• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

E. Pengertian Etnis

1. Etnis Jawa

Menurut Koentjaraningrat (1974) orang Jawa adalah suatu kelompok etnik yang mempunyai kebudayaan dan nilai-nilai maupun kebiasaan yang berkaitan dengan kebudayaan Jawa (dalam Dimyati, 2003). Apabila etnis Cina merupakan etnis pendatang di Indonesia, etnis Jawa memang sudah ada dan tinggal di Indonesia dari sejak dulu zaman dahulu kala.

Di Indonesia, etnis Jawa termasuk etnis yang menjunjung tinggi nilai-nilai dan kebudayaannya. Nilai-nilai tersebut dihayati oleh mereka untuk menjalani kehidupan mereka. Dalam kebudayaannya, etnis Jawa lebih menekankan pada nilai-nilai budi pekerti dan sikap-sikap dalam hidup. Suseno (1984) mengatakan

bahwa di dalam pergaulan sehari-hari dan dalam tingkah lakunya, orang Jawa memiliki kaidah yang menentukan dalam kehidupannya yaitu : 1) prinsip kerukunan dan 2) prinsip hormat. Prinsip kerukunan adalah individu dalam setiap situasi hendaknya menghindari hal-hal yang menimbulkan konflik. Sedangkan prinsip hormat adalah individu dalam berbicara harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya.

Selain itu, menurut Racmatullah (2011), dalam hal ajaran sikap hidup, orang Jawa juga memiliki sikap-sikap yang selalu ditanamkan yaitu sabar, nrima, ikhlas (rila), jujur, dan sederhana (prasaja). Sabar adalah tanda pemimpin yang baik di mana dia maju dengan berhati-hati seperti melangkah di atas papan yang belum diketahui kekuatannya. Nrima artinya mampu bereaksi secara rasional ketika menghadapi kekecewaan maupun kesulitan hidup. Sikap nrima ini berkaitan pula dengan pepatah ojo ngoyo dan ojo kesusu (Saksono & Dwiyanto, 2011). Ojo ngoyo berarti jangan memaksa bekerja melebihi tenaga yang ada. Sementara ojo kesusu yang berarti jangan tergesa-gesa. Ikhlas berarti bersedia melepaskan kepentingan sendiri dan menyesuaikan diri dengan alam semesta sebagaimana sudah ditentukan. Jujur adalah dapat mengandalkan janjinya. Orang yang bersikap jujur akan bersikap adil dan hatinya akan berani dan tentram. Serta yang terakhir

sederhana, yang berarti bersedia menganggap diri lebih rendah dari orang lain.

Sementara persepsi waktu, Saksono dan Dwiyanto (2011) mengungkapkan bahwa etnis Jawa mempunyai persepsi yaitu waktu bukanlah suatu hal yang penting. Waktu dan uang bukanlah suatu yang utama. Selain itu, orang Jawa percaya bahwa waktu tidak dapat dikejar, sebab waktu datang kepada mereka. Mereka harus menunggu waktu dan pada waktunya segala sesuatu akan beres. Orientasi orang Jawa juga lebih menekankan pada masa lalu. Mereka percaya bahwa masa lalu akan kembali lagi.

2. Etnis Cina

Menurut Yudohusodo, (dalam Dimyati, 2003) etnis Cina merupakan etnis pendatang yang memiliki jumlah paling banyak. Kedatangan mereka dari Cina ke Indonesia membawa norma-norma, adat istiadat, dan kebudayaan mereka sendiri.

Walaupun di Indonesia etnis Cina termasuk etnis pendatang, namun mereka cukup menonjol terutama dalam hal bisnis dan pendidikan. Keberhasilan orang-orang Cina baik di bidang pendidikan maupun bidang ekonomi semata-mata tidak mereka raih begitu saja. Banyak usaha dan kerja keras yang mereka peroleh untuk meraih semua kesuksesan itu.

Etnis Cina memiliki ajaran hidup yang sangat berpengaruh pada kehidupan mereka. Ajaran tersebut adalah Budhisme, Toisme,

dan Konfusionisme (dalam Effendi, 2003). Ketiga ajaran tersebut menjadi patokan etnis Cina dalam menjalani kehidupan.

Pada ajaran Budhisme, menurut Hariyono (dalam Effendi, 2003), tema pokok ajarannya adalah bagaimana caranya agar manusia terhindar dari segala penderitaan yang ada di dunia ini karena roda kehidupan ini dianggap berada di tangan “kejahatan”. Untuk membebaskan manusia dari kejahatan tersebut manusia harus mencari pengetahuan, kehendak yang benar, perkataan yang benar, perilaku yang baik, ucapan yang benar, pikiran yang benar, dan renungan yang benar.

Dalam ajaran Toisme, menurut Hidajat (1977) ada lima ajaran Tuhan yaitu berkelakuan ramah, berkelakuan sopan, harus cerdas, harus jujur, dan harus adil.

Sementara dalam ajaran Konfusionisme menurut Hidajat (1977), ada lima kebajikan yang disebut Ngo Siang, yaitu 1) cinta kasih, 2) adil dan bijaksana, 3) susila dan sopan santun, 4) cerdas dan waspada, dan 5) jujur dan ikhlas.

Dalam hal persepsi waktu, Menurut Seng (2006) etnis Cina memiliki pandangan bahwa waktu merupakan hal yang penting dalam mengejar apa yang ingin diraihnya. Waktu ibarat uang dan apabila melepaskannya ibarat membuang keuntungan dan menolak kekayaan. Oleh karena itu, orang Cina suka bekerja cepat dan tidak membuang-buang waktu. Waktu juga seolah-olah hal yang harus

dikorbankan demi sebuah kesuksesan. Mereka siap mengorbankan waktu untuk keluarga demi bekerja. Bagi mereka, untuk berhasil orang harus bersusah-susah dahulu dan mengalami rasa sakit dan penderitaan terlebih dahulu.

Keterangan:

*dicetak tebal untuk menegaskan pentingnya kecerdasan dalam budaya etnis Cina

F. Perbedaan Prokrastinasi Akademik Antara Mahasiswa Etnis

Jawa Dan Cina

Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia yang merupakan makhluk sosial sehingga dapat digunakan untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan menjadi pedoman untuk bertingkah laku (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2012). Definisi lainnya mengenai kebudayaan menurut Ihromi (2006) adalah seperangkat kepercayaan, nilai-nilai dan cara berlaku yang dipelajari dan pada umumnya dimiliki bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga mereka memiliki ciri-ciri yang sama.

Dalam psikologi, perspektif sosiokultural mempercayai bahwa konteks sosial dan berbagai peraturan budaya mempengaruhi munculnya berbagai keyakinan dan perilaku individu (Wade & Tavris, 2008). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kebudayaan seseorang dapat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan.

Penelitian ini berfokus pada peran budaya yang memungkinkan terjadinya prokrastinasi akademik. Peneliti menggunakan mahasiswa etnis Jawa dan Cina sebagai variasi kelompok penelitian ini karena peneliti menangkap fenomena adanya perbedaan perilaku dalam mengerjakan tugas. Oleh karena itu, berikut ini akan diuraikan beberapa bagian dari budaya yaitu ajaran hidup dan persepsi waktu yang ada di dalam kebudayaan mahasiswa etnis Jawa dan Cina yang nampaknya dapat memunculkan atau tidak memunculkan prokrastinasi akademik.

Pada uraian sub bab mengenai etnis Jawa sebelumnya dikatakan bahwa ajaran hidup etnis Jawa lebih berarah pada prinsip kerukunan dan hormat (Suseno, 1984). Dengan demikian, ajaran hidup etnis Jawa lebih banyak bicara mengenai hubungannya dengan sesama manusia di dunia ini. Hal ini mencerminkan bahwa ajaran hidup mereka yang lebih mengarah pada hubungan dengan sesama manusia.

Sementara ajaran hidup dalam etnis Cina lebih banyak berbicara mengenai pentingnya kecerdasan dalam kehidupan, bahkan ditekankan dengan kata harus. Hal ini menunjukkan bahwa yang menjadi tujuan etnis Cina adalah keharusan untuk menjadi cerdas.

Dari kedua uraian tersebut, terlihat bahwa seakan ada perbedaan tujuan dari etnis Jawa dan Cina. Hal ini memungkinkan terjadinya perbedaan tujuan yang juga akan dialami antara mahasiswa

etnis Jawa dan Cina yang benar-benar menghayati ajaran budayanya tersebut.

Sebagai mahasiswa, tujuan yang biasanya ingin diraih adalah prestasi dalam bidang akademik. Prestasi akademik tersebut salah satunya dinilai dari tugas. Oleh karena itu perilaku dalam mengerjakan tugas menjadi salah satu hal yang penting untuk meraih prestasi akademik tersebut.

Berdasarkan ajaran hidup tersebut, tampaknya ada perbedaan antara mahasiswa etnis Jawa dan Cina yang menghidupi budayanya dalam menetapkan apa yang menjadi fokus dan tujuan mereka karena pengaruh budaya mereka.

Mahasiswa etnis Jawa memiliki latar belakang budaya yang mementingkan hubungan sesama manusia. Hal ini diduga dapat menyebabkan mahasiswa etnis Jawa yang menghayati budayanya tersebut akan lebih berfokus pada hal-hal yang berkaitan dengan pertemanan dan konformitas. Dengan demikian, hal-hal yang berkaitan dengan pengerjaan tugas yang berkaitan dengan prestasi akademik kemungkinan bukan menjadi prioritas. Hal ini diduga dapat memicu mahasiswa etnis Jawa yang memegang ajaran hidupnya tersebut untuk melakukan prokrastinasi akademik. Hal ini lantaran sebagai mahasiswa apabila memiliki prioritas lain di luar tugas akademik maka dapat menimbulkan prokrastinasi akademik (Procrastination and How Beat it, 2009).

Sedangkan mahasiswa etnis Cina, dari asalnya budaya Cina, mereka pada dasarnya telah memiliki tujuan yang berkaitan dengan prestasi yaitu keharusan untuk menjadi cerdas. Keharusan untuk menjadi cerdas ini bagi mahasiswa dapat dikatakan lebih dekat arahnya dengan prestasi dalam bidang akademik. Maka dari itu, diduga dengan adanya arahan yang jelas mengenai keharusan untuk cerdas dan berprestasi, maka mahasiswa etnis Cina yang menghayati ajaran budayanya akan lebih dapat mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pengerjaan tugas sehingga diasumsikan prokrastinasi akademik tidak terjadi. Hal ini berlawanan dengan apa yang terjadi pada prokrastinator yang tidak dapat menetapkan prioritas pada hal-hal yang berkaitan dengan pengerjaan tugas (Procrastination and How Beat it, 2009).

Selain ajaran hidup, peneliti juga membandingkan mahasiswa etnis Jawa dan Cina mengenai pandangan budaya mereka dalam hal waktu.

Menurut Saksono dan Dwiyanto (2011), etnis Jawa menganggap waktu bukanlah hal yang utama. Etnis Jawa juga percaya bahwa mereka tidak perlu mengejar waktu karena pada waktunya segala sesuatu akan beres. Dengan persepsi waktu yang demikian, maka mahasiswa etnis Jawa yang masih mengikuti persepsi waktu tersebut diduga akan memiliki sikap santai dalam menghadapi berjalannya waktu. Padahal dalam bidang akademik, waktu merupakan hal yang penting, salah satunya adanya batas maksimal dalam

pengumpulan tugas perkuliahan. Oleh karena itu, diasumsikan mahasiswa etnis Jawa yang menghayati persepsi waktu yang demikian akan memungkinkan untuk mengulur-ulur waktu dalam mengerjakan tugas sehingga dapat berakibat prokrastinasi akademik.

Sedangkan bagi etnis Cina waktu ibarat uang dan apabila melepaskannya ibarat membuang keuntungan dan menolak kekayaan (Seng, 2006). Bagi mereka, untuk berhasil orang harus bersusah-susah dahulu dan mengalami rasa sakit dan penderitaan terlebih dahulu. Oleh karena itu, mahasiswa etnis Cina yang menghayati persepsi waktu tersebut diduga juga suka bekerja cepat, tidak membuang-buang waktu, dan memanfaatkan waktu sebaik mungkin. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa mahasiswa etnis Cina yang masih mengikuti persepsi waktu tersebut diduga memandang waktu sebagai hal yang penting sehingga memungkinkan untuk tidak melakukan prokrastinasi akademik.

Berdasarkan paparan sebelumnya, peneliti menduga bahwa terdapat perbedaan budaya di antara mahasiswa etnis Jawa dan Cina yang memunculkan perbedaan prokrastinasi akademik di antara kedua etnis tersebut. Peneliti menduga bahwa. mahasiswa etnis Jawa yang masih menghayati budayanya akan lebih mungkin melakukan prokrastinasi akademik. Sementara pada mahasiswa etnis Cina yang juga mengikuti budayanya diduga tidak melakukan prokrastinasi akademik.

Gambar 1

Skema Perbedaan Prokrastinasi Akademik Penelitian

Dokumen terkait