• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA

5.2 Faktor-faktor Masyarakat Perkebunan Pulobauk, Desa

Menikah muda pada masyarakat Perkebunan Pulobauk sudah menjadi hal yang biasa. Ada 2 faktor besar yang mempengaruhi menikah pada usia muda, pertama faktor internal berupa kognisi dan penalaran serta persepsi individu remaja, dan yang kedua adalah faktor eksternal berupa fakta sosial-budaya, agama serta realitas kehidupannya. Untuk melihat faktor apa yang mempengaruhi terjadinya pernikahan pada usia muda di Perkebunan Pulobauk, berikut disajikan data hasil wawancara alasan informan memutuskan untuk menikah pada usia muda.

Informan pertama yang akan dipaparkan adalah Ami. Adapun hasil wawancara dengan Ami sebagai berikut.

Margandak (pacaran). Aku kan kak nggaknya dibolehkan bapakku pacaran, jadi kalo pun ketemu dengan bang Dika ini. Diam-diamnya kami. Jadi pas perpisahan sekolah orang bang Dika ini, aku disitu masih kelas 2 SMA. Dia ajakia ahu marmayam (main-main) ke Aek Sijorni. Terus adong ma disi pondok-pondok jadi disi ma ahu dohot bang dika bermesraan (Ami).

Hingga akhirnya Ami memutuskan untuk kawin lari adalah karena dia sudah hamil.

Waktu tahu aku sudah hamil 4 bulan, kami kawin lari ke medan supaya nggak ada orang yang tahu (Ami).

Sedangkan Sri, salah satu informan dalam penelitian ini, faktor perasaan sayang yang dimiliki oleh Sri dan pacarnya menjadi alasan utama mereka untuk memutuskan berumah tangga. Adapun pernyataan Sri ketika diwawancara adalah sebagai berikut.

Awalnya sudah minta ijin menikah sama orang tua tapi tidak diijinkan. Keluargaku nggak setujunya kalau aku pacaran sama dia karena nggak punya kerjaan yang tetap. Terus orang tuaku menjodohkan aku sama anak temannya diam-diam. Itulah ketahuan sama pacarku ini, dari situlah dia pengen ngajak nikah. Akupun nggak bisa kubohongi perasaanku kalau aku lebih sayang sama pacarku ini karena sudah lama juga kami jalani pacaran (Sri).

Faktor perasaan yang dialami oleh individu yang menjadi informan dalam penelitian ini telah menjadi alasan yang cukup kuat bagi individu tersebut untuk mengambil langkah menikah muda. Tidak hanya terjadi pada Sri namun juga terhadap Fadillah yang menjadi informan dengan pernyataannya sebagai berikut.

Diajak gandakku au kawin. da setuju alak umak kawin au, arana tong 19 dope umurku dungi nalagi kuliah dopena au. Jadi pergilah kami kawin lari, tapi sompat ditarik keluargaku au. sementara hubunganku pe dohot alaklaiku madung dao kak. Olon lebih jot-jot do au tong dohot ia dari pada dohot dongan-dongan ku, madung jungada ami melakuon hubungan intim kak, arana malolot ami namargandak i, jadi mayakin au anggo ia jodoh ku kak, adong ma 3 taon lobih ami margandak (Fadillah).

Artinya:

Diajak pacarku aku kawin. Tidak setuju orang tuaku aku kawin karena masih 19 tahun umurku, lagipula masih kuliah aku waktu itu. Jadi pergilah kami kawin lari, tapi sempat ditarik keluargaku aku. Sementara hubunganku ku dengan suamiku sudah jauh kak. Lebih seringnya aku sama dia daripada sama teman-temanku. Sudah pernah kami melakukan hubungan intim kak, karena sudah lama kami pacaran itu. Jadi aku yakin kalau dia jodohku kak, adalah 3 tahun lebih kami pacaran.

Selain faktor perasaan, tidak jarang faktor sosial juga mempengaruhi seseorang menikah pada usia yang cukup muda. Situasi yang dihadapi salah satu informan berikut ini menunjukkan bagaimana faktor sosial mempengaruhi keputusan keluarga untuk segera menikahkan anaknnya yaitu tidak mau mendapatkan gunjingan dari masyarakat.

Memilih menikah muda karena sudah hamil 2 bulan. Pada saat duduk dibangku SMA kelas 3. Dia hamil dibuat pacarnya sendiri yang baru saja tamat SMA. Nggak lamanya kami kak pacaran, tapi dia uda lama suka samaku, karena kulihat dia mau serius samaku kak, jadi kuterimalah dia, pacaranlah kami 6 bulan. Karena sudah hamil aku, didesak orang tualah kami untuk menikah karena takut malu dan menghindari gunjingan dari masyarakat sekitar (Irma).

Sedangkan Asneli faktor yang mempengaruhinya untuk menikah pada usia muda adalah adanya ajakan dari pacarnya untuk menikah. Pacar Asneli sendiri masih muda dan belum memiliki pekerjaan tetap. Hal ini menunjukkan bahwa banyak pemuda di Perkebunan Pulobauk yang punya keinginan untuk menikah muda tanpa memikirkan masa depan dalam membangun rumah tangga mereka.

Aku kawin lari waktu itu karena telatnya aku pulang ke rumah, pergi main-main sama pacarku, memang dah sering kali pacar ku ini ngajak kawin tapi aku aja yang belum siap. Waktu itu ditanya abang itulah aku, “Olo so disantan adek langsung?”, jadi heranlah aku, serius do ho da bang, maborngin tu do ita on mulak, mabiar adek mangamuk alak umak, boto abang ma anggo dung mangamuk alai, habis ma au ona lanjan non. Olo serius do au da, katanya gitu, rupanya nggak dibawanya lagi aku pulang, uda dibawanya aku ke rumahnya (Asneli).

Berdasarkan informasi yang dipaparkan di atas dapat diambil poin-poin yang menjadi faktor masyarakat Perkebunan Pulobauk cenderung untuk menikah muda. Pertama, faktor sosial budaya dimana adanya norma bahwa bila ada anak perempuan yang dibawa oleh laki-laki melewati batas waktu yang ditentukan akan dinikahkan. Selain itu, faktor sosial pendorong terjadinya pernikahan muda juga berkaitan dengan pola relasi sosial antara remaja, yaitu hubungan yang “bebas” dimana remaja mengekspresikan perasaan kasih sayangnya terjebak pada hubungan yang berorientasi pada hasrat biologis. Pada usia yang belum dewasa, kematangan untuk memikirkan akibat dari tindakannya belumlah ada. Hal ini mendorong terjadinya pergaulan yang mengakibatkan hamil di luar nikah.

Kedua, faktor pengawasan orang tua dan pendidikan di keluarga dimana orang tua di Perkebunan Pijorkoling cenderung ketat dalam memberikan ijin keluar rumah bagi anak mereka namun kurang memberikan pengertian dan pemahaman kepada anak tujuan pengawasan mereka. Sedangkan pendidikan kepada anak di keluarga juga kurang mendapatkan perhatian orang tua. Hal ini membuat anak tidak memiliki orientasi yang lebih positif untuk masa depannya, misalnya dalam peningkatan pendidikan.

5.3. Kondisi Sosial Ekonomi Pasangan Suami Istri yang Menikah Muda Pilihan untuk menikah muda sering kali dilakukan tanpa pemikiran yang matang. Hal ini selain karena faktor usia yang masih tergolong masih muda, juga karena belum adanya kesiapan pasangan yang menikah muda untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Jika demikian, maka pasangan yang menikah pada usia dini akan sulit menghadapi berbagai persoalan yang akan muncul dalam keluarga.

Untuk kasus pernikahan muda di Perkebunan Pijorkoling, pasangan yang menikah muda berasal dari latar belakang ekonomi keluarga yang berbeda-beda, sehingga tidak dapat digeneralisasikan bahwa latar belakang sosial ekonomi keluarga mempengaruhi terjadinya perkawinan muda. Tabel berikut akan memperlihatkan latar belakang keluarga informan dalam penelitian ini.

Tabel

Status Sosial Ekonomi Keluarga Pasangan yang Menikah Muda

No. Informan Latar Belakang Keluarga Keterangan

1 Ami Menengah atas Ayah: PNS

Ibu: Wirausaha 2 Sri Maya Lestari Menengah bawah Buruh Kebun

3 Fadillah Menengah bawah Ibu: PNS

4 Irma Menengah Ibu: Wiraswasta

5 Asneli Menengah Ayah: Buruh Kebun

Ibu: Ibu Rumah Tangga

Bila melihat status pendidikan pasangan yang menikah muda sebagian besar masih menempuh pendidikan baik di perguruan tinggi maupun di SMA, namun adapula yang baru tamat SMA. Berikut ini adalah pernyataan dari

wawancara dengan infoman mengenai status pendidikan mereka ketika mengambil keputusan untuk menikah muda.

Masih sekolah kelas 3 SMA (Ami).

Umur 19 tahun, baru-baru masuk kuliah dopena au semester 1 jadi diajak gandakku au kawin (Fadillah).

Pada saat itu aku masih duduk dibangku SMA kelas 3, pacarku baru tamat SMA (Irma).

Beberapa informan mengatakan bahwa mereka harus putus sekolah karena akan menikah dan ada pula yang menyesalkan keputusannya untuk menikah muda. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh salah satu informan sebagai berikut.

Tapi itulah kadang ada rasa nyesal, karena sekolahku sia-sia, jadi cuman tamat SMP maia au kak, manombo tong iri au maligi dongan-donganku na get marlanjut kuliah kak. Sompat do disuruh alaklai ku kak ipalanjut sikolah ku aranakan tinggal mamette ujian akhir doma na au sebelum kawin lari, tai madung malosok au kak, lagian maila au tu dongan-dongan ku madung i boto alai au namadung kawin (Irma).

Artinya:

(Tapi itulah kadang ada rasa nyesal, karena sekolahku sia-sia, jadi cuman tamat SMPlah aku kak, kadang aku iri lihat kawan-kawanku yang bisa melanjutkan kuliah kak. Sempatnya disuruh suamikunya dilanjutkan sekolahku karna kan tinggal nunggu ujian akhirnya aku sebelum kawin lari, tapi sudah malas aku kak, lagian malu aku sama kawan-kawanku udah tahu aku mau nikah.)

Masyarakat pada umumnya memandang pernikahan sebagai suatu ikatan bagi pasangan yang ingin membangun keluarga dan memiliki anak-anak dari hasil

suami istri dan memiliki tanggung jawab untuk menjalankan fungsi keluarga. Sebagai sebuah lembaga, keluarga memiliki sejumlah fungsi, yaitu pengaturan seksual, reproduksi, sosialisasi, afeksi (emosional), penentu status, perlindungan, dan fungsi ekonomi. Berbagai fungsi tersebut dapat diperankan oleh sebuah keluarga apabila dipersiapkan baik aspek biologis, psikologis, dan sosial ekonominya.

Perubahan status mau tidak mau akan berubah bagi pasangan yang telah menikah. Seorang perempuan akan menjadi istri dengan peran-perannya dan laki-laki akan menjadi suami dengan peran-perannya dalam keluarga. Bagi pasangan muda terutama yang masih menempuh masa pendidikan, perubahan status ini sering kali tidak siap untuk dihadapi. Dari aspek biologis, kehamilan pada usia kurang dari 17 tahun meningkatkan resiko komplikasi medis, baik pada ibu maupun pada anak. Secara psikologis bagi anak perempuan, mereka belum siap untuk bertanggungjawab dan berperan sebagai istri, partner seks, dan ibu, sehingga menyebabkan imbas negatif terhadap kesejahteraan psikologis dan perkembangan kepribadian mereka (Fadlyana, 2009:138-139). Dalam penelitian ini memang tidak diulas mengenai aspek biologis dan psikologis, namun secara sosial perubahan status remaja yang menikah muda sangat dirasakan oleh informan. Mereka harus merubah peranan mereka karena setelah mereka menikah, status yang mereka terima adalah sebagai seorang istri dan juga seorang ibu.

Dari aspek ekonomi, pasangan yang menikah muda sering kali belum siap dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga barunya. Demikian pula yang terjadi dengan pasangan-pasangan yang menikah muda di Perkebunan Pulobauk, mereka masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keluarga barunya dan masih

bergantung pada orang tua. Berikut beberapa pernyataan dari hasil wawancara yang dilakukan pada informan.

Susahlah kak. Mangan so mangan. Karena suamiku pun kalo ada panggilan kerja dia baru dia pulang bawa uang. Itu pun pas-pas makannya. Kadang kehe ahu tu bagas ni orang tuaku palingan anggo disi umakku dilehen ia belanjaku. Palingan ma 50 ribu (Ami).

Artinya:

Susahlah kak, makan nggak makan. Karena suamiku pun kalau ada panggilan kerja dia baru pulang bawa uang. Itupun pas-pas makannya. Kadang pergi aku ke rumah orang tuaku, palingan kalau disitu mamaku dikasihnya belanjaku. Palinganlah 50 ribu (Ami).

Kondisi ekonomi keluarga yang sulit tidak hanya dialami oleh Ami tapi juga Sri yang mana suaminya juga belum mempunyai pekerjaan yang tetap. Sri harus pandai-pandai dalam mencukupi kebutuhan keluarganya dan juga turut bekerja untuk menambah penghasilan keluarga mereka. Hal ini seperti yang dituturkan Sri dalam wawancara seperti berikut ini:

Aku sekarang kerja mencetak jembrot (kerupuk ubi). Ini semacam home industry. Jadi banyak ibu rumah tangga yang ikut mencetak kerupuk ini untuk menambah-nambah uang belanja aja. Karena kan suamiku pun kerjanya mocok-mocok. Kadang ada yang ngajak dia ngambil pasir ke sungai palinganlah di gaji 50 ribu sehari itupun belum tentu setiap hari. Jadi mau nggak mau harus ikut juga mencari tambahan uang belanja sehari-hari (Sri).

Kondisi serupa juga dialami oleh Asneli yang suaminya juga tidak memiliki pekerjaan tetap. Asneli juga masih sering datang ke rumah orang tuanya. Dari orang tuanya Asneli sangat terbantu dalam memenuhi kebutuhan rumah

tangganya terutama setelah Asneli memiliki anak. Berikut hasil wawancara bersma Asneli:

Penghasilan suamiku nggak tentu, kadang 50 ribu, kadang seratus ribu, jadi itulah untuk belanja kami. Jadi kalau dia nggak narek becak yaa apa yang ada ajalah dicukup-cukupi. Kadang aku pun ke rumah mamakku, apalagi semenjak ada anakku, sering kami main-main ke rumah neneknya. Palingan dikasih mamakkulah jajan-jajan buat si Nayla, mamakku kan sering belanja tiap minggu kalau misalnya datang kami ke sana, ada ajanya itu yang dibawakan mamakku samaku, kadang beras, kadang ikan asin, kelapa (Asneli).

Urusan tempat tinggal dari pertama menikah Sri ini sudah memilih untuk pisah rumah dari orang tua dan mertua. Alasannya karena Sri ingin belajar mandiri dalam menjalani rumah tangganya. Berikut pernyataan Sri ketika diwawancara:

Aku sejak menikah sudah milih pisah rumah dari keluarga, karena aku mau mandiri jadi apaapun keadaan yang dijalani dalam perkawinanku tetap kujalani dengan sabar. Setelah punya anak pun ini aku tidak meminta bantuan siapa-siapa untuk mengurus anakku (Sri).

Keputusan untuk tinggal tidak bersama orang tua lagi setelah menikah juga diambil oleh informan lainnya. Hal ini seperti yang disampaikan oleh Fadillah dan Irma sebagai berikut.

Semenjak marbagas ami pe mangasing ma ami ngen keluarga. Mangontrak bagas ami di pasar so lek donok tu terminal tempat ni alaklai ku manarik angkot (Fadillah).

Ngontrak rumah kami kak tapi nggak jauhlah dari rumah mamak bang Fadli, Karena nggak mau bang Fadli tinggal sama orang tuanya makanya ngontrak kami kak, biar mandiri katanya kak (Irma).

Partisipasi pasangan suami istri yang menikah muda tersebut dalam kehidupan bermasyarakat belumlah begitu tampak, karena masih ada perasaan malu terutama bagi pasangan yang menikah karena hamil di luar nikah. Selain itu, persoalan dalam mengurus rumah tangga lebih menjadi perhatian mereka terutama bagi perempuan. Suami mereka lebih banyak bersosialisasi di luar rumah. Untuk interaksi pasangan suami istri muda ini dengan orang tua masih cukup intens karena mereka pun masih butuh bantuan dari orang tua mereka.

Kondisi ekonomi pasangan yang menikah muda bisa dikatakan tidak cukup baik. Hal ini karena persiapan untuk membina rumah tangga yang tidak ada dan juga dengan kondisi pendidikan rendah yang dimiliki pasangan muda ini sulit untuk mendapatkan pekerjaan tetap dengan penghasilan yang stabil. Berdasarkan informasi yang didapat dari hasil wawancara seperti pernyataan informan sebelumnya, rata-rata penghasilan mereka hanyalah lima puluh ribu rupiah perhari, namun penghasilan tersebut tidak didapat setiap hari tergantung ada tidaknya pekerjaan hari itu. Pekerjaan yang mungkin untuk mereka lakukan agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya adalah pekerjaan yang mengandalkan tenaga fisik. Adapun pekerjaan yang dijalani oleh suami mereka yang menikah muda ini dapat disimak dari hasil wawancara dengan informan berikut.

Supir angkot kak, tai ia maroban angkot sendiri kadang alak dibaen ia marobanna. Anggo kebutuhan nami tercukupi do kak ngen angkotti (Fadillah).

Kerja suamiku sekarang bawa becak, sebelum kawin kami masih pacaran, dia kerja di showroom, tapi 4 bulan kami nikah beli becak dia, jadi berhenti dia dari showroom. Itulah dia sekarang narek becak (Asneli).

Bagi perempuan yang menikah muda sendiri sebagian besar tidak bekerja dan hanya menjadi ibu rumah tangga. Hal ini karena dengan pendidikan mereka yang rendah tidak banyak pilihan pekerjaan yang dapat diambil. Dengan demikian mereka tidak banyak membantu dalam meningkatkan perekonomian keluarganya dan hanya mengharapkan pada penghasilan suami.

Kondisi ekonomi yang belum stabil tersebut membuat pasangan muda ini harus bisa mengatur keuangan keluarga agar dapat memenuhi kebutuhan mereka. Tidak jarang pula mereka harus meminta bantuan dari orang tuanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh informan di bawah ini.

Berhemat-hematlah terus, terus berapa yang dikasih suamiku itulah yang kucukup-cukupi. Kadang pun kalau dapat uang dari orang tuaku itulah tambah-tambah belanja kami. Karena kerja suamiku pun ikut-ikut kerja sama orang. Kadang dia jadi kenek kadang ikut bongkar muat barang. Kalo untuk kebutuhan dia lepas makanlah. Palingan kebutuhan di rumahlah yang harus dilengkapinya. Apalagi pas lagi hamil ini aku kan lebih sering di rumah orang tua akunya aku (Ami).

Persoalan yang dialami pasangan yang menikah muda di Perkebunan Pulobauk tidak hanya terkait dengan persoalan ekonomi tapi juga persoalan dalam mengasuh anak dan masih adanya keinginan untuk berkumpul dengan teman-temannya. Berikut beberapa pernyataan yang dihimpun dari infoman.

Palingan kalau anakku sakitlah. Karena aku kan baru pertama punya anak, jadi belum tau betul apa yang harus aku perbuat. Palingan bawa berobat ke puskesmas atau ke dukun kusuk anak (Sri).

Fadillah juga mengalami kesulitan dalam mengurus anaknya karena tidak memiliki pengalaman, sehingga masih membutuhkan bantuan dari mertuanya. Berikut pernyataan Fadillah dalam wawancara:

Adong do dilala au kesulitan mangurus anak, apalagi baru-baru malahirkon I au, tai namborukku do na mangajari au, paridi dohot mambajui nai, anggo umak tong najarang do ia tu bagas, palingan ami ma na tu sadun i pe jarang do ami kak marboringin di umak an (Fadillah).

Artinya:

(Adanya kurasa kesulitan mengurus anak apalagi baru-baru melahirkan aku, tapi namboruku yang mengajari aku, memandikan sama memakaikan baju bayi, kalau mamak ku kan yang jarangnya dia ke rumah, palingan kamilah kak yang ke sana itupun jarang kami bermalam di rumah mamak. )

Perasaan au dung parjolo-jolo kawin marcampur aduk ma kak, adung sonang nai, adon sedih nai, sedih nai ima tong, nasongon dongan-dongan nalaini be au, na biasa marmayam, nggo sannari tong apalagi madung adong anak ku mangurus anak ma dohot mangurus suami (Fadillah).

Artinya:

(perasanku diawal-awal bercampur aduklah kak, ada senangnya, sedihnya juga ada sedihnya itu nggak kayak teman-teman yang lain masih bisa main-main, kalau sekarang apalagi uda ada anakku mengurus anak sama suamilah. )

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas kita dapat melihat persoalan usia perempuan yang masih muda dan telah menikah menunjukkan bahwa tidak semua informan yang telah siap untuk berumah tangga. Selain kesiapan dalam hal ekonomi, kesiapan untuk mengurusi rumah tangga juga belumlah ada. Belum lagi psikologi mereka ketika melihat teman-teman mereka yang dapat melanjutkan

5.4. Interpretasi Perkawinan Muda di Perkebunan Pulobauk dalam Perspektif Sosiologi

Perkawinan merupakan suatu upaya untuk mendapatkan persetujuan agar dua orang dapat membentuk sebuah keluarga. Melalui perkawinan, seseorang mendapatkan status dengan sederetan hak dan kewajiban yang baru serta pengakuan akan status baru dari orang lain (Horton, 1984). Mengenai usia yang pantas untuk seseorang menikah di setiap daerah dan setiap masyarakat punya pandangan yang berbeda-beda. Namun untuk negara Indonesia saat ini, aturan umum yang dibuat dan diberlakukan bagi seseorang untuk menikah berdasarkan UU NO.1 Tahun 1974 pasal 7 yaitu bila pihak pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 (enam belas) tahun.

Praktek pernikahan dini biasanya dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya adanya pengaruh tradisi lokal, kehamilan di luar nikah, faktor pendidikan, kesulitan ekonomi, ataupun keinginan sendiri. Meskipun sudah ada ketetapan dalam undang-undang tentang usia pernikahan namun nyatanya di Indonesia praktek pernikahan dini masih terus terjadi. Undang-undang Perkawinan dari tahun 1974 tidak tegas dalam mencegah terjadinya pernikahan di bawah umur yang telah ditetapkan dan justru memiliki celah terjadinya pernikahan di bawah umur.

Berdasarkan pemaparan di atas mengenai persoalan pernikahan muda di Perkebunan Pulobauk ada hal yang perlu digarisbawahi, yaitu maraknya pernikahan muda dengan cara kawin lari menjadi pilihan bagi pasangan muda agar dapat direstui oleh orang tua mereka. Ada yang memutuskan untuk kawin lari karena telah hamil di luar nikah, ada yang memutuskan untuk kawin lari karena

takut telah melanggar aturan masyarakat dengan pulang larut malam bersama pacarnya, adapula yang memutuskan untuk kawin lari agar pasangan pilihannya dapat diterima oleh pihak keluarga.

Fenomena pernikahan muda memiliki relasi kompleks terhadap kehidupan sosial. Di satu sisi pernikahan bertujuan untuk membangun keluarga yang harmoni, di sisi-sisi yang lainnya pasangan yang menikah muda belum siap dengan status dan peran yang mereka terima dari ikatan pernikahan tersebut, pasangan muda ini juga harus segera menghadapi realita sosial dimana mereka

Dokumen terkait