• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Program Penanggulangan

Kinerja program penanggulangan kemiskinan yang telah banyak dilakukan, baik oleh pemerintah, swasta maupun LSM, dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor itu adalah persiapan institusi yang memberikan program. Persiapan yang tidak matang akan mempengaruhi jalannya program yang dijalankan. Sebagai contoh Hermanto et al. (1995), menyatakan bahwa terdapat beberapa kendala yang diakibatkan oleh kurang matangnya persiapan institusi pada program penanggulangan kemiskinan melalui sub sektor perikanan, seperti koordinasi perencanaan yang lemah, yaitu hanya dilakukan dengan dinas perikanan saja dan kurang dilakukan dengan instansi terkait dan Pemda. Koordinasi yang lemah kurang mendapat dukungan dari instansi terkait lainnya dan jika akhirnya ada permasalahan yang muncul tidak dapat segera ditangani secara koordinatif. Selain masalah koordinasi, terbatasnya waktu perencanaan, menjadi salah satu faktor pelemah, yang menyebabkan melemahnya perencanaan dan pelaksanaan bantuan. Permasalahan lainnya yaitu perencanaan yang bersifat “top down”, karena akan sulit dilakukan suatu perencanaan yang rinci dan spesifikasi lokasi.

Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketidakmatangan institusi tersebut yaitu melalui persiapan sosial yang memadai seperti pada penelitian Sarman dan Sajogyo (2006a). Melalui persiapan ini diharapkan perencanaan program yang dijalankan benar-benar telah dirancang secara matang, sehingga dapat mengurangi hal-hal yang tidak diinginkan sewaktu pelaksanaannya. Selain itu karena kemiskinan merupakan masalah pembangunan diberbagai bidang, sehingga untuk menyelesaikan permasalahan tersebut diperlukan pendekatan multisektor antar pihak yang terkait.

 

   

Institusi harus mendesain program yang memberikan kemudahan kepada kelompok sasaran untuk memanfaatkan dan menikmati program tersebut. Seperti kasus Unit Pengelolaan Keuangan (UPK) di Jawa Timur pada penelitian Hariri (2009), program UPK yang dijalani memberikan modal secara mudah tanpa banyak syarat, sehingga banyak warga miskin dapat memanfaatkan. Faktor kemudahan pengaksesan program menjadi penting, karena jika hal ini tidak terpenuhi akan berdampak buruk pada keberhasilan program seperti pada kasus BPR Parasahabat di Desa Cibarusah dalam penelitian Burhan (2004) memiliki ketentuan atau aturan kredit yang ketat, yaitu mengharuskan peminjam memiliki tempat tinggal dan usaha tetap, padahal banyak warga miskin di Desa Cibarusah yang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Sehingga banyak warga miskin yang tidak dapat memanfaatkan program yang ada. Berbeda pada kasus PPSTN di Desa Pamongkong diperlukan kesepakatan bersama dalam mekanisme yang dijalankan terkait program antar aktor yang berkepentingan. Sehingga tidak ada pihak yang dimungkinkan melakukan protes apabila ada yang merasa dirugikan oleh aturan main yang telah disepakati bersama.

Sumber daya manusia yang memadai menjadi faktor lainnya yang mempengaruhi kinerja penanggulangan kemiskinan yang ada. Baik sumber daya manusia yang dimiliki oleh pendamping, pengurus maupun kelompok sasaran. Pada kasus BPR Parasahabat misalnya, kendala yang dihadapi dalam pencapaian keberhasilan program salah satunya keterbatasan sumber daya manusia. Dari penelitian di lapangan ditemukan bahwa banyak diantara staf/pelaksana program tidak memiliki latar belakang ilmu yang berhubungan dengan program yang dijalankan, hal ini akan sangat berpengaruh pada pelaksanaan program dan akhirnya berdampak pada keberhasilan program. Kasus lainnya terjadi pada program IDT di Sulawesi Selatan pada penelitian Sarman dan Sajogyo (2000b) mengalami kendala dalam pelaksanaan program yaitu dikarenakan pendampingan yang kurang intensif dan kapasitas pendamping yang sangat terbatas, khususnya pendamping lokal. Hal ini diperkuat dengan temuan lainnya oleh Sarman dan Sajogyo (2000a) di NTB berdasarkan pengalaman LSM lokal di sana, suatu program akan berlangsung dengan baik jika diberikan pendampingan yang intensif secara terus menerus. Karena disadari oleh banyak aparat di lapangan

bahwa salah satu faktor penentu keberhasilan program pembangunan untuk warga miskin itu adalah fungsi peran yang optimal dari petugas atau kelompok pendamping yang profesional. Untuk mencapai tersebut perlu dilakukan pelatihan kepada pendamping, pengurus, bahkan anggota kelompok sasaran. Adanya pelatihan ini diharapkan tumbuh pemahaman yang sama atas tujuan program, kapasitas yang memadai dalam pelaksanaan program, sehingga program akan berjalan dengan efektif.

Kondisi tempat dimana program tersebut dijalankan perlu diperhatikan juga. Sebagai contoh pada Program Penanggulangan Berpendapatan Rendah (PPBR) yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Peternakan, bahwa kesesuaian komoditas dengan karakteristik masyarakat setempat serta kondisi agroekosistem yang mendukung dalam menjalankan program mempunyai pengaruh positif terhadap perkembangan program, dimana semakin sesuai kondisi tersebut semakin baik perkembangan program. Contoh lainnya pada kasus IDT di NTB, kalangan aparat pelaksana mengeluhkan bahwa yang menjadi kendala dalam pengembangan usaha masih ada usaha yang tidak didukung oleh potensi lingkungan setempat serta masih terdapatnya pemilihan jenis usaha yang tidak sesuai dengan keterampilan yang dimiliki anggota. Hal tersebut mengakibatkan sulitnya mengembangkan usaha alternatif yang dapat dijadikan sebagai gantungan hidup karena peluang usaha belum dikaitkan dengan peluang pasar.

Pada kasus BPR Parasahabat juga mengalami kendala dalam pelaksanaan program di lapangan, bahwa peningkatan pendapatan anggota peserta program sangat bergantung dari hasil usaha yang dijalankan dan juga tergantung pada situasi pasar. Seperti kasus IDT di Sulawesi Selatan, pemasaran menjadi permasalahan dalam pengembangan usaha, karena selama ini kegiatan masih sangat tergantung pada pesanan konsumen lokal. Selain itu permasalahan lainnya ada pemberi modal lain (rentenir) yang akhirnya mengganggu pengkreditan yang ada, sehingga terjadi kredit macet yang seperti yang ditemui pada kasus BPR Parasahabat. Kegagalan proyek dialami juga oleh usaha Yayasan Swadaya Membangun (YSM) Mataram di Desa Pamongkong yang mencoba mengembangkan keswadayaan masyarakat di sektor simpan pinjam. Salah satu alasan umum yang menjadikan macetnya angsuran simpan pinjam adalah

 

   

kebangkrutan usaha yang diperoleh dari dana simpan pinjam tersebut. Bahkan ada beberapa kasus lain yang mengakibatkan macetnya simpan pinjam tersebut yaitu beroperasinya lembaga-lembaga keuangan liar yang disebut “bank rontok” atau “bank beseang”.

Menanggapi permasalahan tersebut, hal yang dapat dilakukan seperti melakukan survei, pertemuan umum, dan uji kelayakan yang dilakukan pada kasus BPR Parasahabat. Hal ini dilakukan agar program yang akan dilaksanakan dapat diimplementasikan dapat berjalan dengan baik ditempat tersebut. Selain itu adanya kepastian pasar agar modal yang dikelola oleh kelompok binaan dapat diputar. Kapastian pasar ini selain dapat menjamin keberhasilan dari usaha, dapat membangun kepercayaan diri kelompok binaan tersebut dalam menekuni usaha yang sedang digelutinya secara sungguh-sungguh.

Salah satu faktor yang paling krusial adalah ketepatan kelompok sasaran dari program penanggulangan kemiskinan yaitu masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan. Namun kenyataan di lapangan, terdapat banyak ketidaktepatan sasaran yang dituju. Sebagai contoh pada kasus PPBR, yang seharusnya masyarakat miskin yang mendapatkan bantuan ternyata dari 26 kelompok, hanya 14 kelompok yang sesuai dan 12 kelompok lainnya tidak termasuk orang miskin. Hal ini dikarenakan ada faktor subyektifitas dari pemilihan kelompok sasaran oleh kepala desa maupun PPL yang lebih berorientasi keberhasilan program, bukan pada upaya untuk membantu masyarakat berpendapat rendah. Hal serupa pun terjadi pada kasus JPS di Kelurahan Keparakan pada penelitian Ismail (2000) salah satu kelemahan program yaitu rendahnya tingkat profesionalisme dari para petugas dalam melakukan seleksi atas warga yang perlu mendapat bantuan. sehingga banyak warga yang tidak tepat sasaran dalam pemanfaatan program tersebut. Faktor kurang tepat sasaran ini pun ditemui pada kasus proyek P4K sehingga proyek mengalami berbagai hambatan. Adapun faktor tersebut diakibatkan oleh tiga hal, pertama, dilokasi proyek P4K sudah tidak ada petani miskin sementara PPL masih dibebani oleh target penumbuhan KPK yang harus dipenuhi, sehingga untuk memenuhi target, terpaksa mengambil petani yang sesungguhnya tidak memenuhi syarat. Kedua, ada semacam ketentuan bahwa proyek dapat berjalan dengan baik, jika pengembalian kredit berjalan dengan

lancar, maka untuk menjadi anggota KPK dipilih petani miskin yang pengeluaran keluarganya sedikit di bawah atau mendekati garis kemiskinan dan bukan petani sangat miskin, karena petani yang sangat miskin dikhawatirkan dapat menghambat kelancaran pengambilan kredit proyek P4K. Ketiga, proses pembentukan KPK tidak sesuai dengan petunjuk rancangan P4K.

Tabel 1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Program Penanggulangan Kemiskinan

No Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja program penanggulangan kemiskinan 1 Koordinasi perencanaan antar pihak terkait.

2 Kecukupan waktu perencanaan. 3 Desain program.

4 Mekanisme program yang disepakati oleh pengurus, pendamping dan kelompok sasaran.

5 Sumber daya manusia pendamping, pengurus, dan kelompok sasaran 6 Intensifitas pendampingan

7 Kondisi tempat pelaksanaan program 8 Ketepatan kelompok sasaran

Terkait dalam meningkatkan peluang keberhasilan, beberapa hal perlu mendapat perhatian terutama yang berkaitan dengan kebijakan dalam pelaksanaanya. Pihak-pihak yang ikut terlibat di daerah dari tingkat propinsi sampai dengan desa perlu diberi peran yang lebih besar, sesuai dengan kondisi di masing-masing daerah dengan kapasitas yang memadai. Contoh pada kasus PPBR dalam menentukan kelompok sasaran, wewenang sepenuhnya berada pada instansi setempat, berdasarkan kriteria yang telah ditentukan dalam pedoman PPBR pusat. Kepala Desa dan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) adalah pihak- pihak yang banyak berperan dalam hal ini. Besarnya keterlibatan mereka dalam menentukan sasaran memiliki keuntungan dan kerugian. Mereka memang yang paling tahu kondisi petani di wilayahnya sehingga dapat memilih sasaran dengan tepat, namun terkadang pemilihan sasaran ditujukan kepada peternak yang tidak miskin. Untuk mengurangi hal seperti ini, Dinas Peternakan Tk.II atau Cabang Dinas Peternakan tingkat kecamatan dapat diikutsertakan dalam memilih

 

   

kelompok sasaran. Berbagai faktor tersebut jika disimpulkan dapat dilihat pada Tabel 1.

2.4 Dampak Program Penanggulangan Kemiskinan

Kinerja program penanggulangan kemiskinan mempengaruhi dampak yang didapat dari implementasi program tersebut. Sebagai contoh, dampak dari program PPSTN yang dilaksanakan di Desa Pemongkong dalam kurun waktu dua tahun sejak 1994 sekitar 28 KK nelayan telah mampu diberdayakan menjadi nelayan mandiri. Kesuksesan ini tidak hanya terjadi di sektor perikanan laut saja, pada kelompok petani binaan PPSTN pun terjadi keberhasilan. Kelompok tani diberikan satu buah traktor tangan dengan status pinjaman angsuran, dalam tempo dua tahun dari semula delapan traktor yang telah digulirkan kepada petani binaan, menjadi 14 buah traktor tangan. Contoh lainya pada kasus UPK Gerdutaskin di Jawa Timur, kehadiran UPK ini menjadi salah satu solusi dalam menanggulangi kemiskinan yang ada, saat berbagai kebijakan program penanggulangan kemiskinan sulit menjangkau sasaran secara tepat dan efektif sehingga keberadaan UPK dimaknai sebagai modal dan potensi dasar bagi usaha penanggulangan kemiskinan secara berkelanjutan. Walaupun dalam pelaksanaannya banyak kendala yang dihadapi seperti adanya kredit macet pada program, kelembagaan yang belum independen, atau administrasi keuangan yang belum dilaksanakan secara konsisten.

Kinerja BPR Parasahabat di Desa Cibarusah, mempunyai dampak terhadap hasil yang diperoleh antara lain bagi warga atau kelompok binaan yang mampu mengakses program dapat merasakan peningkatan usaha dan pendapatan, adapun manfaat sosial yang dirasakan seperti adanya perubahan sikap para anggota khususnya dalam bentuk solidaritas antar sesama dan adanya kebiasaan dalam menabung. Contoh lainnya pada kasus P4K, program ini dapat memberikan dampak positif terhadap kelompok binaan yaitu adanya peningkatan pendapatan, pemupukan modal, peningkatan konsumsi gizi keluarga, penyerapan tenaga kerja, pendalaman dan perluasan usaha serta terampil teknis dan manajemen. Disamping dampak terhadap peserta proyek, P4K juga memberikan dampak terhadap kelompok antara lain berupa usaha bersama secara kelompok, kemampuan

manajemen pengurus, kesadaran tentang manfaat berkelompok. Selain itu KPK- KPK yang terbentuk menjadi suatu wahana pendidikan masyarakat pedesaan, yaitu dapat meningkatkan taraf kehidupannya. Namun dalam pelaksanaan program terkait pemilihan kelompok sasaran cenderung tidak tepat sasaran, sehingga masih banyak warga miskin yang belum diberdayakan, terlebih dengan penerapan aturan yang memberatkan menjadikan mereka semakin sulit untuk merasakan manfaat dari program tersebut.

Dampak yang dirasakan pada kasus penanggulangan kemiskinan nelayan dan petani ikan di laut, antara lain: bagi peserta, adanya program ini dapat meningkatkan konsumsi ikan bagi keluarga nelayan, adanya perbaikan gizi keluarga, terjadinya peningkatan pendapatan nelayan 10-100 persen, bahkan ada beberapa nelayan bersedia melakukan modifikasi perahu dan alat tangkap. Dampak program terhadap pendapatan nelayan peserta sangat bervariasi. Semakin tingginya pemanfaatan paket maka makin tinggi pula hasil yang diperoleh. Bagi bukan peserta, manfaaat yang dirasakan seperti adanya adopsi teknologi, peluang atau pilihan kesempatan kerja, serta perahu yang dimiliki dapat digunakan untuk alat transportasi.

Selain itu kasus IDT di Sulawesi Selatan terkait penelitian Sarman dan Sajogyo (2000b), program ini ternyata cukup efektif untuk memberikan penguatan kepada anggota pokmas, khususnya kelompok ibu-ibu yang bergiat dalam usaha menjual ikan asap. Dari dana tersebut, mereka praktis melepaskan diri dari ketergantungan pada “bandar” ikan yang sebelumnya berperan mirip pelepas uang dan cukup semena-mena menentukan harga penjualan ikan segar yang dibutuhkan ibu-ibu untuk diasap. Jika dilihat dari implementasi program ini, mengalami kendala seperti pendampingan yang kurang intensif dan kapasitas pendamping yang sangat terbatas, khususnya pendamping lokal.

Program PPBR ini memberikan manfaat terhadap peserta program antara lain dapat memenuhi konsumsi sendiri, adanya peningkatan bahan pangan, penambahan pendapatan, dan peningkatan pengetahuan dalam hal peternakan. Bagi non-peserta, manfaat proyek cenderung masih kurang dirasakan. Kalaupun ada dalam jumlah kecil mereka menyatakan dapat belajar memelihara ternak lebih

 

   

baik. Namun beberapa menyatakan terganggu oleh bau dan menduga ternak program sumber penyakit bagi ternak yang sudah ada.

Tabel 2 Dampak Impelementasi Program Penanggulangan Kemiskinan No Dampak Implementasi Program Penanggulangan Kemiskinan 1 Adanya peningkatan usaha peserta program

2 Adanya peningkatan pendapatan peserta 3 Terbangunnya solidaritas antar peserta 4 Adanya peningkatan gizi peserta 5 Terbukanya kesempatan kerja

6 Peningkatan keterampilan dan pengetahuan peserta 7 Tumbuhnya kesadaran peserta atas manfaat berkelompok 8 Ketidaktepatan sasaran

9 Adanya adopsi teknologi

Pada pelaksanaannya PPBR mengalami permasalahan seperti ketidaktepatan sasaran yang dituju. Hal ini dipengaruhi oleh faktor subyektifitas dari pemilihan kelompok sasaran oleh kepala desa maupun PPL yang lebih berorientasi keberhasilan program, bukan pada upaya untuk membantu masyarakat berpendapat rendah. Pelaksanaan program ini terlihat tidak sungguh- sungguh dalam menanggulangi kemiskinan, terbukti telah melenceng dari tujuan umum yang ingin dicapai oleh Direktorat Jenderal Peternakan yaitu upaya penanggulangan kemiskinan melalui penyebaran ternak yang disertai dengan pembinaan pada masyarakat berpendapatan rendah, sehingga secara bertahap dapat meningkatkan pendapatan mereka. Beberapa dampak yang dirasakan atas implementasi beberapa program penanggulangan tersebut, dapat disimpulkan seperti yang tertera pada Tabel 2.

Dokumen terkait