• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

6.4. Faktor Demografi

Dari hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, dari empat variabel faktor demografi (jenis kelamin, umur, status gizi, kebiasaan merokok, dan sensitifitas terhadap asap rokok) yang diteliti, yang terbukti memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian gejala SBS adalah variabel jenis kelamin. Sedangkan variabel lainnya tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian gejala fisik SBS.

6.4.1 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Gejala fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013

Hasil uji statistik menemukan hubungan antara jenis kelamin responden penelitian dengan gejala SBS. Persentase terbesar menunjukkan responden perempuan mengalami SBS (71,4%). Jenis kelamin perempuan akan menyebabkan kejadian SBS sebesar 2,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin laki-laki. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Brasche (2001) dan Margaretha W, dkk (2003), dengan uji korelasi berganda bahwa perempuan lebih banyak mengalami SBS dibandingkan laki-laki.

Pada penelitian Sobari (1997) memperlihatkan hal yang sama bahwa kaum wanita memiliki hubungan yang signifikan dengan SBS. Pada penelitiannya didapat nilai PR=1,57, hal ini berarti kaum wanita mempunyai kecendurungan 1,57 kali lebih besar untuk mengalami SBS dibanding kaum pria.

Hal tersebut disebabkan karena wanita lebih rentan terhadap perubahan udara, beban kerja, dan tanggung jawab dalam rumah tangga sehingga membuat tingkat stress yang ada menjadi lebih tinggi (Apte et al., 1997). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Burge pada tahun 2003 membuktikan bahwa jenis kelamin merupakan faktor risiko terjadinya kumpulan gejala SBS pada gedung.

Siklus menstruasi bulanan merupakan salah satu faktor penyebab perempuan mudah terkena anemia. Beberapa gejala hampir menyerupai SBS yaitu lelah, tidak mampu berkonsentrasi, kurang selera makan, pusing, sesak nafas, mudah

kesemutan, merasa mual-mual dan jantung berdebar-debar. Perempuan yang bekerja mempunyai beban ganda selain bekerja di tempat kerja, juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mengasuh anak, mencuci, menyapu dan lain sebagainya, dari menunjukan bahwa perempuan selalu melakukan pekerjaan rumah tangga sebelum berangkat bekerja (Rosa, 2008).

Menurut Winarti (2003), hal ini dapat terjadi karena wanita merupakan perokok pasif (lebih berisiko terpajan dengan asap rokok), kondisi fisik wanita lebih lemah dibandingkan dengan pria, marital statusnya, jabatan kerja yang rendah, psikologikal kerja yang kurang baik karena wanita lebih sensitif dibandingkan dengan pria.

6.4.2 Hubungan Antara Umur dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013

Pada penelitian ini, faktor umur tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dengan kejadian gejala SBS (p= 0,244). Kelompok umur responden di atas 30 tahun yang mengalami gejala fisik SBS sebanyak 29,4% kemudian kelompok umur responden di bawah 30 tahun yang mempunyai gejala fisik SBS sebanyak 51,7%.

Hal ini sejalan dengan penelitian Duniantri (2009) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian SBS dengan umur responden penelitian pada kategori kelompok umur di bawah 29 tahun dan di atas 29 tahun dengan

nilai p= 0,849. Didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Winarti (2003) bahwa umur bukan merupakan pemicu keluhan SBS.

Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara kelompok umur dengan kejadian gejala fisik SBS. Hal ini mungkin disebabkan karenan responden di gedung X pada kelompok umur di bawah 30 tahun sebesar 63% lebih banyak dibandingkan kelompok umur di atas 30 tahun sebesar 37%.

Menurut hasil penelitian Ruth (2009) bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur responden penelitian dengan kejadian SBS. Dari hasil analisis, diperoleh nilai PR=3,208 artinya responden penelitian berumur 21-30 tahun mempunyai risiko 3,208 kali lebih besar mengalami SBS dibandingkan responden penelitian yang berumur 31-40 tahun. Menurut Hedge dan Mendell, usia yang lebih muda ikut berperan dalam menimbulkan gejala dan keluhan SBS (Anies, 2004). Sedangkan seharusnya menurut teori bahwa kelompok umur yang lebih tua memiliki resiko mengalami gejala SBS karena pemaparan zat toksik akan menimbulkan dampak yang serius pada mereka yang berusia tua daripada kelompok umur yang lebih muda.

6.4.3 Hubungan Antara Status Gizi dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi responden penelitian dengan kejadian gejala fisik SBS.

Persentase terbesar menunjukkan status yang tidak normal, mengalami SBS (50,0%).

Kemudian pada peneltian Lisyastuti (2010) didapat bahwa nilai p=0,64 dan OR=0,8 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara gejala fisik SBS dengan status gizi responden penelitian dan status gizi yang tidak normal mempunyai risiko 0,8 kali lebih besar untuk mengalami SBS dibanding responden penelitian berstatus gizi normal.

Fenomena ini erat kaitannya dengan tercukupinya kebutuhan tubuh akan gizi seimbang yang akan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap kondisi lingkungan yang tidak kondusif. Dalam kondisi normal manusia memiliki proteksi diri terhadap infeksi dari bakterial yaitu melalui sistem imunitas tubuh. Kemampuan merawat dan menjaga kontinuitas sistem imun ini akan mengurangi resiko infeksi yang ditimbulkan oleh bakteri. Rendahnya sistem imun tubuh erat kaitannya dengan status gizi. Tubuh manusia memerlukan diet seimbang yang menyediakan cukup nutrisi, mineral dan vitamin untuk fungsi dan efektivitas sistem imun (Chandra, 2004 dalam Lisyastuti, 2010). Sistem imun individu dipengaruhi antara lain oleh status hormon, umur dan status gizi (Hedlund, 1995).

6.4.4 Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dalam Ruang dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013

Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok responden di dalam ruang dengan kejadian gejala fisik

SBS. Persentase terbesar menunjukkan responden berstatus merokok di dalam ruang, mengalami SBS (20,0%). Sebagai pencemar dalam ruang asap rokok merupakan bahan pencemar yang biasanya mempunyai kuantitas paling banyak dibandingkan dengan bahan pencemar lain. Terdapat sebanyak 10 (21,7 %) responden memiliki kebiasaan merokok dalam ruang. Aktivitas merokok di dalam ruangan yang sering dilakukan oleh mereka yang mempunyai kebiasaan merokok. Bahkan beberapa responden kedapatan sedang merokok di depan meja kerja saat penelitian berlangsung.

Pada penelitian ini tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan antara perilaku merokok dalam ruangan dengan kejadian SBS. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Winarti, Basuki, dan Hamid (2003), bahwa faktor kebiasaan merokok tidak terbukti berkaitan dengan gejala fisik SBS (nyeri kepala).

Hasil yang sama pada penelitian Oktora (2008) didapat hasil yang sama bahwa tidak ada perbedaan kejadian SBS antara pegawai yang mempunyai kebiasaan merokok dengan pegawai yang tidak memiliki kebiasaan merokok dengan nilai p=0,327.

Secara teori perilaku merokok dalam ruang merupakan salah satu faktor risiko SBS. Tingginya persentase penderita SBS dari kalangan non-perokok pada penelitian ini sebabkan karena jumlah responden yang non-perokok jauh lebih tinggi. Selain itu, adanya asap rokok akan lebih dirasakan dampaknya pada kalangan non-perokok (perokok pasif) karena sensitivitasnya lebih tinggi.

6.4.5 Hubungan Antara Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian Gedung X Tahun 2013

Dari hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang bermakna antara sensitivitas responden penelitian terhadap asap rokok dalam ruang kerja dengan kejadian gejala fisik SBS. Persentase terbesar menunjukkan responden yang memiliki sensitivitas terhadap asap rokok di dalam ruang, mengalami SBS (59,3%). Kemudian, berdasarkan hasil penelitian multivariat didapatkan bahwa sensifitas terhadap asap rokok akan berpeluang untuk menyebabkan terjadinya keluhan SBS pada responden penelitian adalah sebesar 4,782 kali pada responden yang memiliki sensitivitas terhadap asap rokok, setelah dikontrol oleh variabel jenis kelamin.

Asap rokok yang dikeluarkan oleh seorang perokok pada umumnya terdiri dari bahan pencemar berupa karbon monoksida dan partikulat. Bagi perokok pasif hal ini juga merupakan bahaya yang selalu mengancam. Dalam jumlah tertentu asap rokok ini sangat mengganggu bagi kesehatan, seperti: mata pedih, timbul gejala batuk, pernafasan terganggu, dan sebagainya (Pudjiastuti, 1998).

Perokok pasif lebih sensitif terhadap karbon monoksida yaitu pada saat konsentrasi karbon monoksida 30 ppm di udara, maka gejala SBS sudah terjadi yaitu pusing. Sebaliknya perokok aktif, baru akan merasakan gejala SBS apabila konsentrasi karbon monoksida di udara 50-250 ppm (NIOSH, 1991).

Menurut United States Environment Protection Agency (EPA) faktor dari asap rokok menimbulkan efek rhinitis/faringitis, hidung tersumbat, batuk

terus-menerus, iritasi konjungtiva, sakit kepala, mengi/sesak nafas (konstraksi bronkus), dan eksaserbasi kondisi pernafasan kronis. Efek ini terjadi pada orang dewasa yang kesehariannya terpapar oleh asap rokok di tempat aktivitas kerjanya (EPA, 1991).

ETS (Environmental Tobacco Smoke) bersifat dinamis. ETS merupakan campuran kompleks ribuan senyawa kimia, menyebabkan berbagai iritasi, dan ETS juga menyebabkan beberapa gejala akut khas SBS, seperti iritasi mata, hidung, dan tenggorokan (Sundell et al., 1994). Berdasarkan studi Swedish dipertengahan tahun 1990 ditemukan adanya peningkatan gejala-gejala SBS dengan Environmental Tobacco Smoke (ETS).

Pada penelitian Mizoue (1998) yang dilakukan pada 1281 karyawan dengan profesi bervariasi di kota-kota negara Jepang menunjukkan bahwa paparan ETS merupakan penentu utama dari SBS pada populasi kerja dengan prevalensi perokok yang tinggi dan beberapa tempat kerja dengan larangan merokok. Hal ini konsisten dengan penelitian Eisner et al., (1998) bahwa berkurangnya gejala iritasi sensorik pada responden yang berprofesi sebagai bartender setelah dibuat perlakuan pelarangan perokok di bar. Hal ini menunjukan bahwa pelarangan merokok di ruang kerja dapat menurunkan prevalensi gejala SBS. Diperkuat dengan pernyataan dari American Journal of Epidemology (2001) bahwa tempat kerja yang memiliki aturan ketat tentang merokok dapat mengurangi tingkat resiko terjadinya gejala SBS.

Hasil penelitian eksperimen Rebecca (1991) terkait responden yang sensitif ETS (ETS-S) dan non sensitif ETS (ETS-NS) dengan total 77 responden untuk perlakuan pemaparan asap tembakau konsentrasi CO 45 ppm selama 15 menit dalam ruangan. Dihasilkan bahwa adanya gejala rhinitis (hidung tersumbat, pilek dan bersin) pada 34% responden sensitif ETS. Terjadi peningkatan gejala SBS (hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri dada atau sesak, dan batuk) yang signifikan (p<0,01) setelah paparan asap tembakau. Gejala pilek lebih besar dan lebih lama pada subyek ETS-S dibandingkan dengan subyek ETS-NS. Adanya peningkatan yang signifikan (p <0,01) pada persepsi bau dan gejala iritasi mata, iritasi hidung dan tenggorokan terjadi pada kedua kelompok studi. Sedangkan untuk gejala iritasi hidung dan tenggorokan pada subyek ETS-S dilaporkan lebih signifikan.

6.5Faktor yang Paling Dominan dengan Keluhan Gejala Fisik SBS pada

Dokumen terkait