• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PETA

DAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH

6.3. Faktor Eksternal

Beberapa sumber daya laut di Kawasan Limbung yang mempunyai nilai ekonomi tinggi di pasaran Singapura dan Batam sangat potensial untuk dapat meningkatkan ekonomi penduduk Desa Limbung. Nelayan di desa ini baru menyadari setelah adanya permintaan terhadap jenis tertentu oleh para tauke yang berusaha di bidang perikanan untuk di ekspor ke Singapore. Maraknya usaha tersebut, bila dikaji dari sisi lingkungan akan berdampak terhadap kerusakan ekosistem yang ada di dalam laut, termasuk terumbu karang. Secara kasat mata memang belum terjadi degradasi di Perairan Limbung secara berlebihan yang

ditandai dengan masih baiknya terumbu karang di kawasan tersebut. Akan tetapi, bila sistem pengelolaan yang dilakukan nelayan tidak/kurang memperhatikan kondisi lingkungan, disamping juga adanya pengambilan sumber daya laut secara berlebihan, maka perlu diantisipasi terjadinya degradasi di kawasan tersebut.

Teknologi penangkapan SDL oleh nelayan setempat cenderung tidak menyebabkan terjadinya degradasi di perairan Desa Limbung. Namun permintaan pasar dengan harga yang menarik bagi nelayan berdampak terhadap keinginan mereka untuk mencari SDL yang sangat diminati pasar. Permintaan akan sumber daya laut yang cukup tinggi di pasaran Singapura maupun Batam adalah komoditi cumi-cumi, ikan bilis, teripang, kepiting, ikan kerapu dan pasir. Permintaan terhadap beberapa SDL tersebut tampaknya makin berkembang sejak beberapa tahun ini yang merupakan faktor eksternal utama yang mendorong terjadinya degradasi SDL di Desa Limbung. Apabila stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya tidak mengantisipasi secara cepat isu tersebut, maka proses degradasi akan lebih cepat terjadi. Hal ini mengingat bahwa umumnya nelayan Desa Limbung melakukan kegiatan kenelayanan di daerah karang yang banyak terdapat di sekitar pulau-pulau kecil kawasan teluk dan pesisir bagian timur.

Ketidakpekaan para stakeholders terhadap isu-isu yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya laut di Kawasan Limbung bisa saja menimbulkan konflik di antara mereka. Pada saat ini belum muncul konflik, tetapi di waktu yang akan datang konflik bisa muncul apabila sumber daya laut semakin terbatas, padahal melibatkan banyak pihak sebagai pengelolan SDL dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Konflik kepentingan yang berbeda di antara stakeholders tersebut perlu diantisipasi agar pengelolaan SDL di Desa Limbung dapat lestari dan bermanfaat bagi generasi yang akan datang.

Konflik kepentingan nelayan lokal dengan nelayan luar

Pada saat ini belum pernah terjadi konflik terbuka antara nelayan setempat dengan nelayan luar Desa Limbung. Adanya nelayan luar yang mengambil jenis biota laut tertentu dan mempunyai nilai ekonomi tinggi di perairan Desa Limbung kemungkinan dapat menjadi pemicu konflik. Lebih-lebih apabila biota tersebut mulai langka sehingga sulit diperoleh jika hanya menggunakan teknologi sederhana. Keadaan ini akan menjadi lebih buruk jika terjadi kecemburuan sosial karena adanya nelayan luar yang mendapat hasil yang lebih banyak karena menggunakan teknologi penangkapan yang lebih modern daripada nelayan setempat.

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat diketahui adanya dua jenis biota laut yang banyak dicari nelayan luar, yaitu teripang dan ikan karang. Wilayah tangkap teripang sangat dekat dengan pemukiman penduduk, yakni daerah Teluk. Nelayan lokal dengan peralatan sederhana hanya dapat mencari pada pagi hingga siang hari, sedangkan nelayan luar pada malam hari karena mereka mencari teripang secara sembunyi-sembunyi. Teknologi sederhana yang digunakan nelayan lokal tidak dapat bersaing dengan nelayan luar, sehingga teripang yang dapat mereka tangkap sangat sedikit. Penangkapan teripang yang terbatas mungkin juga dipengaruhi oleh adanya larangan untuk tidak mengambil teripang sebagai biota langka.

Selain itu, keberadaan nelayan luar yang mengambil ikan di sekitar Desa Limbung dengan menggunakan ‘bom’ akan mengurangi hasil tangkap nelayan ikan. Nelayan luar

melakukan penangkapan ikan di wilayah tangkap yang tidak jauh dari permukiman penduduk, karena masyarakat setempat mendengar suara bom dari arah laut. Menurut mereka, mungkin di sekitar Pulau Kojong yang merupakan wilayah tangkap nelayan lokal untuk mencari cumi-cumi dan ikan. Adanya pemboman oleh nelayan luar dikatakan telah menurunkan hasil tangkapan nelayan lokal, namun masyarakat menghadapi kesulitan untuk mengatasi persoalan tersebut karena armada tangkap yang mereka miliki kalah dalam kekuatan mesin.

Pemicu konflik yang didasari oleh adanya kepentingan antara nelayan lokal dan nelayan luar dalam pengelolaan sumber daya laut di kawasan ini perlu diantisipasi oleh pengambil kebijakan maupun stakeholders terkait. Nelayan lokal tidak menggunakan bom, antara lain karena adanya peraturan desa tentang pelarangan penggunaan alat tangkap yang bertujuan untuk menjaga sumber daya laut dari kepunahan. Peraturan ini masih dilanggar oleh nelayan luar dan tampaknya tidak/belum dilakukan tindakan karena keterbatasan peralatan untuk menangkap pelanggar.

Konflik kepentingan nelayan dengan penampung

Nelayan dan penampung adalah stakeholders utama yang berterkaitan dengan kegiatan pengelolaan sumber daya laut. Dua stakeholders ini mempunyai hubungan yang saling tergantung. Nelayan memiliki peran sebagai pencari SDL, sedang penampung berperan sebagai pembeli yang kemudian meneruskannya ke pasar. Usaha penampung tidak akan berhasil tanpa bantuan nelayan. Begitupula dengan nelayan, mereka membutuhkan penampung tidak hanya untuk mendapatkan uang kontan namun juga untuk memenuhi kebutuhan hidup dan sarana-prasarana melaut.

Telah dikemukakan sebelumnya, julah penampung di Desa Limbung ada beberapa orang yang tersebar di tiga kampung/dusun. Penampung gonggong dan cumi-cumi juga dapat ditemukan di Desa Limbung. Disamping penampung, juga terdapat perusahaan Ketam yang menampung ketam hasil tangkapan nelayan. Penampung lokal tersebut memiliki hubungan kerja dengan tauke di luar Desa Limbung, yaitu di Pancur, Daik dan Pulau Semut.

Sifat hubungan para stakeholders ini seharusnya dapat saling menguntungkan, namun tampaknya pemilik uang (penampung) lebih dominan dibandingkan dengan nelayan. Posisi yang lebih tinggi ini terlihat dari penentuan harga hasil tangkapan yang seluruhnya ditentukan oleh penampung. Nelayan hanya mengetahui harga dalam rupiah dan tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan negosiasi harga, terutama mereka yang sudah terikat hutang-piutang. Dalam posisi ‘lemah’ tersebut, tanpa disadari oleh para nelayan bahwa sistem tersebut akan merugikan mereka sehingga sulit untuk meningkatkan taraf hidupnya. Agar tidak terjadi konflik di antara para stakeholders utama dari pengelola sumberdaya tersebut serta dapat meningkatkan taraf hidup nelayan, pihak terkait hendaknya perlu memperhatikan isu-isu yang berkaitan dengan kepentingan para nelayan.

Konflik kepentingan nelayan dengan pengusaha pasir

Sekitar Tahun 2000-an merupakan awal dimulainya penambangan pasir di kawasan Kepulauan Riau untuk memenuhi permintaan pasar Singapura. Kegiatan ini juga merambah di Desa Limbung bagian pesisir timur, terlihat adanya kegiatan penambangan

pasir yang dilakukan oleh salah satu perusahaan swasta. Dampak dari penambangan pasir adalah telah terjadi pendangkalan yang menyebabkan air laut sering surut (tohor). Kondisi ini telah merusakkan kawasan terumbu karang di sekitar penambangan, sehingga merugikan nelayan karena kawasan tersebut termasuk wilayah tangkap para nelayan. Keberadaan usaha penambangan pasir memberi peluang kerja bagi penduduk Desa Limbung, namun di sisi lain dapat mengurangi produksi nelayan. Pada saat ini kondisi kedua kelompok masyarakat tersebut masih berhubungan dengan baik, namun bila pengurangan hasil tangkap secara kuantitas dan kualitas berkurang maka dapat saja terjadi konflik di antara mereka. Walaupun kegiatan penambangan pasir mulai berkurang, namun perlu diantisipasi konflik yang mungkin timbul bila nelayan merasa hasil tangkapannya berkurang.