KAJIAN PUSTAKA
2.2 Kajian Teori
2.2.7 Alih Kode
2.2.7.2 Faktor faktor terjadinya Alih Kode
Peralihan kode disebabkan oleh adanya stimulus baru, misalnya ketika kita melanjutkan perjalanan dari cipanas ke bandung. Oleh karena kita melihat banyak sayur yang ditanam di sekitar daerah tersebut, maka kita tertarik untuk membicarakannya. Seandainya ketika dalam perjalanan itu, kita berpapasan dengan rombongan bupati, barangkali kita
akan membicarakan hal yang behubungan dengan pemerintahan. Peralihan kode boleh juga disebabkan oleh dorongan batin kita, misalnya karena kekecewaan, ketidakpuasan penilaian, tanggapan kita tentang sesuatu, dll (Pateda, 1990: 85-86). Suwito (1985, 72-74) faktor penyebab alih kode antara lain penutur, lawan tutur, hadirnya orang ketiga, pokok pembicaraan, untuk membangkitkan rasa humor, dan sekedar bergengsi. Nababan (1984: 7) menyatakan bahwa unsur-unsur yang menyebabkan alih kode ada beberapa macam, yaitu pemeran serta, topik pembicaraan, situasi, tujuan, dan ragam bahasa. poedjosoemarmo (1985 : 23-26) alih kode terjadi karena kehendak atau suasana hak penutur berubah, ada orang ketiga yang hadir dalam pembicaraan, suasana pembicaraan berubah, topik pembicaraan berubah, ada pengaruh pembicaraan lain, dan penutur tidak menguasai kode yang tengah dipakai
Menurut Rene Appel (1976: 118 dalam Pateda, 1990: 86) peralihan kode dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor situasional yang mempengaruhi peralihan kode. faktor situasional yang mempengaruhi peralihan kode ialah :
(1) Siapa yang berbicara dan pendengar (2) Pokok pembicaraan
(3) Konteks verbal
Berbicara tentang pembicara dan pendengar, selamanya ditentukan oleh jarak-jarak, di sini maksudnya ialah atribut yang dimiliki seseorang. Misalnya, seorang anak muda tidak akan memperbincangkan hal-hal
yang kurang senonoh kalu berhadapan dengan seorang yang bergelar (Pateda, 1990: 87-88).
Peralihan kode dipengaruhi pula oleh pokok pembicaraan. Pokok pembicaraan biasanya bersifat :
(1). Formal.
Seseorang yang dihadapkan dengan situasi formal, pasti akan menggunakan bahasa formal. Seseorang itu akan menyesuaikan bahasanya dengan situasi yang ada, contohnya ketika bahasa yang digunakan seseorang yang sedang pidato kenegaraan.
(2) Informal.
Seseorang yang dihadapkan dengan situasi informal, pasti akan menggunakan bahasa informal atau bahasa yang tidak formal, contohnya ketika seseorang melakukan pidato, orang itu akan menggunakan bahasa formal. Perubahan bahasa akan terlihat ketika orang yang berpidato turun mimbar dan dihadapkan dengan situasi informal, situasi dari formal ke informal akan merubah bahasa yang digunakan.
Pokok pembicaraan tercermin pada konteks verbal. Sehubungan dengan konteks verbal, ada dua aspek yang perlu diperhatikan. Kedua aspek itu ialah:
(3) Bahasa orang yang ikut dalam pembicaraan.
Situasi ini sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari, contohnya ketika ada dua orang Jawa berbincang-bincang menggunakan bahasa Jawa, tiba-tiba datang orang ketiga dari suku lain masuk dalam pokok
pembicaraan, lalu perbincangan berubah menjadi bahasa Indonesia. Situasi peralihan kode ini terjadi karena orang yang dari suku lain masuk dalam perbincacngan dua orang suku Jawa yang berbincang-bincang menggunakan bahasa Jawa, secara sadar peralihan kode terjadi dalam situasi ini, dan situasi ini sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. (4) Bahasa dalam pembicaraan.
Situasi ini juga sering kita jumpai di kehidupan sehari-hari, contohnya dalam situasi tawar-menawar di pasar. A sebagai pedagang dan B sebagai pembeli, mereka menggunakan bahasa Indonesia dalam menawar, tidak sengaja A menggunakan bahasa Jawa dalam tawar-menawar, karena B mengerti bahasa Jawa, B juga menawar dengan menggunkan bahasa Jawa. Situasi peralihan kode ini terjadi untuk mendapatkan keuntungan dilakukan B, karena B tau A bisa menggunakan bahasa Jawa, B beralih kode menjadi bahasa Jawa dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari A.
Fishman (1976: 15 dalam Chaer dan Agustina, 2010: 108) mengatakan bahwa penyebab terjadinya alih kode yaitu siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa. Dalam berbagai kepustakaan linguistik secara umum penyebab alih kode itu antara lain :
1. Pembicara atau penutur.
Seorang pembicara atau penutur seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat dari tindakannya itu.
Dalam kehidupan nyata sering kita jumpai banyak tamu kantor pemerintah yang sengaja menggunakan bahasa daerah dengan pejabat yang ditemuinyauntuk memperoleh manfaat dari adanya rasa kesamaan satu masyarakat tutur. Dengan berbahasa daerah rasa keakraban pun lebih mudah dijalin daripada menggunakan bahasa indonesia. Alih kode untuk memperoleh keuntungan ini biasanya dilakukan oleh penutur untuk mendapat bantuan dari lawan tutur (Chaer dan Agustina 2010:108). 2. Pendengar atau lawan tutur,
Lawan bicara atau lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena si penutur ingin mengimbangi keampuan berbahasa si lawan tutur itu. Umpanya, Ani, pramugari sebuah toko cinderamata, kedatangan tamu seorang turis asing, yang mengajak bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia.Turis kehabisan kata-kata untuk terus berbahasa Indonesia, Ani cepat-cepat beralih kode untuk bercakap-cakap dalam bahasa Inggris, sehingga kemudian perbercakap-cakapan menjadi lancar kembali (Chaer, Leoni 2010:109).
3. Perubahan situasi dengan hadirnya orang ketiga.
Kehadiran orang ketiga atau orang lain yang tidak berlatar belakang bahasa yang sama dengan bahasa yang sedang digunakan oleh penutur dan lawan tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Perumpamaannya, sewaktu Nanang dan Ujang bercakap-cakap dalam bahasa Sunda, masuklah Togar yang tidak menguasai bahasa Sunda. Maka, Nanang dan Ujang segera berlaih kode dari bahasa Sunda ke
bahasa Indonesia. Andaikata Togar mengerti bahasa Sunda mungkin alih kode tidak dilakukan oleh Nanang dan Ujang.
4. Perubahan dari formal ke informal atau sebaliknya.
Simaklah contoh percakapan berikut antara sekretaris (S) dan majikan (M) yang diangkat dari Soewito (1983 dalam Chaer, Leoni 2010:110).
S : Apakah Bapak sudah jadi membuat lampiran surat ini? M : O, ya, sudah. Inilah!
S : Terima kasih.
M : Surat ini berisi permintaan borongan untuk memperbaiki kantor sebelah. Saya sudah kenal dia. Orangnya baik, banyak relasi, dan tidak banyak mencari untung. Lha saiki yen usahane pengin mahu kudu wani ngono. (... Sekarang jika usahanya ingin maju harus berani bertindak demikian.)
S : Panci ngaten, Psk. ( Memang begitu, Pak)
M : Panci ngaten priye? (Memang begitu bagaimana?)
S : Tegesipun mbok modalipun kados menapa, menawi (Maksudnya, betapa pun besarnya modal kalau....)
M : Menawa ora akeh hubungane lan olehe mbathi kakehan, usahane ora bakal dadi. Ngono karepmu? (kalau tidak banyak hubungan, dan terlalu banyak mengambil untung usahanya tidak akan jadi. Begitu maksudmu?)
S : Lha nggih ngaten! (Memang begitu, bukan?)
M : O, ya, apa surat untuk Jakarta kemarin sudah jadi dikirim?
S : Sudah, pak. Bersamaan dengan surat Pak Ridwan dengan kilat khusus.
Percakapan itu dimulai dalam bahasa Indonesia karena tempatnya di kantor dan yang dibicarakan adalah tentang surat, jadi situasi pembicaraan di atas merupakan situasi formal. Namun, begitu yang dibicarakan bukan lagi tentang surat, melainkan tentang pribadi orang yang disurati, sehingga situasi menjadi tidak formal, terjadilah alih kode:
bahasa Indonesia diganti dengan bahasa Jawa. Selanjutnya ketika yang dibicarakan bukan lagi mengenai pribadi si penerima surat, melainkan tentang pengiriman surat, yang artinya situasi kembali menjadi formal maka terjadi lagi alih kode ke dalam bahasa Indonesia.
5. Perubahan topik pembicaraan
Berubahnya topik pembicaraan dapat juga menyebabkan terjadinya alih kode. Pada contoh percakapan antara sekretaris dan majikan di atas sudah dapat dilihat ketika topiknya tentang surat dinas, maka percakapan itu berlangsung dalam bahasa Indonesia. Tetapi ketika topiknya bergeser pada pribadi orang yang dikirimi surat, terjadilah alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. Sebaliknya, ketika topik kembali lagi tentang surat, alih kode pun terjadi lagi: dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia (Chaer, Leoni 2010:110).