• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LAPORAN KASUS

E. Evaluasi Keperawatan

                      E. Evaluasi Keperawatan

Hasil evaluasi tindakan keperawatan pada tanggal 3 April 2012 pukul 14.30 WIB respon subyektif pasien mengatakan anggota gerak tangan dan kaki kirinya sulit untuk digerakan segala aktivitasnya dibantu oleh keluarganya. Respon obyektif pasien: GCS E4V5M6, kesadaran komposmentis, kekuatan otot ekstremitas atas kanan 5 dan kiri 1, ekstremitas kiri bawah kanan 5 dan kiri 3, pasien terlihat lemah posisi pasien supinasi, pasien bedrest

total di atas tempat tidur, aktifitas latihan pasien tergantung total nilai 4, tekanan darah: 150/90mmHg, nadi: 70x/menit, suhu: 36,50 C, pernafasan: 20x/menit, ROM aktif pada tangan dan kaki kanan, ROM pasif pada tangan dan kaki kiri. Analisa yang dapat diambil pada masalah mobilisasi belum teratasi. Planning yang dapat dibuat adalah intervensi dilanjutkan mengkaji status neurologis, mengajarkan ROM aktif dan ROM pasif, memberikan lingkungan yang nyaman, memberikan terapi NACL 0,9% 1000ml/20tpm, infus Aminofluid 500ml/20tpm, injeksi Furosemid 2ml/12jam, injeksi asam Tranexamat 1ml/8jam, injeksi Ketorolak 1ml/12jam, injeksi Ranitidin 2ml/12jam, Diltiazem 2x30 gr, Meloxicam 1x15 gr, Alprazolam 1x0,5 gr, memberikan posisi alih baring setiap 2 jam, mengobservasi TTV, mengkaji aktifitas latihan pasien.

Hasil evaluasi tanggal 4 April 2012 pukul 08.00 WIB respon subyektif pasien mengatakan tangan dan kaki kiri pasien sulit untuk digerakan, pasien mengatakan segala bentuk aktivitasnya dibantu oleh keluarganya. Respon obyektif pasien: GCS E4V5M6, kesadaran komposmentis, kekuatan otot

                       

ekstremitas atas kanan 5 dan kiri 1, ekstremitas bawah kanan 5 dan kiri 3, pasien terlihat nyaman, pasien bedrest total di atas tempat tidur, aktivitas latihan pasien tergantung total nilai 4, tekanan darah: 130/70mmHg, nadi: 84x/menit, suhu: 36,5o C, pernafasan: 20x/menit, ROM aktif pada tangan dan kaki kanan, ROM pasif pada tangan dan kaki kiri, injeksi Furosemid 2ml/12jam, injeksi Ranitidin 2ml/12jam, injeksi Ketorolak 1ml/12jam, injeksi asam Tranexamat 1ml/8jam. Analisa yang dapat diambil pada masalah mobilisasi belum teratasi. Planning yang dapat dibuat adalah intervensi dipertahankan mengkaji status neurologis pasien, mengajarkan pasien latihan ROM aktif, memberikan alih baring ke pasien setiap 2 jam, mengkaji aktivitas latihan pasien, memberikan terapi NACL 0,9% 1000ml/20tpm, infus Aminofluid 500ml/20tpm, Metoclopamid 2ml/8jam, injeksi asam Tranexamat 1ml/8jam, injeksi Ketorolak 1ml/12jam, injeksi Ranitidin 2ml/12jam, Diltiazem 2x30 gr, Meloxicam 1x15 gr, Alprazolam 1x0,5 gr.

Hasil evaluasi tanggal 5 April 2012 pukul 08.00 WIB respon subyektif pasien mengatakan tangan dan kaki kirinya sulit untuk digerakan, pasien mau untuk di alih baringkan setiap 2 jam, pasien mengatakan semua aktivitasnya dibantu keluarga. Respon obyektif pasien: GCS E4V5M6, kesadaran komposmentis, kekuatan otot ekstremitas atas kanan 5 dan kiri 2, ekstremitas bawah kanan 5 dan kiri 3, pasien terlihat lemah, pasien bedrest total di atas tempat tidur, aktiitas latihan pasien tergantung total nilai 4, tekanan darah: 160/80mmHg, nadi: 96x/menit, suhu: 36,80 C, pernafasan: 20x/menit, ROM aktif pada tangan dan kaki kanan, memberikan injeksi Ketorolak 1ml/12jam,

                       

injeksi Ranitidin 2ml/12jam, injeksi asam Tranexamat 1ml/8jam, injeksi Metoclopamid 2ml/8jam. Analisa yang dapat diambil pada masalah mobilisasi belum teratasi. Planning yang dapat dibuat adalah intervensi dipertahankan, mengajarkan pasien latihan ROM aktif, memberikan alih baring pasien setiap 2 jam, mengkaji aktifitas latihan pasien, memberikan terapi NACL 0,9% 1000ml/20tpm, infus Aminofluid 500ml/20tpm, Metoclopamid 2ml/8jam, injeksi asam Tranexamat 1ml/8jam, injeksi Ketorolak 1ml/12jam, injeksi Ranitidin 2ml/12jam, Diltiazem 2x30 gr, Meloxicam 1x15 gr, Alprazolam 1x0,5 gr.

Hasil evaluasi perkembangan kekuatan otot selama 3 hari dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2: Perkembangan Kekuatan Otot di Rumah Sakit Umum Dr. Moewardi

3 – 5 April 2012

Kekuatan Otot 3 April 2012 4 April 2012 5 April 2012

Ekstremitas atas kanan 5 5 5

Ekstremitas atas kiri 1 1 2

Ekstremitas bawah kanan 5 5 5

Ekstremitas bawah kiri 3 3 3

Keterangan:

0 : Tidak ada kontraksi otot. 1 : Ada tanda kontraksi otot.

2 : Mampu bergerak, tapi tidak mampu menahan gravitasi.

3 : Mampu melawan gravitasi tapi tidak mampu menahan tahanan pemeriksa. 4 : Mampu menahan gravitasi dan menahan tahanan ringan.

                       

BAB III

PEMBAHASAN DAN SIMPULAN

A. Pengkajian

Bab ini penulis akan membahas tentang “Asuhan Keperawatan Pemenuhan Kebutuhan Mobilisasi pada Ny. S dengan Stroke Non Hemoragik di Ruang Melati III RSUD Dr. Moewardi Surakarta”. Prinsip dari pembahasan ini dengan memfokuskan kebutuhan dasar manusia di dalam asuhan keperawatan.

Stroke adalah sindrom klinis berupa gangguan fungsi otak sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan oleh gangguan suplai darah ke otak. Stroke dapat berdampak pada berbagai fungsi tubuh, diantaranya adalah defisit motorik berupa hemiparese. (Astrid, dkk, 2011)

Dalam teori, stroke non hemoragik merupakan suatu penyakit yang diawali dengan terjadinya serangkaian perubahan dalam otak yang terserang yang apabila tidak ditangani dengan segera berakhir dengan kematian bagian otak tersebut. Stroke non hemoragik terjadi karena aliran darah ke otak berkurang karena sumbatan sehingga oksigen yang sampai ke otak juga berkurang atau tidak ada tergantung berat ringannya aliran darah yang tersumbat. Sumbatan tersebut disebabkan oleh (plak) ateroskerosis adalah perubahan fokal pada arteri, trombus (pecahan bekuan darah/plak), emboli

                       

(udara, lemak) pada arteri otak yang bersangkutan yang merupakan sumbernya. Penyebab umum terjadinya stroke non hemorogik adalah ateroma, emboli, infeksi, obat -obatan, hipotensi. (Junaidi, 2011)

Pada Ny. S gejala yang dirasakan adalah pergerakan tangan dan kaki kiri sulit untuk digerakan, kekuatan otot anggota gerak bagian kiri menurun menjadi 1 dan 3, semua aktifitas dibantu keluarga, pusing, adanya rasa kesemutan.

Pasien dengan stroke non hemoragik akan timbul gejala hemiparesis yang disebabkan adanya faktor – faktor resiko stroke atau adanya abnormalitas patologi seperti kerusakan katup jantung, miokard infark, fibrilasi, endokarditis menyebabkan terjadinya penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara sehingga terjadi emboli serebral yang dapat menyebabkan munculnya penyakit stroke sehingga muncul masalah defisit neurologi yang menyebabkan kehilangan kontrol volunter dan terjadinya hemiparesis. (Muttaqin, 2008). Keadaan hemiparesis merupakan salah satu faktor yang menyebabkan hilangnya mekanisme reflek postural normal, seperti mengontrol siku untuk bergerak, mengontrol gerak kepala untuk keseimbangan, rotasi tubuh untuk gerak gerak fungsional pada ekstremitas, sehingga pasien stroke akan mengalami kesulitan dalam berjalan karena mengalami gangguan pada kekuatan otot, keseimbangan, dan koordinasi gerak. (Irdawati, 2008)

Pada pasien mengalami hambatan untuk Activity Daily Lifes (ADL) dan dibantu oleh keluarga seperti, pasien makan/minum tergantung total (nilai

                       

4), toileting tergantung total (nilai 4), berpakaian tergantung total (nilai 4), mobilitas di tempat tidur tergantung total (nilai 4), ambulasi/ROM tergantung total (nilai 4). Pasien mengalami ketergantungan total. Pasien stroke akan terbatas untuk mandiri dalam melakukan Activity Daily Lifes (ADL) pada keluarga dan memiliki dampak ekonomi terhadap pasien, keluarga dan masyarakat. (Astrid, dkk, 2011)

Penderita stroke mengalami pusing karena terjadinya trombosis serebral yang disebabkan terjadinya asterioskerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral. Rasa kesemutan yang dialami penderita stroke diakibatkan oleh gangguan suplai darah, yang menyebabkan aliran darah terhambat. (Brunner & Suddrath, 2002)

Pemeriksaan saraf kranial menunjukan nervus optic mengalami gangguan penglihatan karena adanya gangguan jaras sensori primer di antara mata dan korteks visual. Nervus trigeminus mengalami gangguan respon sentuhan dan nyeri pada wajah sebelah kiri karena terjadinya kelumpuhan pada salah satu sisi pterigoideus internus dan eksternus. Pemeriksaan saraf kranial pada penderita stroke adalah nervus optic mengalami gangguan hubungan visual – spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering terlihat pada pasien dengan hemiparesis kiri. Nervus trigeminus mengalami penurunan paralisis saraf trigeminus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral dan kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan eksternus. (Muttaqin, 2008)

                       

Pemeriksaan penunjang pasien, pemeriksaan laboratorium hematologi adalah hemoglobin 9,7 g/dl menandakan mengalami penurunan (normal 11,7-16,2), hematokrit 30% menandakan mengalami penurunan (normal 33- 45), eritrosit 2,96 juta/ul menandakan mengalami penurunan (normal 4,10- 5,10). Berdasarkan teori pameriksaan laboratorium yang dilakukan pada pasien stroke adalah pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemi. Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum dan kemudian berangsur – angsur turun kembali. Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri. (Muttaqin, 2008)

Pemeriksaan CT Scan kepala: tampak lesi hiperdens di temporoperietalis, tak tampak midline shift, sulci dan gyri tak tampak kelainan, pons; cerebullum dan cerebellopontine tak tampak kelainan, orbita; sinus paranasalis dan mastoid tak tampak kelainan, calvaria intak. Dalam teori pasien stroke dilakukan pemeriksaan CT Scan kepala untuk memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak. (Muttaqin, 2008)

Tanda dan gejala stroke yaitu adanya serangan defisit neurologis/kelumpuhan fokal (hemiparesis), baal atau mati rasa sebelah badan berkurang. Gejala lain yang muncul biasanya mulut mencong, kesemutan tiba tiba, bicara pelo, sukar menelan, minum suka keselek, sulit berbahasa, bicara tidak lancar, tidak memahami pembicaraan orang lain, tidak mampu membaca

                       

dan menulis, tidak dapat berhitung, kepandaian menurun, menjadi pelupa, vertigo, penglihatan terganggu, tuli satu telinga atau pendengaran berkurang, menjadi mudah menangis dan tertawa, berjalan menjadi sulit, banyak tidur, gerakan tidak terkoordinasi. (Junaidi, 2002)

Hasil pengkajian pasien, penulis merumuskan masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular. (Nanda, 2010). Masalah keperawatan hambatan mobilitas fisik tersebut lebih diprioritaskan penulis dari beberapa masalah keperawatan yang muncul pada pasien. Alasan penulis memprioritaskan masalah hambatan mobilitas fisik yang dirasakan merupakan salah satu masalah kebutuhan dasar manusia yang berkaitan dengan keterbatasan pada pergerakan fisik tubuh, dimana hambatan mobilitas fisik tersebut lebih terdahulu untuk diatasi.

Berlandaskan teori di atas sejalan dengan tanda dan gejala yang dialami klien, penulis tepat mengambil kasus “pemenuhan kebutuhan mobilisasi pada pasien stroke non hemoragik”, karena pada pasien stroke sangat dibutuhkan latihan mobilisasi agar tidak terjadi kekakuan otot/ kontraktur, yang dapat menimbulkan komplikasi penyakit. (Wirawan, 2009)

Gangguan mobilitas fisik adalah suatu keadaan ketika individu mengalami keterbatasan gerak fisik. (Potter & Perry, 2005)

Tujuan yang dibuat penulis adalah setelah tindakan keperawatan selama 3x 24 jam diharapkan mobilitas fisik optimal dengan kriteria hasil: mobilitas pasien meningkat, kekuatan otot ekstremitas atas kiri 3 - 4,

                       

ekstremitas bawah kiri 4 - 5, pasien dapat melakukan aktivitas sehari hari secara mandiri.

Dengan ditegakkan diagnosa keperawatan hambatan mobilitas fisik, penulis merencanakan tindakan untuk mengatasi hambatan mobilitas fisik yang dirasakan pasien yaitu kaji status neurologis, berikan posisi yang nyaman, ubah posisi pasien tiap 2 jam, ajarkan latihan ROM, berikan suport psikososial dan spiritual, kolaborasi dengan tenaga fisioterapi. (NIC dan NOC, 2006)

Intervensi kaji status neurologi untuk mempermudah dalam mengetahui perkembangan klien menentukan tingkat kesadaran pasien, sehingga dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut. (Junaidi, 2011)

ROM sangat penting untuk mencegah terjadinya penurunan fleksibilitas sendi dan kekakuan sendi, karena bila otot diam pada satu sisi tertentu dalam waktu lama kelenturannya akan hilang, otot akan kaku pada posisi tersebut, sulit dan memerlukan tenaga lebih besar untuk kontraksi memendek atau memanjang, begitu pula pada sendi, yang akan kering dan kaku. (Wirawan, 2009). Sikap dan posisi klien juga harus diperhatikan, pemberian posisi yang benar untuk mencegah kontraktur. (Brunner & Suddarth, 2002)

Dukungan psikososial dan spiritual dapat dilakukan memberikan sedikit demi sedikit memberi peran dan tanggung jawab serta ungkapkan selalu bahwa peran serta klien sangat dibutuhkan oleh keluarga. Dengan

                       

demikian klien akan merasa dirinya masih berharga dan berguna bagi orang lain. (Wirawan, 2009)

Kolaborasi dengan tenaga fisioterapi untuk meningkatkan mobilitas pasien, karena menurut Garrison pada waktu terjadinya stroke apabila terjadi paralisis secara total pada anggota gerak maka ekstremitas yang terkena akan fleksid dalam 48 jam, yang kemudian akan berkembang kearah spatisitas dan akhirnya ke tonus otot yang normal dan kekuatan otot akan kembali ke pola sinergis menuju gerakan itu sendiri. (Irdawati, 2008)

Merujuk pada perencanaan yang sudah dibuat, penulis melakukan implementasi seperti yang sudah ditulis dalam laporan kasus di atas. Maria Astrid mengemukakan bahwa intervensi standar rumah sakit dan latihan ROM dilakukan 4 kali sehari selama 7 hari. Latihan beberapa kali dalam sehari dapat mencegah terjadinya komplikasi yang akan menghambat pasien untuk dapat mencapai kemandirian dalam melakukan fungsinya sebagai manusia, frekuensi dan jenis stroke tidak berhubungan dengan kemampuan fungsional. Latihan ROM yang dilakukan 4 kali sehari maupun latihan ROM yang diberikan hanya 1 kali sehari sama-sama berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan fungsional. (Astrid, dkk, 2011)

Implementasi yang dilakukan selama 3 hari disesuaikan dengan kondisi klien dan perencanaan yang telah dibuat. Perawat melakukan tindakan ROM. Hambatan dari tindakan yang sudah perawat lakukan selama 3 hari adalah pasien hanya mendapatkan latihan ROM 1 kali dalam sehari karena pasien banyak tertidur, pasien hanya dapat melakukan ROM di atas

                       

tempat tidur karena klien diprogramkan untuk bedrest total, pasien kadang merasa malas dalam melakukan latihan ROM.

Hasil evaluasi selama 3 hari pengelolaan terhadap peningkatan mobilisasi pasien masalah belum teratasi dibuktikan dengan pergerakan tangan dan kaki kiri masih sulit untuk digerakan, kekuatan otot tangan kiri pada hari ke 3 mengalami peningkatan menjadi 2, pasien belum dapat melakukan aktifitas secara mandiri. Hal ini diakibatkan oleh latihan ROM yang kurang karena tenaga fisioterapi tidak datang setiap hari, keterbatasan waktu perawat karena hanya bertugas setengah hari.

B. Simpulan Dan Saran 1. Simpulan

a. Hasil pengkajian pada Ny. S dengan keterbatasan pemenuhan kebutuhan mobilisasi pada stroke non hemoragik adalah mengeluh pergerakan tangan dan kaki kiri sulit untuk digerakan dengan kekuatan otot menurun.

b. Diagnosa keperawatan pada Ny. S dengan keterbatasan pemenuhan mobilisasi adalah hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuscular.

c. Rencana Asuhan Keperawatan pada Ny. S dengan keterbatasan pemenuhan kebutuhan mobilisasi adalah kaji status neurologis, berikan posisi yang nyaman, ubah posisi pasien tiap 2 jam, ajarkan latihan ROM, berikan suport psikososial dan spiritual, kolaborasi dengan tenaga fisioterapi.

                       

d. Implementasi pada Ny. S dengan keterbatasan pemenuhan mobilisasi adalah mengkaji status neurologis, mengkaji aktifitas latihan, mengobservasi tanda – tanda vital, mengajarkan latihan ROM aktif dan ROM pasif, mengubah posisi pasien setiap 2 jam, memberikan posisi nyaman.

e. Evaluasi pada Ny. S dengan keterbatasan pemenuhan mobilisasi adalah masalah belum teratasi dibuktikan dengan pergerakan tangan dan kaki kiri masih sulit untuk digerakan, kekuatan otot pada ekstremitas atas kiri mengalami peningkatan menjadi 2, pasien belum dapat melakukan aktifitas secara mandiri.

f. Analisa kondisi mobilitas pada Ny. S dengan keterbatasan pemenuhan mobilisasi adalah semua aktifitas pasien masih tergantung total pada keluarga, pergerakan tangan dan kaki kiri masih sulit untuk digerakan. 2. Saran

a. Bagi institusi pelayanan kesehatan, hal ini diharapkan Rumah Sakit khususnya RSUD Dr. Moewardi Surakarta dapat memberikan pelayanan kesehatan dan mempertahankan hubungan kerja sama baik antara tim kesehatan maupun klien sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang optimal pada umumnya dan pasien stroke non hemorogik khususnya. Dan diharapkan rumah sakit mampu menyediakan fasilitas serta sarana dan prasarana yang dapat mendukung kesembuhan pasien.

b. Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat, diharapkan selalu berkoordinasi dengan tim kesehatan lainya dalam memberikan asuhan

                       

keperawatan pada klien agar lebih maksimal, khususnya pada klien dengan stroke non hemoragik. Perawat diharapkan dapat memberikan pelayanan professional dan komprehensif.

c. Bagi institusi pendidikan, dapat meningkatkan mutu pelayanan pendidikan yang lebih berkualitas dan professional sehingga dapat tercipta perawat professional, terampil, inovatif, dan bermutu yang mampu memberikan asuhan keperawatan secara menyeluruh berdasarkan kode etik keperawatan.

Dokumen terkait