• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 PERSPEKTIF TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

2.3 Etnis Tionghoa

sendiri dan dapat mengadakan partisipasi dalam kebudayaan pemuda sendiri.

2.3Etnis Tionghoa

2.3.1 Pengertian Etnis Tionghoa

Tionghoa (dialek Hokkien) yang berarti Bangsa Tengah, dalam Bahasa Mandarin ejaan Pinyin, kata ini dibaca "zhonghua") merupakan sebutan lain untuk orang-orang dari suku atau ras Tiongkok di Indonesia. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering dipakai untuk menggantikan kata "Cina" yang kini memiliki konotasi negatif karena sering digunakan dalam nada merendahkan. Kata ini juga dapat merujuk kepada orang-orang keturunan Cina yang tinggal di luar Republik Rakyat Cina, Indonesia, Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan.

Wacana Tionghoa (zhonghua atau cung hwa) setidaknya sudah dimulai sejak tahun 1880, yaitu adanya keinginan dari orang-orang di Tiongkok untuk terbebas dari kekuasaan dinasti dan membentuk suatu negara yang lebih demokratis dan kuat. Kata ini pertama kali diperkenalkan secara luas oleh dr. Sun Yat-sen, yang merupakan Bapak Revolusi Cina dengan mendirikan Republik Cina (Zhonghua Minguo) pada tahun 1911, setelah menggulingkan Dinasti Qing. Kemenangan Revolusi Cina ini memberi inspirasi terhadap perjuangan dan kebangkitan nasional di Indonesia. Mao Zedong juga meneruskan penggunaan kata Zhonghua untuk negara Republik Rakyat Cina (Zhonghua Renmin Gongheguo) yang diproklamasikan pada tahun 1949 (Wikipedia: 1)

Orang Tionghoa yang berada di Indonesia, sebenarnya tidak merupakan satu kelompok yang berasal dari satu daerah yang sama di negara Cina, tetapi terdiri dari beberapa suku bangsa yang berasal dari dua propinsi yaitu Fukien dan Kwangtung, yang sangat terpencar daerah-daerahnya. Setiap imigran ke Indonesia membawa kebudayaan suku bangsanya sendiri-sendiri bersama perbedaan bahasanya. Ada empat bahasa Cina di Indonesia yaitu Hokkien, Teo-Chiu, Hakka, dan Kanton yang demikian besar perbedaannya, sehingga pembicara lain tidak dapat memahami pembicara yang lainnya.

Para Imigran Tionghoa yang tersebar ke Indonesia mulai abad ke 16 (sampai kira-kira pertengahan abad ke 19), asal dari suku bangsa Hokkien. Orang Hokiien dan keturunannya yang telah berasimilasi sebagai keseluruhan paling banyak terdapat di Indonesia Timur, Jawa Tengah, Jawa Timur dan pantai barat Sumatra. Imigran Tionghoa lain adalah Teo-Chiu yang berasal dari pantai selatan Cina. Orang Teo-Teo-Chiu dan Hakka disukai sebagai kuli perkebunan dan pertambangan di Sumatra Timur, Bangka, dan Biliton. Serupa dengan orang Hakka, orang Kanton terkenal di Asia Tenggara sebagai kuli pertambangan. Mereka berimigrasi sekitar abad ke 19 ke Indonesia, sebagian besar tertarik oleh tambang-tambang timah di pulau Bangka. Di Indonesia mereka terkenal sebagai ahli dalam pertukangan, pemilik toko besi, dan industri kecil (Vasanty dalam Koentjaraningrat, 2007: 353).

26

Pembicaraan mengenai Tionghoa di Indonesia biasanya meliputi percaturan orang-orang Tionghoa dalam politik, sosial dan budaya di Indonesia. Kebudayaan Tionghoa merupakan salah satu pembentuk dan bagian integral yang tak terpisahkan dari kebudayaan nasional Indonesia sekarang ini. Kebudayaan Tionghoa di Indonesia walau berakar dari budaya leluhur, namun telah sangat bersifat lokal dan mengalami proses asimilasi dengan kebudayaan lokal lainnya (Wikipedia: 1)

Menurut Suryadinata (2002: 100) sejak Orde Baru berdiri, pemerintah Indonesia mulai menggunakan istilah Cina (sebelum tahun 1972, dieja sebagai Tjina) untuk menyebut orang Tionghoa (Chinese) dan Tiongkok (China). Istilah Tionghoa dan kemudian, Tiongkok di kalangan orang Tionghoa di Hindia Belanda mulai populer dengan bangkitnya nasionalisme Tionghoa di Jawa pada dekade kedua pada abad ke-20. Ini ada hubungannya dengan penggunaan istilah Zhonghua (Tionghoa) di daratan Tiongkok. Orang Tionghoa di Hindia Belanda, yang dipengaruhi oleh nasionalisme Tionghoa, juga menggunakan istilah tersebut untuk menyatakan solidaritas mereka. Mereka merasa istilah yang berbau Tionghoa itu perlu diperkenalkan dalam bahasa Melayu, bahasa yang digunakan peranakan Tionghoa sehari-hari.

Pandangan orang Indonesia terhadap orang Tionghoa di Indonesia pada umumnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu Tionghoa Peranakan dan Tionghoa Totok. Tionghoa Peranakan dimaksudkan adalah orang Tionghoa yang lahir di Indonesia dan hasil perkawinan campuran antara

orang Tionghoa dan orang Indonesia. Orang Tionghoa peranakan dalam banyak unsur kehidupannya telah banyak menyerupai orang Jawa, yang telah lupa akan bahasa asalnya dan bahkan ciri-ciri fisiknya telah menyerupai orang Indonesia. Sedangkan Tionghoa Totok adalah orang Tionghoa yang lahir di negeri Cina dan belum bisa berbahasa Indonesia, tetapi bisa berbicara bahasa Hokkien asli. Orang Tionghoa Totok juga masih erat dalam menjalankan hidupnya dengan budaya-budaya orang asli Tionghoa (Vasanty dalam Koentjaraningrat, 2007: 354)

Di Indonesia sendiri, tionghoa peranakan banyak terkumpul di pulau Jawa dan Tionghoa Totok umumnya berada diluar pulau Jawa. Secara hukum kedua kelompok etnis ini dapat dipecah menjadi warga negara Indonesia dan warga asing. Dalam hal agama, mereka memeluk agam Budha, Konguchu, Kristen atau Islam dan sebagian mempraktekkan ajaran agama sebagai agama tradisional.

Peraturan mengenai etnis Tionghoa di Indonesia berawal ketika Presiden Soeharto mengeluarkan dua peraturan: Instruksi Presiden No.2/1980 dan Keputusan Presiden No.13/1980. Berdasarkan Inpres No.2/1980, sejumlah etnis Tionghoa yang berdiam di wilayah tertentu dan cara hidupnya sama dengan penduduk Indonesia akan diberi surat kewarganegaraan tanpa harus melalui pengadilan. Orang Tionghoa Indonesia ini hanya perlu pergi ke kepala distrik untuk mengajukan permohonan mendapatkan surat tersebut dalam waktu enam bulan setelah dikeluarkannya Inpres tersebut. Peraturan tersebut sebenarnya bertujuan

28

untuk mengendalikan etnis Tionghoa di Indonesia, serta mengintegrasikan dan mengasimilasikan etnis Tionghoa kedalam masyarakat Indonesia (Suryadinata, 1999: 79).

2.3.2 Sifat Hidup Etnis Tionghoa

Ciri-ciri yang paling menentukan dari sikap masyarakat Tionghoa terhadap dunia sekitarnya adalah sikap dan komitmen total mereka terhadap kehidupan, jika perlu dengan komitmen ekstra untuk membuat hidup mereka jauh lebih baik dari yang sudah ada. Seburuk-buruknya, mereka akan berharap dapat menciptakan keadaan di mana anak-anak atau keturunannya dapat memiliki hal-hal baik yang tidak mereka miliki. Jika diibaratkan, kalau melihat kue di langit, segera mulai memperhitungkan bagaimana menurunkannya ke meja makan.

Sikap terhadap kehidupan ini membuat orang Tionghoa sadar sekali akan fungsi benda-benda. Suasana kebendaan mereka, kerajinan, dan ketrampilan mereka sendiri merupakan sumber dan alat kesejahteraan. Sisasatnya adalah menemukan hubungan kerja di dalam benda-benda dan memanipulasikannya untuk membuat kehidupan baik bagi diri sendiri dan bagi keluarga atau golongan sosial seseorang.

Orang Tionghoa selalu memikirkan bahwa disetiap tindakan harus ada sebuah tujuan yang akan dicapai. Mulai lahir, kehidupan seorang Tionghoa diarahkan pada tujuan maha penting. Tujuan mempunyai anak salah satunya memastikan bahwa diteruskannya identitas diri seorang Tionghoa.

Dalam dunia Tiongkok sebuah tindakan adalah fungsional. Dimana manusia bertindak dan benar-benar memainkan peranannya. Permainan peranan ini sudah dimulai saat manusia masih dalam usia yang sangat dini. Tidak heran jika anak-anak Tionghoa secara keseluruhan kentara sekali penurutnya. Mereka menjalankan peranan yang ditentukan orang tuanya dan lingkungannya. Mereka dilatih sejak bayi untuk dapat menahan diri dan tidak merajuk, lalu membiarkan dirinya ditaklukkan oleh perawatan ibunya.

Tumbuh menjadi dewasa, kepribadian seorang Tinghoa dilengkapi secara sempurna untuk peranan-peranan seumur hidup yang akan dimainkannya. Mereka harus dapat belajar keras dan mendapatkan kualifikasi yang baik, menghornati atasan, menikah di usia yang tepat, mempunyai jumlah anak yang sesuai, melakukan tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial, serta puas dengan nasib masing-masing.

Orang Tionghoa sendiri menpunyai tradisi anti menolong orang yang kuat dan orang yang asing tanpa tujuan yang jelas. Sudah lama di Tiongkok ada kepercayaan atau tahyul bahwa membantu orang asing yang kesusahan dapat menyebabkan datangnya nasib buruk (Bonavia, 1987: 35).

Dokumen terkait