BAB I PENDAHULUAN
3.2 Analisis Kekerasan Simbolik
3.2.1 Eufimisme
Eufimisme biasanya membuat kekerasan simbolik tidak tampak, bekerja secara halus, tidak dapat dikenali, dan dipilih secara “tak sadar.” Bentuknya dapat berupa kepercayaan, kewajiban, kesetiaan, sopan santun, pemberian, utang, pahala, atau belas kasihan (Rusdiarti, 2003:39).
Dalam ketiga cerpen SCB bentuk kekerasannya lebih dominan pada simbol sopan santun, pemberian, utang, dan belas kasihan.
Cerpen “Ayam,” menunjukkan bagaimana hati-hatinya seorang dalam membuang ayam. Hingga akhirnya dengan satir ditunjukkan bahwa bangkai ayam tersebut tetap menjadi makanan untuk orang lain. Bahkan, mereka menikmati dan menganggap membuang ayam pada sampah di kantor adalah sebuah kebenaran tanpa berpikir kritis. Ayam bukan merupakan lambang dari sampah kantor. Ketika orang lain dari kelompok kelas yang lebih rendah mendapatinya, mereka akan berpikir bahwa itu adalah sebuah pemberian karena mereka merasa hal itu bukan bentuk kekerasan.
“Pemalu juga rupanya Pak Abdul itu. Dia malu-malu kalau- kalau kita tak mau terima. Jadi berlagak nyentrik dan pura-
nyodorkan ayam mati kepada kita, tentu dia takut kalau- kalau kita tersnggung. Omong-omong enak juga ya. Masih
ada nggak sisanya?” “kan sudah aku bawa pulang.”
Tiba-tiba kencingku terhenti. Aku sentakkan pint toilet pergi ke Abdul, ingin membisikkan maafku dan menceritakan segalanya (Bachri, 2001:84).
Pemberian-pemberian berupa uang juga ditampilkan dalam cerpen tersebut. Pemberian dari kelas dominan kepada kelas yang ada di bawahnya. Hal itu sudah menjadi simbol bahwa pemberian cuma-cuma adalah sebuah penindasan dan lambang kekerasan. Di dalam pemberian tersebut juga terkandung rasa belas kasihan kepada kelompok kelas lainnya.
Aku ingin memakinya. Tetapi kainnya yang kuyup gemetar, kutangnya yang keriput dan basah, matanya yang kosong menatap, menyumpal mulutku. Aku raba saku celana, aku keluarkan uang seribu itu. Aku raba saku-saku yang lain juga saku kemejaku. Aku memang ingat aku bawa uang seribu itu. Tapi, dalam keadaan seperti ini aku benar-benar mengharapkan keajaiban. Hanya seribu itulah yang aku serahkan kepada wanita kuyu itu (Bachri, 2001:80).
Sedangkan dalam cerpen “Suatu Malam Suatu Warung,” para penyair
yang masih muda tersebut menampilkan simbol pemberian. Para pemuda membayarkan pelacur tua makanan dan minuman walaupun mereka tidak memakai jasanya. Bentuk itu bisa dilihat sebagai sebuah penghinaan, terlebih memang beberapa kali mereka melakukan penghinaan. Para pemuda merasa tidak perlu memakai jasa pelacur tua itu sehingga pelacur tua itu akan merasa tidak mempunyai nilai di dalam kelas sosial.
Yang punya warung dengan ngantuk menghitung jumlah kopi yang diminum dan apa-apa yang di makan mereka. Dan bila dia menjumlahkan semua, Rahman menyuruhnya
manggabungkan pula dengan apa-apa yang dimakan pelacur dan diminumnya (Bachri, 2001:25).
Selanjutnya di dalam cerpen “Tahi,” simbol yang ditonjolkan adalah pemberian dan belas kasihan. Seorang tokoh yang dominan memberi makan dan memberi rokok. Bahkan, memberikan uang. Hal satir yang muncul di dalam cerpen ini adalah bagaimana tokoh yang dominan merasa bersalah dengan keajadian temannya yang memakan tahinya.
Kuberikan rokok. Seorang sahabat telah memakan serantang penuh tahiku. Aku akan memberikan segalanya pada sahabatku.
Dua batang rokok sudah habis diisapnya, dan pada batang rokok yang ketiga dia mau pulang.
“Kau mau?” kataku. Kugenggamkan semua uangku padanya.
“Jangan semua,” katanya, “Beri aku hanya untuk kopi saja.”
(Bachri, 2001:33). 3.2.2 Mekanisme Sensorisasi
Mekanisme sensorisasi menjadikan kekerasan simbolik tampak sebagi bentuk dari pelestarian semua bentuk nilai yang dianggap sebagi “moral
kehormatan,” seperti kesantunan, kesucian, kedermawanan, dan sebagainya yang biasanya dipertentangkan dengan “moral rendah,” seperti kekerasan, kriminal,
ketidakpantasan, asusila, kerakusan, dan sebagainya (Rusdiarti, 2003:39).
Dalam cerpen-cerpen SCB yang menunjukkan adanya kekerasan melalui mekanisme sensorisasi adalah dengan kesantunan dan kedermawanan. Kesantunan bisa dilihat dari ucapannya kepada kelompok lain dan kedermawanan bisa dilihat dari bentuk pemberian yang cuma-cuma.
Cerpen “Ayam,” kesantunan tokohnya terletak pada saat dia hendak
memaki orang yang mengambil bangkai ayam yang sudah dibuang ke sungai namun keadaan fisik orang yang hidup di pinggir sungai membuatnya tidak mampu untuk melakukannya.
Aku ingin memakinya. Tetapi kainnya yang kuyup gemetar, kutangnya yang keriput dan basah, matanya yang kosong menatap, menyumpal mulutku. Aku raba saku celana, aku keluarkan uang seribu itu. Aku raba saku-saku yang lain juga saku kemejaku. Aku memang ingat aku bawa uang seribu itu. Tapi, dalam keadaan seperti ini aku benar- benar mengharapkan keajaiban. Hanya seribu itulah yang aku serahkan kepada wanita kuyu itu (Bachri, 2001:80).
Permintaan maafnya kepada bos sebuah kantor yang tidak lain adalah temannya juga merupakan bentuk kesantunannya. Selain itu dia juga melakukan kedermawanannya. Hal itu berbeda dengan yang dilakukan oleh istrnya yang tidak bisa memberi uang cuma-cuma.
Selanjutnya di dalam cerpen, “Suatu Malam Suatu Warung,”
kedermawanan tokohnya ditunjukkan dengan membayarkan pelacur tua itu makanan dan minuman yang telah dimakannya. Walaupun di dalam cerita ini tidak digambarkan kesantuanannya karena menuduh-nuduh pelacur tua itu sakit sipilis.
Sedangkan di cerpen “Tahi,” kedermawanan dan kebaikannya terlihat dari bagimana tokoh dominan di dalam cerita itu memberikan makan, rokok, dan uang kopi. Dia tidak ada niatan kawannya memakan tahinya karena dia juga membelikan nasi rames untuk kawannya ketika pulang.
Ha ha haha! Dia sedang membaca seenaknya (Bachri, 2001:31).
3.2.3 Menciptakan Dunia
Dalam menciptakan dunia, manusia harus mengubah bagaimana dunia itu diciptakan. Kekuasaan simbolik adalah kekuasaan menciptakan dunia. Dengan memiliki kekuasaan simbolik, pelaku sosial memiliki kekuasaan untuk menciptakan atau menghancurkan, memisahkan atau menyatukan, dan yang lebih penting lagi kekuasaan untuk memberi nama atau membuat defenisi: maskulin/feminin, atas/bawah, kuat/lemah, bahkan juga baik/buruk, benar/salah, dan lain-lainnya (Rusdiarti, 2003:39).
Dalam ketiga cerpen SCB ada perisiwa-peristiwa di mana dunia
diciptakan. Cerpen “Ayam,” ditunjukkan dengan istri dari penyair tersebut tidak
mau memberikan uang cuma-cuma. Orang harus bekerja dan berjuang. Penciptaan dunia baru menghapuskan rasa belas kasihan yang menjadi salah satu indikasi kekerasan simbolik.
Penciptaan dunia baru juga dimunculkan dengan perasaan bersalah dari
kelas dominan. Cerpen “Ayam” dan “Tahi” menggambarkan tentang bagaimana
kelas dominan menjadi merasa bersalah atas perbuatan mereka.
3.3 Rangkuman
Dalam ketiga cerpen SCB bentuk kekerasannya lebih dominan pada simbol sopan santun, pemberian, utang, dan belas kasihan.
Contohnya dalam cerpen “Ayam,” menunjukkan bagaimana hati-hatinya seorang dalam membuang ayam. Hingga akhirnya dengan satir ditunjukkan bahwa bangkai ayam tersebut tetap menjadi makanan untuk orang lain. Bahkan, mereka menikmati dan menganggap membuang ayam pada sampah di kantor adalah sebuah kebenaran tanpa berpikir kritis. Ayam bukan merupakan lambang dari sampah kantor. Ketika orang lain dari kelompok kelas yang lebih rendah mendapatinya, mereka akan berpikir bahwa itu adalah sebuah pemberian karena mereka merasa hal itu bukan bentuk kekerasan.
Kemudian dalam cerpen-cerpen SCB yang menunjukkan adanya kekerasan melalui mekanisme sensorisasi adalah dengan kesantunan dan kedermawanan. Kesantunan bisa dilihat dari ucapannya kepada kelompok lain dan kedermawanan bisa dilihat dari bentuk pemberian yang cuma-cuma.
Lalu dalam penciptaan dunia baru, ditunjukkan dalam cerpen “Ayam,”
istri dari penyair tersebut tidak mau memberikan uang cuma-cuma. Orang harus bekerja dan berjuang. Penciptaan dunia baru menghapuskan rasa belas kasihan yang menjadi salah satu indikasi kekerasan simbolik. Cerpen “Ayam” dan “Tahi” menggambarkan tentang bagaimana kelas dominan menjadi merasa bersalah atas perbuatan mereka.
Dalam bab ini dibahas mengenai berbagai mekanisme kekerasan simbolik. Analisis kekerasan simbolik yang mencakup mekanisme eufimisme dan mekanisme sensorisasi. Praktik kekerasan tersebut ditemukan di dalam cerpen- cerpen karya SCB. Akan tetapi, penciptaan dunia juga terjadi di dalam karya tersebut.
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Cerpen-cerpen Sutardji Calzoum Bachri lebih banyak menggambarkan kehidupan sosial masyarakat. Sutardji seperti menangkap kehidupan sehari-hari masyarakat dan dituangkan ke dalam cerpen-cerpennya. Melalu simbol-simbol dan bentuk-bentuk yang sederhana, cerpen tersebut menampilkan perbedaan- perbedaan kelas di dalam masyarakat.
Perbedaan-perbedaan tersebut tidak harus melulu tentang kelompok dominan yang digambarkan dengan penguasa yang kaya raya dan memiliki banyak uang. Sedangkan kelompok yang tertindas adalah kelompok-kelompok yang sangat miskin hingga tidak sanggup berbuat apapun. Akan tetapi cerpen- cerpen tersebut menggambarkan tentang masyarakat yang hidup biasa-biasa saja dan terlihat normal namun praktik kekerasan juga terjadi di sana.
Dari cerpen-cerpen yang sudah dianalisis terlihat jelas bahwa modal ekonomi menjadi modal paling kuat di dalam masyarakat. Modal ekonomi menjadi pilar berharga bila orang ingin berjuang di dalam sebuah arena. Selain itu habitus tiap-tiap kelas juga berbeda-beda dan tidak mungkin kita menyamakannya. Hal itu terbentuk sangat lama hingga menjadi sebuah kebiasan. Penciptaan dunia baru-lah yang akan bisa mengubahnya. Habitus yang tertanam itu terlihat sekali sangat mempengaruhi kehidupan masing-masing kelompok masyarakat.
Kekerasan simbolik yang ada di dalam cerpen tersebut digambarkan dengan sangat halus melalui tingkah laku, cara hidup dan simbol-simbol yang ada di dalam setiap tokoh. Kekerasan itu tidak menjurus ke dalam hal-hal yang fisik melainkan melalui simbol-simbol yang dibangun oleh tokoh yang lebih kuat kepada tokoh yang lebih lemah.
Bentuk kekerasannya bermacam-macam namun pihak yang menerima kekerasan itu merasa dirinya layak mendapatkannya. Bahkan bukan lagi menjadi sebuah kekerasan. Selanjutnya yang menarik dicatat adalah ketika tokoh yang melakukan kekerasan itu menjadi kecewa dan sadar akan tindakan-tindakannya. 4.2 Saran
Kumpulan cerpen Hujan Menulis Ayam karya Sutardji Calzoum Bachri memiliki banyak simbol-simbol. Cerpen tersebut juga bisa diteliti dalam hubungannya dengan sejarah dan tentang keterkaitan simbol-simbol di dalam sejarah karena semua cerpennya ditulis ketika masa Orde Baru.
DAFTAR PUSTAKA
Bachri, Sutardji Calzoum. 2001. Hujan Menulis Ayam. Magelang: Yayasan Indonesia Tera
Bourdieu, Pierre. 2010. Arena Produksi Kultural. Diterjemahkan oleh Yudi Santosa. Yogyakarta: Kreasi wacana
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Endraswara, Suwardi. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Jakarta: Buku Seru
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian. Yogyakarta: Kanisius
Haryatmoko. 2003. “Menyingkap Kkepalsuan Budaya Penguasa”. dalam Majalah Basis, No.11-12, November-Desember 2003, hlm. 5-23
Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rusdiarti, Suma Riella. 2003. “Bahasa, Pertarungan Simbolik dan Kekuasaan”.
dalam Majalah Basis, No.11-12, November-Desember 2003, hlm. 31-40 Saraswati, Ekarini. 2003. Sosiologi Sastra. Malang: UMM Press