• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LAPORAN KASUS

F. Evaluasi

Setelah dilakukan tindakan implementasi di dapatkan evaluasi, Strategi pelaksanaan satu, implementasi pada hari senin tanggal 22 April 2013 pada jam 11.00 WIB membina hubungan saling percaya seperti salam terapeutik, memberi salam setiap berinteraksi, memperkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berinteraksi, menanyakan dan nama panggilan kesukaan klien, menanyakan perasaan klien seperti mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan, mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan, mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan, mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan, menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan, membantu klien mempraktekkan latihan cara mengontrol perilaku kekerasan, menganjurkan klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian, memberikan reinforcement atas keberhasilan klien. Evaluasi dari subyektifnya klien memperkenalkan diri nama dan alamat rumah, klien mengatakan jengkel kepada Ibunya ingin mengamuk dan memukul, klien mau diajari cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara yang sehat. Obyektifnya pasien kooperatif, kontak mata ada, nada suara tinggi, pandangan tajam, klien mau berjabat tangan, pasien mau menyebutkan atau mengidentifikasi penyebab marah, tanda dan gejala yang dirasakan, pasien mau diajari cara mengontrol perilaku kekerasan dengan nafas dalam, pasien tampak bisa mempraktekkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara nafas dalam secara mandiri. Analisa klien mampu melakukan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan tarik nafas dalam. Perencanaan strategi pelaksanaan satu evaluasi strategi

pelaksanaan satu (tarik nafas dalam) dan lanjut strategi pelaksanaan dua (pukul bantal).

Implementasi pada hari selasa tanggal 23 April 2013 jam 11.00 WIB, dengan diagnosa perilaku kekerasan, strategi pelaksanaan dua, implementasi salam terapeutik, mengevaluasi jadwal harian kegiatan klien, melatih cara mengontol perilaku kekerasan denga cara fisik II yaitu pukul bantal, menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian, memberikan reinforcement positif atas keberhasilan klien. Evaluasi dari subyeknya klien mengatakan perasaanya hari ini senang, klien masih ingat cara mengontrol perilaku kekerasan SP 1 dengan cara tarik nafas dalam, klien mau diajari cara mengontrol perilaku kekerasan dengan pukul bantal. Obyektifnya klien kooperatif, klien tampak rileks dan tenang, klien masih ingat cara mengontrol perilaku kekerasan SP 1 dengan cara tarik nafas dalam, klien mampu mempraktekkan cara mengontrol perilaku kekerasan SP 2 dengan cara pukul bantal. Analisa klien mampu melakukan cara fisik II mengontrol rasa marah dengan pukul bantal secara mandiri dan masalah teratasi. Perencanaan evaluasi cara mengontrol perilaku kekerasan SP 1 (tarik nafas dalam), SP 2 (pukul bantal) dan lanjut strategi pelaksanaan tiga mengungkapkan marah secara verbal.

Implementasi pada hari rabu tanggal 24 April 2013 jam 11.00 WIB, dengan diagnosa perilaku kekerasan, strategi pelaksanaan tiga, implementasi salam terapeutik, mengobservasi kemampuan klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal, mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien,

23

memberikan pujian terhadap kegiatan pasien. Evaluasi sebyektif klien mengatakan perasaannya senang, klien masih ingat cara mengontrol perilaku kekerasan SP 1 (tarik nafas dalam), SP 2 (pukul bantal), klien mengatakan apabila ingin marah mengontrolnya memilih dengan pukul bantal, klien mau dan bersedia diajari cara mengontrol perilaku kekerasan dengan SP 3 cara verbal (bicara baik-baik). Obyektif klien kooperatif, klien tampak rileks dan tenang, klien masih ingat SP 1 (tarik nafas dalam) SP 2 (pukul bantal), klien mampu mempraktekkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal. Analisa klien mampu mempraktekkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal yaitu bicara secara baik-baik. Perencanaan evaluasi SP 1 (tarik nafas dalam) SP 2 (pukul bantal) SP 3 (verbal atau bicara baik-baik) dan memasukkan ke dalam jadwal harian.

24

BAB III

PEMBAHASAN DAN SIMPULAN

A. Pembahasan

Pada bab pembahasan penulis akan membahas mengenai kesenjangan yang terdapat pada konsep dasar (teori) dan studi kasus pada Sdr.B dengan perilaku kekerasan di ruang Ayodya Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta, pada tanggal 22-23 April 2013 yang dimulai dengan membahas pengkajian, diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi keperawatan dan evaluasi serta pada bagian akhir dari penulisan laporan studi kasus ini, penulis akan memberikan kesimpulan dan saran, yang diharapkan dapat bermanfaat dalam meningkatkan asuhan keperawatan pada pasien, khususnya pada pasien dengan perilaku kekerasan.

Perilaku Kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis. Perilaku Kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Perilaku Kekerasan merupakan salah satu respon terhadap stresor yang dihadapi oleh seseorang, respon ini dapat meninmbulkan kerugian baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan (Keliat, 2007).

Tanda Gejala dari Perilaku Kekerasan adalah muka merah atau tegang, mata melotot atau pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah merah atau tegang, postur tubuh kaku, mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan, jalan mondar-mandir (Yosep, 2010).

25

1. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, dan spiritual (Nurjannah, 2005).

Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat pula berupa faktor predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping dan kumpulan koping yang dimiliki klien. Cara pengkajian berfokus pada 5 (lima) dimensi yaitu fisik, emosional, intelektual, sosial dan spiritual (Stuart dan Sundeen dalam Nurjannah, 2005). Kasus Sdr. B termasuk dari 5 dimensi yaitu dimensi fisik. Menurut teori perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang, baik secara fisik maupun psikologis. Perilaku tersebut dapat melukai diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Keliat, 2007). Dalam pengkajian pasien, penulis melakukan pengkajian meliputi : identitas klien, identitas penanggung jawab, pola fungsional gordon, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan terapi medis. Data yang penulis kumpulkan sudah mencakup data pengkajian jiwa dalam teori tersebut karena penilaian terhadap stressor, faktor predisposisi, faktor presipitasi, sumber koping dan kemampuan koping yang dimiliki klien sudah terkaji dalam pola koping toleransi stress didalam pola fungsional gordon.

Dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode auto anamnese terhadap klien dan perawat yang merawatnya, observasi langsung terhadap

penampilan dan perilaku klien. Menurut Waber dan Kelley (dalam Nanda, 2012) Pengkajian individu terdiri atas riwayat kesehatan (data subjektif) dan pemeriksaan fisik (data objektif). Adapun data yang diperoleh setelah melakukan pengkajian pada klien Sdr. B yang berupa data subjektif antara lain bingung, mengamuk, memukuli kakak, emosi marah, bicara dan tertawa sendiri alasan klien jengkel pada Ibunya dan data objektifnya adalah mondar mandir, bicara terdengar keras (membentak), pandangan tajam.

Faktor presipitasi menurut Direja (2011), adalah seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa injuri secara fisik, psikis, atau ancaman konsep diri. Sedangkan faktor presipitasi dalam kasus klien adalah klien mengatakan ditinggal pacarnya karena merasa kalah bersaing maka klien meminta motor kepada ibunya tapi tidak dibelikan sehingga klien marah. Klien mempunyai masa lalu yang tidak menyenangkan adalah putus sekolah waktu kelas satu SMK dan di PHK dalam pekerjaanya.

Faktor Predisposisi adalah berbagai faktor yang menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri seseorang (Stuart, 2006). Sedangkan faktor perdisposisi klien pernah mengalami gangguan jiwa dua kali sejak satu tahun yang lalu, pada saat ini klien dalam pengobatan tidak berhasil karena tidak mau minum obat dan tidak rutin kontrol. Keluarga belum bisa menuruti keinginan klien untuk membelikan motor sehingga klien merasa keluarganya tidak sayang dengan klien, klien mengatakan pernah putus sekolah saat kelas satu SMK dan pernah di PHK dalam pekerjaanya. Tidak ada penolakan dalam masyarakat dengan gangguan jiwa yang dialami klien saat ini. Klien tidak

27

pernah mengalami penganiyayaan fisik, kekerasan dalam rumah tangga dan tidak pernah mengalami tindakan kriminal.

Kepatuhan dalam pengobatan dapat diartikan sebagai perilaku klien yang mentaati semua nasehat dan petunjuk yang dianjurkan oleh kalangan tenaga medis, seperti dokter dan apoteker. Mengenai segala sesuatu yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pengobatan, salah satunya adalah kepatuhan dalam minum obat. Hal ini merupakan syarat utama tercapainya keberhasilan pengobatan yang dilakukan (Sugiyarti, 2012). Menurut teori (Direja, 2011) sesorang mengalami kekambuhan adalah ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah, stimulus lingkungan, konflik interpersonal, status mental, putus obat, penyalahgunaan narkoba atau alkohol, ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa. Sedangkan pada kasus Sdr.B mengalami putus obat sehingga klien mengalami kekambuhan. Peran keluarga disini tidak terlaksana dengan baik.

Mekanisme koping adaptif klien bercerita tentang perasaannya pada perawat, mengatakan jika ada masalah bercerita dengan keluarganya. Sedangkan mekanisme koping maladaptif klien mengatakan jengkel kepada ibunya karena minta motor tidak dibelikan dan bila klien sedang kesal klien ingin mengamuk dan memukul. Tetapi yang sering digunakan klien adalah koping maladaptif karena klien mengamuk dan memukul. Stressor yang terjadi 1 tahun terakhir stress adalah klien minta motor kepada ibunya tetapi tidak dibelikan. Sekarang klien mengalami gangguan jiwa Sdr. B tampak

emosi, marah, memukul meja, mata melotot, mondar-mandir, bicara terdengar keras (membentak), klien tampak menyendiri dan jarang bersosialita dengan orang lain, klien malu bila bertemu dengan tetangganya karena dirinya suka mengamuk di rumah dan merasa dirinya tidak berguna lagi.

Tanda gejala yang muncul pada perilaku kekerasan biasanya adalah muka merah dan tegang, mata melotot atau pandangan tajam, mengatupkan rahang denga kuat, mengepalkan tangan dengan kuat, jalan modar mandir, bicara kasar, suara tinggi, menjerit atau berteriak, mengancam secara verbal atau fisik, melempar atau memukul benda/orang lain, merusak barang atau benda, tidak memiliki kemampuan mencegah/mengendalikan perilaku kekerasan (Keliat, 2009). Ada beberapa tanda gejala resiko perilaku kekerasan pada Sdr. B adalah mata melotot dan bicara keras (membentak). Bila dibandingkan dengan teori diatas ada beberapa tanda dan gejala perilaku kekerasan pada Sdr. B yang sesuai dengan teori.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah diagnosis yang dibuat oleh perawat profesional yang menggambarkan tanda dan gejala yang menunjukkan masalah kesehatan yang dirasakan klien dimana perawat berdasarkan pendidikan dan pengalaman mampu menolong klien (Ali Z, 2002). Schultz dan videbeck (dalam Nurjannah, 2005) menyatakan bahwa diagnosa keperawatan berbeda dari diagnosa psikiatrik medis dimana diagnosa keperawatan adalah respon klien terhadap masalah medis atau bagaimana

29

masalah mempengaruhi fungsi klien sehari-hari yang merupakan perhatian utama diagnosa keperawatan.

Pernyataan diagnosa terdiri dari masalah atau respon klien dan satu atau lebih faktor yang behubungan atau berkonstribusi pasda masalah atau respon klien. Tanda dan gejala atau batasan karakteristik adalah pengkajian subjektif dan objektif yang mendukung diagnosa keperawatan, ini biasanya ditulis sebagai bagian dari pernyataan diagnosis. Bagian kedua dari statemen diagnosa ditulis untuk mengkomunikasikan perawat mengenai faktor yang berhubungan atau berkontribusi untuk etiologinya (Schultz dan videbeck dalam Intansari Nurjannah, 2005).

Menurut Kusumawati dan Hartono (dalam Direja, 2011), pohon masalah pada perilaku kekerasan (core problem) dapat mengakibatkan seseorang beresiko melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol.. Hal ini dapat terjadi karena beberapa penyebab yaitu gangguan konsep diri: harga diri rendah, gangguan pemeliharaan kesehatan, ketidakmampuan keluarga merawat klien di rumah.

Data yang diperoleh dari Sdr. B yaitu perilaku kekerasan yang disebabkan oleh harga diri rendah yang didukung oleh data subyektif, klien mengatakan malu bila bertemu dengan tetangganya dengan keadaannya karena dia sering mengamuk-amuk di rumah dan merasa dirinya tidak berguna lagi, klien mengatakan jarang bergaul dengan teman-temannya karena malu dengan keadaanya yang pernah dirawat diRSJ, klien mengatakan

belum bisa menjalankan perannya sebagai anak laki-laki yaitu membantu kebutuhan ekonomi orang tuanya. Data obyektif: klien menunduk, kontak mata kurang saat menceritakan masalahnya yang berkaitan dengan kondisinya sekarang ini dan hubungannya dengan teman-temannya serta tetangganya. Kemudian dapat beresiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan yang didukung data subyektif pasien mengatakan kesal kepada ibunya kemudian pasien mengamuk dan memukul meja, data obyektif pasien tampak kesal, emosi, marah, bicara keras (membentak) saat menceritakan masalanya dengan ibunya karena minta motor tidak dibelikan.

Berdasarkan data yang diperoleh tersebut penulis menyimpulkan bahwa pohon masalah yang terjadi pada Sdr. B sama dengan teori yang dituliskan yaitu penyebab dari perilaku kekerasan (core problem) adalah harga diri rendah sehingga dapat beresiko perilaku menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan. Hal ini juga berkaitan dengan keadaan pasien yang kurang mengerti akan menjaga hubungan keluarga terutama dengan ibunya dan menyebabkan perilaku kekerasan pada Sdr. B dapat muncul ketika dirinya sedang marah.

Klien mendapat terapi obat yaitu NOP (Noprenia) 2x2 mg sehari, THP (Trihexsilphenidil) 2x2 mg sehari dan CPZ (Chlorpromezine) 2x100 mg sehari. Menurut ISO atau Informasi Spisialite Obat (2010-2011) noprenia merupakan golongan psikofarmaka yang digunakan sebagai terapi gangguan skizofrenia akut dan kronik, halusinasi, afek tumpul, menarik diri sediaan obat 2 mg, 0,5 mg, 3 mg. Chlorpromezine adalah golongan anti psikotik yang

31

mengurangi hiperaktif agresif atau obat penenang dan agitasi dengan sediaan tablet 25 mg, 50 mg, 100 mg, injeksi 25 mg per ml. Trihexsilphenidil untuk obat anti parkinson dengan sediaan tablet 2 mg, 5 mg, injeksi 25 mg per ml (ISO, 2011)

3. Rencana Keperawatan

Rencana keperawatan ditulis atau dibuat setelah diagnosa keperawatan, rencana keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dapat mencapai tiap tujuan khusus, perencanaan keperawatan meliputi perumusan tujuan, tindakan, dan penilaian rangkaian asuhan keperawatan pada klien berdasarkan analisis pengkajian agar masalah kesehatan dan keperawatan klien dapat diatasi (Ali, 2002).

Intervensi keperawatan yang dilakukan pada Sdr.B penulis rencanakan berdasarkan pada teori keperawatan jiwa, dimana tujuan umumnya dalah klien tidak dapat melakukan tindakan kekerasan, dan ada sembilan tujuan khusus yaitu tujuan khusus pertama adalah bina hubungan saling percaya dengan klien, rasionalnya hubungan saling percaya merupakan landasan utama untuk hubungan selanjutnya. Tujuan khusus ke dua yaitu mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan, rasionalnya beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan klien, dapat membantu stres, dan dapat penyebab perasaan jengkel atau marah dapat diketahui. Tujuan khusus ke tiga adalah mengidentifikasi tanda – tanda perilaku kekerasan, rasionalnya untuk mengetahui tanda-tanda klien jengkel dan mengetahui hal yang dialami dan

dirasa saat jengkel. Tujuan khusus ke empat yaitu mengeidentifikasi jenis perilaku kekerasan, rasionalnya untuk mengetahui perilaku kekerasan yang bisa dilakukan. Tujuan khusus ke lima yaitu mengidentifikasi akibat dari perilaku kekerasan, rasionalnya untuk menilai perilaku kekerasan yang dilakukannya. Tujuan khusus ke enam yaitu mengidentifikasi cara konstruktif yang dilakukan klien ketika marah muncul, rasionalnya untuk membantu klien menemukan cara yang baik untuk mengurangi kejengkelannya. Tujuan khusus ke tujuh yaitu ajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan, rasionalnya agar klien mengetahui cara marah yang konstruktif. Tujuan khusus kedelapan adalah ajarkan kepada keluarga cara merawat klien dengan perilaku kekerasan, rasionalnya untuk meningkatkan pengetahuan keluarga tentang merawat klien sehingga keluarga terlibat dalam perawatan klien. Tujuan khusus ke sembilan adalah anjurkan pada klien menggunakan obat yang benar, rasionalnya agar klien dan keluarga dapat mengetahui nama, jenis, efek samping, dan fungsi obat yang diminum klien, serta meningkatkan kesadaran klien untuk minum obat (Damaiyanti, 2012).

4. Implementasi Keperawatan

Implementasi dan evaluasi keperawatan pada Sdr. B dilakukan selama tiga hari pada tanggal 22 - 24 April 2013 di bangsal Ayodya, Rumah Sakit Jiwa Surakarta. Implementasi adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan (Effendy dalam Nurjannah, 2005). Jenis tindakan pada implementasi ini terdiri dari

33

tindakan mandiri (independent), saling ketergantungan/kolaborasi

(interdependent), dan tindakan rujukan/ketergantungan (dependent).

Implementasi yang dilakukan penulis untuk mengatasi perilaku kekerasan pada Sdr. B yaitu membina hubungan saling percaya dan melakukan pengkajian mulai dari identitas pasien, alasan masuk, faktor predisposisi, faktor presipitasi, pemeriksaan fisik, status mental, masalah psikososial dan lingkungan, mekanisme koping dan tingkat pengetahuan pasien. Respon klien adalah menjawab salam, menyatakan nama klien dan nama panggilannya. Klien mengatakan masalah yang sedang dihadapi yaitu klien mengatakan jengkel dengan ibunya, karena minta motor tidak dibelikan. Selama wawancara klien mau menjawab semua pertanyaan yang diberikan penulis.

Impementasi keperawatan untuk diagnosa keperawatan perilaku kekerasan dilaksanakan pada tanggal 22 April 2013, pukul 11.00 WIB. Penulis melakukan SP 1 perilaku kekerasan yaitu mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala, serta akibat perilaku kekerasan, dan mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 nafas dalam (agar pasien lebih rileks dan tenang) (Direja, 2011). Implementasinya, penulis membina hubungan saling percaya, menjelaskan tujuan berinteraksi, menyampaikan kontrak (topik, waktu, tempat), memberikan kesempatan kepada klien mengungkapkan perasaannya, mengidentifikasikan penyebab perasaan marah, tanda dan gejala yang dirasakan,dan perilaku kekerasan yang sudah dilakukan (akibat perilaku kekerasan yang dilakukan), mengajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan

dengan teknik nafas dalam, memberi kesempatan kepada pasien untuk mempraktekkannya cara yang dianjurkan, memberi pujian positif kepada klien jika sudah bisa mempraktekanya sendiri, menganjurkan klien untuk memasukkanya kedalam jadwal harian. Respon klien : klien mengatakan mau berinteraksi dengan perawat, klien mengatakan perasaannya kurang baik, klien mengatakan yang menyebabkan klien marah adalah jengkel dengan ibunya karena minta motor tidak dibelikan, marah, emosi, pandangan tajam dan nada bicara tinggi (membentak), klien mengatakan perilaku yang sudah dilakukan adalah memukul kakaknya, klien mengatakan mau diajari cara mengontrol marah dengan teknik nafas dalam, klien mengatakan sudah bisa mempraktekkannya sendiri, klien mengatakan sudah dimasukkan kedalam jadwal harian.

Implementasi yang kedua dilaksanakan pada tanggal 23 April 2013 pukul 09.00 WIB. Penulis melakukan SP 2 yaitu mengajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara pukul bantal (Direja, 2011). Implementasinya, penulis memberikan salam terapeutik, menanyakan perasaan pasien, memvalidasi SP 1 (mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 : nafas dalam), mengajarkan dan melatih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 2 : pukul bantal, memberikan kesempatan pasien untuk mempraktekan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan pukul bantal, memberi reinforcement positif kepada pasien jika sudah bisa mempraktekkannya sendiri, menganjurkan klien untuk memasukkanya kedalam jadwal harian. Respon klien : klien menjawab salam, klien

35

mengatakan perasaanya senang, klien mengatakan masih ingat dengan SP 1 mengontrol perilaku kekerasan yaitu nafas dalam dan klien langsung mempraktekannya, klien mengatakan mau diajari dengan SP 2 : pukul bantal, klien mempraktekannya sendiri, klien mengatakan sudah dimasukkan kedalam jadwal harian.

Implementasi yang ketiga dilaksanakan pada tanggal 24 April 2013 pukul 09.00 WIB. Penulis melakukan SP 3 yaitu mengajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal ( menolak dengan baik atau meminta dengan baik) (Direja, 2011). Implementasinya, penulis memberikan salam terapeutik, menanyakan perasaan pasien, memvalidasi SP 1 (nafas dalam) dan SP 2 (pukul bantal), mengajarkan dan melatih cara mengontrol perilaku kekerasan yang ke-3 yaitu dengan cara verbal, memberikan kesempatan pasien untuk mempraktekkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal, menganjurkan pasien untuk memasukkan kedalam jadwal harian. Implementasi yang ketiga respon klien : klien menjawab salam, klien mengatakan perasaanya senang, klien mengatakan masih ingat dengan SP 1 ( napas dalam) dan SP 2 ( pukul bantal) untuk mengontrol perilaku kekerasan dan klien langsung mempraktekannya, klien mengatakan mau diajari SP 3 ( verbal), klien mempraktekannya mengontrol perilaku kekerasan dengan cara verbal (menolak dengan baik atau meminta dengan baik).

5. Evaluasi

Evaluasi adalah mengevaluasi perkembangan klien dalam mencapai hasil yang diharapakan asuhan keperawatan adalah proses dinamik yang melibatkan perubahan dalam status kesehatan klien sepanjang waktu, pemicu kebutuhan terhadap data baru, berbagai diagnosa keperawatan, dan modifikasi rencana asuhan sesuai dengan kondisi klien (Damaiyanti & Iskandar, 2012).

Hasil evaluasi yang didapat dari Sdr. B adalah data subyektif dan obyektif antara lain: pasien mengatakan mengamuk dan kesal kepada ibunya karena minta motor tidak dibelikan, pasien tampak mau berjabat tangan dan membina hubungan saling percaya pada perawat, pasien tampak mau menyebutkan penyebab perilaku kekerasannya muncul, pasien menjawab semua pertanyaan, ada kontak mata, pasien mau menyebutkan perilaku kekerasan yang dilakukan, pasien mengatakan mau untuk diajari cara mengontrol marah dengan cara pukul bantal dan pasien tampak mau mempraktekannya. Kemudian dilakukan perencanaan untuk pasien antara lain pasien diminta untuk memberitahukan kepada perawat atau keluarga ketika sedang marah, sedangkan perencanaan untuk penulis adalah mempertahankan tujuan khusus pertama membina hubungan saling percaya , tujuan khusus ke dua mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya, tujuan khusus ke tiga mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan , tujuan khusus ke empat mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya , tujuan khusus kelima mengidentifikasi akibat perilaku

37

kekerasan, tujuan khusus ke enam mengidentifikasi cara konstuktif dalam mengungkapkan kemarahan, tujuan ke tujuh mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan, dan kemudian melanjutkan strategi pelaksanaan yang selanjutnya yaitu mengontrol marah dengan cara verbal, spiritual (do’a) dan minum obat secara teratur. Memotivasi pasien untuk mempraktekan cara mengontrol marah dengan pukul bantal. Penulis mendelagasikan kepada perawat ruangan untuk memvalidasi cara yang telah diajarkan kepada pasien.

B. Simpulan

Pengumpulan data penulis menggunakan metode wawancara (allow

anamnesa) dan (autoanamnesa) mengobservasi klien yaitu dari segi

penampilan, pembicaran, perilaku klien, kemudian ditambah dengan menelaah catatan medik dan catatan keperawatan.

1. Pengkajian penulis mengkaji data dari tanggal klien masuk RSJD, identitas klien, penanggung jawab alasan masuk, faktor predisposisi, faktor prestisipitasi, pemeriksaan fisik keluhan fisik, psikososial, (genogram dan

Dokumen terkait