• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

E. Evaluasi Masalah Utama ME Fase Administrasi dan DTP

Berdasarkan evaluasi kejadian ME fase administrasi dan DTP pada pasien yang menggunakan obat analgesik pada kasus osteomuskular di bangsal

59

kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode Agustus 2008, diperoleh kejadian ME fase administrasi yang paling banyak terjadi adalah ME terkait dengan dosis keliru sebanyak 26 kasus dengan persentase 43,3% dari 60 pasien dan DTP yang paling banyak terjadi adalah DTP terkait dengan dosis terlalu tinggi sebanyak 26 kasus dengan persentase 43,3% dari 60 pasien.

Untuk membantu menarik kesimpulan tentang masalah utama kejadian ME fase administrasi dan DTP pada pasien yang menggunakan obat analgesik pada kasus osteomuskular di bangsal kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode Agustus 2008 diperlukan adanya data tambahan berupa wawancara yang dilakukan pada apoteker, dokter dan perawat.

1. Hasil wawancara dengan apoteker

Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang apoteker yang bertanggung jawab terhadap pasien di bangsal kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta dapat simpulkan bahwa issue ME menjadi hal yang penting untuk diperhatikan karena berkaitan dengan hal-hal yang tidak diinginkan terjadi selama proses terapi. Ia juga berpendapat bahwa perlu dilakukannya monitoring penggunaan obat pada pasien dan ia telah melakukannya. Yang perlu diperhatikan dalam pemberian obat adalah interaksi obat, dosis obat, kontraindikasi dan efek semping dari obat yang diberikan kepada pasien.

Dalam hal pemberian informasi tentang penggunaan obat, tidak diberikan kepada semua pasien yang ada di bangsal kelas III Rumah Sakit Bethesda. Pemberian informasi penggunaan obat jika memungkinkan dilakukan kepada pasien atau keluarga pasien atau kepada orang yang menjaga/menunggu pasien

setiap hari. Informasi yang diberikan berupa nama obat, indikasi, cara/aturan pakai obat, frekuensi, penyimpanan, efek samping obat dan hal-hal lain yang diperlukan.

Dari wawancara dengan apoteker ini dapat diketahui bahwa pemberian informasi obat/konseling serta monitoring tidak dilakukan pada semua pasien yang di rawat inap di bangsal kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Hal ini dapat dikarenakan adanya keterbatasan jumlah apoteker yang bertanggung jawab terhadap pasien di bangsal kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Apoteker yang bertanggung jawab terhadap pasien di bangsal kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta hanya ada 1 orang apoteker dan bangsalnya ada 7 bangsal. Pada masing-masing bangsal dirawat ± 20-40 orang pasien serta kurang maksimalnya praktek dari pelaksanaan farmasi klinik di bangsal-bangsal.

2. Hasil wawancara dengan dokter

Berdasarkan hasil wawancara dengan 3 orang dokter yang menangani pasien di bangsal kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta dapat simpulkan bahwa issue ME menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Sehingga dengan adanya apoteker yang terlibat dalam hal monitoring penggunaan obat kejadian ME di Rumah Sakit akan turun, karena ada apoteker yang mengoreksi/memonitor penggunaan obat pada pasien dan apotekerlah yang mengetahui lebi rinci mengenai obat-obatan. Dalam monitoring terhadap pasien ketiga dokter menyatakan bahwa mereka memperhaikan tentang interaksi obat, dosis obat, kontraindikasi dan efek semping dari obat yang diberikan kepada

61

pasien. Dan ada yang menyatakan bahwa sebenarnya ia hanya mengetahui interaksi obat yang umum-umum saja, tidak semuanya.

Dari wawancara dengan dokter ini dapat diketahui bahwa dokter sudah memperhatikan tentang informasi obat yang perlu diperhatikan selama obat tersebut digunakan oleh pasien untuk menekan terjadinya ME fase admistrasi dan DTP.

3. Hasil wawancara dengan perawat

Berdasarkan wawancara dengan empat belas orang perawat yang ada di bangsal kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, dapat disimpulkan bahwa perawat menganggap bahwa issue mengenai ME sangatlah penting untuk diperhatikan. Perawat merasa keberadaan apoteker di bangsal sangatlah diperlukan, karena apoteker dianggap lebih berkompeten mengenai informasi tentang penggunaan obat-obatan dan dapat meminimalkan kesalahan-kesalahan dalam pemberian obat kepada pasien (ME fase administrasi).

Ketika perawat mendapatkan obat dari instalasi farmasi, mereka jarang mendapatkan informasi mengenai obat yang akan mereka berikan kepada pasien. Kadang-kadang mereka mendapatkan informasi tentang penyimpanan obat, aturan pakai obat, cara pemberian obat, waktu pemberian obat dan efek samping obat. Sehingga ketika memberikan informasi tentang penggunaan obat yang dibeikan kepada pasien juga terbatas/minimal. Tetapi perawat masih bisa memberi informasi mengenai nama obat, indikasi, aturan pakai obat, dan efek samping obat.

Selama mereka bekerja sebagai perawat, mereka pernah menemui pasien yang tidak mematuhi aturan pakai obat dan sebagian besar dari mereka memberi nasehat kepada pasien tersebut agar tetap meminum obat sesuai aturan pakai. Jika perlu, kadang-kadang mereka sampai menunggu pasien tersebut meminum obatnya. Perawat meminumkan obat pada pasien tidak hanya pada pasien yang tidak mau minum obat, tetapi juga pada pasien yang tidak bisa minum obat sendiri.

Dari wawancara dengan perawat dapat diketahui bahwa informasi yang diterima perawat mengenai obat adalah sangat terbatas/sedikit, hal ini dapat terjadi karena keterbatasan jumlah apoteker yang ada di bangsal sehingga frekuensi pertemuan antara apoteker dan perawat sangat kecil. Padahal pemberian informasi kepada perawat sebenarnya sangatlah penting karena perawat yang secara langsung meberikan obat ketika pasien di bangsal. Sehingga untuk mengurangi kejadian ME fase admistrasi dan DTP diperlukan adanya apoteker yang berada di bangsal dan pemberian informasi yang lengkap kepada perawat. 4. Hasil wawancara dengan pasien home visit

Berdasarkan wawancara dengan 5 orang pasien home visit yang dirawat inap di bangsal kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta, dapat disimpulkan bahwa pasien lebih sering mendapatkan informasi tentang penggunaan obat dari perawat. Kadang-kadang tidak mendapatkan informasi apapun dari perawat dan apoteker. Oleh karena itu, ME fase administrasi dan DTP yang terjadi dapat disebabkan oleh kurangnya informasi tentang tata cara/aturan pakai suatu obat.

63

Berdasarkan wawancara dengan apoteker, dokter, perawat dan pasien maka dapat diketahui bahwa masalah utama kejadian ME fase administrasi dan DTP pada pasien yang menggunakan obat analgesik pada kasus osteomuskular di bangsal kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta periode Agustus 2008 adalah terbatasnya/kurangnya jumlah apoteker yang ada di bangsal kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Terbatasnya jumlah apoteker yang ada di bangsal kelas III Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta ini menyebabkan apoteker kurang memaksimalkan tugasnya dalam memonitor penggunaan obat pada pasien di semua bangsal, memberikan informasi tentang obat kepada perawat yang memberikan obat kepada pasien maupun kepada pasien/keluarga pasien secara langsung serta kurangnya maksimalnya pelaksanaan farmasi klinik di bangsal-bangsal sehingga ME fase administrasi dan DTP masih banyak ditemukan.

Dokumen terkait