• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Hukuman

Bab 3 Faktor-Faktor Pendukung dan Penghambat Im-

B. Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Hukuman

Upaya implementasi hukuman qishash ini akan menghadapi sejum-lah kendala, di antaranya sebagai berikut.

1. Kurang Kuatnya Political Will di Kalangan Elit Islam Menurut Suma dkk., hukum pidana adalah produk politik, oleh karena itu harus ada kemauan politik dalam mekanisme program legislasi nasional. Mereka adalah pelaku politik yang beragama Islam di tingkat birokrasi pemerintah dan lembaga legislatif (Suma, et.al. 2001, hlm. 244).

Mansyur, dalam Pranata Hukum dan Penegakannya Di Indo-nesia, menjelaskan bahwa hukum tidak bisa terlepas dari kekuasaan, karena hukum dibuat oleh para penguasa dengan tujuan utamanya yaitu untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakatnya. Hukum juga diciptakan untuk mengatur bagaimana para penguasa dalam

menjalankan kekuasaannya. Hukum di dalam penegakannya tidak bisa terlepas dari kekuasaan. Karena penegakan hukum tidak bisa berjalan jika kekuasaan/birokrasi tidak mendukung sepenuhnya. Karena kekuasaan merupakan mesin penggerak roda proses pene-gakan hukum, di mana kekuasaan yang akan menentukan proses hukum itu lancar atau mundur, terhenti atau bergerak yang kemu-dian akses menuju pada keadilan akan terwujud atau tidak (Man-syur, dalam www.Alimansyur.Blog.Unissula.Ac.Id diakses pada 20 Desember 2013).

Berkaitan dengan kekuasaan, umat Islam Indonesia yang ma-yoritas, sebagiannya adalah para ulama dan pakar hukum, dengan kompetensi ilmu pengetahuan dalam bidang hukum agama maupun hukum konvensional, mereka menduduki berbagai jabatan strategis dalam bidang publik, sebagai presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, anggota DPR, penegak hukum, seperti hakim, jaksa, dan pengacara. Namun suara untuk memperjuangkan hukuman qishash dan diyat dalam hukum pidana nasional bisa dikatakan jarang ter-dengar dari mereka. Padahal angka kematian akibat pembunuhan, terorisme, kekerasan, tawuran, kecelakaan lalu lintas dan konflik sosial, semakin meningkat dan hampir setiap hari menghiasi me-dia massa lokal maupun nasional. Dalam keadaan seperti ini sudah seharusnya para pakar dan ulil amri tersebut melakukan langkah-langkah konkret menyikapi hukum positif yang terlihat kurang efek-tif dimana penjara semakin penuh dan melebihi kapasitas.

Peneliti melihat bahwa yang menyebabkan elit Islam kurang bersuara adalah lemahnya kemauan politik. Lemahnya kemauan politik ini bisa jadi disebabkan kurangnya kesadaran beragama se-cara kaffah di kalangan elit Islam. Karena itu para elit Islam tidak

boleh merasa cukup dengan rutinitas jabatan, maupun aktivitas akademik, sebab qishash adalah perintah Allah SWT. untuk dilak-sanakan bukan sebatas dikaji apalagi diperdebatkan relevansinya. Hukuman qishash tidak untuk diperdebatkan, sebab tidak ada hal-hal yang rumit maupun syubhat baik dari sisi kajian hukum Islam maupun Pancasila dan UUD 1945.

2. Kekhawatiran terhadap Disintegritas Bangsa

Faktor kekhawatiran terhadap disintegrasi bangsa juga menjadi peng-hambat implementasi qishash. Alasannya karena rakyat Indonesia terdiri dari berbagai suku dan bangsa, terdiri dari berbagai agama dengan segala heterogenitas tingkat penghayatannya. Kemajuan bangsa melahirkan pluralisme etnis juga budaya, agama dan keper-cayaan. Pluralitas dalam kondisi tertentu memang bernilai positif, akan tetapi dalam kondisi yang lain dapat menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja. Di samping itu, dalam masyarakat Islam sendiri, masing-masing daerah terkadang mempunyai kondisi yang saling berbeda yang menyebabkan upaya pengintegrasian pidana qishash ke dalam hukum nasional masih harus diseleksi di antara hukuman pidana Islam lainnya. Dicoretnya tujuh kata pada pem-bukaan Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: “... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya…” yang dikenal dengan Piagam Jakarta, bahwa pada waktu itu bangsa Indonesia meno-lak diformalkannya sistem perundang-undangan atau syariat Is-lam bagi bangsa Indonesia yang memeluk agama IsIs-lam. Penolakan tersebut didasarkan atas pertimbangan politik bahwa warga negara Indonesia terdiri dari beragam pemeluk agama.

Pemaksaan penerapan hukuman qishash berpotensi menimbul-kan gelombang protes hingga konflik antargolongan. Azyumardi Azra misalnya, dalam menanggapi soal kemungkinan positifasi syariat Is-lam menjadi hukum nasional, mengungkapkan bahwa, yang harus diperhatikan adalah kondisi umat Islam Indonesia yang bukan meru-pakan realitas monolitik, tapi adalah realitas yang beragam, banyak golongannya, pemahaman keislamannya, keterikatannya, dan penge-tahuannya yang berbeda-beda. Realitas sosiologis ini dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan viabilitas, artinya hukum Islam terse-but tidak bisa bertahan, bahkan mungkin juga bisa menjadi kontra-produktif ketika lapisan masyarakat muslim yang pemahamannya terhadap Islam berbeda tadi kemudian tidak sebagaimana yang di-harapkan (www.islamlib.com., diakses pada 23 Januari 2013).

Kekhawatiran ini bisa menjadi kenyataan, namun bisa juga hanya sebatas prediksi. Kekhawatiran ini mestinya terminimalkan oleh Sila Pertama Pancasila yang melindungi rakyat Indonesia untuk mengaktualisasikan ajaran agamanya. Juga oleh UUD 1945 yang menjamin kebebasan beragama. Kekhawatiran ini juga terbantah oleh fakta bahwa sebagian hukum Islam dapat diimplementasikan di Indonesia dengan damai dan tidak menyebabkan konflik dan di-sintegrasi, contohnya penerapan peradilan agama, Undang-Undang Haji, Undang-Undang Zakat dan Ekonomi Islam. Hampir di setiap wilayah nusantara sudah berdiri bank-bank syari’ah, ternyata tidak ada protes atau demonstrasi oleh kelompok-kelompok tertentu, apa-lagi disintegrasi. Hal ini membuktikan bahwa upaya penerapan hukuman qishash tidak harus dikhawatirkan secara berlebihan. Ke-khawatiran itu juga bisa diatasi dengan dialog antarumat beragama dan penjelasan kepada umat-umat selain muslim, bahwa tidak ada paksaan bagi mereka untuk mengikuti syari’at agama Islam.

3. Kendala Institusional

Perubahan suatu hukum, biasanya dilakukan secara terencana dan melalui lembaga-lembaga khusus yang dibuat untuk itu. Orang-orang inilah yang berandil besar dalam menentukan bentuk hukum yang akan dibangun. Bila orang-orang yang duduk dalam lembaga tersebut didominasi oleh kelompok yang kurang memahami Islam dan hukumnya, maka hukum yang terbentuk pun akan sekuler dan demikian pula sebaliknya. Kalaupun kemudian pada taraf awal umat Islam berhasil memberikan konstribusi bagi pembentukan hukum pidana qishash, faktor-faktor lain berpotensi menghambat proses berikutnya. Sejumlah lembaga yang terkait langsung dengan proses pembentukan ini, seperti Kementerian Hukum dan HAM, DPR dan Presiden, turut pula memegang peranan dalam pembentukan hu-kum ini. Bila tidak ada upaya intensif dari lembaga-lembaga keis-laman, seperti NU, Muhammadiyah, partai-partai Islam, MUI, dan yang lainnya, tidak mustahil upaya implementasi hukuman qishash dalam hukum pidana nasional tidak akan memperoleh hasil yang signifikan.

Dalam konteks ini, Liddle dan Mujani berpendapat bahwa pe-mahaman, tafsiran, dan keyakinan agama tertentu dan pelembagaan atas keyakinan tersebut diperkirakan ikut membentuk pandangan, perasaan, sikap dan tindakan terhadap berbagai subjek politik, se-perti pemerintah, parlemen, partai politik, kelompok-kelompok ma-syarakat, warga negara lain, dan sebagainya. Pandangan, keyakinan, sikap, dan tindakan politik massa dan elit ini pada gilirannya mem-bentuk tipe dan tingkat stabilitas rezim tertentu. Pemahaman dan sikap keberagamaan muslim dan pelembagaan terhadapnya mung-kin menghambat pembentukan civic culture diantara massa dan elit

muslim yang pada gilirannya menghambat muncul dan stabilnya rezim demokrasi di negara-negara muslim pada umumnya (Liddle dan Mujani 2000, hlm. 132–133).

4. Kendala Internal

Kendala internal yang dimaksud adalah potensi kendala yang mun-cul dari internal umat Islam sendiri. Seperti kendala kultural atau sosiologis, yakni adanya umat Islam yang masih belum bisa mene-rima, kendala konsolidasi, yaitu belum bertemunya para pendukung pemberlakuan syariat Islam (dari berbagai kalangan yang masih saling menonjolkan dalil (argumen) dan metode penerapannya ma-sing-masing, termasuk juga kendala fikrah (pemikiran), yaitu ke-mungkinan akan banyaknya pandangan negatif terhadap hukuman qishash dan keraguan akan efektivitasnya.

Hambatan juga datang dari pihak-pihak yang sebetulnya tidak terlalu ideologis kecuali bahwa mereka menolak penerapan syariat Islam karena akan mengekang kesenangan mereka. Mereka itulah yang sering disebut sebagai para hedonis, atau yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul ma’aashiy (www.menaraislam.com, diakses pada 23 Desember 2013).

Ali Imron dalam disertasinya menyebutkan bahwa hambatan dari pihak-pihak yang menolak syariat Islam karena belum mema-hami syariat Islam, atau memamema-haminya dengan pemahaman yang salah. Mereka inilah yang dalam bahasa Islam disebut sebagai ahlul jahl. Pengetahuan yang komprehensif tentang hukum Islam belum di-pahami secara baik oleh mayoritas umat Islam di Indonesia. Penge-tahuan yang mendalam tentang hukum Islam hanya terbatas pada wilayah kajian tertentu dan menafikan wilayah kajian yang lain.

Pengetahuan tentang hukum Islam sangat luas sekali, tidak hanya terbatas dalam bidang hukum normatif fiqh semata tetapi juga meli-puti berbagai aspek bidang kajian hukum Islam (Imron 2008, hlm. 16).

Selain itu, masih banyaknya umat Islam yang anti, takut atau segan dengan penerapan syariat Islam. Berbagai alasan muncul dari kelompok umat Islam yang menolak penerapan syariat Islam di Indonesia. Di antaranya adalah mereka masih ragu dan memper-tanyakan efektifitas syariat Islam dalam upaya untuk mewujudkan rasa keadilan di masyarakat Indonesia yang majemuk baik etnis, budaya dan agama. Belum padunya umat Islam untuk menegakkan syar`at Islam. Umat Islam belum mampu menggalang sinergi yang besar untuk memperjuangkan penerapan syariat Islam. Tantangan besar umat Islam Indonesia adalah menyatukan satu kekuatan besar yang sinergis sistematis secara terstruktur dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia (ibid).

Hukuman qishash yang dibahas dalam kitab-kitab fiqh klasik, masih ditemukan adanya perbedaan di antara beberapa mazhab, namun ikhtilaf ini bukan pada hal mendasar seperti wajib tidaknya pemberlakuan qishash, tetapi hanya pada furu’iyah teknis qishash, seperti apakah qishash harus dengan pedang atau boleh dengan se-lainnya. Contoh lain ikhtilaf pada masalah furu’iyah adalah bagai-mana jika seorang majikan (orang merdeka) membunuh seorang budak, atau jika seorang muslim membunuh orang kafir yang bu-kan harbi. Namun kendala internal yang lebih menarik adalah perbedaan kerangka berpikir di antara pemikir muslim berkaitan dengan hukum yang ditetapkan dalam nash Alquran dan Hadits. Sebagai contoh, penerapan hukuman qishash, rajam, potong tangan,

cambuk, salib dan lain sebagainya oleh sebagian fuqaha dianggap sesuatu yang definitif dan tidak dapat diubah, sedangkan menu-rut cendikiawan yang lain, hukuman-hukuman tersebut harus di-pahami secara kontekstual. Dengan kata lain, hukuman-hukuman tersebut dapat saja diubah, asalkan tujuan penjatuhan hukumannya mengenai sasaran. Di samping itu juga hukum pidana Islam diang-gap statis dan belum komprehensif, karena kurangnya pengkajian dan pengembangan terhadapnya (www.menaraislam. com, diakses pada 23 Desember 2013).

Sejumlah kendala di atas harus dipecahkan dengan bijak, se-hingga tidak menimbulkan gesekan-gesekan yang keras dalam ma-syarakat. Kompromi antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif, mungkin merupakan solusi terbaik. Labelisasi Islam dan penggunaan istilah tidaklah sesuatu yang mutlak, asalkan subtansi hukuman sejalan dan tidak bertentangan dengan Islam. Dalam hal ini istilah “qishash” bisa saja diubah menjadi “hukuman setimpal” dalam istilah hukum pidana Indonesia. Namun ketakutan yang berlebihan terhadap labelisasi Islam juga harus diluruskan, ka-rena Islam agama perdamaian, bukan agama yang menakutkan. Disamping itu, usaha-usaha menuju penerapan syariat Islam juga berkaitan dengan masalah strategi. Hambatan-hambatan bisa pula muncul dari pihak-pihak yang sudah sepakat dengan syariat Islam dan penerapannya, akan tetapi memiliki strategi yang berbeda-be-da. Hambatan dari sisi ini akan menjadi semakin signifikan apabila strategi-strategi tersebut saling berseberangan satu sama lain.

5. Kendala Efektifitas Hukuman Mati di Indonesia

Ketika hukuman qishash dilaksanakan dalam bentuk hukuman mati, maka pertanyaan seputar efektifitas hukuman mati juga bisa menjadi kendala. Sebagian ahli hukum berpendapat bahwa hukum-an mati tidak dapat dilakshukum-anakhukum-an secara efektif menurut undhukum-ang- undang-undang. Hal itu disebabkan sistem hukum di Indonesia memberikan hak kepada terpidana mati untuk melakukan upaya hukum ter-tinggi yaitu kasasi hingga peninjauan kembali. Proses upaya hukum itu memerlukan waktu lama bahkan bertahun-tahun, sedangkan ketentuan undang-undang menyebutkan bahwa pelaksanaan hu-kuman mati baru dapat dilaksanakan sesudah 30 (tiga puluh) hari dari keputusan inkracht atau berkekuatan hukum tetap dan tidak dimungkinkan lagi ada upaya hukum lain (Mustafa 2007, hlm. 16).

J.E Sahetapy dalam desertasinya yang berjudul “Suatu Studi Khusus mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana”, memberikan hipotesis bahwa acaman pidana mati da-lam Pasal 340 KUHP tidak akan mengenai sasarannya seda-lama ada berapa faktor seperti lembaga banding, lembaga kasasi, lembaga grasi, kebebasan hakim dan “shame culture”. Selain itu, dari segi kriminologi, sangat diragukan manfaat pidana mati (Sahetapy, dalam Tangkau 2008, hlm. 14).

Hal serupa juga ditunjukkan dari hasil penelitian di Lem-baga Pemasyarakatan Klas IIA Kendari Provinsi Sulawesi Teng-gara yang menunjukkan bahwa pelaksanaan pidana mati dari sisi hak asasi manusia belum tercapai sepenuhnya, hal ini disebabkan karena rentang waktu yang sangat lama antara vonis hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan waktu pelaksanaan pidana mati

oleh aparat yang berwenang, bisa menyebabkan tujuan pidana dan pemidanaan menjadi sulit untuk dicapai dan hal ini bisa menim-bulkan penderitaan ganda bagi terpidana mati (www.hukumcentra l345.blogspot.com, Jurnal 2011, oleh Hasliddin, diakses pada 17 Juli 2013).

Dari sisi efektifitas hukuman mati, pengalaman di Amerika menunjukkan, walaupun suara ahli dan pimpinan puncak masya-rakat akademi kriminologi menolak gagasan hukuman mati bisa mencegah tidak kriminal, namun sebagaimana dilaporkan oleh de-wan riset nasional negara tersebut, berjudul Pencegahan dan Hu-kuman Mati, menyatakan bahwa studi mengklaim bahwa huHu-kuman mati memiliki efek jera pada tingkat pembunuhan adalah “cacat secara fundamental” dan tidak boleh digunakan ketika membuat keputusan kebijakan (2012). Selain itu, laporan FBI tahun 2011 yang menyebut fakta bahwa negara bagian wilayah selatan memiliki tingkat pembunuhan yang paling tinggi, walaupun 80% eksekusi di-lakukan di wilayah itu, dan juga di negara bagian wilayah timur laut eksekusi kurang dari satu persen tapi mempunyai tingkat kriminal pembunuhan paling rendah. (Death Penalty Information Center http://m.kompasiana.com, diakses pada 02 Maret 2014).

Untuk dapat mencapai tujuan diterapkannya pidana mati maka sebaiknya pelaksanaan pidana mati dilaksanakan secara cepat dan terukur. Rentang waktu yang sangat lama, antara vonis hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan waktu pelaksanaan pidana mati oleh aparat yang berwenang, yang sering terjadi di Indonesia, bisa menyebabkan tujuan pidana dan pemidanaan menjadi sulit untuk dicapai, dan hal ini bisa menimbulkan double jeopardy (penderitaan ganda).

6. Adanya Penentang Hukuman Mati

Apabila pidana mati mendapat dukungan dari berbagai kalangan yang ingin tetap mempertahankannya, maka ia juga mendapat pe-nentang yang semakin hari semakin banyak jumlahnya. Yang di-anggap sebagai pelopor dari gerakan anti pidana mati ini adalah Beccaria dengan karangannya yang terkenal Dei Delitti E Delle Pene (1764). Beccaria menunjukkan adanya pertentangan antara pidana mati dan pandangan negara sesuai dengan doktrin Contra Social. Karena hidup adalah sesuatu yang tak dapat dihilangkan secara le-gal dan membunuh adalah tercela, karena pembunuhan yang mana-pun juga yang mengijinkan untuk pidana mati adalah immoral dan makanya tidak sah. Van Bemmelen menyatakan bahwa pidana mati menurunkan wibawa pemerintah, pemerintah mengakui ketidak-mampuan dan kelemahannya. Menurut Roling, pidana mati justru mempunyai daya destruktif, yaitu bila negara tidak menghormati nyawa manusia dan menganggap tepat untuk dengan tenang melen-yapkan nyawa seseorang, maka ada kemungkinan besar dan akan berkurang pulalah hormat orang pada nyawa manusia. Di samping itu ada lagi suatu bahaya, yaitu bahwa perbuatan membunuh oleh negara itu akan memancing suatu penyusulan pula terhadapnya. Er-nest Bowen Rowlands berpendapat bahwa pidana mati tidak dapat diperbaiki kalau seorang hakim telah keliru dan pidana mati telah dilaksanakan, tak pernah kehidupan dikembalikan pada yang dipi-dana mati. Von Hentig menyatakan bahwa pengaruh pidipi-dana mati itu terutama sekali memberikan suatu contoh yang jelek dengan pidana mati tersebut. Sebenarnya negara yang berkewajiban memperta-hankan nyawa manusia dalam keadaan apa pun. Ia menambahkan bahwa dengan menahan seseorang dalam penjara, kita mengadakan

suatu eksperimen yang sangat berharga. Hal ini tak mungkin dite-mukan pada pidana mati. Is Cassutto menyatakan bahwa pada pi-dana mati ditemui kesukaran-kesukaran yang serius, pertama-tama terbentur pada kemungkinan terjadinya kekhilafan yang tak mung-kin dapat diperbaiki. Keburukannya lebih besar dari kegunaannya, pemerintah merendahkan kewibawaannya terhadap rakyat, dan de-ngan membunuh ia membangunkan naluri yang jahat. Suatu ma-syarakat yang mengagung-agungkan pidana mati akan dikecam bahwa disini masih ada orang-orang biadab. Leo Polak beranggapan bahwa pidana mati setelah dilaksanakan tidak membawa nestapa yang harus diderita oleh penjahat karena ia sudah tidak ada lagi. Jadi pidana mati sama dengan bukan pidana, bahkan bukan juga suatu pidana yang ringan. Leo Polak berpendapat pidana mati itu tidak adil, pelaksanaan pidana mati itu dianggap sebagai suatu dosa kekeliruan besar dalam penetapan pembalasan yang adil (Tangkau 2008, hlm. 14).

Diantara sarjana hukum Indonesia yang menentang adanya pi-dana mati adalah Roeslan. Menurutnya, penjara seumur hidup dan pidana yang merupakan perampasan dan pembatasan atas kemer-dekaan dan harta kekayaan seseorang sajalah yang dipandang se-bagai pidana, dan orang semakin tahu betapa buruknya pidana mati itu, sehingga berturut-turut banyak negara beradab yang meng-hapuskannya. Ing Dei Tjo lam menyatakan bahwa tujuan pidana adalah memperbaiki individu yang melakukan tindak pidana di-samping melindungi masyarakat. Jadi nyata bahwa dengan adanya pidana mati bertentangan dengan salah satu tujuan pidana yang disebutkan tadi (ibid., hlm. 16).

Ahli hukum pidana, Arief Sidarta dan Ronad Z. Titahelu dari Universitas Pattimura berpendapat bahwa sanksi hukuman mati tidak sesuai dengan UUD 1945, karena setiap orang berhak untuk hidup, termasuk hak untuk tidak dibunuh berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan sistem hukum (Ronad Z. Titahelu, http:// www.Mahkamah_konstitusi.go.id/berita_ph, diakses pada 02 Sep-tember 2013).

Sikap kontra ini berpotensi menghambat implementasi an qishash (jika hukuman qishash hanya dipahami sebagai hukum-an mati). Namun demikihukum-an pada dasarnya saat ini negara kita masih masih memerlukan ancaman pidana yang keras untuk mengawal dalam proses pembangunan negara, karena itu pidana mati masih perlu dipertahankan eksistensinya. Dalam kaitannya dengan qi-shash, pidana mati sangat berkaitan namun tidak selalu sama, hal itu karena sistem qishash masih membuka pemaafan dari keluarga korban, sementara hukuman mati di Indonesia mutlak merupakan keputusan hakim. Sanksi pidana mati maupun qishash bunuh ada-lah sanksi pidana yang keras, digunakan sebagai sarana ultimum remidium (obat terakhir), prinsip kehati-hatian mengingatkan sifat pidana mati sebagai sanksi pidana non evaluatif.

7. Asumsi Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukuman Qishash

Asumsi adalah sesuatu premis atau perkiraan (anggapan) yang me-nyatakan bahwa sesuatu itu akan mencapai tujuan tertentu. Tidak ada satupun asumsi yang harus diterima begitu saja (Suyitno, et.al. 2011. hlm. 5). Asumsi yang diperkirakan akan muncul adalah kendala filosofi berupa tuduhan bahwa hukuman qishash ini tidak adil

bahkan kejam dan ketinggalan zaman serta bertentangan dengan cita-cita hukum nasional dan melanggar hak asasi manusia diyakini masih akan terdengar, apalagi jika muncul upaya implementasinya di sebuah negara.

Asumsi ini diperkuat diantaranya dengan munculnya desakan Amnesti International agar Pemerintah Indonesia untuk merevisi dan mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru sesuai hukum dan standar HAM internasional, termasuk ke-tentuan eksplisit melarang dan menghukum tindakan penyiksaan. Menurut hukum kebiasaan internasional (customary internatio-nal law) hak untuk tidak disiksa atau diperlakukan buruk adalah absolut dan tidak bisa dicabut. Apalagi Indonesia adalah negara pihak pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Konvensi PBB, yang menentang penyiksaan dan tindakan atau hukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan, serta tindakan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya dalam segala situasi (Josef, ANTARA, pada www. suarapembaruan.com, diakses pada 4 Desember 2013).

Kalimat “hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan me-rendahkan” dalam Protokol Opsional Konvensi PBB di atas, jika di-kaitkan dengan hukuman qishash, maka masih merupakan kalimat yang multi tafsir, hal itu karena hukuman mati hingga saat ini masih dipertahankan di Indonesia dan berbagai negara bahkan Amerika. Kalimat “kejam, tidak manusiawi dan merendahkan”, juga tidak boleh mengabaikan hak-hak korban kejahatan pembunuhan yang terlebih dahulu diperlakukan kejam, tidak manusiawi dan diren-dahkan. Jika Protokol Konvensi PBB ini membatasi upaya imple-mentasi nilai-nilai keadilan maka protokol ini juga berpotensi