• Tidak ada hasil yang ditemukan

Eterniti/Keabadian dan Kekeliruan pemahaman)

Dalam dokumen Tawasin - Kitab Kematian (Halaman 29-46)

[: Untuk ia yang 'arif, dalam ke'arifannya-ke'arif saat berhubungan dengan wacana publik tentang apa yang logis dalam memperhatikan tujuan...]

1. Sang Faqir, Abu Mughits (Al-Hallaj), semoga Allah merahmatinya, berkata: "Tidak ada misi yang tangguh kecuali yang diemban Iblis dan Muhammad,

shalawat dan salam atasnya. Hanya, Iblis terjatuh dari Zat, dan Muhammad merasakan Zatnya-Zat."

2. Telah dikatakan kepada Iblis: "Sujudlah!" (QS. 2: 34) dan kepada Muhammad: "Tengoklah!" (QS. 53: 13) Namun, Iblis tidak bersujud, dan Muhammad pun tidak menengok. Ia tidak berpaling ke kanan atau ke kiri, "Matanya tidak celingukan, tidak juga jelalatan." (QS. 53: 17)

3. Sementara Iblis, setelah menyatakan misinya, ia tidak kembali ke kemampuan awalnya. 4. Sedangkan Muhammad, ketika menyatakan misinya, ia kembali ke kemampuannya. 5. Dengan pernyataan ini: "Bersama Engkau semata aku merasa bahagia, dan kepada

Engkau semata aku mengabdikan diriku." Dan: "Wahai Engkau yang membolak-balik hati." Serta: "Aku tidak tahu bagaimana memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau dipuji."

6. Di antara penghuni surga tidak ada pemuja sekaligus peng-Esa (Tawhid) yang seperti Iblis. 7. Karena Iblis 'di situ' telah 'melihat' penampakan Zat Ilahi. Ia pun tercegah bahkan dari

mengedipkan mata kesadarannya, dan mulailah ia memuja Sang Esa Pujaan dalam pengasingan khusyuknya.

8. Ia dikutuk ketika menjangkau pengasingan ganda, dan ia didakwa ketika menuntut kesendirian (Allah) mutlak.

30 | T A W A S I N

9. Allah berfirman kepadanya: "Sujudlah (kepada Adam as)!" Ia menjawab: "Tidak, kepada yang selain Engkau." Dia berfirman lagi kepadanya: "Bahkan, apabila kutuk-Ku jatuh menimpamu?" Ia menjawab lagi: "Itu tidak akan mengazabku!"

10. "Pengingkaranku adalah untuk menegaskan Kesucian-Mu, dan alasanku (ingkar) niscaya melanggar bagi-Mu. Tetapi, apalah Adam dibandingkan dengan-Mu, dan siapalah aku -- Iblis, hingga dibedakan dari-Mu!"

11. Ia jatuh ke Samudera Keluasan, ia menjadi 'buta', dan berkata: "Tidak ada jalan bagiku kepada yang lain selain dari-Mu. Aku pecinta yang 'buta'!" Dia berfirman kepadanya: "Kau telah takabur!" Ia menjawab: "Apabila ada satu saja kilasan pandang di antara kita, itu cukup membuatku sombong dan takabur. Kendati begitu, aku adalah 'ia' yang mengenal-Mu sejak ke-baqa'-an masa Terdahulu, dan "aku lebih baik daripadanya" (QS. 7: 12), sebab aku lebih lama mengabdi kepada-Mu. Tidak ada satu pun, di antara dua jenis makhluk (Adam dan Iblis) ini, yang mengenal-Mu secara lebih baik daripadaku!" "Ada Kehendak-Mu bersamaku, dan ada kehendakku bersama-Mu, sedangkan keduanya mendahului Adam. Apabila aku bersujud kepada yang selain Engkau, ataupun tidak bersujud, niscaya harus bagiku untuk kembali ke asalku. Karena Engkau menciptakan aku dari api, dan api kembali ke 'api', menuruti keseimbangan (sunnah) dan pilihan yang adanya milik-Mu."

12. "Tidak ada jarak dari-Mu padaku, karena aku yakin bahwa jarak dan kedekatan itu 'satu'!" "Bagiku, apabila aku dibiarkan, pengabaian-Mu justru menjadi mitraku. Jadi, seberapa pun jauhnya lagi, pengabaian dan cinta tetap 'menyatu'!" "Terpujilah Engkau, dalam taufiq-Mu dan Zat-Mu yang tiada terjangkau, bagi sang pemuja setia ini, yang tiada bersujud ke yang selain Engkau!"

13. Musa (as) bertemu Iblis di lereng Bukit Sinai, dan bertanya kepadanya: "Hai Iblis, apa yang mencegahmu dari bersujud?" Ia (Iblis) menjawab: "Yang mencegahku adalah

pernyataan ikrarku mengenai Sang Pujaan yang Unik. Dan, jika aku bersujud, aku akan menjadi sepertimu. Karena kau hanya perlu dipanggil sekali, "Tengoklah ke gunung," kau langsung menengok. Sementara aku, aku telah dipanggil ribuan kali untuk menyujudkan diriku kepada Adam, aku tidak bersujud, karena aku bersiteguh

dengan 'Tujuan' Ikrarku."

14. Musa (as) bertanya: "Kau membangkangi perintah?" Iblis pun menjawab: "Itu sebuah ujian, bukannya perintah." Musa bertanya lagi: "Tanpa dosa? Kendati wajahmu berubah begitu?" Iblis menyahut: "Hai Musa, keadaanku ini sekadar kemenduaan dari

31 | T A W A S I N

tidak berubah. Ma'rifat tetaplah benar sebagaimana pada awalnya, dan itu tidak berubah kendatipun pribadinya berubah."

15. Musa (as) bertanya: "Adakah kau mengingat-Nya (zikir) sekarang?" "Hai Musa,

pikiran yang murni tidak membutuhkan daya-ingat, -- dengan itu aku mengingat (Dia) dan Dia mengingat (aku). Ingatan-Nya adalah ingatanku, dan ingatanku adalah ingatan-Nya. Bagaimana mungkin, ketika kami saling mengingat, kami berdua berlainan satu sama lain?" "Pengabdianku sekarang lebih murni, waktuku lebih lapang, ingatanku lebih agung, sebab aku mengabdi kepada-Nya secara mutlak demi keberuntunganku, bahkan sekarang aku mengabdi kepada-Nya demi Diri-Nya."

16. "Aku mencabut keserakahan dari segenap apa pun yang mencegahku atau menahanku, baik demi kerugian ataupun keuntungan. Dia mengasingkanku, membuatku mabuk-kepayang, melinglungkanku, mengeluarkanku, sehingga aku tidak dapat berpadu dengan para ruh suci. Dia menjauhkanku dari yang lain, sebab kecemburuanku (kepada-Nya) supaya Dia Sendiri saja. Dia mengubahku, sebab Dia mengagumiku. Dia mengagumiku, sebab Dia membuangku. Dia membuangku, sebab aku pengabdi. Dan, menempatkanku dalam ahwal terlarang disebabkan kemitraanku. Dia mempertunjukkan kekurangan nilaiku disebabkan aku memuji Keagungan-Nya. Dia menyederhanakanku dengan sehelai kain ihram disebabkan kehajianku [hijya]. Dia membiarkanku disebabkan 'penemuan'-ku atas-Nya dalam zikir. Dia menyingkapkan (kasyf) hijab'penemuan'-ku disebabkaan penyatuan'penemuan'-ku. Dia mempenyatukanku disebabkan Dia memencilkanku. Dan, Dia memencilkanku disebabkan Dia mencegah hasratku."

17. "Dengan Kebenaran-Nya, maka aku tidak salah dalam memperhatikan titah-Nya,

bukannya aku menolak takdir. Aku tidak peduli sama sekali tentang perubahan wajahku. Aku hanya menjaga keseimbanganku (sunnah) melalui hukuman ini."

18. "Kendatipun Dia mengazabku dengan api-Nya sepanjang masa, aku tetap tidak akan bersujud kepada sesuatu (selain-Nya). Aku tidak akan merundukkan diriku kepada pribadi atau jasad (Adam as), sebab aku tidak mengaku berlawanan dengan-Nya! Ikrarku khusyuk, dan aku memang seorang yang khusyuk dalam 'cinta'!"

19. Al-Hallaj berkata: "Ada beragam teori yang berkenaan dengan keadaan (hal) spiritualnya 'Azazyl (ليزازع) [sebutan Iblis sebelum kejatuhannya]. Seseorang

mengatakan bahwa ia ditugaskan dengan misi di surga, serta dengan suatu misi (lainnya) di bumi. Di surga ia berkhutbah kepada malaikat, menunjukinya tentang amalan yang baik. Dan, di bumi ia berkhutbah kepada manusia dan jin, menunjukinya tentang perbuatan yang jahat."

32 | T A W A S I N

20. "Sebab, seseorang tidak akan mengenali sesuatu kecuali dengan (mengenali) yang sebaliknya. Sebagaimana dengan sutera putih halus, yang hanya dapat ditenun dengan menggunakan lakan hitam di belakangnya -- makanya, malaikat

mempertunjukkan amalan baiknya, dan berkata simbolis, "Jika kau beramal, kau akan mandapat pahala." Namun, ia yang tidak mengenal kejahatan sebelumnya, niscaya tidak dapat mengenali kebaikan."

21. Sang Faqir, Abu Umar Al-Hallaj, berkata: "Aku bersoal dengan Iblis dan Fir'aun tentang kehormatan Sang Pemurah." Kata Iblis: "Jika aku bersujud, aku niscaya kehilangan gelar kehormatanku." Dan, kata Fir'aun: "Jika aku beriman kepada Rasul (Musa as) itu, aku niscaya terjatuh dari harkat kehormatanku."

22. Al-Hallaj pun berkata: "Jika aku memungkiri pengajaranku dan pernyataanku, aku juga niscaya jatuh dari altar kehormatanku."

23. Tatkala Iblis berkata: "Aku lebih baik daripada ia (Adam as)," maka ia tidak melihat sesuatu pun selain dirinya. Tatkala Fir'aun berkata: "Aku tahu pun tidak bahwa kau (Musa as) mempunyai Tuhan yang selain aku," ia tidak mengetahui bahwa sembarang rakyatnya dapat membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.

24. Jadi, aku (Al-Hallaj) berkata: "Andaipun kau tidak mengenal-Nya, maka kenalilah pertanda-Nya. Akulah pertanda-Nya [tajally], dan akulah Sang Kebenaran (anal'-Haqq)! Hal ini disebabkan aku tiada henti menyadari 'ada'-Nya Sang Kebenaran!"

25. Temanku adalah Iblis, dan guruku adalah Fir'aun. Iblis diancam dengan api dan tidak mencabut pernyataannya. Fir'aun ditenggelamkan di Laut Merah tanpa mencabut pernyataannya ataupun mengakui sembarang perantara (rasul). kendatipun begitu ia berkata: "Aku beriman bahwa tiada Tuhan kecuali Dia yang diimani oleh Bani Isra'il." (QS. 10: 90) Dan, bukankah kau melihat bahwa Allah pun menentang Jibril dalam Keagungan-Nya? Dia berfirman: "Mengapa kau penuhi mulutmu dengan 'pasir'?" 26. Jadi, aku (akhirnya) dibunuh, digantung, tangan dan kakiku dipotong, tanpa aku

mencabut pernyataan tegasku!

27. Istilah Iblis diperoleh dari 'mutasi' nama pertamanya, 'Azazyl (ليزازع). 'Ain'-nya (ع) menunjukkan keluasan ikhtiarnya,

'zay'-nya (ز) adalah bertambah kerapnya kunjungan (kepada-Nya), 'alif'-nya (ا) sebagai jalan hidupnya dalam harkat-Nya,

33 | T A W A S I N

'ya'-nya (ي) langkah pengembaraannya ke penderitaannya, dan 'lam'-nya (ل) ketegarannya dalam kesakitannya.

28. Dia (Allah) berfirman kepadanya: "Kau tidak bersujud, hai yang nista!" Ia menjawab: "Sebutlah lebih baik -- 'pecinta'!" Karena pecinta dianggap rendah, maka Engkau menyebutku nista. Aku telah membaca dalam Kitab yang Nyata, wahai Sang Kuasa dan Setia, bahwa hal ini akan terjadi padaku. Jadi, bagaimana mungkin aku menistakan diriku kepada Adam, padahal Engkau menciptakannya dari tanah, sedangkan aku dari api? Dua hal yang berlawanan tidak dapat diakurkan. Dan, aku telah mengabdi-Mu lebih lama, juga memiliki kebajikan yang lebih luhur, pengetahuan yang lebih luas, serta aktivitas yang lebih sempurna."

29. Allah, yang senantiasa terpujilah Dia, berfirman kepadanya: "Pilihan adalah milik-Ku, bukannya milikmu." Ia menjawab: "Segenap pilihan, bahkan pilihan diriku, adalah milik-Mu. Karena Engkau telah terpilih untukku, wahai Sang Khaliq. Jika Engkau

mencegahku dari bersujud kepadaanya (Adam as), Engkau adalah 'Sebab' pencegahan itu. Jika aku khilaf berbicara, Engkau tidak membiarkanku, karena Engkau Sang Maha Mendengar. Jika Engkau berkehendak aku bersujud kepadanya, aku niscaya taat. Aku tidak mengetahui seorang pun di antara (makhluk) yang 'Arif, yang mengenal-Mu secara lebih baik daripada aku."

30. Jangan persalahkan aku, ide kecaman jauh dariku, anugerahilah aku, wahai Penguasaku, demi aku sendiri. Kalaupun dalam hal janji, janji-Mu itu sejatinya Kebenaran prinsip, tentunya prinsip ikhtiarku juga kuat. Ia yang berhasrat menulis ikrarku ini, atau membacanya, akan mengetahui bahwa aku (akhirnya) menjadi seorang Syahid! 31. Hai saudaraku! Ia (Iblis) disebut 'Azazyl karena ia dibebastugaskan ('uzyla),

dibebastugaskan dari kesucian purbanya. Ia tidak kembali dari asalnya ke akhirnya, sebab ia tidak keluar dari akhirnya. Ia dibiarkan, dikutuk dari asalnya.

32. Upayanya untuk keluar pun gagal, disebabkan perasaan iba-dirinya. Ia mendapatkan dirinya antara api tempat peristirahatannya dan cahaya posisi ketinggiannya.

33. Sumber air di darat adalah telaga yang rendah. Ia (Iblis) terazab kehausan di tempat yang (airnya) berlimpah-ruah. Ia menangisi kesakitannya, karena api telah membakarnya. Kekhawatirannya tidak lain hanyalah kepura-puraan, dan ke-'buta'-annya adalah kesia-siaan -- itulah ia adanya!

34 | T A W A S I N

34. Hai saudaraku! Andaikan kau mengerti, kau telah mempertimbangkan jalan sempit di kesempitannya yang teramat sangat. Kau telah menunjukkan khayalan itu kepadamu dalam kemusykilannya yang teramat sangat. Dan, kau akan menderita serta penuh kegelisahan.

35. Kaum shufi yang paling terjaga pun tetap bungkam tentang Iblis, dan para 'arifin tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan apa yang telah dipelajarinya (tentang Iblis). Iblis lebih kuat daripada mereka dalam hal pemujaan, dan lebih dekat daripada mereka kepada Sang Zat Wujud. Ia (Iblis) mengerahkan dirinya lebih dan 'lebih' setia pada perjanjian, serta lebih dekat daripada mereka kepada Sang Pujaan.

36. Malaikat lain bersujud kepada Adam (as) karena dukungan (Allah), sedangkan Iblis menolak (bersujud) karena ia telah 'tafakur' sekian lamanya.

37. Kendati begitu, keadaannya menjadi membingungkan, dan pikirannya kesasar, sehingga ia berkata: "Aku lebih baik daripada ia (Adam as)." (QS. 7: 12) Ia tetap di balik tabir, tidak menghargai 'debu' (asal kejadian Adam as), dan mengusung kutukan di atas pundaknya hingga Akhir Ke-'baqa'-an Masanya-Masa Ke-'baqa'-an nanti...

35 | T A W A S I N

Thasin Al Masyi-ah (Kehendak)

1. Inilah penggambaran tentang Taqdir Ilahi. Lingkaran ( o ) pertama adalah

Kehendak [masyi‟ah] Allah, dan ( o ) kedua adalah Hikmah-Nya, serta ( o ) ketiga adalah Kuasa-Nya, sedangkan ( o ) keempat adalah Ilmu-Nya yang „Azaliy.

2. Iblis berkata: “Bila aku memasuki lingkaran pertama, aku akan menempuh ujian dari (lingkaran) yang kedua. Dan, bila aku melintas ke yang kedua, aku harus menempuh ujian dari (lingkaran) yang ketiga. Bahkan, bila aku menyeberang ke yang ketiga, aku mesti menempuh ujian dari (lingkaran) yang keempat.”

3. Maka – tidak (la), tidak (la), tidak (la), tidak (la), dan tidak (la)! Bahkan, bila aku istirah di „tidak‟ pertamaku, aku pasti dikutuk sampai aku mengucapkan („tidak‟) yang kedua, dan dibuang sampai aku mengucapkan („tidak‟) yang ketiga. Jadi, apakah yang keempat berarti bagiku?

4. Kalaulah aku tahu bahwa bersujud (kepada Adam as) pasti menyelamatkan aku, aku niscaya bersujud. Kendati demikian, aku tahu bahwa setelah lingkaran (pertama) itu ada lingkaran-lingkaran (kedua, ketiga, dan keempat) lainnya. Dengan pemikiran begitu, maka kukatakan kepada diriku: Kalaupun aku selamat dari lingkaran (pertama) ini, bagaimana dapat aku keluar dari (lingkaran) yang kedua, yang ketiga, dan yang keempat? 5. Adapun „Alif‟ ( ا ) dari „La‟ ( لا ) yang kelima adalah “Dia – Tuhan, Sang Hidup.”

(QS. 2: 255)

36 | T A W A S I N

Thasin Al Tauhid (Keesaan)

1. Dia – Allah, Sang Maha Hidup (Al-Hayy).

2. Allah adalah Sang Esa, Unik, Sendiri, dan „saksi‟ sebagai yang Satu.

3. Sekaligus, Sang Esa dan kesaksian atas Penyatuan (Tawhid) yang Satu, Adalah „di Dia‟ dan „dari Dia‟.

4. Dari-Nya datang jarak pemisah (makhluk) yang lain dari Penyatuan-Nya, dan itu dapat dilambangkan demikian ini:

[Tauhid terpisah dari Allah, dan simbol „wahdaniyah‟ ini dilambangkan oleh „Alif‟ ( ) panjang, dengan sejumlah „dal‟ (د ) di dalamnya. Adapun „Alif‟-nya ( ) merupakan Zat, dan „dal‟-nya ( د ) sebagai Sifat.]

5. Pengetahuan Tauhid adalah sebuah ikhtisar kesadaran yang mandiri, dan perlambangnya demikian ini:

[Inilah „Alif‟ ( ) purba-Nya Zat (‟Alif‟ panjang) dengan „alif-alif‟ ( ﺍ ﺍ ) lainnya, yang merupakan wujud-wujud makhluk, dan yang hidup di atas „Alif‟ ( ) utama.]

6. Tauhid adalah sifat subyek makhluk yang melafalkan ketauhidannya, dan bukan sifat sang Obyek yang tersaksikan Satu.

37 | T A W A S I N

7. Apabila aku yang makhluk mengatakan “aku”, dapatkah aku membuat-Nya juga mengatakan “Aku”? Tauhidku datang dariku, dan bukan dari-Nya. Dia

suci [munazzah] dariku dan Tauhidku.

8. Bila aku mengatakan: “Tauhid kembali ke „ia‟ yang mengatakannya,” maka aku membuatnya (Tauhid) sebagai suatu makhluk.

9. Jika aku mengatakan: “Tidak, Tauhid itu datang dari sang Obyek yang tersaksikan,” maka adakah hubungan yang mengaitkan seorang peng-Esa (Tauhid) ke pernyataannya tentang Penyatuan itu?

10. Andai kukatakan: “Memang, Tauhid adalah hubungan yang mengaitkan sang Obyek ke subyeknya,” maka aku telah mengarahkan hal ini ke sebuah ketentuan nalar!

38 | T A W A S I N

Thasin Al Asrar fi al Tauhid (Kesadaran Diri Dalam

Tauhid)

1. Adapun perlambang “Thasin Al Asrar fi al Tauhid : Kesadaran-Diri dalam Tauhid” adalah demikian ini:

[„Alif‟ ( ا ) panjang – Penyatuan; Tauhid. „Hamzah‟ ( ) – kesadaran-diri, beberapa di satu sisi dan beberapa lagi di sisi lainnya. „Ain‟ ( ) di awal dan akhir – Zat.]

Kesadaran-diri itu berproses dari-Nya, kembali pada-Nya, dan beredar di dalam-Nya. Kendati demikian, secara nalar semuanya tidak penting (bagi-Nya).

2. Subyek sejatinya Tauhid berbolak-balik melintasi keragaman subyek, sebab Dia tidak tercakup dalam subyek atau dalam obyek ataupun dalam kata-ganti lainnya. Akhiran kata-bendanya juga tidak terliput pada Obyeknya. Kata-kepunyaan „ha‟-nya ( ح) adalah milik „Ah‟-nya ( اح), dan bukan „Ha‟ ( ) lain, yang tidak membuat kita bertauhid. 3. Bila kukatakan tentang „Ha‟ ( ) ini „Wa-Ha‟ (ﻫﻮ), yang lainnya akan berseru padaku,

“Malangnya!”

4. Itulah julukan, sebutan dan kiasan demonstrative yang menembus (Tauhid) ini, sehingga kita dapat „melihat‟ Allah melalui keadaan (hal) senyatanya.

5. Segenap peribadi insan seperti “sebuah bangunan yang tersusun rapi”. Inilah ketentuannya, dan Penyatuan Allah (Tauhid) tidak terkecuali bagi ketentuan ini. Kendati demikian, setiap ketentuan adalah batasan, dan sifat batasan hanya berlaku bagi obyek-terbatas. Sebaliknya, obyek Tauhid tidak mengakui pembatasan tersebut.

6. Kebenaran [al-Haqq] itu sendiri tidak lain dari singgasana Allah, bukannya Zat Allah. 7. Dikatakan, Tauhid tidak mencapai (Kebenaran) itu, karena peran kebahasaan dari suatu

39 | T A W A S I N

sebuah imbuhan. Kalau begitu, bagaimana dapat semua berpadu, ketika menyangkut Allah?

8. Kalau kukatakan: “Tauhid terpancar dari-Nya,” maka aku menggandakan Zat Ilahi, dan membuat pancaran dari Dirinya sendiri, ada bersama dengan-Nya, „ada‟ ataupun „tiada‟ Zatnya secara bersamaan.

9. Andai kukatakan bahwa „ada‟-nya tersembunyi „di dalam‟ Allah, dan Dia

mengejawantahkannya. Bagaimana itu tersembunyinya, sedangkan di (Allah) sana tidak ada „bagaimana‟ atau „apa‟ ataupun „ini-itu‟, dan di sana juga tidak ada tempat [„dimana‟] yang memuat Dia.

10. Sebab, „di dalam ini-itu‟ adalah ciptaan Allah, sebagaimana adanya „di mana‟. 11. Adapun yang mendukung suatu aksi (aksiden) bukannya tanpa substansi. Dan, yang

tidak terpisahkan dari jasad bukannya tanpa unsur jasad. Juga yang tidak terpisahkan dari ruh bukannya tanpa unsur ruh. Karena itu, Tauhid merupakan sebuah perpaduan (spiritual).

12. Kita kembali dulu, di luar semua itu, ke pokok masalah [Obyek kita] dan memisahkannya dari kalimat tambahan, pemaduan, penghitungan, peleburan dan penyifatan.

13. Lingkaran pertama [pada diagram berikutnya] terdiri atas tindakan Allah, yang kedua terdiri atas tiruannya (tindakan). Dan, inilah dua lingkaran (makhluk) ciptaan.

14. Sedangkan (lingkaran) titik-pusat melambangkan Tauhid, tetapi bukan (sebenarnya) Tauhid. Kalau tidak, bagaimana mungkin itu terpisahkan dari lingkaran?

40 | T A W A S I N

Thasin al Tanzih (Kesucian, keterbebasan)

1. Inilah lingkaran qiyas (alegori) Tauhid, dan inilah sosok perlambangnya:

2. Inilah kesemestaan yang dapat memperlihatkan kepada kita mengenai fatwa dan hukum (Tauhid), juga buat para pakar, ahli „ibadah dan ahli madzhab, ahli fiqih dan ahli kalam. 3. Lingkaran pertama adalah „perasaan‟ harfiah, yang kedua adalah „rasa‟ batin, dan yang

ketiga adalah kias „ruh‟ (yang tidak terkiaskan).

4. Itulah keseluruhan segala sesuatu, yang dicipta ataupun digubah, yang dipakai, ditapis, disaring, disangkal, yang dibuai ataupun dibius.

5. Ia beredar dalam kata-ganti „kami‟ subyek-subyek pribadi. Seperti sebatang panah, ia menembusi sekujur mereka, melengkapinya, mengejutkannya, dan membalikkannya. Ia juga menakjubkan mereka, meneranginya, dan ia mempesonakannya saat „menemui‟ mereka. 6. Itulah keseluruhan substansi dan kualitas makhluk. Adapun Allah tidak berhubungan

dengan perumpamaan ini.

7. Kalau kukatakan: “Ia adalah Dia,” pernyataan itu bukanlah (refleksi) Tauhid. 8. Bila kukatakan bahwa Tauhid Allah itu shahih, orang akan menjawabku – “Tidak

41 | T A W A S I N

9. Andai kukatakan “tanpa waktu,” orang akan bertanya: “Adakah maknanya Tauhid itu tamsil?” Padahal, tidak ada perbandingan saat menggambarkan Allah. Tauhidmu itu tidak ada hubungannya dengan Allah ataupun makhluk, sebab faktanya mengungkapkan bahwa sejumlah waktu itu mengintrodusir kondisi terbatas. Dalam hal ini, kau telah menambahkan pengertian pada Tauhid, seolah (Tauhid) itu bergantung. Bagaimanapun, kebergantungan bukanlah sifat Allah. Zat-Nya itu Unik. Dan, sekaligus, baik Kebenaran maupun apa yang gaib, tidak mungkin terpancar (keluar) dari Zat-Nya Zat.

10. Jika kukatakan: “Tauhid adalah Firman itu sendiri,” „Firman‟ adalah sifatnya Zat, bukan Zat itu sendiri.

11. Jika kukatakan: “Tauhid maknanya Allah berhasrat sebagai yang Satu,‟ „Kehendak‟ Ilahi adalah sifatnya Zat, sedangkan hasrat adalah makhluk.

12. Jika kukatakan: “Allah adalah Tauhidnya Zat yang dinyatakan pada dirinya sendiri,” maka aku membuat Zat bertauhid, yang bisa menjadi pergunjingan kita.

13. Jika kukatakan: “Tidak, ‟ia‟ (Tauhid) bukan Zat,” lalu dapatkah aku menyatakan bahwa Tauhid adalah makhluk?

14. Jika kukatakan: “Nama dan obyek yang dinamai itu Satu,” maka apakah pengertian (nama) yang dikandung Tauhid?

15. Jika kukatakan:” Allah adalah Allah, maka adakah aku mengatakan bahwa Allah adalah zatnya-Zat, dan „ia‟ (Tauhid) adalah Dia?

16. Inilah “Tha-Sin” yang membicarakan tentang penyangkalan atas alasan-alasan sekunder, dan inilah lingkaran-lingkarannya, dengan „La‟ ( لا) yang tertulis di sini sebagai sosoknya:

42 | T A W A S I N

17. Lingkaran pertama adalah pra-Kelanggengan, yang kedua Keterangjelasannya, yang ketiga Dimensinya, dan yang keempat Berpengetahuannya.

18. Adapun Zat bukannya tanpa sifat.

19. Sang penempuh (lingkaran) pertama membuka Gerbang Pengetahuan, dan tidak bertemu. Yang kedua membuka Gerbang Penyucian, dan tidak bertemu. Yang ketiga membuka Gerbang Pemahaman, dan tidak bertemu. Yang keempat membuka Gerbang Pemaknaan, dan tidak bertemu. Tidak seorang pun „ketemu‟ Allah dalam Zat-nya atau dalam

Kehendak-Nya, tidak dalam pembicaraan, apalagi dalam Dia-nya „Dia‟ Sejati.

20. Maha Besar Allah, yang Maha Suci, yang dengan kesucian-Nya tidaklah Dia terjangkau oleh segenap cara (thariqah) sang arif, apalagi oleh segenap intuisi orang kebatinan.

21. Inilah “Tha-Sin” tentang Nafi‟-Itsbat (Penyangkalan dan Penegasan) dan inilah penjabarannya:

22. Rumus pertama membicarakan pikiran orang kebanyakan („amm), yang kedua pemikiran orang terpilih (khasysy). Dan, lingkaran yang menggambarkan „Ilmu Allah ada di antara keduanya. Adapun „La‟ (لا) yang tertutup lingkaran adalah penyangkalan atas segenap dimensi. Dua „ha‟-nya (ح) adalah perangkatnya, seperti pilar dua sisinya Tauhid, yang menopangnya ke atas. Di luar itu berawal ketergantungan (makhluk).

23. Pikiran orang kebanyakan tercebur ke samudera khayal, dan pemikiran orang terpilih (tercebur) ke samudera kearifan. Tetapi, dua samudera itu akan mengering, dan jalan yang mereka tandai akan terhapus. Pikiran dan pemikiran itu akan lenyap, dua pilarnya akan runtuh, dua alam maujudnya akan hancur, juga pembuktiannya serta pengetahuannya akan musnah.

43 | T A W A S I N

24. Sedangkan di hadirat Keilahian Allah, Dia tetap „Ada‟, mengatasi sekalian makhluk yang bergantung. Segenap puji bagi Allah, yang tidak terjangkau oleh alasan sekunder. Bukti-nya sangat kuat, dan kuasa-Nya sangat agung. Dia, Tuhan Sang Kemegahan dan

Keagungan serta Kemuliaan. Maha Satu yang „Tiada-Terbilang‟ dengan kesatuan aritmetis. Tiada patokan, hitungan, awalan atau akhiran yang menjangkau-Nya. Wujud-Nya „Tiada-Terbayang‟ karena Dia bebas dari maujud. Dia Sendiri saja yang mengetahui Diri-Nya, Penguasa Keluasan dan Keluhuran (QS. 55: 27), Pencipta (Al-Khaliq) ruh dan jasad.

44 | T A W A S I N

"THASIN": Pencapaian Sang Laron Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar.

Lalu ia kembali ke rekan-rekannya, dan menceritakan keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh kesan.

Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api

dalam hasratnya untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang sempurna. Cahayanya nyala api itu adalah Pengetahuan hakikat,

panasnya adalah Kenyataan hakikat,

dan Penyatuan dengannya adalah Kebenaran hakikat. Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan panasnya,

Dalam dokumen Tawasin - Kitab Kematian (Halaman 29-46)

Dokumen terkait