Konsep bioakumulasi dibuat untuk menentukan akumulasi dari substansi/elemen dalam biota yang dibandingkan dengan kehadiran substansi/elemen tersebut pada kompartemen lingkungan, seperti air, tanah atau sedimen. Rasio antara konsentrasi substansi/elemen dalam biota dan konsentrasi substansi/elemen tersebut dalam kompartemen lingkungan didefinisikan sebagai faktor biokonsentrasi (BCF) (Simon-Hettich et al., 2001).
Kebanyakan logam bersifat racun, korosif seta bersifat bioakumulatif. Walaupun logam yang dikonsumsi berada dalam jumlah yang sangat kecil dan jauh di bawah baku mutu, bukan berarti substansi ini tidak memberikan efek negatif bagi suatu organisme, dikarenakan sifat bioakumulasinya tersebut (Kunaefi dan Ariesyady, 2000). Untuk mengetahui potensi bioakumulasi tembaga dan seng maka dilakukan perhitungan nilai BCF. Perhitungan BCF tersebut dilakukan hanya pada saat pengambilan sampel di lapangan.
73
Nilai BCF pada semua lokasi sampling diperlihatkan pada Tabel IV.18. Dari Tabel IV.18. dapat dilihat bahwa nilai-nilai BCF yang diperoleh sangat besar, yaitu diatas 100 dan sebagian besar berada di atas 1000. Nilai BCF untuk tembaga (Cu) berkisar antara 527 hingga 8154, sedangkan BCF untuk seng (Zn) berada pada kisaran 3953 hingga 10052. Rata-rata nilai BCF untuk Cu di KJA lebih besar daripada KAD, sedangkan untuk nilai BCF Zn di KAD lebih besar dari KJA. Hal ini menunjukkan bahwa potensi Cu untuk terakumulasi pada ikan di KJA lebih besar dibandingkan KAD, karena konsentrasi Cu di KJA juga lebih besar dibandingkan KAD. Sedangkan ikan di KAD memiliki lebih banyak potensi untuk mengakumulasi Zn dibandingkan ikan di KJA, hal ini disebabkan oleh karena ikan di KAD memiliki laju pengambilan Zn yang lebih besar dibandingkan ikan di KJA, walaupun konsentrasi Zn di air KJA lebih besar daripada KAD.
Tabel IV.19 Nilai Faktor Biokonsentrasi Tahap Akumulasi BCF Lokasi Cu Zn KJA 1 735,78 3953,54 KJA 2 8154,28 8148,15 KJA Rata-rata 4445,03 6050,84 KAD 1 559,77 8731,34 KAD 2 714,02 10052,12 KAD 3 578,12 8903,68 KAD 4 527,67 8809,87 KAD Rata-rata 594,89 9124,25
Nilai-nilai BCF hasil penelitian ini melebihi rentang BCF untuk Cu dan Zn di ikan dari penelitian sebelumnya, yaitu 10-667 untuk Cu (ATSDR, 2004) dan 1000 untuk Zn (ATSDR, 2005). Kunaefi dan Ariesyady (2000) menyatakan bahwa nilai BCF yang besar tersebut mengindikasikan terjadi ketidakseimbangan antara pemasukan (uptake) dengan pengeluaran pada tubuh ikan, dimana jumlah logam berat yang masuk lebih besar daripada logam berat yang keluar sehingga terjadi penumpukan (bioakumulasi) logam di dalam tubuh ikan. Kondisi seperti ini menandakan bahwa potensi bioakumulasi tembaga dan seng pada ikan yang dibudidayakan pada kolam air deras sangat besar.
74
Angka potensi bioakumulasi yang besar tersebut menggambarkan bahwa tembaga dan seng terdapat dalam ikan pada konsentrasi yang lebih besar dari konsentrasi lingkungan akuatik. Sedangkan ikan merupakan salah satu sumber protein bagi manusia, sehingga potensi akumulasi tembaga dan seng dalam tubuh manusia menjadi sangat besar. Walaupun tembaga dan seng merupakan logam yang dibutuhkan oleh tubuh, akan tetapi apabila terdapat dalam jumlah yang terlalu banyak dan melebihi kebutuhan maka akan menimbulkan masalah kesehatan (Dameron dan Howe, 1998; Simon-Hettich et al., 2001; Lenntech, 2007).
Nilai BCF Zn lebih besar dibandingkan nilai BCF Cu menunjukkan bahwa Zn lebih berpotensi untuk terakumulasi dalam ikan mas dibandingkan dengan Cu. Kedua logam ini berada dalam kelas yang sama, yaitu kelompok kelas B yang merupakan logam-logam yang terlibat dalam proses enzimatik. Aktivitas logam kelas B masuk ke dalam tubuh ikan adalah terikat dengan protein (ligand binding) (Darmono, 1995). Apabila logam dalam kelas yang sama memiliki konsentrasi terbanyak atau tinggi maka logam tersebut yang akan masuk ke dalam tubuh organisme, dalam hal ini tubuh ikan (Sutarto, 2007). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi Zn di perairan lebih besar daripada Cu dan lebih berpotensi untuk terakumulasi pada ikan.
Urutan toksisitas logam terhadap ikan menurut Darmono (1995), yaitu:
Hg2+ > Ag+ > Cu2+ > Zn2+ > Ni2+ > Pb2+ > Cd2+ > As3+ > Cr3+ > Sn2+ > Fe3+ > Mn2+ > Al3+ > Be2+ > Li+
Walaupun nilai potensi Zn terakumulasi di dalam tubuh ikan pada penelitian ini lebih besar daripada Cu akan tetapi Cu lebih bersifat toksik terhadap ikan dibandingkan Zn. Konsentrasi LC-50 (dengan paparan selama 48 jam) Cu terhadap ikan adalah 1 – 3,3 ppm sedangkan Zn sebesar 3,3 ppm (Darmono, 1995).
Menurut Dameron dan Howe (1998) toksisitas tembaga dapat terjadi jika kelebihan tembaga menyebabkan reaksi merugikan sebagai berikut:
75
¾ Rusaknya struktur dari tempat terikatnya logam esensial yang disebabkan oleh pemindahan (displacement of metal resulting), sebagai contoh dalam membran terjadi perubahan depolarisasi dan rusaknya reseptor atau molekul transpor.
¾ Kerusakan fungsional oleh terikatnya tembaga pada tempat penting dalam misalnya makromolekul seperti DNA atau enzim-enzim yang terutama mengandung sulfhydryl, karbosilat atau imidazoles. Hal ini akan menyebabkan kerusakan protein secara langsung, atau perubahan DNA oksidatif yang mengakibatkan berbagai perubahan fungsional, karena sejumlah besar enzim tergantung pada tembaga dan adanya kemungkinan kesalahan pembacaan kode genetik.
¾ Kerusakan seluler akibat produksi oksidaradikal oleh reaksi Fenton: Cu+ + H2O2 --> Cu2+ + OH* + OH
-Terlalu banyak produksi dari radikal misalnya, akan menginisiasi suatu
cascade reaksi oksidasi-reduksi (stres oksidatif) yang akhirnya
menyebabkan hilangnya integritas seluler. Penyebab kerusakan meliputi peningkatan level kalsium sitosolik (cytosolic calcium), kehabisan ATP, oksidasi thiol, peroksidasi lipid, kerusakan DNA dan kerusakan parah pada organel-organel seperti mitokondria dan lisosom.
Pada manusia, keracunan tembaga akan menyebabkan sirosis hati, kerusakan otak, reduksi myelin, kerusakan ginjal, dan penumpukan tembaga di kornea mata. Sedangkan terlalu banyak menyerap seng (Zn) dalam tubuh dapat menyebabkan masalah kesehatan seperti keram perut, iritasi kulit, nausea dan anemia. Jumlah seng yang sangat banyak dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan pada pankreas dan menganggu metabolisme protein, serta menyebabkan artericlerosis (Lenntech, 2007).