• Tidak ada hasil yang ditemukan

1.5.2 Landasan Teori

1.5.2.3 Etnografi Komunikasi

Kajian mengenai etnografi komunikasi melibatkan banyak hal di dalamnya terkait dengan keilmuan yang multidisipliner. Lingkungan sosial dan penggunaan bahasa oleh manusia serta memaknai tuturan yang disampaikan merupakan bagian dari etnografi komunikasi. Dalam hal ini juga dapat dikatakan bahwa etnografi komunikasi tidak hanya sebagai sebuah ancangan yang dapat memisahkan hasil-hasil dari linguistik, psikologi, sosiologi, maupun etnologi serta berusaha menghubungkan di antaranya (Hymes; 1974:15). Akan tetapi, etnografi komunikasi merupakan ancangan yang berusaha untuk membuka kemungkinan-kemungkinan analitis baru (dengan jenis data dan permasalahan yang baru) serta mengajukan teori-teori baru (Schiffrin; 1994:184). Pendapat tersebut sekiranya benar adanya ketika melihat memang terdapat keberagaman fungsi dan praktik komunikasi dalam kehidupan. Komunikasi yang dilaksanakan tidak hanya terkait dengan percakapan atau wawancara, melainkan lebih dari itu. Keragaman praktik

komunikasi merupakan bagian yang terpadu tentang beragam hal yang kita ketahui dan yang dilakukan oleh sebagian anggota dari kultur dan kepercayaan maupun tindakan manusia.

Etnografi komunikasi mulai dikembangkan oleh Hymes melalui sebuah makalah pada tahun 1960an. Pengembangan ini berakar dari sebuah ancangan yang berorientasi pada gerakan Edward Saphir pada tahun 1933 (Hymes; 1974:20). Gerakan Edward Saphir yakni meninggalkan studi tentang bentuk dan isi sosiokultural sebagai “produk” ke arah studi tentang bentuk dan isi

sosiokultural sebagai “proses” (Hymes; 1974:20). Dengan demikian, etnografi komunikasi menempatkan budaya sebagai sebuah proses yang lazim dijalani oleh manusia. Terkait dengan hal tersebut, Hymes mengusulkan bahwa ilmu pengetahuan tentang komunikasi memusatkan perhatian pada kompetensi, yakni pengetahuan bahasa yang mengatur fungsi bahasa yang tepat. Selain memasukkan pengetahuan tentang aturan-aturan linguistik yang abstrak ke dalam pengetahuan kompetensi, juga memasukkan kemampuan untuk menggunakan bahasa dalam situasi kehidupan sehari-hari secara kongret. Kompetensi penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari secara kongret dapat meliputi partisipasi dalam percakapan untuk berbelanja, wawancara, melucu, menggoda, mengingatkan, maupun untuk berdoa.

Di dalam bahasa terdapat banyak hal yang dilihat dengan menggunakan berbagai kerangka yang ada. Dalam bahasa juga memiliki kekhususan-kekhususan yang dapat digeneralisaikan, tetapi juga generalisasi-generalisasi yang dapat dikhususkan. Adapun kekhususan yang ditemukan oleh para ahli etnografi

adalah kekhususan tentang fungsi bahasa. Hymes (1974:56) mengajukan kisi-kisi tentang etnografi komunikasi sebagai SPEAKING, yang masing-masing memiliki makna.

S Setting (latar) keadaan fisik Scene (suasana)

P Participant (peserta) pembicara, pengirim pesan,

E Ends (tujuan) tujuan atau sasaran yang ingin dicapai/hasil A Act sequence (urutan tindakan) bentuk pesan dan isi

K Key (kunci) nada atau cara

I Instrumentalities (sarana) saluran (verbal/nonverbal)

Bentuk-bentuk repertoar yang diambil dari Masyarakat

N Norms of interaction and interpretation (norma interaksi dan interpretasi) Kesopanan tertentu yang digunakan dalam Berbicara

Interpretasi tentang norma-norma kultural di dalam sistem kepercayaan kultural

G Genre (jenis) kategori-kategori tekstual

Hymes menyatakan bahwa SPEAKING dapat digunakan sebagai alat untuk menemukan suatu taksonomi lokal yang cenderung kultural tentang unit-unit komunikatif. Unit yang dimaksud adalah situasi tutur (dianggap sebagai unit-unit yang terbesar), peristiwa tutur, dan tindak tutur (dianggap sebagai unit yang

terkecil). Situasi tutur terkait dengan setting, sementara peristiwa tutur terkait dengan aktivitas-aktivitas, dan tindak tutur terkait dengan daya ilokusi.

Etnografi komunikasi yang digunakan dalam penelitian ini ditujukan untuk membantu dalam memahami pola pikir yang terlihat melalui tuturan ritual yang disampaikan. Hal ini cukup mendasar karena dalam etnografi komunikasi membantu kita memahami berbagai aspek yang terkait dengan komponen-komponen tersebut. SPEAKING dapat digunakan sebagai alat atau cara untuk menemukan suatu taksonomi lokal (yaitu relative secara cultural) tentang “unit-unit” komunikatif yang “dalam cara yang dapat diketahui secara terikat ataupun terpadu” (Hymes; 1972:56).

Setting mengacu pada waktu dan tempat kegiatan bertutur tersebut berlangsung, atau secara umum merupakan kondisi fisik. Kondisi fisik yang dimaksud di sini merupakan segala hal yang mendukung komunikasi tersebut berlangsung, baik kondisi fisik penutur maupun lingkungan dan konteks saat tuturan berlangsung. Dalam kajian ini, setting akan mempengaruhi penggunaan bahasa/style modin dalam memilih penggunaan bahasa di dalam tuturan. Di dalamnya meliputi penggunaan bahasa yang formal maupun yang informal. Sementara scene merupakan suasana saat tuturan atau komunikasi berlangsung. Suasana yang akan dilihat adalah suasana baik secara fisik pesarean gunung kawi maupun suasana psikologis pelaku ritual dan Modin selaku pemimpin ritual.

Participant yang dilihat di dalam penelitian ini adalah semua yang terlibat dalam kegiatan ritual selamatan. Ends atau tujuan merupakan sasaran yang diharapkan dari kegiatan tersebut. Dalam penelitian ini, yang akan dilihat adalah

tujuan dilaksanakannya ritual selamatan tersebut baik secara umum maupun secara individual dari tiap-tiap pelaku ritual. Selain itu, juga akan dilihat mengenai tujuan penggunaan bahasa dalam tuturan ritual selamatan di pesarean gunung kawi. Act sequence atau urutan tindakan merupakan penjabaran dari bentuk tuturan doa yang dibacakan Modin. Dalam hal ini juga akan dijabarkan mengenai proses-proses atau urutan kegiatan yang dilaksanakan dalam proses pembacaan doa oleh Modin. Urutan tindakan yang dijabarkan meliputi tuturan untuk setiap participant yang terlibat.

Key atau kunci merupakan cara, gaya, atau nada dalam kegiatan bertutur atau berkomunikasi. Dalam penelitian ini akan dijabarkan mengenai cara atau nada Modin dalam membacakan doa, karena doa dalam ritual selamatan ini dituturkan dengan nada atau cara yang berbeda dengan komunikasi atau tuturan secara umum. Key juga terkait dengan mood atau tingkat keformalan bahasa yang digunakan dalam tuturan ritual. Di dalamnya terdapat aturan dan cara yang harus dipenuhi serta memiliki intonasi pembacaan yang khas. Instrumentalities atau sarana merupakan sarana baik verbal maupun nonverbal yang digunakan untuk menuturkan tuturan atau komunikasi. Sarana bertutur juga dapat berupa lisan maupun tertulis. Dalam penelitian ini, akan dilihat berbagai sarana yang digunakan oleh Modin dalam menyampaikan tuturan doanya. Sarana juga dapat dilihat dari bentuk-bentuk repertoar yang diambil dari Masyarakat. Dalam kegiatan ritual di pesarean Gunung Kawi terdapat beberapa sarana yang digunakan untuk menyampaikan permohonan. Sarana yang berupa uba rampe juga akan dibahas dalam analisis ini.

Norms of interaction and interpretation atau norma interaksi dan interpretasi merupakan bentuk kesopanan tertentu yang digunakan dalam berbicara atau bertutur. Interpretasi tentang norma-norma kultural di dalam sistem kepercayaan kultural juga menjadi bagian yang dilihat dalam norma interaksi ini. Sementara dalam penelitian ini akan dilihat mengenai norma-norma yang dipegang dan dijalankan Modin dalam berinteraksi pada saat memimpin ritual. Selain norma yang dipegang oleh modin, juga akan dilihat mengenai norma yang harus dipatuhi oleh setiap pelaku ritual yang hendak mengikuti kegiatan ritual ini.

Komponen terakhir yang disampaikan oleh Hymes adalah genre. Genre merupakan bentuk dari kategori-kategori tekstual yang digunakan sebagai bahan analisis. Penelitian ini akan melihat jenis atau bentuk tekstual yang digunakan oleh Modin dalam menyampaikan tuturannya.

Dokumen terkait