• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor- faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Bintil Akar Temperatur dan Cahaya

Marissa Permatasari A14051266

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Acacia mangium

2.2.3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Bintil Akar Temperatur dan Cahaya

Temperatur dan cahaya dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman, bintil akar dan penambatan N. Pengaruh suhu terhadap tanaman legum bervariasi tergantung kepada jenis legumnya. Sistem simbiotik lebih sensitif terhadap suhu dibandingkan dengan pertumbuhan tanaman. Pada suhu yang rendah (<10oC) proses pembelahan sel dari bakteri pada rizosfer akan terhambat sehingga menyebabkan terhambatnya proses infeksi dan menurunnya berat bintil, sedangkan pada suhu >24 oC merangsang infeksi rambut akar oleh Rhizobium. Rentang temperatur yang paling menguntungkan untuk pembentukan jaringan bakteroid di dalam bintil adalah 20-30 oC (Subba Rao, 1994).

Kelembaban Tanah

Kelembaban tanah sangat berperan dalam pembentukan bintil akar. Permasalahan utama stress kelembaban yaitu kekeringan dan jenuh air. Menurut Gibson et al. (1982), terjadi penurunan infeksi akar dan nodulasi seiring dengan penurunan kelembaban tanah (kekeringan), bahkan tidak terbentuk bintil akar pada tanah yang mengalami kekeringan. Hal ini disebabkan oleh kegagalan proses infeksi rambut akar. Keadaan yang demikian juga dapat menekan proses fiksasi nitrogen dan menurunkan fotosintesis. Defisiensi kelembaban tanah sangat mempengaruhi fiksasi N2 sebab pembentukan bintil awal, perkembangan bintil dan aktifitas nitrogenase lebih sensitif terhadap stress kelembaban tanah daripada sistem metabolisme akar dan pucuk secara umum. Stress yang ringan hanya menurunkan jumlah bintil sedangkan stress sedang dan berat menurunkan baik jumlah maupun ukuran bintil akar tanaman.

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh berupa asam indol asetat (IAA) dan giberelin telah dapat dideteksi dalam bintil akar. Bintil akar mengandung lebih banyak IAA daripada perakaran yang bersebelahan dengannya. Beberapa zat tumbuh merangsang pembentukan bintil sedangkan yang lainnya menghambat, tergantung pada konsentrasi zat kimia yang digunakan.

Kemasaman Tanah

Kemasaman tanah berpengaruh terhadap perkembangan akar tanaman dan ketersediaan hara tanah. Pada pH yang rendah, beberapa jenis legum tidak dapat berkembang walaupun Rhizobium cukup toleran, sehingga proses pembentukan bintil terhambat. Jumlah dan ukuran bintil mungkin dipengaruhi oleh reaksi substrat tempat tumbuh legum. Kondisi masam dan defisiensi kalsium berpengaruh langsung terhadap pembentukan simbiosis (Gibson et al., 1982). Faktor Biologi

Faktor biologi dapat menjadi faktor pembatas seperti persaingan antara bakteri pengikat N, serangan nematoda maupun bakteri parasit lainnya. Rhizobium juga memiliki musuh alami dapat menurunkan populasi Rhizobium dalam tanah.

Biasanya legum sangat hemat dalam penggunaan nitrogen tanah sehingga suatu tanaman berkadar protein tinggi dapat diperoleh atau dipanen tanpa terlalu banyak menguras N dari tanah. Sehingga legum dapat dikatakan sebagai penabung N dan ini merupakan aksioma kesuburan tanah yang penting (Soepardi, 1983). Faktor ekologis

Penggunaan pestisida merupakan usaha yang dilakukan untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman dan beberapa senyawa kimia ini mungkin mempengaruhi proses mikrobiologis dalam tanah. Tetapi dengan dosis yang direkomendasikan pestisida tidak mempengaruhi nodulasi. Sebaliknya, herbisida mempengaruhi proses pembentukan bintil dan fiksasi nitrogen pada legum. Pada percobaan menunjukkan bahwa penggunaan Dalapon dapat mengurangi pembentukkan bintil dan cenderung mengurangi efisiensi fiksasi nitrogen. Hal ini terlihat dari autoradiograf herbisida ditranslokasikan dengan cepat dan dapat dideteksi dalam daun dan bintil (Subba Rao, 1994).

Ketersediaan Hara Lainnya

Ketersediaan fosfor (P) merupakan faktor penting dalam pembentukkan bintil dan pertumbuhan tanaman terutama pada tanah-tanah masam. Kandungan P dalam bintil 2-3 kali lebih besar daripada kandungan P pada akar (Gibson et al.,

1982). Menurut Zahran (1999) bahwa aplikasi KH2PO4 25 ppm di tanah-tanah masam meningkatkan dengan signifikan persentase pembentukkan bintil pada Trifolium subterraneum yang diinokulasikan Rhizobium leguminosarum bv. Trifolii. Hal yang sama, pembentukkan bintil dan fiksasi N2 (aktivitas nitrogenase) pada Trifolium vesiculosum akan meningkat secara signifikan setelah ditambahkan P (100 ppm) dan K (300 ppm) sedangkan aktivitas nitrogenase meningkat dua kali pada saat konsentrasi P dinaikkan menjadi 400 ppm.

Kandungan N dalam tanah (khususnya dalam bentuk NO3-) dapat menghambat proses nodulasi dan fiksasi N2 oleh bakteri rhizobia yang bersimbiosis dengan tanaman legum. Selain itu Molibdenum merupakan unsur mikro yang sangat esensial untuk semua tanaman dan sangat dibutuhkan untuk pembentukkan bintil akar dan fungsi enzim kompleks nitrogenase dari bakteri rhizobia. Tanah yang kekurangan Mo akan menurunkan populasi rhizobia sehingga tanaman yang terinfeksi tidak ternodulasi efektif (Somasegaran dan Hoben, 1994).

Interaksi Mikroorganisme

Setiap inokulasi strain Rhizobium ke media tanah akan mengalami beberapa kendala untuk mencapai keberhasilan nodulasi akar. Menurut Chowdury (1976) ada tiga kendala utama yaitu : (1) rhizobia tidak berhasil bertahan hidup di daerah rhizosfer maupun membentuk bintil akar tanaman inang. (2) Inokulan Rhizobium berhasil bertahan hidup di daerah rhizosfer dan menghasilkan bintil akar yang baik tetapi gagal bertahan hidup di media tanah sekitarnya. (3) Inokulan Rhizobium gagal bersaing dengan rhizobia asli untuk membentuk bintil akar.

Indikasi kemampuan kompetitif dan daya efektivitas strain rhizobia tergantung dari karakter strain itu sendiri, namun tanaman inang lebih menyeleksi beberapa strain yang terbaik dari campuran populasi strain efektif dan strain tidak efektif (Robinson, 1968).

Ada beberapa jenis fungi terutama Penicillium dan Aspergillus bersifat antagonis terhadap R. trifoli atau R. lupini. Fungi tersebut membentuk koloni pada tanah atau daerah sekitar rhizosfer yang mengakibatkan berkurangnya daya simbiosis yaitu berkurangnya pembentukkan bintil, leghaemoglobin bintil, kandungan nitrogen dan pertumbuhan tanaman inang (Robinson, 1968).

Pengaruh Sterilisasi terhadap Kandungan Unsur Hara

Hasil penelitian Toharisman (1989), menunjukkan bahwa sterilisasi dengan autoklaf lebih efektif dalam membunuh bakteri dan fungi dibandingkan dengan pemberian fumigasi (Basamid, Phostoxim, Nuvantop dan Kloroform). Pengaruh intensitas sterilisasi autoklaf akan meningkatkan pH dan kelarutan Fe, Mn, dan Zn serta cenderung menurunkan Cu. Perubahan kelarutan unsur mikro tersebut relatif lebih kecil pada tanah yang tidak dikapur kecuali Mn. Pada tanah yang tidak dikapur, kenaikan intensitas sterilisasi autoklaf menurunkan tinggi tanaman, bobot kering akar dan bobot kering bagian tanaman kedelai dan jagung. Namun penurunan ketiga peubah tersebut tidak terjadi pada tanah yang dikapur. Pemberian kapur sebelum sterilisasi dapat mengurangi pengaruh buruk autoklaf terutama menurunkan keracunan Mn.

2.3. Nitrogen

Nitrogen (N) merupakan salah satu unsur hara esensial yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman, sehingga bila kekurangan unsur tersebut menyebabkan tanaman tidak dapat tumbuh dengan normal. Nitrogen diserap oleh tanaman dalam bentuk bentuk amonium (NH4+) dan nitrat (NO3-). Kebutuhan nitrogen tanaman diperoleh dari beberapa sumber di antaranya dari pupuk dan secara alami melalui proses simbiosis antara tanaman dengan organisme tanah. Menurut Sanchez (1976) nitrogen merupakan unsur hara penentu produksi atau sebagai faktor pembatas utama produksi. Nitrogen merupakan salah satu unsur pupuk yang diperlukan dalam jumlah paling banyak namun keberadaannya dalam tanah sangat mobil sehingga mudah hilang dari tanah melalui pencucian maupun menguap ke udara.

Pemberian nitrogen yang berlebihan dapat menyebabkan pertumbuhan vegetatif tanaman sangat hebat dan warna daun menjadi hijau tua. Kelebihan N dapat memperpanjang umur tanaman akan tetapi memperlambat proses kematangan karena tidak seimbang dengan unsur lain seperti P, K, dan S. Sedangkan kekurangan unsur nitrogen dapat mengakibatkan tanaman mengalami gejala defisiensi yang ditunjukkan oleh klorosis (menguning) pada daun, yang dimulai dari daun tertua. Kekurangan unsur nitrogen juga menyebabkan tanaman

kerdil, daun yang lebih tua atau seluruh tanaman berwarna hijau kekuningan, daun yang masih muda berukuran sempit, pendek, tegak, dan berwarna hijau kekuningan.

Unsur N yang ditemukan dalam tanah secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bentuk N-organik dan N-inorganik. Bentuk N-organik meliputi asam amino atau protein asam amino bebas, gula amino, dan senyawa kompleks yaitu amonium yang berasosiasi dengan lignin dan polimer-polimernya. Bentuk N-inorganik terdapat dalam bentuk amonium (NH4+), nitrat (NO3-), nitrit (NO2-), oksida nitrous (N2O), oksida nitrit (NO), dan gas N2 akibat perombakan mikrobia. Gas N2O dan N2 adalah bentuk yang hilang dari tanah sebagai akibat dari proses denitrifikasi (Leiwakabessy et al., 2003).

Menurut hasil penelitian Imelda et al. (2006), simbiosis antara A. mangium dan rhizobium dapat efektif meningkatkan pertumbuhan tanaman di tiga bulan pertama saat persemaian tanpa pengaplikasian pupuk N. Namun hal ini harus didukung tersedianya unsur hara makro lain seperti P dan K dalam tanah. Di mana nitrogen yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman dapat difiksasi dari udara bebas oleh tanaman yang dinokulasi.

Fiksasi N2 menjadi ammonium secara biologis menyediakan sekitar 65% N di biosfer. Sebagian besar ammonium berasal dari simbiosis antara tanaman legum dengan rhizobia, yang diinisiasi dari tanaman inang diinfeksi oleh bakteri rhizobia sehingga terjadi pembentukkan bintil akar. Di dalam bintil akar, rhizobia berperan dalam fiksasi N2 bebas, di mana kebutuhan karbon (C) dan energinya rhizobia mengambil dari tanaman dalam bentuk asam dikarboksilat. Sebaliknya tanaman inang memperoleh ammonium dari rhizobia. Hubungan ini merupakan simbiosis mutualisme antara tanaman inang dengan bakteri rhizobia (Lodwig et al., 2003).

III. BAHAN DAN METODE