BAB II DASAR TEORI
B. Ethnocentrism
1. Definisi Ethnocentrism
Ethnocentrism adalah sebuah konsep yang pertama diperkenalkan oleh Sumner pada tahun 1906. Sumner mengidentifikasi ethnocentrism
sebagai kecenderungan yang menganggap kepercayaan, standar, dan kode perilaku kelompok lebih unggul dari kelompok lainnya (dalam Silva, 2010). Wanninayake dan Chovancová (2012) mendefinisikan
ethnocentrism sebagai kecenderungan individu yang menganggap kebudayaan mereka sendiri sebagai superior dan merendahkan kebudayaan lainnya. Menurut para peneliti sebelumnya seperti Luque- Martinez, Ibanez-Zapata, dan del Barrio-Garcia (dalam Silva, 2010), konsep ethnocentrism merupakan representasi dari universalitas,
kelompok dan untuk menolak orang-orang yang secara budaya berbeda, membabi buta menerima mereka dari budaya yang sama. Menurut Heine (2008), ethnocentrism dapat menyebabkan orang untuk berasumsi bahwa cara hidup budaya mereka sendiri dalam beberapa hal lebih baik atau lebih alami daripada yang lain.
Secara umum, konsep ethnocentrism ialah melihat grup sebagai pusat universal, menginterpretasi bagian sosial lain dengan perspektif grup, dan menolak orang yang berasal dari budaya yang berbeda (Worchel & Cooper, dalam Shimp & Sharma, 1987). Lebih spesifik,
ethnocentrism termasuk kecenderungan untuk (1) membedakan berbagai kelompok, (2) melihat kejadian-kejadian di hal kepentingan kelompok (ekonomi, politik, dan sosial), (3) melihat kelompok sendiri sebagai pusat alam semesta dan menganggap cara hidupnya sebagai superior untuk semua lain, (4) menjadi curiga dan meremehkan kelompok lain; (5) melihat kelompok sendiri sebagai superior, kuat, dan jujur; (6) melihat kelompok lain sebagai inferior, lemah, dan jujur pengacau (LeVine & Campbell, dalam Shimp & Shin, 1995).
Shimp dan Sharma (dalam Watson & Wright, 2000) mengungkapkan bahwa konsumen etnosentris fokus pada responsibilitas dan moralitas membeli produk buatan asing dan loyalitas konsumen pada produk pabrik negara mereka. Dapat juga diartikan bahwa konsumen yang etnosentris memiliki rasa tanggung jawab untuk mengkonsumsi produk negara mereka, memiliki penilaian
21
baik atau tidaknya saat mengkonsumsi barang impor dan mengenai kesetiaan konsumen pada produk lokal. Menurut Silva (2010),
ethnocentrism juga dapat dikatakan sebagai istilah yang digunakan untuk mengidentifikasikan konsumen yang memposisikan superior terhadap produk dan jasa pilihan yang dipercaya berasal dari negara mereka. Mooij (2003) menyatakan bahwa ketika konsumen lebih memilih produk atau merek dari negara mereka sendiri dibandingkan produk atau merek dari negara lain, maka konsumen tersebut disebut konsumen etnosentris
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
ethnocentrism merupakan kecenderungan konsumen untuk menganggap kebudayaan mereka sendiri sebagai superior dan merendahkan kebudayaan lainnya, atau kecenderungan konsumen memposisikan produk dan jasa pilihan yang dipercaya berasal dari negara mereka sebagai superior.
2. Aspek-aspek Ethnocentrism
Ethnocentrism dapat dilihat melalui tiga aspek yaitu, aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif. Aspek kognitif berkaitan dengan pemikiran, aspek afektif berkaitan dengan perasaan, dan aspek konatif berkaitan dengan tindakan (Maio & Haddock, 2010).
3. Dampak Ethnocentrism
Penelitian Chen (2008) di Cina dan Amerika Serikat menemukan bahwa ethnocentrism memiliki efek pada niat beli. Tujuan penelitian Chen ini ialah untuk menguji efek negara asal (Country of Origin), efek keakraban merek, dan efek ethnocentrism di dua pasar berbeda yaitu Cina dan Amerika Serikat yang menggunakan
laptop sebagai stimulus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk orang yang memiliki ethnocentrism tinggi (subjek Amerika Serikat) akan membeli laptop yang dirancang dan dirakit di negara mereka (Amerika Serikat), sedangkan bagi mereka dengan
ethnocentrism rendah (subjek Cina) akan lebih berniat untuk membeli
laptop yang dirancang dan dirakit di negara Amerika Serikat.
Pernyataan tersebut juga didukung oleh hasil penelitian Chakrabarty dan Conrad (1995) yang menemukan adanya hubungan antara niat ethnocentrism dan pembelian yang dimodifikasi oleh persepsi terhadap kualitas. Hasil penelitian Chakrabarty dan Conrad menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi kualitas produk Amerika, semakin rendah niat pembelian produk asing. Temuan ini memberikan dukungan pada produsen barang elektronik untuk meningkatkan kualitas barang elektronik di Amerika dibandingkan dengan produsen asing.
23
C. Remaja
1. Definisi Remaja
Adolescence berasal dari bahasa Latin “adolescere” (kata
bendanya adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Desmita, 2007; Jahja, 2011; Steinberg, 2002). Dapat diartikan masa remaja (adolescence) ialah periode perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, yang memasuki pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun (Santrock, 2002). Mönks, Knoers, dan Haditono (1999) mengungkapkan bahwa masa remaja secara global berlangsung antara usia 12 dan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun: masa remaja awal, 15-18 tahun: masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun: masa remaja akhir.
Menurut Steinberg (2002), masa remaja merupakan masa pertumbuhan, bergerak dari ketidakmatangan anak ke kedewasaan dewasa, serta masa persiapan untuk masa depan masa remaja yaitu masa transisi: biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) pada orang tua ke arah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral (Salzman, dalam Jahja,
Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan, maka dapat disimpulkan bahwa masa remaja (adolescence) ialah periode perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa, yang memasuki usia 12 hingga 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun: masa remaja awal, 15-18 tahun: masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun: masa remaja akhir.
2. Karakteristik Remaja
Seorang sarjana Psikologi Amerika Serikat G.S. Hall (dalam Sarwono, 2011; Santrock, 2012) yang disebut sebagai bapak psikologi remaja mengungkapkan bahwa, pada tahap perkembangan manusia: Masa remaja (adolence) : 12-23 tahun, yaitu masa badai dan stres (stress-and-stress view) yang mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak akibat pertentangan nilai-nilai. Dengan kata lain masa remaja adalah masa pergolakan yang penuh dengan konflik dan perubahan suasana hati (Hall dalam Santrock, 2002; Santrock, 2012).
Erik H. Erikson adalah ahli psikoanalisa yang menjadi salah satu ahli teori pertama yang mengajukan pendekatan rentang kehidupan terhadap psikologi perkembangan. Menurut Erikson, perkembangan individu melalui 8 tahapan, yaitu kepercayaan dan ketidakpercayaan, otonomi dengan rasa malu dan keragu-raguan, inisiatif dan perasaan bersalah, kompetensi dan inferiorotas, identitas dan kebingungan identitas, keintiman dan keterkucilan, bangkit dan mandeg, serta
25
integritas ego dan kekecewaan (Santrock, 1995, Wade & Tavris, 2008b). Menurut Erikson (1989), tahap kelima (12-23 tahun) merupakan konflik psikososial yang muncul pada mula pubertas. Konflik psikososial ini adalah “identitas” melawan “kekacauan identitas”. Pemuda ditimpa oleh sekian banyak masalah yang berasal dari proses fisiologis dan seksualnya.
Remaja juga mengalami perkembangan pada aspek kognisi sosialnya. Menurut Dacey dan Kenny (dalam Desmita, 2007), yang dimaksud dengan kognisi sosial adalah kemampuan untuk berpikir secara kritis mengenai isu-isu dalam hubungan interpersonal, yang berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman, serta berguna untuk memahami orang lain dan menentukan bagaimana melakukan interaksi dengan mereka. Santrock (2007; Santrock 2012) menyatakan bahwa egosentrisme remaja (adolescent egocentrism) merupakan kesadaran diri pada remaja yang meningkat, yang tercermin dalam keyakinan mereka bahwa orang lain berminat terhadap diri mereka seperti halnya mereka terhadap dirinya sendiri.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa selain mengalami perubahan fisiologis, remaja juga mengalami perkembangan pada aspek kognisi sosialnya (kemampuan untuk berpikir secara kritis mengenai isu-isu dalam hubungan interpersonal),
D. Dinamika Hubungan Ethnocentrism dan Kecenderungan Pembelian