• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi Perairan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.5 Faktor-faktor Abiotik yang Mempengaruhi Perairan

Nybakken (1992, menyatakan sifat fisik kimia perairan sangat penting dalam ekologi. Oleh karena itu selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik, seperti plankton, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik (fisik-kimia) perairan, karena antara faktor abiotik dengan biotik saling berinteraksi. Dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisme dengan faktor-faktor abiotiknya maka diperoleh gambaran tentang kualitas perairan (Barus, 2004).

Faktor abiotik (fisik kimia) perairan yang mempengaruhi kehidupan plankton antara lain:

a. Suhu

Pengukuran temperatur air merupakan hal yang mutlak dilakukan. Hal ini desebabkan karena kelarutan berbagai jenis gas di dalam air serta semua aktivitas biologis-fisiologis di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Menurut hukum Van’t Hoffs kenaikan temperatur 10ºC (hanya pada kisaran temperatur yang masih ditolerir) akan meningkatkan aktivitas fisiologis (misalnya respirasi) dari organisme sebesar 2-3 kali lipat. Pola temperetur ekosistem akuatik dipengaruhi pleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas air dan udara sekellingnya dan juga oleh faktor kanopi dari pepohonan yang tumbuh di tepi perairan (Brehm et al, 1990 dalam Barus, 2004).

Menurut Kinne (1960) dalam Supriharyono (2000) menyatakan bahwa kenaikan tempperatur diatas kisaran toleransi organisme dapat meningkatkan laju metabolisme, seperti pertumbuhan, reproduksi, dan aktivitas organisme. Kenaikan laju metabolisme dan aktivitas ini berbeda untuk setiap spesies, proses, dan level atau kisaran temperatur.

b. DO (Disolved Oxygen)

DO (Disolved Oxygen) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistem akuatik, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi sebagian besar organisme. Oksigen terlarut di dalam air dihasilkan dari proses fotosintesis tumbuhan air dan dari udara yang masuk melalui proses difusi yang secara lambat menembus permukaan air (Wardhana, 1995). Selain itu juga sangat dipengaruhi oleh banyak faktor seperti temperatur, salinitas dan proses fotosintesis (Brower et.al,1990).

Menurut Michael (1994) oksigen hilang dari air secara alami oleh adanya pernafasan biota, penguraian bahan organik, aliran masuk air bawah tanah yang miskin oksigen dan kenaikan suhu. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air terdapat pada suhu O0 C yaitu sebesar 14,16 mg/l O2, sedangkan nilai oksigen terlarut di perairan

sebaiknya tidak lebih kecil dari 8 mg/l O2. Sastrawijaya (1991) menyatakan bahwa

kehidupan di air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimum sebanyak 5 mg oksigen dalam setiap liter selebihnya tergantung pada ketahanan organisme, derajat keaktifan, kehadiran pencemar, temperatur dan sebaliknya. Dengan peningkatan suhu akan menyebabkan konsentrasi O2 menurun dan sebaliknya suhu yang semakin rendah

akan meningkatkan konsentrasi O2 terlarut (Barus, 2001).

c. BOD5 (Biochemichal Oxygen Demand)

BOD5 (Boichemical Oxygen Demand) menunjukkan jumlah oksigen terlarut

yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk mencegah atau mengoksidasi senyawa organik di dalam air yang diukur pada temperatur 200C (Fardiaz,1992). Dalam proses oksidasi secara biologis dibutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan proses oksidasi secara kimiawi. Pengukuran BOD yang umum dilakukan adalah pengukuran selama lima hari (BOD5) karena selama lima hari jumlah senyawa organik

yang diuraikan sudah mencapai 70% (Forstner dalam Barus,1996). Manahan (1984) dalam Wargadinata (1995) menyatakan bahwa kebutuhan oksigen oleh hidrobiota

terlarut dipergunakan untuk proses oksidasi, sehingga menyebabkan oksigen terlarut semakin kecil dan angka BOD5 semakin tinggi. Angka BOD5 yang tinggi

menunjukkan terjadinya pencemaran organik di perairan.

Konsentrasi BOD menunjukkan suatu kualitas perairan yang masih tergolong baik dimana apabila konsumsi O2 selama periode 5 hari berkisar 5 mg/l O2 maka

perairan tersebut tergolong baik dimana apabila konsumsi O2 berkisar antara 10 mg/l –

20 mg/l O2 menunjukkan tingkat pencemaran oleh materi organik yang tinggi dan

untuk air limbah nilai BOD umumya lebih dari 100 mg/l (Brower et al, 1990).

d. COD (Chemichal Oxygen Demand)

Nilai COD menyatakan oksigen total yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O2/l. Dengan mengukur nilai COD maka akan

diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis (Barus, 2004).

e. pH (Derajat Keasaman)

Setiap spesies memiliki toleransi yang berbeda terhadap pH. Nilai pH ideal bagi kehidupan organisme aquatik termasuk planktin pada umumnya berkisar antara 7 sampai 8,5. kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadiya ganguanmetabolisme dan respirasi. Disamping itu pH yang sangat rendah akan menyebabkan mobilitas berbagai senyawa logam berat yang bersifat toksik semakin tinggi yang tentunya akan mengancam kelangsungan hidup organisme aquatik. Sementara pH yang tinggi akan menyebabkan keseimbangan antara amonium dan amoniak dalam air akan terganggu, dimana kenaikan pH diatas normal akan meningkatkan konsentrasi amoniak yang juga bersifat sangat toksik bagi organisme (Barus, 2004).

Pengukuran pH air dapat dilakukan dengan cara kalorimeter, dengan kertas meter, dan dengan pH meter. Pengukuran tidak begitu berbeda dengan pengukura pH

netral, yaitu antara 6 sampai 8, sedangkan pH air yang tercemar, misalnya oleh air limbah cair berbeda-beda nilainya tergantung jenis limbahnya dan pengolahannya sebelum dibuang (Kristanto, 2002).

f. Intensitas Cahaya

Faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat- sifat optis dari air. Sebagian cahaya tersebut akan diabsorsi dan sebagia lagi akan dipantulkan ke luar dari permukaan air. Dengan terbentuknya kedalaman lapisan air intensitas cahaya tersebut akan mengalami perubahan yanag signifikan baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Cahaya gelombang pendek merupakan yang paling kuat mengalami pembiasan yang menyebabkan kolam air yang jernih akan terlihat bewarna biru dari permukaan. Pada lapisan dasar, warna air akan berubah menjadi hijau kekuningan, karena intensitas dari warna ini paling baik ditransmisi dalam air sampai ke lapisan dasar (Barus, 2004).

g . Kandungan Nitrat (NO3-) dan Posfat (PO43-)

Banyaknya unsur hara mengakibatkan tumbuh subrnya tumbuhan, terutama makrophyta dan fitoplankton. Fitoplankton dapat menghasilkan energi dan molekul yang kompleks jika tersedianya bahan nutrisi. Nutrisi yang paling penting adalah nitrit dan posfat (Nybakken, 1992). Fosfat merupakan unsur penting dalam air. Fospat terutama berasal dari sedimen yang selanjutnya akan terfiltrasi dalam air tanah dan akhirnya masuk ke sistem perairan (Barus, 2004).

Komponen nitrit (NO2) jarang ditemukan pada badan air permukaan karena

langsung dioksidasi menjadi nitrat (NO3). Di wilayah perairan neritik yang relatif

dekat dengan buangan industri umumnya nitrit bisa dijumpai, mengingat nitrit sering digunakan sebagai inhibitor terhadap korosi pada air proses dan pada sistem pendingin mesin. Bila kadar nitrit dan fospat terlalu tinggi bisa menyebabkan perairan bersangkutan mengalami keadaan eutrof sehingga terjadi blooming dari salah satu jenis fitoplankton yang mengeluarkan toksin. Kondisi seperti itu bisa merugikanhasil

h. TDS (Total Dissolved Solid)

TDS merupakan ukuran zat terlarut (baik itu zat organik maupun anorganik, (mis : garam, dll) yang terdapat pada sebuah larutan. Umumnya berdasarkan definisi di atas seharusnya zat yang terlarut dalam air (larutan) harus dapat melewati saringan yang berdiameter 2 mikrometer (2×10-6 meter). Jumlah kandungan zat padat terlarut dalam air juga mempengaruhi penetrasi cahaya matahari amsuk ke dalam badan perairan, Jika nilai TDS tinggi maka penetrasi cahaya matahari akan berkurang, akibatnya proses fotosintesis juga akan berkurang yang akhirnya akan mempengaruhi produktivitas perairan (Sastrawijaya, 1991)

i. TSS (Total Suspended Solid)

Total suspended solid atau padatan tersuspensi adalah padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan tidak dapat mengendap langsung. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen seperti bahan-bahan organik tertentu, tanah liat dan lain-lain. Misalnya air permukaan mengandung tanah liat dalam bentuk tersuspensi. Partikel tersuspensi akan menyebarkan cahaya yang datang, sehingga menurunkan intensitas cahaya yang disebarkan. Padatan tersuspensi dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, sisa tanaman dan limbah industri (Widowati, dkk, 2008).

II.6. Faktor biotik yang mempengaruhi perairan

Dokumen terkait