• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II - KAJIAN PUSTAKA

2.4 Perkembangan Sosial Anak Usia Dini

2.4.3 Faktor-faktor Perkembangan Sosial Anak

2. Mengetahui perasaan temannya dan merespon secara wajar

3. Berbagi dengan orang lain

4. Menghargai hak/pendapat/karya orang lain

5. Menggunakan cara yang diterima secara sosial dalam menyelesaikan masalah (menggunakan fikiran untuk menyelesaikan masalah)

6. Bersikap kooperatif dengan teman 7. Menunjukkan sikap toleran

8. Mengekspresikan emosi yang sesuai dengan kondisi yang ada (senang-sedih-antusias dsb) 9. Mengenal tata krama dan sopan santun sesuai

dengan nilai sosial budaya setempat

dalam menempatkan diri terhadap lingkungan yang lebih lus ditetapkan dan diarahkan oleh keluarga.

b. Kematangan

Bersosialisasi memerlukan kematangan fisik dan psikis.Kematangan fisik merupakan perubahan terhadap diri seorang manusia, sedangkan kematangan psikis, merupakan kematanga jiwa manusia. Untuk mampu mempertimbangkan dalam proses sosial, memberi dan menerima pendapat orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional. Di samping itu, kemampuan berbahasa ikut pula menentukan.

c. Status sosial ekonomi keluarga

Status sosial ekonomi orang tua sangat berpengaruh bagi pemenuhan kebutuhan hidup sehari- hari. Manusia sebagai mahluk sosial mempunyai potensi serta kepribadian yang memungkinkan dia diterima dalam pergaulan dengan individu yang lain. Ekonomi orang tua yang sedikit rendah akan membuat anak merasa dipandang rendah oleh orang lain, sehingga iapun tidak berani untuk besosialisasi dengan orang-orang yang status sosialnya lebih dari dia

d. Pendidikan

Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah. Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif, akan memberi warna kehidupan sosial anak di dalam masyarakat dan kehidupan mereka dimasa yang akan datang. Proses sosialisasi anak akan lebih meningkat dengan baik,

apabila dia sering melakukan aktifitas belajar yang dilakukan secara bersama-sama ataupun berkelompok.

e. Kapasitas Mental: Emosi, dan Inteligensi

Kemampuan berpikir sangat mempengaruhi banyak hal, seperti:

kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa, sangat mempengaruhi kemampuan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelektual tinggi akan berkemampuan berbahasa secara baik. Oleh karena itu kemampuan intelektual tinggi, kemampuan bahasa baik, dan pengendalian emosional secara seimbang sangat menentukan keberhasilan dalam kemampuan sosial anak.

Berdasarkan uraian tentang faktor yang mempengaruhi perkembangan sosial anak dapat dikemukakan bahwa tidak hanya lingkungan luar keluarga anak saja yang mempengaruhi sosial anak, tetapi faktor keluarga, kematangan, status sosial ekonomi, pendidikan, emosi dan inteligensi pada diri anak juga sangat berpengaruh pada faktor perkembangan sosial anak.

Berdasarkan penjelasan para ahli tentang perkembangan sosial anak usia dini, defenisi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pencapaian kematangan anak dalam hubungan sosial yang diperoleh dari berbagai kesempatan dan pengalaman bergaul dengan orang-orang disekitarnya, sedangkan aspek yang menjadi indikator perkembangan sosial dalam penelitian ini adalah kesadaran diri, rasa tanggung jawab, dan perilaku prososial.

Penelitian Wijirahayu et.al (2016) dengan menganalisis pengaruh kelekatan ibu-anak dan pertumbuhan anak terhadap perkembangan sosial emosi anak usia prasekolah menunjukkan bahwa peningkatan tingkat pendidikan ibu dan kelekatan ibu-anak akan berpengaruh secara signifikan pada peningkatan perkembangan sosial emosi anak usia prasekolah.

Penelitian lain yang diteliti oleh Asih (2020) dengan judul penelitian Hubungan Kelekatan Ibu dan Anak dengan Kemampuan Sosial Anak Usia Dini membuktikan bahwa bahwa ada hubungan positif antara kelekatan ibu dan anak dengan kemampuan sosial anak usia dini di Kelas B TK Pertiwi Karangsari Kembaran Banyumas.

Anak usia dini memiliki karakteristik yang unik karena mereka berada pada proses tumbuh kembang yang sangat pesat dan fundamental bagi kehidupan berikutnya. Salah satu karakteristik yang dimiliki anak usia dini secara umum adalah sifat egosentris. Hal ini bisa diamati ketika anak saling berebut mainan, atau menangis ketika menginginkan sesuatu namun tidak dipenuhi oleh orang tuanya. Menurut Nilawati (2016) dengan karakteristika seperti ini, anak akan cenderung banyak mengalami hal yang tidak menyenangkan yang dapat menimbulkan beberapa reaksi yang berbeda. Ada yang mengalami emosinya meledak ke dalam dan ada yang meledak keluar. Dan ada juga yang menggambarkan dirinya sebagai korban. Ada juga sebagian anak yang melewati kesusahan mereka dengan mengarahkannya ke hal yang lain dan mengatasi sebuah kesulitan sebagai tantangan. Mereka bangkit kembali lebih kuat dan lebih

resiliensi. Bagaimana seseorang dapat bangkit kembali dari ketepurukan yang terjadi dalam perkembanganya.

Peran orang tua adalah sesuatu yang diharapkan anak dari ayah dan ibu dalam situasi tertentu sesuai dengan fungsi, potensi, kemampuan, serta tanggungjawab agar dapat memenuhi harapan-harapan anak. Setiap anak harus mempunyai resiliensi untuk mampu melewati tugas-tugas perkembangannya dengan sukses. Sebagai contoh, ketika seorang anak mulai belajar tentang berbagai macam warna atau perubahan-perubahan benda disekitar, maka anak-anak akan mengalami tantangan terhadap peristiwa tersebut. Sehingga setiap anak-anak harus memiliki kemampuan untuk menjadi seseorang yang resilien dalam menghadapi suatu tugas perkembangan yang dialami dan permasalahan yang terjadi. Hal ini membuktikan bahwa resiliensi pada anak sangat penting dipertahankan semenjak usia dini.

Aspek-aspek kelekatan orang tua terhadap anak terdiri dari aspek kelekatan aman (Secure Attachment) yaitu settiap anak memiliki ikatan yang kuat dan postif dengan ibu, memiliki sikap menghargai ibu, mendapatkan perhatian dan kasih sayang, selalu ditolong saat membutuhkan dan mendapatkan dorongan dari ibu. Hal ini memungkinkan anak dengan percaya diri mampu untuk bangkit dari keterpurukan mereka saat mereka mendapatkan masalah di lingkungan sekolah atau lingkungan masyarakat luar saat bermain dengan teman sebayanya, sehingga kemampuan resiliensi anak akan terus meningkat pada diri anak tersebut.

Aspek kelekatan selanjutnya adalah aspek kelekatan melawan/ambivalen (Resistant Attachment) yaitu anak mendapatkan perlakuan yang tidak konsisten dari ibu, anak tidak memahami perintah ibu, anak mengalami kecemasan untuk berpisah dan selalu bergantung pada ibu mereka, karena mereka cenderung tidak diberi kepercayaan oleh ibu. Hal ini memungkinkan berdampak pada ketidakpercayaan terhadap kemampuan diri anak, sehingga saat anak mendapatkan masalah tdak dapat mengatasinya dan cenderung akan menangis dan mengadu kepada ibu untuk meminta pertolongan dan membela dirinya. Apabila hal ini terus berlanjut, maka kemampuan resiliensi anak akan cenderung menurun.

Aspek kelekatan terkahir adalah yang paling berisiko terhadap peningkatan resiliensi diri anak, yaitu aspek kelekatan menghindar (Avoidant Attachment). Pada aspek ini anak ditolak kehadirannya oleh ibu, anak menghindar berhubungan dengan ibu, bersikap dingin, tidak peduli dan tidak mendapatkan kasih sayang dari ibu. Perlakuan kelekatan menghindar biasanya terjadi pada keluarga yang broken home atau perceraian anata kedua orang tuanya, sehingga mengakibatkan anak menjadi trauma dan sulit bangkit untuk mengatasi permasalahan yang terjadi nantinya. Anak memiliki perasaan yang rentan menyendiri dan menyalahkan diri sendiri dan orang lain, sehingga memungkinkan anak menjadi depresi dan tidak mampu untuk bangkit dari keterpurukan mereka.

Berdasarkan ketiga aspek di atas, maka setiap orang tua mengharapkan anak-anaknya memiliki resiliensi, orang tua berharap bahwa anak-anak dapat menghadapi semua tantangan hidup pada massa kini dan massa datang, karena

dirinya. Oleh karna itu, kelekatan orang tua terhadap anak-anak sangat penting untuk dapat menumbuhkan resiliensi anak.

Kelekatan adalah hubungan timbal balik antara anak dan orangtua, dalam memberikan rasa kasih sayang dengan menunjukkan sikap orangtua dalam mengasuh anak, orangtua mampu untuk merespon dan memenuhi kebutuhan anak.

Adapun kelekatan yang secara umum diberikan kepada anak-anak, seperti kelekatan aman, kelekatan melawan dan kelekatan menghindar. Menurut Megawangi (2014) menyatakan bahwa anak dengan kelekatan tidak aman (insecure attachment) akan sulit mengatur emosinya sehingga apabila ada larangan atau keinginan yang tidak terpenuhi, anak hanya akan terus merengek, menangis meraung-raung, berguling-guling, atau bahkan mengamuk (temper tantrum), dan ini dapat menghambat perkembangan resiliensi anak. Sebaliknya, anak dengan secure attachment akan memiliki kemampuan untuk mengatur emosi, sehingga resiliensi anak akan terbentuk. Karena anak yang resilien dapat memandu serta mengendalikan dirinya dalam menghadapi masalah sepanjang perjalanan hidupnya.

Seperti yang sudah dijelaskan salah satu faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah Social Support, yaitu dukungan dari keluarga terdekat seperti orang tua. Apabila seorang anak dari usia dini mendapatkan attachment (kelekatan) yang positif dari orang tua, maka akan menjadi landasan dasar bagi anak untuk mampu menghadapi tantangan-tantanga dimasa depan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa kelekatan orang tua dan resiliensi

2.6Hubungan Perkembangan sosial dengan Resiliensi Anak Usia Dini Pandangan tentang anak usia dini jika dilihat dari teori perkembangan sosial yang dikembangkan oleh Erikson, Papalia, et.al, (Nilawati. 2016) mengemukakan bahwa perkembangan sosial menyangkut aspek-aspek yang terkait dengan emosi dan temperamen sebagai akibat dari interaksi yang terjadi antara anak dengan lingkungan terdekatnya. Emosi, seperti rasa sedih, gembira, dan takut, merupakan reaksi subjektif pengalaman, yang diasosiasikan dengan perubahan psikologis dan perilaku. Emosi ditunjukkan dalam berbagai bentuk, misalnya menangis karena tidak nyaman, marah karena tidak mendapatkan sesuatu yang diharapkannya, tersenyum dan tertawa ketika mendapatkan kesenangan, sedih, kecewa, bahkan termasuk juga empati.

Dalam menjalani perkembangan sosialnya anak perlu pendampingan keterampilan resiliensi. Pendidik dari pendidikan anak usia dini sudah seharusnya melakukan pendampingan pada anak didiknya yang sedang mengdadapi dan mengalami kesulitan agar mereka memiliki resiliensi. Proses pendampingan mengarahkan anak agar mampu menghadapi kerentanan dan tantangan, dan terhindar dari kemunduran, sehingga sukses dalam segala bidang kehidupan di masa depan.

Kemampuan sosial yang dimiliki anak, bukan semata-mata sebuah konsep teoritis yang hanya bisa disampaikan melalui sebuah pengajaran dan pengarahan, tetapi satu kemampuan praktis yang harus langsung dialami individu melalui

interaksinya dengan individu lain. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengembangkan sejumlah kemampuan sosial sejak usia dini karena perkembangan kemampuan sosial pada usia dini dapat menentukan keberhasilan individu dalam menjalin relasi sosial di kemudian hari.

Salah satu aspek perkembangan sosial anak yang harus dikembangkan adalah kesadaran diri, sebagai contoh anak mau meminjamkan miliknya dan anak mampu saling membantu serta berbagi dengan temannya. Apabila perkembangan sosial anak akan kesadaran diri tersebut berkembang, maka dapat mengembangkan kemampuan resiliensi anak berupa rasa empati yang tinggi yaitu anak mampu memaknai perilaku orang lain baik secra verbal maupun non verbal.

Selanjutnya, perkembangan sosial yang perlu dicapai anak usia dini adalah rasa tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang lain, seperti anak mampu menaati aturan kelas dan bekerjasama dalam menyelesaikan tugas. Sehingga dengan tercapainya perkembangan sosial tersebut, kemapuan anak memiliki resiliensi dalam aspek mengontrol diri menjadi meningkat, yaitu anak memiliki kemampuan mengendalikan emosi negatif. Sehingga dengan mampu anak mengontrol diri maka anak akan mampu bersosialisasi untuk bekerjasama dengan oranng lain.

Berdasarkan keterkaitan antara aspek perkembangan sosial anak dan resiliensi yang terdapat pada diri anak usia dini, maka dapat kita simpulkan bahwa adanya hubungan antara perkembangan sosial anak dan resiliensi yang ada pada diri anak usia dini.

2.7Hubungan Kelekatan orang tua dan Perkembangan sosial dengan Resiliensi Anak Usia Dini

Secara umum anak-anak memiliki karakteristik tertentu yang khas dan tidak sama dengan orang dewasa, mereka selalu aktif, dinamis, antusias dan ingin tahu terhadap apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan oleh mereka, serta tidak pernah berhenti bereksplorasi dan belajar. Untuk dapat mengembangakan potensi yang terdapat pada diri anak tersebut, kita harus mampu mengenali dan memahami pada diri anak-anak tersebut, karena setiap anak memiliki karakteristik, ciri khas, kepribadian dan potensi serta keterampilan yang berbeda-beda.

Maka dari itu tanggungjawab orangtualah atas kesejahteraan anaknya yang berkewajiban untuk memelihara dan mendidik anak sedemikian rupa, sehingga nantinya anak dapat tumbuh dan berkembang menjadi orang yang cerdas, sehat, berbakti kepada orangtua, berbudi pekerti luhur, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berguna bagi nusa bangsa, Negara dan agama. Seperti yang dinyatakan oleh Zahroh dan Na’imah (2020; 2), apabila anak mendapatkan stimulus positif, maka anak akan menjadi pribadi yang baik, begitu juga sebaliknya, apabila anak mendapatkan stimulus negatif maka anak akan menjadi pribadi yang buruk atau jahat. Menurut Suyadi, Stimulus negatif yang diberikan lingkungan terhadap anak misalnya memberikan contoh yang buruk baik disengaja ataupun tidak, serta terlalu keras dalam membimbing anak (Zahroh dan Na’imah. 2020; 2).

Untuk membatasi anak mendapatkan stimulus yang negatif, maka sangat penting bagi orang tua dan anak khusunya seorang ibu membimbing terus anak-anaknya. Untuk dapat membimbing anak, hal yang utama dapat dilakukan oleh orang tua adalah menjadi lebih dekat dan mendampingi perkembangan anak.

Sehingga saat ada perubahan yang bersifat negatif terjadi pada anak maka orang tua mampu mencari solusi untuk menyelesaikan hal tesebut.

Kelekatan anak pada orang tua dapat memberikan pengaruh positif pada perkembangan anak, yaitu melalui interaksi yang dimulai sejak lahir. Sehingga anak dapat melihat, mendengar, merasakan, dan memaknai lingkungan sekitar melalui hubungan timbal balik antara diri anak dan orang tua. Hal ini sependapat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Winarti,dkk (2015. 75) yang membuktikan bahwa adanya hubungan positif antara kelekatan orang tua dengan anak terhadap kecerdasan emosional anak. Kelekatan ibu dan anak mendukung kualitas adaptasi sosial dalam kelompok teman sebaya pada anak usia dini.

Kelekatan ibu-anak menyediakan fondasi yang positif dan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan sosialisasi anak. Banyak Psikolog menyatakan bahwa kelekatan orang tua dan anak sebagai kejadian dalam perkembanangan sosial mereka. Untuk mencapai kemampuan sosial, anak harus belajar tentang cara-cara penyesuaian diri dengan orang lain. Kemampuan sosial ini bisa diperoleh dengan kelekatan awal antara anak dengan orangtua.

Untuk mengembangkan kemampuan sosial anak, tidak dapat dilakukan secara spontan, dan memerlukan tahapan serta waktu yang berkesinambungan

membangun kapasitas resiliensinya pada tahun-tahun awal, daripada turut campur setelah terjadi sesuatu, anak sudah mengalami tekanan. Resiliensi sebagai proses pendampingan untuk mempersiapkan anak agar mampu menghadapi kerentanan dan tantangan, terhindar dari kemunduran, sehingga sukses dalam segala bidang kehidupan di masa depan. Untuk anak usia dini yang masuk dalam kategori anak prasekolah, pemahaman tentang perkembangan anak terkait juga dalam membangun resiliensi anak yang meliputi aspek perkembangan motorik, kognitif, bahasa, dan sosial-emosional. Dengan orang tua dapat paham perkembangan anak diharapkan mampu memberikan stimulasi yang sesuai dengan karakteristik anak.

Berdasarkan keterkaitan antara kelekatan orang tua dan aspek perkembangan sosial anak dengan resiliensi yang terdapat pada diri anak usia dini, maka dapat kita simpulkan bahwa adanya hubungan antara kelekatan orang tua dan perkembangan sosial anak dengan resiliensi yang ada pada diri anak usia dini.

2.8Kerangka Konseptual

Gambar 1. Kerangka Konseptual Perkembangan sosial AUD

antara lain:

1. Kesadaran diri,

2. Rasa tanggung jawab untuk diri sendiri dan orang lain

3. Perilaku Prososial Kelekatan antara lain:

1. Secure Attachment (kelekatan aman)

2. Resistant Attachment (kelekatan melawan/

ambivalen)

3. Avoidant Attachment (kelekatan Menghindar)

Resiliensi Anak Usia Dini:

1. Pencapaian, 2. Regulasi Emosi, 3. Mengontrol Diri, 4. Optimisme, 5. Menganalisis

Masalah, dan 6. Empati.

2.9Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teoritis dan kerangka berpikir yang telah diuraikan di atas, maka hipotesis penelitian ini sebagai berikut:

1. Ada hubungan signifikan Kelekatan Orang tua dengan Resiliensi Anak Usia Dini di TK Negeri Pembina Sunggal dengan asumsi semakin tinggi kelekatan orang tua dengan anak maka resiliensi anak semakin tinggi begitu sebaliknya semakin rendah kelekatan orang tua dengan anak maka resiliensi anak semakin rendah resiliensi anak usia dini

2. Ada hubungan signifikan Perkembangan sosial dengan Resiliensi Anak Usia Dini di TK Negeri Pembina Sunggal dengan asumsi semakin baik perkembangan sosial anak maka semakin tinggi resiliensi anak usia dini, begitu sebaliknya semakin buruk perkembangan sosial anak maka resiliensi anak semakin rendah resiliensi anak usia dini

3. Ada hubungan signifikan Kelekatan Orang tua dan Perkembangan Sosial dengan Resiliensi Anak Usia Dini di TK Negeri Pembina Sunggal, dengan asumsi semakin tinggi kelekatan orang tua dengan anak dan semakin baik perkembangan sosial anak maka semakin tinggi resiliensi anak usia dini, begitu sebaliknya.

Dokumen terkait