C. Tinjauan Umum Lost To Follow-Up (LTFU)
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi
Secara umum faktor-faktor yang mempengaruhi pasien LTFU diantaranya adalah meninggal dunia, pindah ke fasilitas lain, faktor internal dan faktor eksternal (Rosiana & Sofro, 2014). Meninggal dunia dan pindah ke fasilitas lain sebenarnya tidak masuk dalam kriteria LTFU, namun dari banyak hasil penelitian pasien LTFU yang telah disurvei hasilnya terdapat meninggal dunia dan pindah ke tempat pelayanan kesehatan lainnya (Darmawan, 2016).
a. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor dari lingkungan yang berpengaruh terhadap proses pertumbuhan dan perkembangan.
Adapun faktor eksternal yang mempengaruhi kejadian LTFU adalah:
1) Keterjangkauan klinik VCT
Jangkauan akses ke klinik VCT mempengaruhi kunjungan pasien seperti lama waktu yang harus
18 dihabiskan untuk menjangkau klinik, jarak yang harus ditempuh serta besarnya biaya transportasi yang digunakan pasien. Semakin jauh jarak tempuh ke klinik VCT maka biaya yang harus dikeluarkan pasien semakin banyak. Pada penelitian yang dilakukan di Malawi, 35% dari keseluruhan pasien LTFU penyebabnya adalah besarnya biaya transport yang harus dikeluarkan untuk mengunjungi klinik VCT.
Masalah ekonomi merupakan salah satu faktor mempengaruhi pengobatan ARV, karena pengobatan ARV membutuhkan waktu yang lama sehingga konsekuensi biaya yang harus dikeluarkan menjadi besar. Meskipun obat ARV dapat diperoleh secara cuma–cuma, namun mereka tetap mengeluarkan biaya transportasi, tes laboratorium dan obat infeksi oportunistik serta biaya dokter (L. Handayani et al., 2017).
2) Kepercayaan religi
Keyakinan terhadap agama mempengaruhi kepatuhan terapi ARV. Di Jawa Barat masih sedikit tokoh agama yang terlibat dalam penanggulangan ODHA.
Keyakinan umum yang berlaku ODHA masih dianggap sebagai hukuman yang layak diderita oleh orang yang
19 berdosa. Berbeda dengan kondisi di Papua, dukungan ODHA oleh tokoh agama terlihat menonjol. Gereja menjadi salah satu penyediaan ARV bagi ODHA yang sulit mengakses ke Rumah Sakit atau Puskesmas. Secara tidak langsung tokoh gereja mengurangi angka LTFU dan meningkatkan angka kepatuhan ODHA. Dukungan secara moril membuat ODHA lebih semangat untuk hidup dan termotivasi untuk beribadah oleh tokoh agama baik melalui ceramah atau ibadah lainnya (Darmawan, 2016).
3) Dukungan sosial
Kondisi keluarga bisa sebagai pendukung atau penghambat ODHA untuk terapi ARV. Bagi ODHA yang sudah diketahui statusnya dan diterima oleh keluarganya, maka faktor keluarga biasanya menjadi pendukung utama.
Keluarga dalam hal ini bisa berfungsi menjadi PMO bagi ODHA. Ada pula kondisi keluarga yang justru menghambat kepatuhan misalnya takut diketahui pasangannya sebagai penderita HIV, sehingga harus berhenti terapi (Lanoy et al., 2006). Masih banyak ODHA yang menyembunyikan status penyakitnya karena adanya kekhawatirann akan stigma dan diskriminasi masyarakat terhadap ODHA. Hal tersebut juga berpengaruh terhadap
20 kepatuhan ODHA dalam minum ARV karena ODHA membutuhkan dukungan tanpa stigma dan diskriminasi (Rosiana & Sofro, 2014).
4) Pelayanan dan fasilitas klinik VCT
Pelayanan serta fasilitas yang diberikan kepada pasien meliputi lamanya antrian saat pengobatan, sikap dokter atau petugas kesehatan, prosedur administrasi, tes laboratorium, dan sarana pra sarana klinik merupakan faktor yang pertama kali mempengaruhi pasien untuk mengunjungi klinik. Beberapa hal tersebut sangat mempengaruhi persepsi pasien dalam perjalanan terapi ARVnya (Yu et al., 2007).
5) Pengobatan herbal atau alternatif
Saat ini banyak di jual pengobatan herbal atau alternatif lain untuk pengobatan HIV/AIDS yang bebas di pasaran. Hal ini menyebabkan pasien menghentikan pasien untuk terapi ARV dan menggantinya dengan obat herbal.
Seperti pada penelitian Peltzer, Karl et al di Afrika Selatan angka LTFU meningkat pada pasien dengan pengobatan herbal (Udeagu et al., 2013).
6) Faktor lingkungan
21 Lingkungan mempengaruhi pasien untuk terapi ARV. Kawasan perindustrian yang kurang maju memiliki angka LTFU lebih tinggi. Peltzer, Karl et al juga menyebutkan bahwa pasien yang memiliki lingkungan yang kurang mendukung menyebabkan pasien enggan untuk berkunjung ke klinik. Pasien yang tinggal di perkotaan memiliki angka LTFU lebih rendah (Udeagu et al., 2013).
b. Faktor Internal
1) Efek samping dan persepsi efek samping terapi ARV Hasil paparan dari tim peneliti UGM menyebutkan bahwa sebagian pasien yang enggan datang ke klinik VCT, dikarenakan efek samping obat ARV. Terutama gejala yang muncul pada kulit. Persepsi efek samping obat dari pasien juga sering muncul, setelah minum obat ARV, yang sebenarnya bukan merupakan efek samping obat ARV karena pasien tersebut tidak memiliki riwayat alergi seperti mual dan muntah (Darmawan, 2016).
2) Pengguna alcohol dan narkotika
22 Sebagian pasien yang LTFU memiliki riwayat pengguna alkohol atau narkoba. Hal tersebut tentunya mempengaruhi kunjungan ke klinik (Yu et al., 2007).
3) Infeksi oportunistik
Koinfeksi adalah penyakit penyerta yang sering terjadi pada penderita HIV. Koinfeksi ini dapat menggambarkan stadium penyakit HIV. Adanya koinfeksi menunjukkan bahwa pasien HIV telah berada pada stadium yang lebih parah. Hal ini menyebabkan pasien merasa lebih penting untuk melakukan pengobatan dan meningkatkan kepatuhan sehingga kondisi kesehatan cenderung membaik. Pada penelitian Melloni menyatakan bahwa pasien yang mempunyai koinfeksi TB pada awal terapi ARV berhubungan signifikan dengan kejadian LTFU (Handayani, 2017).
4) Persepsi kondisi klinis pasien
Persepsi kondisi pasien ditunjukkan dengan pada pasien yang merasa dirinya sehat lebih enggan untuk mengunjungi klinik. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Fridman,V et al alasan utama pasien yang LTFU adalah merasa dirinya cukup sehat dan tidak membutuhkan perhatian medis (Yu et al., 2007).
23 5) Status mental pasien
Status mental pasien ditunjukkan oleh penelitian penelitian Peltzer, Karl et al di Afrika Selatan dengan teori IMB ( Informational-Motivational-Behavioural Model) menunjukkan bahwa ODHA yang memiliki tingkat depresi yang lebih rendah memiliki angka LTFU lebih rendah (Rosiana & Sofro, 2014).
6) Kesadaran pribadi
Motivasi untuk bertahan hidup, tingkat kesadaran yang tinggi akan fungsi dan manfaat ARV serta keimanan terhadap agama atau keyakinan merupakan faktor internal utama yang mempengaruhi kepatuhan ODHA. Hal ini sejalan dengan penelitian lainnya yang menyatakan bahwa kesadaran ODHA merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kepatuhan ODHA (Rosiana & Sofro, 2014).
7) Pengetahuan mengenai ARV
ODHA dengan tingkat pengetahuan yang tinggi biasanya lebih patuh karena mereka sudah tahu keparahan penyakit mereka dan kepatuhan terapi ARV telah memberi perbaikan kualitas hidup mereka baik secara fisik, psikologis maupun sosial (Rosiana & Sofro, 2014).
8) Aktivitas sehari – hari atau pekerjaan
24 Gaya hidup dan aktivitas sehari-hari seperti terlalu sibuk mempengaruhi kepatuhan ODHA. Nelayan yang biasanya melaut selama 3-4 bulan mengalami kesulitan jika harus mengambil obat setiap bulan. Keterjangkauan dan akses merupakan masalah bagi ODHA (Krishnan et al., 2015).
9) Kepatuhan terapi ARV
Pasien yang tidak patuh minum obat ARV dengan berbagai macam faktor, biasanya enggan datang ke klinik VCT untuk kontrol dan mengambil obat. Sebagian dari pasien LTFU memiliki riwayat ketidakpatuhan terapi ARV (Rosiana & Sofro, 2014).
10) Kadar CD4
Kadar CD4 menggambarkan tingkat keparahan dari penyakit HIV. ODHA yang memulai terapi ARV dengan kadar CD4 < 200 sel/mm3 memiliki risiko untuk LTFU yang lebih besar dibandingkan dengan kadar CD4 >200 sel/mm3 (Lanoy et al., 2006). Salah satu indikator keberhasilan terapi ARV adalah peningkatan jumlah CD4.
Mereka yang memulai terapi ARV dengan kadar CD4 lebih tinggi cenderung akan lebih rajin datang ke klinik dan meneruskan terapi ARV karena kadar CD4 akan
25 cenderung meningkat karena sudah merasakan manfaat terapi ARV. Sebaliknya, apabila kadar CD4 cenderung turun maka kemungkinan ODHA akan mencari pengobatan lain dan tidak meneruskan terapi (Lim et al., 2012).
11) Penyesuaian psikososial pada ODHA
Hawari (2004), mengatakan bahwa penderita ODHA akan mengalami krisis kejiwaan pada dirinya, pada keluarganya, pada orang yang dicintainya dan pada masyartakat. Krisis tersebut dalam bentuk kepanikan, ketakutan, kecemasan, serta ketidakpastian, keputusasaan, dan stigma. Perlakuan terhadappenderita ODHA seringkali bersifat deskriminatif dan resiko bunuh diri pada penderita ODHA cukup tinggi akibat depresi mental yang dialaminya (Hawari,2004).