• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Keperawatan

Dalam dokumen 01 gdl arifinpugu 278 1 arifink i (Halaman 24-41)

BAB II LAPORAN KASUS

F. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan dengan metode subyektif, obyektif, assesment, planing (SOAP), setelah beberapa implementasi dilakukan, penulis melakukan evaluasi yang dilakukan setiap hari pada An. S, sehingga penulis dapat mengetahui masalah apa yang dapat teratasi dan masalah apa yang belum dapat teratasi serta dapat dilakukan tindakan lebih lanjut.

Evaluasi pada hari Senin 22 April 2013 diperoleh hasil data subyektif, Ny. S mengatakan An. S badannya panas, sudah tidak kejang. Berdasarkan

14

pengamatan secara obyektif diperoleh data suhu tubuh An. S 39,5o C, respirasi 30 kali/permenit, irama reguler, nadi 110 kali/menit, irama reguler dan teraba kuat, akral hangat, keadaan umum klien tampak lemah, warna kulit kemerahan. Masalah keperawatan hipertermi pada An. S belum teratasi sehingga intervensi dilanjutkan, pantau kejang An. S, pantau tanda-tanda vital, anjurkan untuk memberikan pakain tipis, berikan obat penurun panas.

Adapun hasil evaluasi pada hari Selasa tanggal 23 April 2013 pukul 14.00 WIB diperoleh hasil bahwa Ny. S mengatakan An. S panas, sudah tidak kejang. Berdasarkan hasil pengamatan secara obyektif suhu tubuh An. S 38,7o C, respirasi 33 kali/menit, irama teratur, nadi117 kali/menit, irama reguler, teraba kuat, kulit teraba hangat, warna kemerahan, An. S terlihat aktif, obat parasetamol 125mg masuk, Ny. S terlihat memberikan kompres hangat di ketiak An. S. Dari hasil evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah keperawatan hipertermia belum teratasi sehingga rencana tindakan keperawatan dilanjutkan meliputi pantau kejang dan pantau tanda-tanda vital, berikan obat penurun panas paracetamol 125 mg, anjurkan cara mengkompres dengan air hangat.

Pada hari Rabu tanggal 24April 2013 pukul 08.00 WIB, hasil evaluasi dari tindakan yang telah dilakukan diperoleh hasil bahwa Ny. S mengatakan An. S badannya sudah panas dan tidak kejang. Berdasarkan hasil pengamatan pada An. S secara obyektif didapatkan suhu 37,0o C, respirasi 33 kali/menit,irama reguler, nadi 116 kali/menit, irama reguler dan teraba kuat, An. S terlihat bermain sambil tiduran, dan An. S terlihat tidak gelisah. Dari

15

hasil evaluasi tersebut dapat disimpulkan bahwa masalah keperawatan hipertermi teratasi sesuai dengan kriteria hasil seperti, An. S sudah tidak rewel, suhu dalam rentang normal 36,5-37,0 (Sigma, 2005) derajat celcius , An. S sudah tidak kejang dan warna kulit tidak kemeraahan, sehingga intervensi dihentikan. Memberikan penjelasan tentang pemberian obat di rumah kepada keluarga An. S dengan cara 7 benar obat.

16

BAB III

PEMBAHASAN DAN SIMPULAN

A. Pembahasan

Pada bab ini penulis akan membahas tentang “ASUHAN

KEPERAWATAN HIPERTERMI PADA AN. S DENGAN FEBRIS

CONVULSION DI BANGSAL FLAMBOYAN DIRSUD SUKOHARJO”.

Prinsip dari pembahasan ini dengan memfokuskan kebutuhan dasar manusia di dalam asuhan keperawatan. Selain itu penulis akan membahas kesesuaian maupun kesenjangan antara teori dengan kasus.

1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan, merupakan tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya, kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap ini akan menentukan diagnosis keperawatan (Rohmad dan Walid, 2012).

Kejang demam adalah perubahan aktifitas motorik dan behavior yang bersifat paroksismal dan dalam waktu terbatas, akibat adanya aktifitas listrik abnormal di otak yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (Widagdo, 2012). Menurut Dewanti dkk (2012), menyebutkan kejang demam terjadi karena kenaikan suhu rektal lebih dari 38 derajat

17

celcius yang disebabkan suatu proses ekstrakranium, umumnya terjadi pada anak berusia 6 bulan sampai 5 tahun.

Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang paling sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun dan terjadi pada kenaikan suhu tubuh di atas 380 celcius. Kenaikan suhu 10 celcius akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10 persen sampai 15 persen dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20 persen. Pada anak yang berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 persen dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 persen, sehingga mengubah keseimbangan dari membran sel neuron. Terjadi lepasan muatan listrik dalam waktu yang singkat, sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya, yang akhirnya terjadi kejang. Ambang kejang yang rendah, terjadi pada suhu 380 celcius, sedangkanambang kejang tinggi terjadi apabila suhu mencapai 400 celcius atau lebih (Ngastiyah, 2005).

Tanda gejala pada anak yang mengalami kejang demam antara lain wajah anak akan menjadi biru, mata berputar, dan anggota badan akan bergetar dengan hebat, ikterik, suhu tidak stabil (Muscari, 2005). Menurut Purwanti dan Maliya (2008), kejang demam biasanya didapatkan fase iktal antara lain gigi mengatup, sianosis, pernafasan cepat atau menurun, peningkatan sekresi mucus, peningkatan nadi, sedangkan pada fase post iktal dapat terjadi apneu. Akibat kejang

18

dapat terjadi fraktur, kerusakan jaringan lunak atau gigi cedera selama kejang.Pada aktivitas dan kekuatan otot dapat terjadi keletihan, kelemahan umum, perubahan tonus otot atau kekuatan otot. Mual, muntah yang berhubungan dengan aktivitas kejang, serta pada integumen ditemukan akral hangat dan kulit kemerahan.

Menurut Widagdo (2006) kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 macam yaitu kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam dapatdikatakan kejang demamsederhana, apabila kejang berlangsung kurang dari 15 menit, tidak memperlihatkan tanda dan gejala yang signifikan pada fase iktal, sedangkan pada fase post iktal dapat terjadi apneu, serta tidak berlangsung dalam suatu rangkaian yang memiliki durasi total lebih dari 30 menit. Sedangkan kejang demam kompleksmemiliki durasi lebih lama, ada tanda dan gejala yang signifikan pada fase iktal dan post iktal.

Pada kasus kelolaan penulis,tanda dan gejala pada An. S denganfebris convulsion, termasuk dalam fase iktal dan merupakan kategori kejang sederhana. Tanda gejala tidak semuanya muncul pada An. S, sepertiwajah anak akan menjadi biru, anggota badan bergetar dengan hebat, gigi mengatup, pernafasan cepat atau menurun, peningkatan sekresi mucus dan terjadi peningkatan nadi. Pada An. S tanda dan gejala yang muncul pada tanggal 22 April 2012 pukul 11.00 WIB saat dilakukan pengkajian riwayat penyakit sekarang, Ny. S

19

mengatakan badan anak An. S panas dan disertai kejang ± 1 menit dengan mata melotot keatas ketika di IGD. Hasil pemeriksaan keadaan umum klien lemah, tampak rewel, tingkat kesadaran klien sadar penuh (composmentis) dengan nilai Glasgow Coma Scale (GCS)= 15 ( eye = 4, verbal = 5, motorik = 6). Pemeriksaan fisik: suhu tubuh 39,5 derajat celcius, respirasi 32 kali per menit dengan irama teratur dan dalam, nadi 110 kali per menit, dengan irama reguler, dan teraba kuat, akral teraba hangat, warna kulit kemerahan.

Menurut Widagdo (2012), menyebutkan bahwa faktor resikoterjadi kejang demam antara lain pada genetik kembar monozygot, riwayat keluarga (sanak keluarga sederajat 1 dan 2) dan keterlambatan perkembangan.

Berdasarkan kasus yang penulis kelola, An. S berjenis kelamin perempuan yang berusia 2 tahun 7 bulan dari hasil pemeriksaan TTV (tanda-tanda vital) didapatkan suhu 39,5 derajat celcius yang beresiko terjadi kejang demam. Selain itu berdasarkan hasil penelitian diatas tentang faktor resiko terjadinya bangkitan kejang demam pada An. S sangat kecil karena dari riwayat keluarga An. S tidak ada yang mengalami epilepsy.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa adalah penilaian klinis tentang individu, keluarga atau komunitas terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan aktual taupun potensial sebagai dasar pemilihan intervensi keperawatan untuk

20

mencapai hasil tempat perawat bertanggung jawab (Rohmad dan Walid, 2012).

Hasil pengkajian terhadap pasien, penulis merumuskan masalah keperawatan hipertermi berhubungan dengan proses penyakitfebris

confulsion. Masalah keperawatan hipertermi tersebut lebih

diprioritaskan penulis dari beberapa masalah keperawatan yang muncul pada pasien. Penulis lebih memperioritaskan peningkatan suhu tubuh karena keluhan utama yang diungkapkan Ny. S adalah An. S mengalami peningkatan suhu tubuh. Peningkatan suhu tubuh yang dialami An. S sudah melebihi batas normal 36,50sampai 37,00 celcius (Sigma 2004), sehingga harus segera diatasi karena kebutuhan pengaturan suhu tubuh merupakan kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi pada anak.

Menurut Tamsuri (2006), hipertermi adalah suatu keadaan ketika individu mengalami atau beresiko mengalami kenaikan suhu tubuh terus-menerus lebih dari 37,80celcius (1000 F) per oral atau 38,90celcius(1010F) per rektal karena faktor eksternal. Pada masalah keperawatan hipertermi ditandai dengan suhu tubuh meningkat di atas rentang normal, frekuensi nafas meningkat, kejang atau konvulsi, akral hangat dan kulit kemerahan (Nanda, 2010).

Hasil pengkajian pada An. S, Ny. S mengatakan An. S badannya panas, sempat mengalami kejang kurang lebih 1 menit waktu di IGD.

21

Hasil pemeriksaan suhu tubuh 39,5 derajat celcius, akral teraba hangat, kulit kemerahan.

3. Intervensi

Intervensi adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah, mengurangi dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasi dalam diagnosis keperawatan. Desain perencanaan menggambarkan sejauh mana perawat mampu menetapkan cara menyelesaikan maslah dengan efektif dan efisien (Rohmah dan Walid, 2012).

Setelah menentukan diagnosa keperawatan kemudian penulis menyusun rencana dan tindakan keperawatan sesuai dengan teori.Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam,diharapkan tidak terjadi kenaikan suhu tubuh dengan kriteria hasil anak tidak rewel, suhu tubuh dalam batas normal 36,5-37,0 derajat celcius (Sigma, 2005), tidak terjadi kejang, akral tidak hangat dan warna kulit tidak kemerahan.Tujuan An. S dapat menunjukkan termoregulasi sehingga kebutuhan pengaturan suhu tubuh An. S dapat terpenuhi.Tindakan keperawatan yang dilakukan meliputi pantau aktivitas kejang pasien, pantau tanda – tanda vital pasien, anjurkan untuk menggunakan pakaian yang tipis, mengajarkan kompres hangat dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antipiretik.

Perencanaan untuk kasus kejang demam antara lain monitoring vital sign (monitor tekanan darah, nadi, suhu dan status pernafasan, pertahankan secara berkesinambungan monitoring suhu tubuh,

22

monitoring warna kulit, suhu dan kelembutan, dan identifikasi dari penyebab perubahan vital sign) dan penanganan demam meliputi pemberian antipiretik jika diperlukan, ganti pakaian dengan pakaiaan yang tipis, pastikan anak memperoleh banyak udara segar tanpa menjadi kedinginan, berikan tapid sponge bad dengan air hangat dan berikan intake cairan yang adekuat. Selain itu pasang IV line untuk memenuhi kebutuhan cairan, berikan sirkulasi udara yang baik dan berikan oksigen jika diperlukan (Wilkinson, 2007).

4. Implementasi

Implementasi adalah realisasi tindakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam pelaksanaan juga meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respons klien selama dan sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru (Rohmah dan Walid, 2012).

Menurut Schartz (2005), memantau aktifitas kejang untuk mengenali kasus kejang dan mengobservasi apabila terjadi kejang berulang. Pada kasus kelolaan, An. S mengalami kejang kurang lebih 1 menit ketika di IGD dan tidak mengalami kejang berulang.

Memantau tanda-tanda vital, pengumpulan dan analisis data kardiovaskuler, respirasi dan suhu tubuh untuk menentukan serta mencegah komplikasi (Wilkinson, 2007). Pada An. S suhu 39,5o C, respirasi 32 kali per menit, dengan irama reguler dan dalam, nadi 112

23

kali per menit, irama reguler dan teraba kuat, kulit teraba hangat, warna kulit kemerahan.

Menurut Harold dalam jurnal Purwanti dan Maliya (2005), upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan suhu tubuh antara lain mengenakan pakaian yang tipis, menganjurkan banyak minum, banyak istirahat, memberikan kompresdan bisa juga dengan memberikan obat penurun panas. Teknik dalam memberikan kompres dalam upaya menurunkan suhu tubuh ada beberapa macam diantaranya kompres hangat basah, kompres hangat kering, kompres dingin basah, kompres dinginkering, bantal dan selimut listrik, lampu penyinaran, busur panas. Pemberian kompres air hangat pada daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang belakang, sehingga terjadi vasodilatasi dan menyebabkan pembuangan atau kehilangan panas melalui kulit meningkat atau berkeringat (Tamsuri, 2007).

Menurut Purwanti dan Maliya (2008), mengganti pakaian dengan pakaian yang tipis dan pastikan klien mendapat udara segar tanpa menjadi kedinginan. Menggunakan pakaian yang tipis, panas yang berlebih akan keluar melalui keringat lalu menguap ke udara (prosesevaporasi).

Menurut Ngastiyah (2005), kejang demam yang terjadi pada saat anak mengalami kenaikan suhu harus segera diberikan obat antipiretik. Obat antipiretik untuk pasien kejang demam biasanya telah

bersama-24

sama dengan anti konvulsan. Perlu diingat bahwa pada klien yang akan mengalami kenaikan suhu dapat terjadi karena adanya infeksi seperti faringitis, OMA (Otitis Media Akut) atau infeksi lainnya, sehingga juga harus ada antibiotic misal amoxilin. Apabila belum ada antibiotik pasien harus dibawa berobat karena tanpa antibiotik demam hanya akan turun sebentar dan akan naik lagi. Disamping obat-obat tersebut pasien perlu diberi banyak minum dan apabila suhu tinggi dapat diberikan kompres dingin secara intensif.

Penatalaksanaan pada An. S yang mengalami peningkatan suhu tubuh sebelum dirawat di RSUD Sukoharjo, hanya diberikan obat syrup penurun panas antipiretik oleh Ny. S dan selama 2 hari suhu badan An. S tidak turun.Hal tersebut membuktikan, bahwa penatalaksanaan hipertermi secara farmakologispada kejang demam memerlukan terapi antibiotik, seperti teori yang dijelaskan diatas. Terapi yang diberikan pada An. S meliputi pemberian parasetamol 125 mg sebagai antipiretik melalui oral dan terapi injeksi amoxicilin 200 mg per 8 jam sebagai antibiotic. Hasil pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan laboratorium An. S terjadi infeksiyang ditandai dengan peningkatan leukosit 22,4 103/µL (normal 4-10 103/µL).

5. Evaluasi

Evaluasi adalah penilaian dengan cara membandingkan perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan

25

kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan (Rohmah dan Walid, 2012).

Setelah melakukan tindakan keperawatan pada An. S selama tiga hari dari tanggal 22 sampai 24 April 2013 hasil evaluasi yang didapatkan oleh penulis adalah masalah hipertemi yang terjadi pada An. S sudah teratasi dibuktikan dengan data subjektif, Ny. S mengatakan An. S sudah tidak kejang dan panas. Data objektif yang mendukung hasil evaluasi An. S tampak tenang dan aktif bermain boneka. Suhu tubuh 37,0 derajat celcius, nadi 116 kali permenit dengan irama teratur dan kualitas kuat, respirasi 33 kali permenit dengan irama reguler. Hasil analisa data masalah keperawatan hipertermi pada An. S sudah teratasi sesuai dengan kriteria hasil seperti, An. S sudah tidak rewel, suhu dalam rentang normal 36,5-37,0 derajat celcius (Sigma, 2005), An. S sudah tidak kejang dan warna kulit tidak kemeraahan, sehingga intervensi dihentikan.

B. Kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan

Setelah penulis melaksanakan Study kasus mengenai Asuhan Keperawatan Kebutuhan Pengaturan Suhu Tubuh pada An. S yang berusia 2 tahun 7 bulan dengan hipertermi pada kasus febris convulsion di RSUD SUKOHARJO dapat disimpulkan sebagai berikut:

26

a. Hasil pengkajian yang dilaksanakan pada An. S dengan hipertermi pada kasusfebris convulsion meliputi badan An. S panas disertai kejang ± 1 menit ketika di UGD dan data obyektif yang diperoleh penulis, keadaan umum An. S lemah, klien tampak rewel, suhu tubuh pasien 39,5 derajat celcius, warna kulit kemerahan dan akral hangat.

b. Perumusan diagnosa keperawatan pada An. S dengan hipertermi pada kasus febris convulsion adalah hipertermi berhubungan dengan proses penyakit.

c. Perencanaan keperawatan pada An. S, meliputi pantau aktivitas kejang pasien, pantautanda – tanda vital pasien, ganti pakaian dengan pakaian yang tipis, ajarkan kompres hangat dan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik dan antipiretik.

d. Implementasi keperawatan yang dilakukan pada An. S dengan febris convulsion meliputi memantau aktivitas kejang pasien, memantautanda – tanda vital pasien, mengganti pakaian pasien dengan pakaian yang tipis, mengajarkan kompres hangat dan mengkolaborasikan dengan dokter dalam pemberian antibiotik dan antipiretik.

e. Hasil evaluasi yang dilakukan penulis pada hari ke 3 pada tanggal 24 April 2013 hasil evaluasi yang didapatkan oleh penulis adalah masalah hipertemi yang terjadi pada An. S sudah teratasi dibuktikan dengan data subjektif, Ny. S mengatakan An. S sudah

27

tidak kejang dan panas. Data objektif yang mendukung hasil evaluasi An. S tampak tenang dan aktif bermain boneka. Suhu tubuh 37,0 derajat celcius, nadi 116 kali permenit dengan irama teratur dan kualitas kuat, respirasi 33 kali permenit dengan irama reguler, intervensi dihentikan. Memberikan penjelasan tentang pemberian obat di rumah kepada keluarga An. S dengan cara 7 benar obat.

f. Kasus yang terjadi pada An. S adalah kejang demam sederhana dan masuk ke dalam fase iktal. Asuhan keperawatan selama 3x24 jam masalah keperawatan hipertermi teratasi.

2. Saran

Setelah penulis melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan febris convulsion, penulis ingin memberikan masukan yang positif dalam pengelolaan pasien meliputi :

a. Bagi institusi pelayanan kesehatan (Rumah Sakit)

Diharapkan pelayanan kesehatan dapat meningkatkan mutu pelayanan terhadap pasien tanpa melihat latar belakang status ekonomi pasien, menjalin hubungan yang baik dengan keluarga pasien maupun tim kesehatan lainnya serta dapat menambah fasilitas pelayanan yang menunjang.

28

b. Bagi tenaga kesehatan khususnya perawat.

Hal tersebut dapat menambah masukan bagi perawat khususnya dalam memberikan pelayanan yang lebih profesional kepada pasien dan menjaga hubungan kerjasama yang baik terhadap keluarga pasien maupun tim kesehatan lainnya.

c. Bagi penulis selanjutnya

Diharapkan mampu meningkatkan wawasan dalam kegiatan proses belajar mengajar tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan kasusfebris convulsion pada khususnya dan dapat digunakan sebagai acuan bagi praktek mahasiswa keperawatan.

29

DAFTAR PUSTAKA

Dewanti, dkk. 2012. Kejang Demam dan Faktor yang Mempengaruhi Rekurensi.http://www.idai.or.id/saripediatri/fulltext.asp?q=212. Diakses pada tanggal 14 Mei 2013, Jam : 21.00 WIB.

Kania, Nia. 2007. Penatalaksanaan Demam Pada Anak. pustaka.unpad.ac.id/wp-content/.../penatalaksanaan_demam_pada_anak.pdf. Diakses pada tanggal 18 Mei 2013, Jam : 23.00 WIB.

Mubarak dan Chayati. 2007.Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia: Teori dan Aplikasi dan Praktik. Jakarta:EGC.

Muscari, E. Mary. 2005. Keperawatan Pediatrik, Edisi 3. Jakarta: EGC.

Nanda. 2010. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2009-2011. Jakarta: Prima Medika.

Ngastiyah, 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.

Rohmad dan Walid. 2012. Proses Keperwatan Teori dan Aplikasi. Jakarta: Ar-Ruzz Media.

Potter dan Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.

Purwanti dan Ambarwati. 2008. Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Perubahan Suhu Tubuh Pada Pasien Anak Hipertermia Di Ruang Rawat Inap Rumah

Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta.

http://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/484/2f.pdf?s equence=1, Diakses tanggal 16 Mei 2013, Jam : 22.00 WIB.

Purwanti dan Maliya. 2008. Kegawatadaruratan Kejang Demam pada Anak.http://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=abstrak+kejang+demam+ pada+anak&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CDEQFjAC&url=http://p ublikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/123456789/487/2i.pdf%3Fseque nce%3D1&ei=_zemUbSlFobtrAe8qIGABg&usg=AFQjCNG7B9bmgLW YTLPXUz3FnUUZ59CEOA&bvm=bv.47008514,d.bmk. Diakses pada tanggal 16 Mei 2013, Jam : 22.00 WIB.

Sigma. 2005. Hubungan antara Motivasi dan Pengetahuan Orang Tua dan Tindakaan Penggunaan Produk Obat Demam Tanpa Resep untuk

30

http://www.jurnalsigma.com. Diakses pada tanggal 16 Mei 2013, jam 10.00 WIB

Schwartz, M. William. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC. Tamsuri, Anas. 2006. Tanda-Tanda Vital Suhu Tubuh. Jakarta: EGC.

Widagdo, 2012. Masalah dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Demam. Jakarta: CV Sagung Seto.

Wilkinson, M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Edisi 7. Jakarta: EGC.

Yuana, dkk. 2010. Korelasi Kadar Seng Serum dan Bangkitan Kejang Demam.http://eprints.undip.ac.id/. Diakses tanggal 17 Mei2013,Jam: 12:19 PM.

Dalam dokumen 01 gdl arifinpugu 278 1 arifink i (Halaman 24-41)

Dokumen terkait