• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan ethnocentrism dan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan ethnocentrism dan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja."

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ETHNOCENTRISM DAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA REMAJA

Gretty Henofela Huwae

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ethnocentrism dan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja. Subjek penelitian adalah 161 remaja berusia antara 12 dan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun: masa remaja awal, 15-18 tahun: masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun: masa remaja akhir. Hipotesis dalam penelitian ini ada hubungan negatif antara ethnocentrism dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja. Semakin tinggi etnosentrisme maka semakin rendah kecenderungan perilaku pembelian impulsif, dan sebaliknya. Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Convenience Sampling. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif dan Skala Sikap Ethnocentrism dalam model Likert. Skala kecenderungan pembelian impulsif memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,916 dan skala sikap ethnocentrism memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,930. Uji asumsi yang digunakan ialah uji normalitas dan uji linearitas. Hasil menunjukkan bahwa data memiliki distribusi normal, namun tidak memiliki hubungan yang linear antara kecenderungan pembelian impulsif dan ethnocentrism pada remaja (p = 0,263). Oleh karena itu, hipotesis yang berbunyi ada hubungan negatif antara ethnocentrism dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja, ditolak.

(2)

RELATIONSHIP OF ETHNOCENTRISM AND IMPULSIVE BUYING TENDENCIES IN ADOLESCENT

Gretty Henofela Huwae

ABSTRACT

This study aims to determine the relationship of ethnocentrism and impulsive buying tendencies in adolescents. The hypothesis in this study that there was a negative relationship between ethnocentrism with impulsive buying tendencies in adolescents. More higher the ethnocentrism, the propensity of impulsive buying behaviour will be more lower, and vice versa. The subjects were 161 adolescents aged between 12 and 21 years, with 12-15 year division: early adolescence, 15-18 years: mid- adolescence, and 18-21 years: late adolescence. The sampling method used in this study is Convenience Sampling. The method used to collect data in this study is Impulsive Buying Tendency Scale and Ethnocentrism Attitudes Scale in Likert’s model. The impulsive buying tendency scale has an Alpha Cronbach coefficient of 0.916 and the ethnocentrism scale has an Alpha Cronbach coefficient of 0.930. The assumption test that used is the normality and linearity test. The results indicate that the data has a normal distribution, but does not have a linear relationship between impulsive buying tendencies and ethnocentrism in adolescents (p = 0.263). Therefore, the hypothesis that there is a negative relationship between ethnocentrism and impulsive buying tendencies in adolescents, was rejected.

Keyword: Impulsive Buying Tendencies, Ethnocentrism, Adolescent

(3)

i

HUBUNGAN ETHNOCENTRISM DAN KECENDERUNGAN

PEMBELIAN IMPULSIF PADA REMAJA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Gretty Henofela Huwae

099114018

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)
(5)
(6)

MOTTO

Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu

seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.

(Kolose 3:23)

“Barang siapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar.” (Lukas 16:10a)

Pergunakanlah waktu yang ada, karena hari-hari ini adalah jahat. (Efesus 5:16)

Pencobaan yang ku alami tidak melebihi kemampuanku dan Ia akan memberikan jalan keluar sehingga aku dapat menanggungnya.

(1 Korintus 10:13)

Bila gunung dihadapanku tak jua berpindah, Kau berikanku kekuatan untuk mendakinya. Ku lakukan yang terbaikku Kau yang selebihnya, Tuhan selalu punya cara membuatku menang pada akhirnya..

Ada waktu untuk berduka & ada waktu tuk tertawa, Kau jadikan semuanya indah pada waktunya, Walau kini ku menabur benih sambil mencucurkan air mata ku percaya suatu saat ku kan menuai berkasnya sambil bersorak-sorai..

YA & AMIN

(7)

v

(8)
(9)

vii

HUBUNGAN ETHNOCENTRISM DAN KECENDERUNGAN PEMBELIAN IMPULSIF PADA REMAJA

Gretty Henofela Huwae

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ethnocentrism dan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja. Subjek penelitian adalah 161 remaja berusia antara 12 dan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun: masa remaja awal, 15-18 tahun: masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun: masa remaja akhir. Hipotesis dalam penelitian ini ada hubungan negatif antara ethnocentrism dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja. Semakin tinggi etnosentrisme maka semakin rendah kecenderungan perilaku pembelian impulsif, dan sebaliknya. Metode sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Convenience Sampling. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif dan Skala Sikap Ethnocentrism dalam model Likert. Skala kecenderungan pembelian impulsif memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,916 dan skala sikap ethnocentrism memiliki koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,930. Uji asumsi yang digunakan ialah uji normalitas dan uji linearitas. Hasil menunjukkan bahwa data memiliki distribusi normal, namun tidak memiliki hubungan yang linear antara kecenderungan pembelian impulsif dan ethnocentrism pada remaja (p = 0,263). Oleh karena itu, hipotesis yang berbunyi ada hubungan negatif antara ethnocentrism dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja, ditolak.

(10)

RELATIONSHIP OF ETHNOCENTRISM AND IMPULSIVE BUYING TENDENCIES IN ADOLESCENT

Gretty Henofela Huwae

ABSTRACT

This study aims to determine the relationship of ethnocentrism and impulsive buying tendencies in adolescents. The hypothesis in this study that there was a negative relationship between ethnocentrism with impulsive buying tendencies in adolescents. More higher the ethnocentrism, the propensity of impulsive buying behaviour will be more lower, and vice versa. The subjects were 161 adolescents aged between 12 and 21 years, with 12-15 year division: early adolescence, 15-18 years: mid- adolescence, and 18-21 years: late adolescence. The sampling method used in this study is Convenience Sampling. The method used to collect data in this study is Impulsive Buying Tendency Scale and Ethnocentrism Attitudes Scale in Likert’s model. The impulsive buying tendency scale has an Alpha Cronbach coefficient of 0.916 and the ethnocentrism scale has an Alpha Cronbach coefficient of 0.930. The assumption test that used is the normality and linearity test. The results indicate that the data has a normal distribution, but does not have a linear relationship between impulsive buying tendencies and ethnocentrism in adolescents (p = 0.263). Therefore, the hypothesis that there is a negative relationship between ethnocentrism and impulsive buying tendencies in adolescents, was rejected.

Keyword: Impulsive Buying Tendencies, Ethnocentrism, Adolescent

(11)
(12)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan penyertaan-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis menyadari

bahwa masih ada kekurangan dalam skripsi ini. Dalam penyusunan skripsi ini,

banyak pihak yang telah terlibat dalam memberikan bantuan dan dukungan

kepada penulis. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis ingin

menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. C. Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

2. Ratri Sunar A., M.Si. selaku Ketua Program Studi Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

3. P. Henrietta P.D.A.D.S., M.A. selaku dosen pembimbing skripsi yang

bersedia meluangkan banyak waktu dan penuh kesabaran telah

membimbing penulis selama penyusunan skripsi serta memberikan

inspirasi atas skripsi ini.

4. Dr. Tjipto Susana, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang telah

membimbing selama penulis menempuh studi di Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma.

5. Dewi Soerna Anggraeni, M.Psi. selaku dosen penguji yang telah

memberikan saran dan kritik yang membangun.

6. Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si. selaku dosen penguji yang telah

memberikan saran dan kritik yang membangun.

(13)

xi

7. Prof. Dr. A. Supratiknya yang memberi masukan dan informasi kepada

penulis.

8. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma

yang telah membimbing dan menambah wawasan yang sangat berguna

bagi penulis.

9. Semua Karyawan di Psikologi Universitas Sanata Dharma, khususnya Mas

Gandung, ibu Nanik, Mas Mudji, Mas Doni, dan Pak Gie yang telah

memberikan pelayanan selama penulis menempuh studi serta Karyawan

Perpustakaan USD yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan

kepada penulis dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan.

10.Papa dan Mama yang terkasih atas semangat, doa serta dukungan secara

moril maupun materiil.

11.Kakakku Kenny, dan adikku Juan yang selalu memberikan dukungan, doa,

serta motivasi.

12.Keluarga besar di Solo yang selalu memberikan dukungan dan doa bagi

penulis.

13.SMP Joannes Boscho Yogyakarta, SMA Kristen Immanuel Yogyakarta,

SMA Katolik Thomas Aquino Tangeb-Bali, Mahasiswa Universitas

Sanata Dharma Yogyakarta, dan Mahasiswa Sekolah Tinggi Injili

Indonesia (STII) Bali atas pasrtisipasi serta bantuannya dalam penelitian

(14)

14.Segenap jemaat Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Jemaat Kepaon,

Denpasar-Bali untuk dukungan doa dan motivasinya kepada penulis dan

keluarga penulis.

15.Teman-teman terbaik : Indri Sutrisna, Clara Risti (Riris), Septian Renggi,

Rizky Pradita Manafe (Dita), Adi Mahardika, Leo Krista, dan Bang Waldi.

Terima kasih karena sudah menemani, mendukung, membantu, dan

menjadi tempat curahan hati penulis.

16.Teman-teman Psikologi baik kakak angkatan maupun adik angkatan.

17.Teman-teman kos : Mirsha, Vera, Kak Jane, There, Juli, April, dan Frida.

Terima kasih karena sudah menemani selama suka dan duka serta

memberikan keceriaan. Kalau ga’ ada kalian ga’ rame.

18.Teman-teman Paduan Suara KBU GKI Gejayan yang menjadi sahabat dan

keluarga serta yang selalu mendukung dan mendoakan dalam setiap

pergumulan.

19.Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat disebutkan satu

persatu.

Kiranya kasih karunia dan berkat Allah selalu menyertai semua pihak yang

telah membantu dan mendukung selama penyusunan skripsi ini. Akhir kata,

semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terimakasih.

Yogyakarta, 10 Januari 2014

Penulis,

Gretty Henofela Huwae

(15)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAM PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoretis ... 12

(16)

BAB II DASAR TEORI ... 13

A. Pembelian Impulsif (Impulsive Buying)... 13

1. Definisi Pembelian Impulsif ... 13

2. Aspek-aspek Pembelian Impulsif ... 15

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif ... 15

B. Ethnocentrism ... 19

1. Definisi Ethnocentrism ... 19

2. Aspek-aspek Ethnocentrism ... 21

3. Dampak Ethnocentrism ... 22

C. Remaja ... 23

1. Definisi Remaja ... 23

2. Karakteristik Remaja ... 24

D. Dinamika Hubungan Ethnocentrism dan Kecenderungan Pembelian Impulsif pada Remaja ... 26

E. Hipotesis ... 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 30

A. Jenis Penelitian... 30

B. Variabel Penelitian ... 30

C. Definisi Operasional ... 30

1. Ethnocentrism... 30

2. Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 31

D. Subjek Penelitian ... 32

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 32

(17)

xv

F. Validitas dan Reliabilitas ... 35

1. Validitas ... 35

2. Seleksi Aitem ... 36

3. Reliabilitas ... 39

G. Metode Analisis Data ... 39

1. Uji Asumsi... 39

2. Uji Hipotesis ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 42

A. Pelaksanaan Penelitian ... 42

B. Deskripsi Subjek Penelitian ... 42

C. Deskripsi Data Penelitian ... 43

D. Hasil Penelitian ... 45

1. Uji Asumsi... 45

2. Uji Hipotesis ... 46

E. Analisis Tambahan... 47

F. Pembahasan... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

A. Kesimpulan ... 57

B. Keterbatasan Penelitian ... 58

C. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59

(18)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue Print Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif Sebelum

Seleksi Aitem ... 33

Tabel 2 Blue Print Skala Ethnocentrism Sebelum Seleksi Aitem ... 33

Tabel 3 Skor Favorable Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif dan Skala Ethnocentrism ... 35

Tabel 4 Skor Unfavorable Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 35

Tabel 5 Blue Print Skala Pembelian Impulsif Setelah Uji Coba ... 38

Tabel 6 Blue Print Skala Ethnocentrism Setelah Uji Coba ... 38

Tabel 7 Data Usia Subjek Penelitian ... 43

Tabel 8 Data Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 43

Tabel 9 Data Teoritis dan Empiris ... 44

Tabel 10 Hasil Uji Normalitas ... 45

Tabel 11 Hasil Uji Linearitas ... 46

Tabel 12 Mean Usia dan Jenis Kelamin Subjek pada Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 47

Tabel 13 Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin Subjek pada Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 48

Tabel 14 Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Usia Subjek pada Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 48

Tabel 15 Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia pada Subjek pada Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif .... 49

(19)

xvii

Tabel 16 Mean Usia dan Jenis Kelamin Subjek pada Variabel

Ethnocentrism ... 49

Tabel 17 Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin Subjek

pada Variabel Ethnocentrism ... 50

Tabel 18 Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Usia Subjek pada Variabel

Ethnocentrism ... 50

Tabel 19 Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin dan Usia

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Skala Try Out ... 65

Lampiran 2 Reliabilitas dan Seleksi Aitem Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 74

Lampiran 3 Reliabilitas dan Seleksi Aitem Skala Ethnocentrism ... 77

Lampiran 4 Hasil Uji Reliabilitas Setelah Seleksi Aitem pada Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 79

Lampiran 5 Skala Penelitian ... 81

Lampiran 6 Uji Normalitas ... 90

Lampiran 7 Uji Linearitas ... 92

Lampiran 8 Mean Empiris ... 94

Lampiran 9 Mean Usia dan Jenis Kelamin Subjek Penelitian ... 96

Lampiran 10 Hasil Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin pada Variabel Kecenderungan Pembelian Impulsif ... 98

Lampiran 11 Hasil Uji Beda Kelompok Berdasarkan Jenis Kelamin pada Variabel Ethnocentrism ... 100

Lampiran 12 Surat Pengantar Penelitian ... 102

(21)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perilaku pembelian impulsif (impulsive buying) pada konsumen menjadi fenomena yang diakui secara luas di Amerika Serikat karena

mencapai 80% dari seluruh pembelian dalam kategori produk tertentu

(Abrahams & Smith, dalam Kacen & Lee, 2002). Perilaku belanja impulsif

juga terjadi di Indonesia, hal ini terlihat dari hasil survei yang menyatakan

bahwa 85 persen konsumen ritel modern di Indonesia cenderung untuk

berbelanja secara impulsif (majalah Marketing/05/V/2007, dalam Yistiani,

2012).

Pembelian impulsif adalah perilaku berbelanja yang terjadi secara

tidak terencana, tertarik secara emosional, serta proses pembuatan

keputusan dilakukan dengan cepat tanpa berpikir secara bijak dan adanya

pertimbangan terhadap keseluruhan informasi dan alternatif yang ada

(Barratt, dalam Alagöz & Ekici, 2011; Beatty & Ferrell, dalam Alagöz &

Ekici, 2011; Beatty & Farrell, dalam Ghani, Imran, & Jan, 2011; Kollat &

Willet, dalam Ghani, Imran, & Jan, 2011; Rook 1987; Verplanken &

Herabadi, 2001; Yang, Huang, & Feng, 2011). Dapat juga dikatakan

(22)

terencana yang perilaku pembeliannya tanpa ada pertimbangan

sebelumnya (Rook, 1987).

Rawlings, Boldero, dan Wiseman (dalam Ghani, Imran, & Jan,

2011) menemukan bahwa orang muda menunjukkan kecenderungan

impulsivitas lebih dari orang tua. Demikian pula Mai, Jung, Lantz dan

Loeb (dalam Ghani, Imran, & Jan, 2011) berpendapat bahwa orang-orang

muda lebih mungkin untuk menjadi pelopor dalam mengadopsi gaya hidup

baru. Mereka membeli produk baru dan modis, menikmati belanja di pasar

dan oleh karena itu, rentan terhadap impuls membeli yang berlebih. Mai et

al. (dalam Ghani, Imran, & Jan, 2011), juga berpendapat bahwa di sisi

lain, orang-orang tua, cenderung lebih tenang dan stabil karena memiliki

kemampuan untuk mengendalikan dorongan mereka untuk membuat

keputusan pembelian spontan. Ini berarti bahwa konsumen muda lebih

terlibat dalam pembelian impulsif daripada konsumen orang tua. Secara

khusus, Lin dan Lin (2005) menyatakan bahwa pembelian impulsif

memiliki efek yang signifikan antara usia 15-19 tahun. Hasil penelitian

Lin dan Lin (2005) ini menunjukkan bahwa pada usia 19 tahun pembelian

impulsif signifikan memiliki skor tertinggi, skor tertinggi kedua pada usia

15 tahun, dan selanjutnya pada usia 17 tahun.

Masa remaja secara global berlangsung antara usia 12 dan 21 tahun

(Mönks, Knoers, & Haditono, 1999). Suntein (dalam Santrock, 2012)

menyatakan bahwa masa remaja adalah masa di mana seseorang

(23)

3

keputusan. Berdasarkan hasil penelitian Keating (dalam Santrock, 2012),

diketahui bahwa remaja yang lebih tua lebih kompeten dibandingkan

remaja yang lebih muda, dan remaja yang lebih muda juga lebih kompeten

dibandingkan anak-anak.

Penelitian Logue dan Chavarro (dalam Kacen & Lee, 2002) juga

menyatakan bahwa orang yang lebih muda kurang memiliki kontrol diri

dibandingkan orang dewasa. Impulsif berkaitan dengan rangsangan

emosional, karena pada penelitian Lawton, et al., McConatha et al., serta

Siegel (dalam Kacen & Lee, 2002) dinyatakan bahwa hubungan antara

usia dan impulsif konsisten dengan pembelajaran emosi dan kontrol emosi.

Secara sederhana dapat diartikan bahwa setiap tahapan usia memiliki

pembelajaran emosi dan kontrol emosi yang berbeda. Orang yang lebih

muda memiliki pembelajaran emosi dan kontrol emosi yang belum mantap

dibandingkan orang dewasa. Oleh karena itu, orang muda lebih mudah

menjadi impulsif dibandingkan orang dewasa dan dapat dikatakan bahwa

usia memiliki pengaruh terhadap perilaku impulsif.

Berdasarkan hasil wawancara dengan dua remaja yang berusia 19

tahun (Subjek I) dan 20 tahun (Subjek II), dinyatakan bahwa mereka

sering melakukan pembelian di luar perencanaan awal. Subjek II

mengatakan bahwa: “Sebelum belanja buat daftar belanja, namun saat

(24)

diungkapkan oleh subjek II, “Lebih banyak yang dibeli itu hanya

kesenangan sesaat karena dibelinya berdasarkan ketertarikan bukan

fungsinya jangka panjang.” Subjek I juga berpendapat bahwa, “... terjadi

karena faktor emosi dan menarik yang mengkibatkan belanja.” Tidak

jarang uang yang ditargetkan untuk membeli barang kebutuhan justru

terpakai untuk membeli barang yang tidak diperlukan. Ketertarikan sesaat

akan benda tersebut membuat mereka sering kali mengalami penyesalan

setelahnya. Seperti yang diungkapkan oleh Subjek I, “Setelah berbelanja

ternyata sadar barang-barang tersebut tidak terlalu penting, dan yang

penting dalam daftar belanja justru tidak terbeli dan uang sudah habis.”

Subjek II juga berpendapat sama, yaitu “Kadang ada penyesalan setelah

membeli. Sering kali pengeluaran berlebih dari target karena mata yang

tidak bisa dikontrol.”

Penjelasan dan fenomena mengenai pembelian impulsif yang telah

diungkapkan tersebut menunjukkan bahwa pembelian impulsif dapat

terjadi karena faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor

internal yang dapat mempengaruhi pembelian impulsif ialah kepribadian

(Karbasivar & Yarahmadi, 2011; Lin & Chuang, 2005; Qureshi, Zeb &

Saifullah, 2012; Stern, dalam Sun & Wu, 2011; Verplanken & Herabadi,

dalam Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009; Verplanken &

Herabadi, 2001; Verplanken & Sato, 2011). Penelitian-penelitian

sebelumnya menduga bahwa sifat kepribadian dapat menunjukkan

(25)

5

kondisi emosional, dan suasana hati. Selain itu, sifat kepribadian ini juga

bisa membantu seseorang untuk memutuskan tingkat kecenderungan

pembelian impulsif (Rook & Fisher, dalam Karbasivar & Yarahmadi,

2011). Hal ini didukung oleh penelitian Qureshi, Zeb, & Saifullah (2012)

yang menunjukkan bahwa individu yang memiliki salah satu faktor dalam

Big Five, yaitu openness to experience (seperti imajinatif, sensitif secara artistik, dan intelektual) akan lebih berperilaku impulsif.

Faktor internal yang lain berdasarkan penelitian Lin dan Chuang

(2005) adalah Emotional Intelligence. Lin danChuang (2005) menyatakan bahwa perilaku pembelian impulsif dapat dipengaruhi oleh Emotional Intelligence dan diduga bahwa orang dengan Emotional Intelligence yang tinggi akan signifikan memiliki perilaku pembelian impulsif yang rendah

daripada orang yang memiliki Emotional Intelligence rendah. Selain itu, faktor personal seperti keinginan seseorang untuk menunjukkan identitas

diri, suasana hati (mood konsumen atau keadaan emosional), untuk mengatasi ketegangan, untuk menghargai dirinya, untuk bersosialisasi atau

melakukan belanja sebagai hobi, serta kurangnya kontrol juga

mempengaruhi pembelian (Youn & Faber, dalam Alagöz & Ekici, 2011;

Rook, 1987).

Keinginan untuk menunjukkan identitas diri dapat dilihat saat

(26)

memberi pengaruh yang lebih besar terhadap pembelian impulsif.

Disamping itu, keinginan individu untuk mengatasi ketegangan seperti,

memenuhi dorongan untuk membeli suatu barang yang diinginkan juga

mampu menyebabkan individu berperilaku impulsif. Keinginan untuk

menghargai diri sendiri juga dapat ditunjukkan dengan berpenampilan

lebih baik melalui barang-barang yang baik pula atau memanjakan diri

dengan barang-barang yang diinginkan. Kebutuhan untuk bersosialisasi

dapat dilihat saat indiviu berusaha untuk menyesuaikan dengan teman atau

lingkungannya dengan barang-barang yang digunakannya. Melakukan

belanja sebagai hobi, bukan berdasarkan kebutuhan serta kurangnya

kontrol juga dapat mengakibabkan perilaku impulsif pada individu (Youn

& Faber, dalam Alagöz & Ekici, 2011; Rook, 1987).

Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi pembelian impulsif

adalah uang saku. Ketika remaja memiliki uang saku yang lebih,

pembelian impulsif secara signifikan akan meningkat (Lin & Lin, 2005).

Faktor eksternal yang lain adalah lingkungan seperti, atmosfer toko, lokasi

rak, kemasan, gambar, warna produk, pemandangan, suara, dan bau juga

dapat mempengaruhi pembelian impulsif (Eroglu & Machleit serta

Mitchell, dalam Karbasivar & Yarahmadi, 2011; Karbasivar &

Yarahmadi, 2011; Youn & Faber, dalam Alagöz & Ekici, 2011). Budaya

merupakan salah satu bagian dalam lingkungan yang mampu

mempengaruhi pembelian impulsif. Secara lebih spesifik, budaya dapat

(27)

7

Kursan, 2010; Rook, 1987; Yang, Huang, & Feng, 2011) serta

ethnocentrism (Shimp & Sharma, dalam Watson & Wright, 2000; Wanninayake & Chovancova, 2012; Worchel & Cooper, dalam Shimp &

Sharma, 1987).

Ethnocentrism menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembelian impulsif (Shimp & Sharma, dalam Watson & Wright, 2000;

Wanninayake & Chovancova, 2012; Worchel & Cooper, dalam Shimp &

Sharma, 1987). Pernyataan ini didukung oleh penelitian Chen (2008) di

Cina dan Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa orang yang memiliki

ethnocentrism tinggi akan membeli produk yang dirancang dan dirakit di negara mereka, sedangkan bagi mereka dengan ethnocentrism rendah akan lebih rentan untuk membeli produk yang dirancang dan dirakit di negara

luar. Hal ini dikarenakan konsep umum etnosentrisme mengungkap

tentang fenomena konsumen yang fokus pada responsibilitas dan moralitas

membeli produk buatan asing dan loyalitas konsumen pada produk pabrik

negara mereka (Shimp & Sharma, dalam Watson & Wright, 2000). Dapat

diartikan bahwa konsumen etnosentrisme berfokus pada rasa tanggung

jawab konsumen untuk mengkonsumsi produk negara mereka dan

penilaian baik atau tidaknya saat konsumen mengkonsumsi barang impor

serta mengenai kesetiaan konsumen pada produk lokal.

(28)

Gingseng memiliki budaya cinta terhadap produk lokal. Banyak alasan

untuk warga Korsel menggunakan barang buatan dalam negeri dan

mencintai produk nasional mereka. Mereka terkenal unggul dalam

produksi gadget saat ini. Terlebih lagi, operator telekomunikasi Korsel juga memberi persyaratan ketat sebelum memasarkan sebuah smartphone

buatan brand asing (Kristo, 2012). Warga Seoul hampir semua menggunakan produk gadget lokal seperti Samsung ataupun LG.

Demikian juga piranti rumah tangga ataupun kelengkapan lainnya.

Sementara di jalanan kota Seoul, mobil didominasi oleh Hyundai. Nyaris

tidak ada mobil pabrikan Jepang. Kalaupun ada mobil dari luar negeri,

warga Seoul lebih memilih buatan Eropa seperti Mercy, Jeep atapun

Porche. Dengan catatan, jumlahnya pun sangat sedikit (Saputra 2012).

Perilaku tersebut adalah bentuk dari ethnocentrism konsumen yang fokus pada responsibilitas dan moralitas membeli produk buatan asing dan

loyalitas konsumen pada produk pabrik negara mereka (Shimp & Sharma,

dalam Watson & Wright, 2000). Konsumen etnosentris melihat grup

mereka sendiri sebagai pusat universal, menginterpretasi bagian sosial lain

dengan perspektif grup mereka, dan menolak grup yang berasal dari

budaya yang berbeda dengan mereka (Worchel & Cooper, dalam Shimp &

Sharma, 1987). Mooij (2003) mengungkapkan bahwa ketika konsumen

lebih memilih produk atau merek dari negara mereka sendiri dibandingkan

produk atau merek dari negara lain, disebut dengan konsumen etnosentris.

(29)

9

mengungkap tentang fenomena konsumen untuk produk domestik, atau

prasangka terhadap impor, ekonomi nasionalisme, serta bias budaya

terhadap impor. Secara sederhana dapat diartikan bahwa ethnocentrism

berkaitan tentang sikap positif konsumen terhadap produk lokal dan

pandangan negatif konsumen terhadap barang impor serta pengaruh

budaya lokal (seperti, sikap nasionalis) terhadap barang asing.

Ethnocentrism juga dapat didefinisikan sebagai kecenderungan individu yang menganggap kebudayaannya sendiri sebagai superior dan

merendahkan kebudayaan lainnya (Wanninayake & Chovancova, 2012).

Kecintaan akan produk lokal di Korea berbeda dengan di Indonesia.

Perajin sepatu dan sandal di Desa Mojosantren, Kecamatan Krian,

Kabupaten Sidoarko, Jawa Timur, mengatakan bahwa nilai jual sepatu dan

sandal yang mereka produksi akan memiliki nilai jual rendah bila diberi

merek “Made in Indonesia”. Mengatasi permasalahan ini, agar produk

mereka laku di pasaran, para perajin akan memasang merek “Made in

Singapore” atau “Made in Japan” (Prasetyo, 2008a). Contoh lainnya yang

menunjukkan sikap antusias masyarakat Indonesia pada produk luar ialah,

ketika ratusan orang rela antri untuk membeli sepatu “Crocs” merek

Amerika Serikat buatan China yang sedang dijual sepertiga harga

normalnya di Jakarta Convention Center (Listiyorini, 2009). Menteri

(30)

menyatakan bahwa benar seringkali produk Indonesia tidak mampu

bersaing dengan produk murah dari Tiongkok (Nuria, 2008).

Kasus lainnya, Indonesia sebenarnya memiliki dua jenis mobil

buatan dalam negeri yakni mobil nasional Esemka dan Tawon. Mobil

Esemka dibuat dalam dua tipe yakni, Rajawali untuk tipe SUV (sport utility vehicle). Namun, pada kenyataannya tiap menteri dan pejabat setingkat menteri di Kabinet Indonesia Bersatu II justrus diberi fasilitas

mobil Toyota Crown Royal Saloon buatan Jepang oleh Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono (SBY). Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi

di negara lain. China misalnya, mereka memilih mobil buatan sendiri

dibanding membeli mobil BMW atau Mercedes-Benz yang biasa dipakai

sebagai kendaraan resmi pejabatnya. Sementara, Perdana Menteri Italia

lebih suka menggunakan mobil Maserati yang juga merupakan produk

dalam negeri. Perdana Menteri Malaysia menggunakan mobil Proton

Chancellor meskipun dia juga mendapat fasilitas mobil kenegaraan BMW

740Li. Jajaran kabinet di Malaysia juga diwajibkan menggunakan mobil

nasional Proton Perdana Executives (Ferdinan, 2010).

Tidak hanya dalam hal produksi mobil, Indonesia sebenarnya

memiliki produk fashion yang berkualitas dengan desain beraneka ragam yang bersumber pada kearifan lokal dan budaya yang tinggi. Bertitik tolak

dari keunggulan tersebut, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan

mengungkapkan bahwa seharusnya masyarakat Indonesia bangga,

(31)

11

Korea dan beberapa negara lain mampu memiliki rasa cinta mereka

terhadap produk lokal, namun di Indonesia justru sebaliknya. Walaupun

produk luar berusaha masuk kedalam pasar lokal Korea, namun para

konsumennya tidak menunjukkan minat mereka untuk membeli produk

asing tersebut. Konsumen akan lebih selektif dalam memilih produk yang

akan digunakan, sehingga pengontrolan perilaku membeli berdasarkan

kebutuhan (tidak spontan) dapat terjadi. Sebaliknya di Indonesia,

konsumen justru menunjukkan antusiasme yang besar untuk

mengkonsumsi produk-produk buatan asing atau non-lokal yang

membanjiri pasar Indonesia. Begitu banyak tawaran produk asing dapat

mengakibatkan konsumen tidak selektif dalam memilih produk dan

berakibat munculnya perilaku berbelanja yang terjadi secara tidak

terencana, tertarik secara emosional, serta proses pembuatan keputusan

dilakukan dengan cepat tanpa berpikir secara bijak dan adanya

pertimbangan. Selain itu, perilaku pembelian impulsif tersebut juga dapat

terjadi pada remaja yang sedang mengalami masa pergolakan yang penuh

(32)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan tersebut maka

permasalahan dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan antara

ethnocentrism dan kecenderunganpembelian impulsifpada remaja?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan

ethnocentrism dan kecenderunganpembelian impulsifpada remaja.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memperluas atau

menambah khasanah ilmu pengetahuan psikologi konsumen

dan psikologi perkembangan khususnya mengenai hubungan

ethnocentrism dan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai

umpan balik dan bahan evaluasi bagi remaja berkaitan

dengan pelaku pembelian impulsifnya. Evaluasi ini dapat

berbentuk penilaian atau refleksi terhadap pribadi

(33)

13

BAB II DASAR TEORI

A. Pembelian Impulsif (Impulsive Buying)

1. Definisi Pembelian Impulsif

Menurut Barratt (dalam Alagöz & Ekici, 2011), impulsif adalah

sifat kepribadian yang didefinisikan sebagai kecenderungan bertindak

tanpa pemikiran, membuat keputusan kognitif yang cepat, dan gagal

untuk menghargai keadaan di luar sini dan sekarang. Membeli impulsif

dapat juga dikatakan sebagai tindakan melakukan pembelian yang

tidak direncanakan atau spontan (Rook & Fisher, dalam George, &

Yaoyuneyong, 2010). Rook (1987) mendefinisikan pembelian impulsif

sebagai perilaku berbelanja yang terjadi secara tidak terencana, tertarik

secara emosional, serta proses pembuatan keputusan dilakukan dengan

cepat tanpa berpikir secara bijak dan adanya pertimbangan terhadap

keseluruhan informasi dan alternatif yang ada. Secara ringkas Jones,

Reynolds, Weun, dan Beatty (dalam Niu & Wang, 2009) menyatakan

bahwa pembelian impulsif adalah perilaku pembelian tanpa

merenungkan yang terjadi tanpa pembeli terlibat dalam banyak

evaluasi.

Rook dan Gardner (dalam Kacen & Lee, 2002) mendefinisikan

(34)

ditandai dengan (1) relatif cepat pengambilan keputusan, dan (2) bias

subjektif dalam mendukung kepemilikan langsung. Dapat dikatakan

juga bahwa membeli impulsif bersifat reaktif dan rawan terjadi

pengurangan atas konsekuensi (Rook, dalam Alagöz & Ekici, 2011).

Hal ini sama seperti yang diungkapkan Beatty dan Ferrell (dalam

Alagöz & Ekici, 2011) yaitu, bahwa pembelian impulsif terjadi ketika

konsumen tidak merenungkan banyak konsekuensi membeli produk.

Pembelian impulsif digambarkan sebagai perilaku pembelian

tidak terencana yang tiba-tiba, kuat dan sering gigih mendesak untuk

membeli yang dimulai secara spontan pada saat konfrontasi dengan

item tertentu, serta disertai dengan perasaan senang dan kegembiraan

(Rook, dalam Herabadi, Verplanken, & Knippenberg, 2009; Rook,

dalam Verplanken & Herabadi, 2001). Dengan kata lain, pembelian

impulsif adalah tindakan tidak disengaja, dan disertai dengan respon

emosional yang kuat (Rook & Gardner, dalam Herabadi, Verplanken,

& Knippenberg, 2009). Rook (dalam Verplanken & Sato, 2011) juga

memberikan definisi yang komprehensif dari pembelian impulsif, yang

mencakup tiga fitur utama, yaitu, pembelian yang tidak direncanakan,

sulit untuk mengontrol, dan disertai dengan respons emosional.

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan

bahwa pembelian impulsif (impulsive buying) adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan kegiatan pembelian yang spontan, kurang

(35)

15

terjadi ketika ada keterikatan secara emosional (perasaan senang dan

kegembiraan), bersifat mendesak, sulit untuk dikontrol, serta disertai

dengan penyesalan.

2. Aspek-aspek Pembelian Impulsif

Verplanken dan Herabadi (2001) mengungkapkan dua aspek

dalam pembelian impulsif, yaitu:

a. Aspek Kognitif

Aspek kognitif yang dimaksud dalam pembelian impulsif

adalah kecenderungan tanpa adanya pertimbangan, pemikiran, dan

merencanakan ketika membeli produk.

b. Aspek Afektif

Aspek afektif pembelian impulsif meliputi perasaan senang

dan gembira, dorongan untuk membeli dan kesulitan untuk

mengontrol, serta penyesalan atau rasa bersalah setelah pembelian.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembelian Impulsif

a. Faktor Internal

Pada beberapa penelitian sebelumnya mengungkapkan bahwa

kepribadian dapat mempengaruhi pembelian impulsif seseorang

(36)

dalam Herabadi, Verplanken & Knippenberg, 2009; Verplanken &

Sato, 2011;). Sifat kepribadian ini diduga dapat menunjukkan

perilaku impulsif lebih dari sifat-sifat yang lainnya (seperti regulasi

diri, kondisi emosional, suasana hati, dsb), serta mampu membantu

seseorang untuk memutuskan tingkat kecenderungan pembelian

impulsif (Rook & Fisher, dalam Karbasivar & Yarahmadi, 2011).

Hal ini didukung oleh penelitian Qureshi, Zeb, dan Saifullah (2012)

yang menunjukkan bahwa individu yang memiliki salah satu faktor

dalam Big Five, yaitu openness to experience (seperti imajinatif, sensitif secara artistik, dan intelektual) akan berperilaku impulsif.

Emotional Intelligence dapat mempengaruhi pembelian impulsif. Hal ini diduga bahwa orang dengan Emotional Intelligence yang tinggi akan signifikan memiliki perilaku pembelian impulsif yang rendah daripada orang yang memiliki

Emotional Intelligence rendah (Lin & Chuang, 2005). Selain itu, faktor pribadi juga dapat mempengaruhi pembelian impulsif.

Faktor pribadi dapat berupa keinginan seseorang untuk

menunjukkan identitas sendiri, suasana hati (mood konsumen atau keadaan emosional), untuk mengatasi ketegangan, untuk

menghargai dirinya sendiri, untuk bersosialisasi atau melakukan

belanja sebagai hobi, serta kurangnya kontrol (Rook, 1987; Youn

(37)

17

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

faktor internal yang mempengaruhi pembelian impulsif ialah sifat

kepribadian, Emotional Intelligence, serta faktor personal, seperti keinginan seseorang untuk menunjukkan identitas sendiri, suasana

hati, cara untuk mengatasi ketegangan, untuk menghargai dirinya

sendiri, untuk bersosialisasi atau melakukan belanja sebagai hobi,

dan kurangnya kontrol, juga merupakan faktor internal pembelian

impulsif.

b. Faktor Eksternal

Penelitian Lin dan Lin (2005) pada remaja di Taiwan

mengungkapkan bahwa jumlah uang saku yang lebih dapat

mengakibatkan pembelian impulsif pada remaja. Ketika remaja

memiliki uang saku yang lebih, pembelian impulsif secara

signifikan akan meningkat. Selain itu, lingkungan seperti, atmosfer

toko, lokasi rak, kemasan, gambar, warna produk, pemandangan,

suara, dan bau juga dapat mempengaruhi pembelian impulsif

(Eroglu & Machleit serta Mitchell, dalam Karbasivar &

Yarahmadi, 2011; Karbasivar & Yarahmadi, 2011; Mihić &

Kursan, 2010; Youn & Faber, dalam Alagöz & Ekici, 2011).

(38)

Kursan, 2010; Kacen & Lee, 2002; Rook, 1987; Yang, Huang, &

Feng, 2011). Pada penelitian Kacen dan Lee (2002) diungkapkan

bahwa seseorang dari budaya individualis akan memiliki

kecenderungan pembelian impulsif yang lebih tinggi dibandingkan

dengan seseorang dari budaya kolektivis. Budaya juga dapat dilihat

dalam ethnocentrism (Shimp & Sharma, dalam Watson & Wright, 2000; Wanninayake & Chovancova, 2012; Worchel & Cooper,

dalam Shimp & Sharma, 1987). Ethnocentrism dapat memberikan efek pada niat beli konsumen. Pada penelitian Chen (2008) di Cina

dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa konsumen yang

memiliki ethnocentrism tinggi akan membeli produk yang dirancang dan dirakit di negara mereka, sedangkan bagi mereka

dengan ethnocentrism rendah akan lebih rentan untuk membeli produk yang dirancang dan dirakit di negara luar.

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dilihat pengaruh

budaya (khususnya ethnocentrism) terhadap pembelian impulsif.

Ethnocentrism memiliki konsep umum yang mengungkap tentang fenomena konsumen yang fokus pada responsibilitas dan moralitas

membeli produk buatan asing dan loyalitas konsumen pada produk

pabrik negara mereka (Shimp & Sharma, dalam Watson & Wright,

2000). Dapat juga diartikan bahwa konsumen etnosentris berfokus

pada 3 hal, yaitu: 1). rasa tanggung jawab konsumen untuk

(39)

19

tidaknya saat konsumen mengkonsumsi barang impor serta 3).

kesetiaan konsumen pada produk lokal. Konsep inilah yang dapat

mengarahkan ethnocentrism menjadi faktor dalam pembelian impulsif terhadap impor.

Kesimpulannya, faktor eksternal yang mempengaruhi

pembelian impulsif antara lain, jumlah uang saku yang lebih serta

lingkungan (atmosfer toko, lokasi rak, kemasan, gambar, warna

produk), dan budaya.

B. Ethnocentrism

1. Definisi Ethnocentrism

Ethnocentrism adalah sebuah konsep yang pertama diperkenalkan oleh Sumner pada tahun 1906. Sumner mengidentifikasi ethnocentrism

sebagai kecenderungan yang menganggap kepercayaan, standar, dan

kode perilaku kelompok lebih unggul dari kelompok lainnya (dalam

Silva, 2010). Wanninayake dan Chovancová (2012) mendefinisikan

ethnocentrism sebagai kecenderungan individu yang menganggap kebudayaan mereka sendiri sebagai superior dan merendahkan

kebudayaan lainnya. Menurut para peneliti sebelumnya seperti

Luque-Martinez, Ibanez-Zapata, dan del Barrio-Garcia (dalam Silva, 2010),

(40)

kelompok dan untuk menolak orang-orang yang secara budaya

berbeda, membabi buta menerima mereka dari budaya yang sama.

Menurut Heine (2008), ethnocentrism dapat menyebabkan orang untuk berasumsi bahwa cara hidup budaya mereka sendiri dalam

beberapa hal lebih baik atau lebih alami daripada yang lain.

Secara umum, konsep ethnocentrism ialah melihat grup sebagai pusat universal, menginterpretasi bagian sosial lain dengan perspektif

grup, dan menolak orang yang berasal dari budaya yang berbeda

(Worchel & Cooper, dalam Shimp & Sharma, 1987). Lebih spesifik,

ethnocentrism termasuk kecenderungan untuk (1) membedakan berbagai kelompok, (2) melihat kejadian-kejadian di hal kepentingan

kelompok (ekonomi, politik, dan sosial), (3) melihat kelompok sendiri

sebagai pusat alam semesta dan menganggap cara hidupnya sebagai

superior untuk semua lain, (4) menjadi curiga dan meremehkan

kelompok lain; (5) melihat kelompok sendiri sebagai superior, kuat,

dan jujur; (6) melihat kelompok lain sebagai inferior, lemah, dan jujur

pengacau (LeVine & Campbell, dalam Shimp & Shin, 1995).

Shimp dan Sharma (dalam Watson & Wright, 2000)

mengungkapkan bahwa konsumen etnosentris fokus pada

responsibilitas dan moralitas membeli produk buatan asing dan

loyalitas konsumen pada produk pabrik negara mereka. Dapat juga

diartikan bahwa konsumen yang etnosentris memiliki rasa tanggung

(41)

21

baik atau tidaknya saat mengkonsumsi barang impor dan mengenai

kesetiaan konsumen pada produk lokal. Menurut Silva (2010),

ethnocentrism juga dapat dikatakan sebagai istilah yang digunakan untuk mengidentifikasikan konsumen yang memposisikan superior

terhadap produk dan jasa pilihan yang dipercaya berasal dari negara

mereka. Mooij (2003) menyatakan bahwa ketika konsumen lebih

memilih produk atau merek dari negara mereka sendiri dibandingkan

produk atau merek dari negara lain, maka konsumen tersebut disebut

konsumen etnosentris

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa

ethnocentrism merupakan kecenderungan konsumen untuk menganggap kebudayaan mereka sendiri sebagai superior dan

merendahkan kebudayaan lainnya, atau kecenderungan konsumen

memposisikan produk dan jasa pilihan yang dipercaya berasal dari

negara mereka sebagai superior.

2. Aspek-aspek Ethnocentrism

Ethnocentrism dapat dilihat melalui tiga aspek yaitu, aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif. Aspek kognitif berkaitan

dengan pemikiran, aspek afektif berkaitan dengan perasaan, dan aspek

(42)

3. Dampak Ethnocentrism

Penelitian Chen (2008) di Cina dan Amerika Serikat

menemukan bahwa ethnocentrism memiliki efek pada niat beli. Tujuan penelitian Chen ini ialah untuk menguji efek negara asal

(Country of Origin), efek keakraban merek, dan efek ethnocentrism di dua pasar berbeda yaitu Cina dan Amerika Serikat yang menggunakan

laptop sebagai stimulus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk orang yang memiliki ethnocentrism tinggi (subjek Amerika Serikat) akan membeli laptop yang dirancang dan dirakit di negara

mereka (Amerika Serikat), sedangkan bagi mereka dengan

ethnocentrism rendah (subjek Cina) akan lebih berniat untuk membeli

laptop yang dirancang dan dirakit di negara Amerika Serikat.

Pernyataan tersebut juga didukung oleh hasil penelitian

Chakrabarty dan Conrad (1995) yang menemukan adanya hubungan

antara niat ethnocentrism dan pembelian yang dimodifikasi oleh persepsi terhadap kualitas. Hasil penelitian Chakrabarty dan Conrad

menunjukkan bahwa semakin tinggi persepsi kualitas produk

Amerika, semakin rendah niat pembelian produk asing. Temuan ini

memberikan dukungan pada produsen barang elektronik untuk

meningkatkan kualitas barang elektronik di Amerika dibandingkan

(43)

23

C. Remaja

1. Definisi Remaja

Adolescence berasal dari bahasa Latin “adolescere” (kata

bendanya adolescentia = remaja), yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam perkembangan menjadi dewasa (Desmita, 2007; Jahja,

2011; Steinberg, 2002). Dapat diartikan masa remaja (adolescence) ialah periode perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa

awal dewasa, yang memasuki pada usia kira-kira 10 hingga 12 tahun

dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun (Santrock, 2002). Mönks,

Knoers, dan Haditono (1999) mengungkapkan bahwa masa remaja

secara global berlangsung antara usia 12 dan 21 tahun, dengan

pembagian 12-15 tahun: masa remaja awal, 15-18 tahun: masa remaja

pertengahan, dan 18-21 tahun: masa remaja akhir.

Menurut Steinberg (2002), masa remaja merupakan masa

pertumbuhan, bergerak dari ketidakmatangan anak ke kedewasaan

dewasa, serta masa persiapan untuk masa depan masa remaja yaitu

masa transisi: biologis, psikologis, sosial, dan ekonomi. Dapat juga

dikatakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap

(44)

Berdasarkan beberapa definisi yang telah dipaparkan, maka

dapat disimpulkan bahwa masa remaja (adolescence) ialah periode perkembangan transisi dari masa anak-anak hingga masa awal dewasa,

yang memasuki usia 12 hingga 21 tahun, dengan pembagian 12-15

tahun: masa remaja awal, 15-18 tahun: masa remaja pertengahan, dan

18-21 tahun: masa remaja akhir.

2. Karakteristik Remaja

Seorang sarjana Psikologi Amerika Serikat G.S. Hall (dalam

Sarwono, 2011; Santrock, 2012) yang disebut sebagai bapak psikologi

remaja mengungkapkan bahwa, pada tahap perkembangan manusia:

Masa remaja (adolence) : 12-23 tahun, yaitu masa badai dan stres (stress-and-stress view) yang mencerminkan kebudayaan modern yang penuh gejolak akibat pertentangan nilai-nilai. Dengan kata lain masa

remaja adalah masa pergolakan yang penuh dengan konflik dan

perubahan suasana hati (Hall dalam Santrock, 2002; Santrock, 2012).

Erik H. Erikson adalah ahli psikoanalisa yang menjadi salah satu

ahli teori pertama yang mengajukan pendekatan rentang kehidupan

terhadap psikologi perkembangan. Menurut Erikson, perkembangan

individu melalui 8 tahapan, yaitu kepercayaan dan ketidakpercayaan,

otonomi dengan rasa malu dan keragu-raguan, inisiatif dan perasaan

bersalah, kompetensi dan inferiorotas, identitas dan kebingungan

(45)

25

integritas ego dan kekecewaan (Santrock, 1995, Wade & Tavris,

2008b). Menurut Erikson (1989), tahap kelima (12-23 tahun)

merupakan konflik psikososial yang muncul pada mula pubertas.

Konflik psikososial ini adalah “identitas” melawan “kekacauan

identitas”. Pemuda ditimpa oleh sekian banyak masalah yang berasal

dari proses fisiologis dan seksualnya.

Remaja juga mengalami perkembangan pada aspek kognisi

sosialnya. Menurut Dacey dan Kenny (dalam Desmita, 2007), yang

dimaksud dengan kognisi sosial adalah kemampuan untuk berpikir

secara kritis mengenai isu-isu dalam hubungan interpersonal, yang

berkembang sejalan dengan usia dan pengalaman, serta berguna untuk

memahami orang lain dan menentukan bagaimana melakukan interaksi

dengan mereka. Santrock (2007; Santrock 2012) menyatakan bahwa

egosentrisme remaja (adolescent egocentrism) merupakan kesadaran diri pada remaja yang meningkat, yang tercermin dalam keyakinan

mereka bahwa orang lain berminat terhadap diri mereka seperti halnya

mereka terhadap dirinya sendiri.

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa

selain mengalami perubahan fisiologis, remaja juga mengalami

perkembangan pada aspek kognisi sosialnya (kemampuan untuk

(46)

D. Dinamika Hubungan Ethnocentrism dan Kecenderungan Pembelian Impulsif pada Remaja

Remaja merupakan masa di mana seseorang dihadapkan pada situasi

yang lebih banyak melibatkan pengambilan keputusan (Suntein, dalam

Santrock, 2012). Termasuk untuk menentukan menggunakan produk lokal

ataupun non-lokal. Kalangan remaja merupakan pengguna produk impor

yang paling mencolok saat ini. Maka dari itu, Kementerian Perdagangan

RI, terus membangun kesadaran dengan memberikan program sosialisasi

produk Indonesia yang digelar di Balikpapan dan beberapa kota lain.

Minat para remaja pada produk impor memang sulit diatasi, ditambah lagi

dengan adanya tradisi latah yang umumnya melanda para remaja tersebut

(Balikpapan Pos, 2012). Hal ini dapat terjadi karena kurang adanya

ethnocentrism dalam diri remaja saat ini.

Ethnocentrism merupakan kecenderungan untuk menganggap kebudayaan mereka sendiri sebagai superior dan menurunkan kebudayaan

lainnya (Wanninayake & Chovancová, 2012). Ethnocentrism juga dapat digunakan untuk mengidentifikasikan konsumen yang memposisikan

superior terhadap produk dan jasa pilihan yang dipercaya berasal dari

negara mereka (Silva, 2010). Shimp dan Sharma (dalam Watson & Wright

2000) mengungkapkan bahwa konsumen etnosentris fokus pada

responsibilitas dan moralitas membeli produk buatan asing dan loyalitas

(47)

27

konsumen etnosentris berfokus pada rasa tanggung jawab konsumen untuk

mengkonsumsi produk negara mereka, memiliki penilaian baik atau

tidaknya saat mengkonsumsi barang impor, dan mengenai kesetiaan

konsumen pada produk lokal.

Ethnocentrism secara tidak langsung memberikan dampak pada niat beli konsumen lokal. Konsumen ethnocentrism akan lebih selektif atau mampu berpikir secara bijak dan penuh pertimbangan dalam memilih

produk yang akan mereka gunakan. Sebaliknya, apabila konsumen tidak

memiliki ethnocentrism, maka konsumen justru lebih rentan terhadap produk-produk buatan asing. Hal ini didukung dengan hasil penelitian

Chen (2008) yang menunjukkan bahwa orang yang memiliki

ethnocentrism tinggi akan membeli produk yang dirancang dan dirakit di negara mereka, sedangkan bagi mereka dengan ethnocentrism rendah akan lebih rentan untuk membeli produk yang dirancang dan dirakit di negara

luar. Dalam hal ini, konsumen akan tidak selektif lagi dalam

mempertimbangkan banyaknya tawaran produk buatan asing yang masuk

ke dalam pasar lokal. Dengan demikian, niat beli konsumen terhadap

produk asing pun tidak dapat terkendalikan lagi. Hal ini dapat

mengakibatkan munculnya kecenderungan pembelian impulsif pada

konsumen.

(48)

secara bijak dan adanya pertimbangan terhadap keseluruhan informasi dan

alternatif yang ada. Dapat juga dikatakan bahwa membeli impulsif

digambarkan sebagai perilaku pembelian yang tidak direncanakan yang

ditandai oleh, tiba-tiba, kuat dan sering gigih mendesak untuk membeli

yang dimulai secara spontan pada saat konfrontasi dengan aitem tertentu,

dan disertai dengan perasaan senang dan kegembiraan (Rook, dalam

Herabadi, Verplanken, & Knippenberg, 2009; Rook, dalam Verplanken &

Herabadi, 2001).

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa

ethnocentrism dapat memberikan dampak terhadap pembelian impulsif pada konsumen yang secara khusus dalam penelitian ini ialah remaja. Hal

ini didukung juga dengan karakteristik remaja yang memasuki masa

pergolakan yang penuh dengan konflik dan perubahan suasana hati.

Bagan Hubungan Ethnocentrism dan Kecenderungan Pembelian Impulsif

Remaja ethnocentrism

tinggi

selektif terhadap produk impor

niat dan kecenderungan

pembelian impulsif terhadap

(49)

29

E. Hipotesis

Berdasarkan penjelasan yang telah dipaparkan, maka hipotesis yang

diajukan adalah ada hubungan negatif antara ethnocentrism dengan kecenderungan pembelian impulsif pada remaja. Semakin tinggi

(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian korelasi. Penelitian korelasi

bertujuan untuk mendeskripsikan kekuatan relasi antara minimal dua

peristiwa atau karakteristik. Semakin kuat korelasi (atau hubungan) antara

dua peristiwa, maka semakin efektif dalam memprediksikan suatu

peristiwa berdasarkan peristiwa lainnya (Whitley, dalam Santrock, 2007;

Santrock, 2012). Menurut Azwar (2009), penelitian korelasional bertujuan

menyelidiki sejauh mana variasi pada satu variabel berkaitan dengan

variasi pada satu atau lebih variabel lain, berdasarkan koefisien korelasi.

B. Variabel Penelitian

Variabel Bebas (Independent) : Kecenderungan Pembelian Impulsif Variabel Tergantung (Dependent) : Ethnocentrism

C. Definisi Operasional

1. Ethnocentrism

Ethnocentrism merupakan kecenderungan pada remaja untuk menganggap kebudayaan sendiri sebagai superior dan menurunkan

kebudayaan lainnya, atau kecenderungan remaja memposisikan

produk dan jasa pilihan yang dipercaya berasal dari negara mereka

(51)

31

sebagai superior. Pengukuran Ethnocentrism ini menggunakan skala

ethnocentrism yang terdiri dari tiga aspek yaitu, aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif. Skor rendah yang diperoleh dalam skala

tersebut menunjukkan bahwa subjek memiliki ethnocentrism yang rendah. Sebaliknya, skor tinggi pada skala ethnocentrism

menunjukkan bahwa subjek memiliki ethnocentrism yang tinggi.

2. Kecenderungan Pembelian Impulsif

Kecenderungan pembelian impulsif (impulsive buying) adalah kecenderungan remaja untuk melakukan kegiatan pembelian yang

spontan, kurang pertimbangan terhadap keseluruhan informasi dan

alternatif yang ada, terjadi ketika ada keterikatan secara emosional

(perasaan senang dan kegembiraan), bersifat mendesak, sulit untuk

dikontrol, serta disertai dengan penyesalan. Pengukuran

kecenderungan pembelian impulsif ini menggunakan skala

kecenderungan pembelian impulsif yang terdiri dari aspek kognitif

dan aspek afektif. Kecenderungan pembelian impulsif diukur dengan

skala kecenderungan pembelian impulsif. Skor rendah yang diperoleh dalam skala tersebut menunjukkan bahwa subjek memiliki

kecenderungan pembelian impulsif yang rendah. Sebaliknya, jika skor

(52)

D. Subjek Penelitian

Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja berusia

antara 12 dan 21 tahun, dengan pembagian 12-15 tahun: masa remaja

awal, 15-18 tahun: masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun: masa

remaja akhir (Mönks, Knoers, & Haditono, 1999).

Metode sampling yang digunakan pada penelitian ini ialah

Convenience Sampling, yaitu pemilihan sampel dilakukan peneliti berdasarkan pada ketersediaan sampel atau kemudahan sampel untuk

diperoleh (Kountur, 2003).

E. Metode dan Alat Pengumpulan Data

Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian

ini adalah metode penskalaan model Likert. Alat pengumpulan data yang

digunakan untuk mengukur kecenderungan pembelian impusif adalah

skala pembelian impulsif. Skala pembelian impulsif ini dikembangkan

berdasarkan aspek kognitif dan aspek afektif dalam teori Verplanken dan

Herabadi (2001).

Pengukuran Ethnocentrism dalam penelitian ini menggunakan skala

ethnocentrism. Pada penelitian ini, pengukuran ethnocentrism diukur melalui tiga aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif.

Pada skala pembelian impulsif, peneliti menyusun 40 butir

(53)

33

[image:53.595.97.566.189.610.2]

pernyataan unfavorable. Sedangkan pada skala ethnocentrism, peneliti menyusun 15 butir pernyataan favorable. Penggunaan 15 aitem ini ditujukan untuk mengefektifkan waktu pengerjaan skala. Pernyataan-pernyataan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 1

Blue Print Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif Sebelum Seleksi Aitem

No. Aspek Nomer Aitem Jumlah Bobot

Favorable Unfavorable

1.

2.

Aspek Kognitif

Aspek Afektif

1, 2, 3, 4, 5, 1, 22, 23, 23, 25

11, 12, 13, 14, 15, 31, 32, 33, 34, 35

6, 7, 8, 9, 10, 26, 27, 28, 29, 30 16, 17, 18, 19, 20, 36, 37, 38, 39, 40

20

20

50%

50%

Total 40 100%

Tabel 2

Blue Print Skala Ethnocentrism Sebelum Seleksi Aitem

No. Aspek No. Aitem Favorable Jumlah Bobot

1. 2. 3. Aspek Kognitif Aspek Afektif Aspek Konatif

1, 4, 7, 10, 13 2, 5, 8, 11, 14 3, 6, 9, 12, 15

5 5 5 33,3% 33,3% 33,3%

Total 15 100%

Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif terdiri dari pernyataan

favorable dan unfavorable. Sedangkan Skala Ethnocentrism hanya terdiri dari pernyataan favorable, dengan pertimbangan bahwa pernyataan

favorable sudah mampu mewakili pernyataan unfavorable serta menghindari terjadinya negasi pada pernyataan favorable. Pernyataan

(54)

tersebut, subjek diberi 4 kategori respon yaitu Sangat Sesuai (SS), Sesuai

(S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Penggunaan 4

kategori respon tanpa adanya kategori respon “netral” digunakan dengan

pertimbangan bahwa penyajian titik tengah hanya memberikan kemudahan

bagi subjek yang tidak bersedia mengerjakan tugas dengan serius atau

yang defensif dalam menunjukkan karakteristik pribadinya (Friedenberg,

1995).

Pada pernyataan favorable, jawaban Sangat Sesuai (SS) akan mendapat skor 4, jawaban Sesuai (S) akan mendapat skor 3, jawaban

Tidak Sesuai (TS) akan mendapat skor 2, dan jawaban Sangat Tidak

Sesuai (STS) akan mendapat skor 1. Pada pernyataan favorable skor tinggi mengindikasikan bahwa subjek memiliki kecenderungan pembelian

impulsif pada skala pembelian impulsif. Sedangkan jawaban rendah mengindikasikan bahwa subjek cenderung tidak memiliki kecenderungan

pembelian impulsif pada skala pembelian impulsif. Pada Skala

Ethnocentrism, dapat mengindikasikan bahwa subjek akan memiliki kecenderungan etnosentris bila subjek memilih dua kategori respon dengan

skor tinggi yaitu Sangat Sesuai (SS) dengan skor 4 dan Sesuai (S) dengan

skor 3. Sedangkan bila subjek memilih dua kategori respon dengan skor

rendah yaitu Tidak Sesuai (TS) dengan skor 2 dan Sangat Tidak Sesuai

(STS) dengan skor 1, maka hal ini dapat mengindikasikan bahwa subjek

(55)
[image:55.595.99.514.104.602.2]

35

Tabel 3

Skor Favorable Skala Kecenderungan

Pembelian Impulsif dan Skala Ethnocentrism

Respon Skor

Sangat Sesuai 4

Sesuai 3

Tidak Sesuai 2

Sangat Tidak Sesuai 1

Pada pernyataan unfavorable, jawaban Sangat Setuju (SS) akan mendapat skor 1, jawaban Sesuai (S) akan mendapat skor 2, jawaban

Tidak Sesuai (TS) akan mendapat skor 3, dan jawaban Sangat Tidak

Sesuai (STS) akan mendapat skor 4. Pada pernyataan unfavorable skor tinggi mengindikasikan bahwa subjek tidak memiliki kecenderungan

pembelian impulsif pada Skala Pembelian Impulsif. Sedangkan jawaban

rendah mengindikasikan bahwa subjek memiliki kecenderungan pembelian

impulsif pada Skala Pembelian Impulsif.

Tabel 4

Skor Unfavorable Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif

Respon Skor

Sangat Sesuai 1

Sesuai 2

Tidak Sesuai 3

Sangat Tidak Sesuai 4

F. Validitas dan Reliabilitas

1. Validitas

(56)

instrumen berupa Skala Pembelian Impulsif dan Skala Ethnocentrism

didasarkan pada aspek-aspek dalam teori yang ada. Pengujian

validitas dilakukan oleh ahli (experts judgment) yaitu dosen pembimbing skripsi. Penilaian ini dilakukan berdasarkan kesesuaian

aitem-aitem dalam tes dengan aspek-aspek yang hendak diungkap

serta kesesuaian dengan blue print. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memilih aitem-aitem yang representatif dari keseluruhan bahan

yang berkenaan dengan aspek yang hendak diukur (Nasution, 2011).

2. Seleksi Aitem

Seleksi aitem dilakukan dengan cara menguji kesesuaian

karakteristik masing-masing aitem dengan aspek yang mewakili setiap

variabel. Pada penelitian ini, seleksi aitem dilakukan berdasarkan daya

diskriminasi atau daya beda. Suatu aitem dikatakan memilliki daya

diskriminasi tinggi bila semua atau sebagian Kelompok Tinggi

menjawab dengan hasil besar dan semua atau sebagian Kelompok

Rendah mendapat nilai rendah. Semakin besar proporsi penjawab

tinggi dari Kelompok Tinggi dan Kelompok Rendah, semakin

besarlah daya diskriminasi suatu aitem (Supratiknya, 1998b).

Kesesuaian fungsi aitem dengan fungsi skala dalam

mengungkap individual dapat ditunjukkan oleh parameter daya beda

aitem yang berupa koefisien korelasi antara distribusi skor aitem

(57)

37

aitem-total bergerak dari 0 - 1,00 dengan tanda positif atau negatif.

Semakin baik daya deskriminasi aitem maka koefisien korelasinya

semakin mendekati angka 1,00. Sebaliknya, koefisien yang mendekati

angka 0 atau yang memiliki tanda negatif mengindikasikan bahwa

aitem tersebut tidak memiliki daya deskriminasi. Batasan rix ≥ 0,30

biasanya digunakan sebagai kriteria pemilihan aitem berdasarkan

korelasi aitem-total. Aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal

0,30 daya bedanya dianggap memuaskan. Sebaliknya, aitem yang

memiliki harga rix kurang dari 0,30 dapat dinyatakan sebagai aitem

yang memiliki daya beda rendah (Azwar, 2013).

Peneliti melakukan uji coba Skala Pembelian Impulsif dan

Skala Ethnocentrism pada 202 subjek (Siswa SMA Katolik Thomas Aquino Tabanan-Bali, Mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta, dan Mahasiswa Sekolah Tinggi Injili Indonesia-Bali)

yang berusia antara 12 – 21 tahun. Skala yang terkumpul kemudian

diproses dan diseleksi menggunakan batas kriteria indeks daya beda

aitem yakni 0,30. Pada Skala Pembelian Impulsif menunjukkan bahwa

dari 40 aitem terdapat 35 aitem yang baik dan 5 aitem yang kurang

baik. Jumlah aitem yang kurang baik belum mampu menyeimbangkan

komposisi tiap aspeknya. Oleh karena itu, peneliti melakukan

(58)

Setelah melalui proses penyeleksian kedua, maka ditetapkan jumlah

aitem yang tidak lolos adalah 8 aitem. Jadi, jumlah aitem yang lolos

[image:58.595.98.540.177.597.2]

adalah 32 aitem.

Tabel 5

Blue Print Skala Pembelian Impulsif Setelah Uji Coba

No. Aspek Nomer Aitem Jumlah Bobot

Favorable Unfavorable 1. 2. Aspek Kognitif Aspek Afektif

1, 2, 3, 4, 5, 21,

22, 23, 24, 25 11, 12, 13,14, 15, 31, 32, 33, 34, 35

6, 7, 8, 9, 10, 26, 27, 28, 29, 30 16, 17, 18, 19, 20, 36, 37, 38,

39, 40

16

16

50%

50%

Total 32 100%

Gambar

Tabel 17  Data Uji Beda Kelompok Berdasarkan  Jenis Kelamin Subjek
Tabel 1 Blue Print Skala Kecenderungan Pembelian Impulsif Sebelum Seleksi
Tabel 3 Skor Favorable Skala Kecenderungan
Tabel 5 Blue Print Skala Pembelian Impulsif Setelah Uji Coba
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

materi Fisika di sekolah dengan media video edukasi, yang menggunakan ilmu. multimedia di dalam

Hasil yang diperoleh berupa terdapat pengaruh dari gaya hidup serta diferensiasi produk (perubahan minor) terhadap keputusan pembelian Toyota Kijang Innova sehingga

LKjIP Kelurahan Wates Tahun 2015 memuat gambaran situasi dan kondisi serta program kerja Kelurahan Wates dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik yang

Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah adalah dengan memperhatikan biaya investasi, biaya

Pada tabel rekapitulasi akan disajikan rekapan dari hasil penelitian yang menggambarkan ada atau tidaknya perbedaan penggunaan model pembelajaran guided inquiry dengan media papan

Menggunakan Income Statement Approach dan Value Added Approach. Penelitian ini adalah untuk mengkaji kinerja keuangan perbankan syariah jika dihitung dengan pendekatan