• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II ASAS TANGGUNG JAWAB NEGARA NENURUT HUKUM

C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan di Kawasan

1. Faktor Perubahan Iklim; 2. Faktor Habitatnya; 3. Faktor Sifat Biomassa; 4. Faktor Manusia. 1. Faktor Perubahan Iklim

Secara umum Indonesia memiliki musim kemarau dan musim hujan yang datangnya relatif teratur. Siklus ini kadang-kadang mengalami gangguan karena datang lebih cepat dan berakhir lebih lambat dari biasanya. Hal ini berkaitan dengan gejala Gejala El Nino – Southern Oscillation atau ENSO yang datang secara tidak beraturan dengan intensitas yang tidak sama pula.

Kemampuan meramalkan secara tepat datangnya El Nino ini merupakan salah satu cara mengurangi atau menghindari dampak negatifnya. Misalnya, musim kemarau yang berkepanjangan membuat air sungai menurun sangat drastis, lahan-lahan

kekeringan, pepohonan dan tumbuhan lainnya malah ada yang mati sebelum ada api yang melahapnya.

2. Faktor Habitatnya

Keanekaragaman jenis habitat yang sebenarnya sangat tidak teratur, mempengaruhi tingkat kemudahan/kesulitan habitat itu dalam menghentikan atau membiarkan meluasnya penyebaran api. Ada jenis hutan yang sudah mati kekeringan sebelum terbakar. Jenis hutan seperti ini jelas akan menghambat meluasnya kebakaran hutan. Ada juga jenis hutan yang mudah terbakar dikarenakan kandungan bahan organiknya. Lahan gambut yang kering karena kemarau menjadi sangat mudah terbakar. Juga jenis hutan yang mengandung lapisan batu bara yang menonjol ke permukaan tanah, seperti yang terdapat di Kalimantan Timur, akan sangat mudah terbakar. Di kedua jenis hutan yang mengandung bahan organik ini api bisa menjalar dipermukaan tanah. Kalu di lahan gambut api bisa dipadamkan oleh hujan lebat yang turun terus menerus dalam kurun waktu tertentu, api di lapisan batubara lebih bersifat permanen yang tidak mampu dimatikan oleh hujan.

3. Faktor Sifat Biomassa

Ada jenis tumbuhan yang tahan api dan ada pula yang mempermudah pembakaran karena kandungan rasin/damarnya. Sebaran dari jenis-jenis ini ada yang mengelompokkan dan ada yang tidak, sehingga ada tegakan hutan yang terbakar habis dan ada yang relatif masih utuh meskipun api telah menghanguskan serasah serta jenis yang tidak tahan kebakaran.

4. Faktor Manusia

Pada masyarakat tradisional, seperti di pedalaman Kalimantan, api merupakan alat utama dalam pembukaan areal pertanian mereka. Melalui pengalaman yang diteruskan secara turun temurun, proses penebasan, pengeringan dan pembakaran biomassa dilakukan sedemikian rupa sehingga areal yang ditebas sudah habis terbakar pada saat musim hujan datang. Hal ini tidak saja membuat hujan itu menjadi efektif dalam mendukung pertumbuhan tanaman, tetapi juga efektif dalam menghentikan kemungkinan kebakaran yang tidak terkendali. Pengendalian kebakaran juga dilakukan dengan membuat petak-petak perladangan yang relatif kecil (1-2Ha) yang tersebar sendiri-sendiri didalam kawasan hutan primer atau hutan sekunder yang sudah tua.

Kejadian kebakaran hutan yang rutin dan terus meluas di Indonesia belakangan ini paling tidak dipengaruhi oleh dua hal penting. Pertama, yaitu Indonesia mempunyai deposit batubara yang berlebihan hampir setiap hutan tropis di Nusantara ini, yang akan dengan mudah memunculkan titik-titik api baru setiap tahunnya. Kedua, tingkah laku masyarakat peladang yang terbiasa dengan metode membakar

lahan terlebih dahulu dalam rangka membuka lahan baru dan meningkatkan kesuburan tanah.24

Dalam kondisi seperti inilah dapat dilihat bahwa keberadaan dari sebuh koorporasi dengan motif ekonomi ditengarai menjadi salah satu pemicu dominan dalam kebakaran hutan. Selain itu apabila kondisi alam yang memungkinkan terjadinya penyalaan api serta penyebaran bahan-bahan yang berpotensial dapat terbakar, dari hal ini dapat membedakan tiga tipe kebakaran hutan, yaitu:25

1. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)

Kebakaran permukaan membakar bahan-bahan yang tersebar pada permukaan lantai hutan, misalnya serasah, cabang dan ranting mati yang gugur dan tumbuhan bawah. Dengan keberadaan O2 (air) sangat melimpah, terlebih dibantu adanya angin, kebakaran permukaan bergerak relatif cepat sehingga tidak membakar semua bahan yang ada terutama humus.

2. Kebakaran Dalam Tanah (Ground Fire)

Kebakaran dalam tanah terjadi pada jenis tanah yang mempunyai lapisan bahan organik tebal, misalnya gambut. Bahan bakar berupa tumpukan bahan organik yang tebal ini pada musim kemarau dapat menurun kadar airnya sehingga mudah terbakar bila ada api. Kebakaran yang terjadi tidak disertai adanya nyala api, sehingga yang tampak hanya asap mengepul pada permukaan lapisan gambut.

3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)

Kebakaran dapat terjadi pada lantai hutan dengan lapisan tumbuhan bawah yang tebal dan kering. Seringkali ditambah banyaknya sisa kayu penebangan atau bahan mati lainnya. Kebakaran hutan ini akan sangat dengan cepat membakar bagian-bagian atas hutan, yang mengakibatkan kebakaran tajuk.

Kebakaran hutan bukan merupakan hal yang jarang terjadi di Indonesia. Asap dari api yang dinyalakan manusia untuk membuka lahan di Kalimantan dan Sumatera,

khususnya Riau dapat menyebabkan tingkat polusi di Malaysia dan Singapura meningkat, menyebabkan munculnya masalah kesehatan yang berkaitan

dengan asap, kecelakaan lalu lintas dan biaya ekonomi yang menyertainya. Negara-negara tetangga pun kembali menuntut adanya solusi yang cepat untuk menanggulangi kabut asap tersebut, akan tetapi tetap saja kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asap di negara tetangga tetap berlangsung hingga datangnya musim hujan.

Beberapa tahun belakangan ini terjadinya kebakaran hutan di Indonesia dari tahun ke tahun semakin memburuk terutama disaat kondisi hutan sangat kering pada musim kemarau yang membuat menjadi sangat mudah terbakar. Penyebab kebakaran hutan banyak dispekulasikan karena bisa terjadi karena proses alam maupun akibat perbuatan manusia.

Penyebab berkurangnya hutan di Indonesia sejalan dengan seringnya terjadi kebakaran hutan di Indonesia yang setiap tahunnya selalu menjadi masalah untuk Indonesia maupun permasalahan di mata Internasional. Kebanyakan penggundulan hutan merupakan pekerjaan yang dilakukan manusia yang menebang pepohonan di hutan dan mengubah lahan hutan menjadi lahan pertanian dengan cara yang salah tanpa memikirkan dampak yang diberikan dikemudian hari, misalnya terjadinya kebakaran hutan. Setiap daerah hutan memiliki penyebab terjadinya kebakaran hutan yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya secara umum penyebab kebakaran hutan dari dijabarkan sebagai berikut:26

1. Kegiatan Manusia a.Sengaja dibakar

Akibat dari penebangan secara liar, membuka lahan dengan cara membakar yang dilakukan oleh perusahaan pemilik Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dalam Hutan Tanah Industri (HTI) dan masyarakat pendatang yang tidak tahu cara penanganan lahan.

b. Sisa Pembakaran dan Api Rokok

Api berasal dari suatu pembakaran yang biasa dilakukan petani pada ladangnya yang terletak berdekatan dengan hutan, serta api dari korek api dan punting rokok orang-ranng yang lewat di dekat hutan, biasanya terjadi sepanjang jalan kaki orang atau kendaraan.

c. Perladangan Berpindah

Para peladang dengan sengaja menebangi pohon secara sporadic sebagai cara untuk menyiapkan lahan ladang. Pohon yang ditebangi dibiarkan sampai kering dan menjadi bahan bakar untuk membakar seluruh areal yang akan dijadikan ladang sehingga lahan diluar areal ladang yang akan dipakai ikut terbakar apabila tidak ada usaha pengendalian api.

d. Reboisasi Padang Alang-Alang

Melakukan persiapan jalur sekat bakar menjadi prasarana penting jika kawasan seperti ini dijumpai masyarakat peladang berpindah atau kegiatan perburuan. Perburuan illegal sering memanfaatkan api untuk menjebak satwa yang berlarian menghindari api.

Kegiatan seperti ini sering membuat perapian untuk keperluan memasak atau acara api unggun. Pada saat meninggalkan hutan sering apinya tidak dimatikan sehingga dapat mengakibatkan kebakaran hutan.

2. Faktor Alam

a. Petir, adanya pohon yang tersambar petir, pohon menjadi mati dan kering sehingga dapat dijadikan bahan bakar yang mudah terbakar.

b. Aktivitas gunung berapi, Indonesia sebagai daerah khatualistiwa, memiliki daerah-daerah yang mempunyai aktivitas vulkanis yang aktif dan terbatas di sekitar puncak gunung.

c. Faktor perubahan alam, Indonesia memiliki musim kemarau dan musim hujan yang datangnya relatif teratur, namun kadang mengalami gangguan karena datangnya bisa lebih cepat dan berakhir lebih lama dari biasanya. Terkait dengan hal ini adalah gejala El Nino-Southern Oscillation (ENSO) yang datang tidak teratur dengan intensitas yang tidak sama pula.

D. Asas Tanggung Jawab Negara Menurut Hukum Internasional

Menurut J.G. Starke dalam bukunya Stark’s International Law, mengemukakan definisi Hukum Internasional adalah sekumpulan hukum yang untuk sebagian besar terdiri dari azas-azas dan peraturan-peraturan tingkah laku dimana negara-negara itu sendiri merasa terikat dan menghormatinya, dan dengan demikian mereka (negara-negara) itu juga mencakup :27

a. Peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional dengan organisasi internasional lainnya, hubungan antara organisasi internasional dengan individu;

b. Peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non state entities) sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara itu bersangkut paut dengan persoalan masyarakat internasional.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional menyatakan Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah-kaidah dan azas-azas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara (hubungan internasional) antar negara dengan negaram antara negara dengan subyek hukum lainnya yang bukan negara, ataupun antara subyek hukum lain bukan negara satu sama lainnya.28

Banyak cakupan yang diatur oleh Hukum Internasional, salah satunya adalah Hukum Lingkungan Internasional. Sumber Hukum lingkungan internasional pada mulanya berkembang dalam bentuk hukum kebiasaan, traktat-traktat, keputusan-keputusan yang dibentuk oleh badan-badan arbitrasi, yang dibentuk oleh negara-negara yang bersengketa dan akan menyelesaikan persengketaan secara damai. Pada umumnya mengacu kepada prinsip hukum internasional, yaitu prinsip tanggung jawab

negara (state responsibility) yang mewajibkan setiap negara bertanggungjawab terhadap setiap akibat tindakannya yang merugikan negara lain.29

Orientasi penerapan prinsip tersebut bukanlah perlindungan lingkungan, melainkan perlindungan dan pemulihan hak-hak negara yang dirugikan. Terkait dengan perlindungan lingkungan, permasalahan asap dari kebakaraan hutan sebenarnya bukan hal baru, di Indonesia masalah ini terjadi hampir setiap tahun, namun hingga saat ini masih belum ada perhatian serius dari pemerintah terhadap kasus ini, terutama mengenai pencegahan terjadinya kebakaran dan pengelolaan

hutan secara baik. Berdasarkan hukum internasional, suatu negara bertanggungjawab bilamana suatu perbuatan atau kelalaian yang dapat dipertautkan kepadanya melahirkan pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik yang lahir dari suatu perjanjian internasional maupun dari sumber hukum internasional lainnya.

Secara umum unsur-unsur tanggung jawab negara adalah:30

1. Ada perbuatan atau kelalaian (act or mission) yang dapat dipertautkan (imputable) kepada suatu negara;

2. Perbuatan atau kelalaian itu merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional, baik kewajiban itu lahir dari perjanjian maupun dari sumber hukum internasional lainnya.

Pada dasarnya pencemaran udara akibat kebakaran hutan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional, antara lain prinsip adalah “Sic tere tuo ut alienum non laedes” yang menentukan bahwa suatu negara dilarang melakukan atau mengizinkan dilakukannya kegiatan yang dapat merugikan negara lain, dan

prinsip good neighbourliness.31 Menurut prinsip ini suatu lingkungan hidup sebagai objek kekuasaan dan hukum suatu negara dan karenanya lingkungan hidup dalam status demikian tunduk kepada hukum nasional negara tertentu, terutama dengan ketentuan bahwa hak demikian diimbangi kewajiban bagi setiap negara untuk memanfaatkan lingkungan hidup yang menjadi bagian wilayahnya secara tidak meni Berdasarkan penjelasan diatas, ada dua macam teori pertanggungjawaban negara yaitu:32

1. Teori Risiko (Risk Theory) yang kemudian melahirkan prinsip tanggung jawab multak (absolute liability atau strict liability) atau tanggung jawab objektif (objective responsibility), yaitu bahwa suatu negara mutlak bertanggungjawab atas setiap kegiatan yang menimbulkan akibat yang sangat membahayakan walaupun kegiatan itu sendiri adalah kegiatan yang sah menurut hukum. Contohnya, Pasal II Liability Convention 1972 yang dinyatakan bahwa negara peluncur (launching state) mutlak bertanggungjawab untuk membayar kompensasi untuk kerugian dipermukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan yang ditimbulkan oleh benda angkasa miliknya.

2. Teori Kesalahan (Fault Theory) yang melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif atau tanggungjawab atas dasar kesalahan, yaitu bahwa tanggung jawab negara atas perbuatannya baru dikatakan ada jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan perbuatan itu.

Kecenderungan yang berkembang akhir-akhir ini adalah makin ditinggalkannya teori kesalahan ini dalam berbagai kasus. Dengan kata lain, dalam perkembangan diberbagai lapangan hukum internasional, ada kecenderungan untuk menganut prinsip tanggung jawab mutlak.

Dalam peristiwa kebakaran hutan di Indonesia yang mengakibatkan pencemaran udara di negara tetangga harus membuat Indonesia bertanggung jawab menimbulkan kerugian terhadap negara lain.

atas pencemaran udara yang menyebabkan banyak kerugian. Dengan demikian berlakunya prinsip yang berkenaan adalah “Enjoying every State not to allow its territory to be used in such a way as to damage the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction” (Setiap Negara tidak membiarkan wilayahnya digunakan sedemikian rupa untuk merusak lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas nasional yurisdiksi Negaranya). Prinsip ini pertama kalinya di atur oleh pengadilan arbitrase di dalam kasus Trail Smelter.33

Kasus Trail Smelter bermula dari kasus pencemaran udara yang diakibatkan oleh sebuah perusahaan pupuk milik warga negara Kanada yang dioperasikan di dalam wilayah Kanada, dekat sungai Columbia, lebih kurang 10 mil menjelang perbatasan Kanada-AS. Produksi emisi perusahaan tersebut terus meningkat hingga akhirnya 300ton sulfur dioksida terbawa angin bergerak ke wilayah AS melalui lembah sungai Columbia dan menimbulkan berbagai akibat merugikan terhadap tanah, air, udara, kesehatan serta berbagai kepentingan penduduk Washington lainnya.

Berdasarkan prinsip ini setiap negara memiliki kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya tanpa merugikan negara lain. Prinsip-prinsip internasional ini juga telah diakui dalam Mahkamah Internasional dan tersirat dalam dokumen-dokumen hukum lingkungan internasional seperti Deklarasi Stockholm 1972 dan Deklarasi Rio 1992.

Pada dasarya tanggung jawab negara adalah untuk segera melakukan tindakan atas permasalahan kebakaran hutan yang merugikan orang lain dan segera melakukan perbaikan terhadap bagian mengalami kerusakan.

Suatu negara dapat meminta pertanggung jawaban bagi kerugian terhadap warga negara dari negara tergugat atau hak milik mereka. Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara dalam hukum internasional yaitu bahwa tidak ada satu negara pun yang dapat menikmati hak-hak negara lain. Seperti yang dikemukakan oleh Shaw, yang menjadi karakteristik penting adanya tanggung jawab negara ini bergantung kepada faktor-faktor dasar, yaitu:34

1. Adanya suatu kewajiban hukum internasional yang berlaku antara kedua negara tertentu;

2. Adanya suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar kewajiban hukum internasional tersebut melahirkan tanggung jawab negara;

3. Adanya kerusakan atau kerugian sebagai akibat adanya tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian.

Peraturan tentang tanggung jawab negara hanya mengidentifikasikan ketika sebuah negara bisa bertanggung jawab karena melanggar kewajiban mereka dan apa

konsekuensi jika ia gagal untuk memenuhi tanggung jawabnya. Permasalahan kabut asap ini menjadi masalah internasional karena kasus ini menimbulkan pencemaran di negara-negara tetangga (transboundary pollution) sehingga mereka mengajukan protes terhadap Indonesia atas terjadinya masalah ini. Untuk menyelesaikan persoalan pencemaran lintas batas ini sebaiknya diperhatikan ketentuan hukum internasional, khususnya hukum kebiasaan internasional.

Adapun bentuk-bentuk pertanggung jawaban menurut Draft Articles Responsibility of States for Internastionally Wrongful Acts, International Law Commissions 2001, sebagai berikut :

1. Pasal 35 menyatakan bahwa, suatu negara yang bertanggung jawab untuk tindakan salah secara internasional berada di bawah kewajiban untuk membayar ganti rugi kerugian yaitu untuk membangun kembali situasi yang ada sebelum perbuatan salh dilakukan , diberikan dan sejauh bahwa restitusi. 2. Pasal 36 ayat 1 menyatakan bahwa, negara bertanggung jawab untuk tindakan

salah secara internasional berada di bawah kewajiban untuk mengkompensasi kerusakan yang demikian ditimbulkan, sejauh kerusakan tersebut tidak dibuat baik dengan pemulihan.

3. Pasal 37 ayat 1 menyatakan bahwa, negara bertanggung jawab untuk tindakan salah secara internasional berada di bawah kewajiban untuk memberikan kepuasaan untuk kecelakaan yang disebabkan oleh yang bertindak sejauh yang tidak dapat dibuat baik dengan pemulihan atau kompetensi.

Pada Pasal 37 ayat 2 menyatakan bahwa, Keputusan dapat terdiri dalam pengakuan atas pelanggaran, ungkapan penyesalan, permintaan maaf resmi atau modalitas lain yang sesuai.

4. Pasal 48, negara-negara selain injured states dapat mengajukan tuntutan pertanggung jawaban pada negara lain dalam dua hal :

a. Kewajiban yang dilanggar dimiliki suatu kelompok negara termasuk negara yang mengajukan tuntutan tersebut, ditetapkan untuk perlindungan kepentingan kelompok tersebut;

b. Kewajiban yang dilanggar dimiliki oleh seluruh masyarakat internasional keseluruhan.

Berdasarkan Deklarasi Stockholm 1972 (Stockholm Declaration) terdiri dari pembukaan dan 26 asas dan rencana aksi (action plan) yang terdiri dari 109 rekomendasi.35 Pada prinsipnya, Deklarasi Stockholm menyatakan bahwa manusia memegang tanggung jawab suci untuk melindungi dan memperbaiki lingkungan untuk generasi sekarang dan mendatang36 dan negara-negara juga mempunyai hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya mereka sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka sendiri dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa aktivitas dalam yurisdiksi atau control mereka tidak menyebabkan kerusakan untuk lingkungan negara-negara lainnya atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasional.37

Menurut Hukum Internasional, pertanggung jawaban negara timbul dalam hal negara bersangkutan merugikan negara lain dan dibatasi hanya terhadap perbuatan yang melanggar hukum internasional. Apabila kemudian terbukti adanya pelanggaran

maka diperlukan adanya upaya pemulihan yang dapat berupa satisfaction, misalnya permohonan maaf secara resmi ataupun berwujud pecuniary reparation, misalnya dengan pemberian ganti rugi material.38

Masalah internasional mengenai perlindungan dan perbaikan lingkungan harus ditangani dalam semangat kerja sama oleh semua negara, baik besar maupun kecil masalah serta pada pijakan yang sama, hal ini dinyatakan pada Prinsip 24.

Apabila dihubungkan dengan masalah kabut asap akibat kebakaran hutan yang terjadi dalam kasus kebakaran hutan di Indonesia yang mempunyai dampak lintas batas maka selain negara tersebut harus bertanggungjawab akan tetapi negara-negara lain juga ikut serta membantu menanggulangi permasalahan kebakaran hutan, karena masalah ini menjadi bersifat global. Oleh sebab itu, dengan sendirinya masalah ini juga harus ditangani secara bersama-sama dengan negara lainnya. Untuk mencapai tujuan lingkungan ini akan dituntut penerimaan tanggung jawab oleh warga negara dan masyarakat dan oleh perusahaan dan lembaga-lembaga di setiap tingkatan, semua lapisan masyarakat seperti juga organisasi-organisasi di berbagai bidang, dengan nilai-nilai mereka dan berbagai tindakannnya, akan membentuk dunia menjadi lingkungan masa depan.39 Hal ini dinyatakan berdasarkan pada bagian ketujuh yang diproklamirkan dalam deklarasi Stockholm.

Pada Prinsip 21 Deklarasi Stockholm menyatakan, negara-negara telah sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan prinsip-prinsip hukum internasional, hak berdaulat untuk mengeksploitasi sumber daya mereka sendiri sesuai dengan kebijakan lingkungan mereka sendiri, dan tanggung jawab untuk memastikan bahwa

aktivitas dalam yurisdiksi atau kontrol mereka tidak menyebabkan kerusakan untuk lingkungan negara-negara lainnya atau kawasan di luar batas yurisdiksi mereka.

Sepuluh tahun kemudian diselenggarakanlah KTT Bumi yang diadakan oleh Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa di Rio De Janerio tahun 1992 yang dihadiri oleh seluruh anggota PBB. KTT ini membahas tentang permasalahan lingkungan secara menyeluruh dibanding dengan konferensi-konferensi sebelumnya. Hasil dari KTT Bumi (Earth Summit) telah memutuskan beberapa dokumen penting, yaitu:40 1. Deklarasi Rio 1992 mengenai Lingkungan dan Pembangunan (Rio Declaration

on Environment and Development);

Deklarasi Rio 1992 membahas tentang Lingkungan dan Pembangunan (Rio Declaration on Environment and Development) serta yang menjadi dasar pembicaraan di KTT Rio adalah prinsip pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).41 Menurut Perdana Menteri Norwegia yang tercantum dalam buku Our Common Future menyatakan bahwa: “If it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” (Jika memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri). Hal ini dinyatakan berdasarkan dari defenisi sustainable development yang diberikan oleh World Commision on Environment and Development (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan).

2. Kerangka Kerja Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Convention Framework on Climate Change)

United Nations Convention Framework on Climate Change (UNFCCC) yang membahas tentang perubahan iklim adalah merupakan amandemen dari Protokol Kyoto pada Konvensi Rangka Kerja PBB. Protokol ini diratifikasi oleh negara-negara yang berkomitmen untuk mengurangi emisi atau pengeluaran karbon dioksida dan gas-gas rumah kaca lainnya serta bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.42

3. Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati (United Nation Convention on Biological Diversity)

Pada Pasal 1 yang menyatakan bahwa, “Tujuan konvensi ini, seperti tertuang dalam ketetapan-ketetapannya, ialah konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen-komponennya secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang dihasilkan dari pendayagunaan sumber daya genetik secara adil dan merata, termasuk melalui akses yang memadai terhadap sumber daya genetik dan dengan alih teknologi

Dokumen terkait