. Tipe kemiskinan menurut Jalan dan Ravallion (1998) dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu chronic poverty dan transient poverty. Kemiskinan kronis

(chronic poverty) dapat diartikan kondisi dimana suatu individu yang tergolong

miskin pada suatu waktu, kemiskinannya terus meningkat dan berada pada tingkat kesejahteraan yang rendah dalam jangka panjang. Kemiskinan sementara (transient

poverty) dapat diartikan sebagai kondisi dimana kemiskinan yang terjadi pada suatu

waktu hanya merupakan kondisi sementara yang tidak bersifat permanen, yang dikarenakan penurunan standar hidup individu dalam jangka pendek. Kebijakan yang berbeda diperlukan dalam menangani kedua tipe kemiskinan. Investasi jangka panjang untuk orang miskin seperti peningkatan modal fisik maupun modal manusia merupakan kebijakan yang sesuai untuk menangani kasus chronic poverty, sedangkan asuransi dan skema stabilisasi pendapatan yang memproteksi rumahtangga dari guncangan ekonomi (economic shocks) akan menjadi kebijakan yang penting ketika tipe kemiskinan yang terjadi adalah transient poverty.

14

2.1.2. Pertumbuhan Ekonomi

Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi keduanya merupakan fenomena ekonomi yang saling berhubungan. Sampai dengan Tahun 1960, teori pembangunan ekonomi diperlakukan sebagai perluasan dari teori ekonomi konvensional dan untuk itu pembangunan dapat dikatakan hampir sama dengan pertumbuhan (Reungsri, 2010). Hall (1983) menyatakan bahwa pertumbuhan secara sederhana dapat didefinisikan sebagai peningkatan dalam produksi nasional maupun pendapatan nasional, namun Seers (1969) berargumen bahwa pembangunan tidak hanya berarti pertumbuhan, namun juga harus mengikutsertakan aspek sosial seperti adanya penurunan kemiskinan, ketimpangan dan pengangguran.

Menurut Todaro dan Smith (2006), pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kapasitas produktif dalam suatu perekonomian secara terus-menerus atau berkesinambungan sepanjang waktu sehingga menghasilkan tingkat pendapatan dan output nasional yang semakin lama semakin besar. Tiga komponen

Dokumen terkait