• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor – faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.4 Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir

II.4.4. Faktor – faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan

Ada dua faktor utama yang mempengaruhi penggunaan lahan yakni faktor supply dan faktor demand (permintaan). Faktor penawaran sebagai dijelaskan

sebelumnya di tentukan oleh empat hal yaitu sifat fisik tanah , ekonomi, institusi dan teknologi .

Demand dipengaruhi oleh situasi yang berkaitan dengan faktor demografik, (seperti komposisi umur, jenis kelamin), tingkat pendapatan, konsolidasi lahan, pengaturan tata ruang, kebijakan perencanaan lingkungan serta periode waktu seperti waktu yang diperlukan untuk pembangunan dan peningkatan jasa seiring dengan waktu (Barlowe 1978).

Dari keempat faktor utama yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan, kecendrungan terjadi perubahan penggunaan lahan diIndonesia lebih diakibatkan faktor ekonomi dan Institusi.

II.5. Kesesuaian Lahan

Menurut Sitorus (1985) kesesuiaan lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu penggunaan tertentu, penggambaran ini dilakukan dengan menganalisis dalam bentuk klasifikasi kesesuaiaannya. Sedangkan hasil penilaian dapat dipergunakan sebagai dasar pemilihan didalam merencanakan aktivitas kegiatan diatasnya.

Sedangkan di wilayah pesisir, aktivitas penggunaan lahan sering berdampak negatif terhadap potensi ekologi yang terkandung didalamnya, hal ini sering terjadi pada konversi hutan mangrove menjadi tambak. Untuk itu analisis kesesuian lahan diwilayah pesisir harus mengkaji ekologis didalammnya.

II.5.1. Kesesuaian Lahan Untuk Tambak

Lokasi merupakan langkah awal yang perlu diperhatikan dalam budidaya. Dalam pemilihan lokasi tambak ini tidak hanya untuk menentukan kecocokan lahan sebagai media saja, tetapi juga untuk mendukung modifikasi desain tambak, tata letak tambak, pembuatan konstruksi tambak, dan manajemen yang akan diterapkan (Afrianto dan Liviawaty, 1993). Selanjutnya dijelaskan bahwa ada 4 aspek utama yang perlu diperhatikan sebagai kriteria dalam penentuan lokasi tambak, seperti aspek ekologis, tanah, biologis dan sosial ekonomi.

a. Aspek Ekologis.

Ditinjau dari segi ekologis, keadaan alam sumber air dan iklim di Indonesia sangat menunjang usaha budidaya tambak walaupun secara ekologis kondisi lingkungan menunjang. Secara ekologis paling sedikitnya ada 7 faktor yang perlu

dipertimbangkan untuk menentukan tingkat kesesuaian lokasi tambak, yaitu: a. Iklim dan suhu lingkungan

Informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim dan suhu lingkungan di suatu tempat sangat membantu untuk menentukan lokasi lahan yang memenuhi syarat, parameter iklim yang perlu diperhatikan oleh petani tambak adalah data hujan dan angin. a) pasang surut air, b) salinitas, c) arus air, d) pola hujan,e) rembesan , f) polusi e) kuantitas dan kualitas air yang merupakan kebutuhan mutlak bagi tambak. Sumber air yang digunakan untuk mengairi tambak harus memenuhi syarat, baik kualitas maupun kuantitasnya, dan tersedia sepanjang tahun. Menurut Boyd (1991) Ada 6 (enam) parameter kualitas air yang perlu diperhatikan bagi pertambakan, yaitu: Bersih, Derajat Keasaman (pH), Daya Mengikat Asam (DMA), Produktivitas primer, Tingkat sedimentasi yang rendah dan Kelarutan oksigen (DO) dalam air tinggi.

b. Aspek Tanah

Tanah merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi produktivitas tambak, sebab tanah mempunyai kemampuan untuk menyerap atau melepaskan zat hara tanaman yang dibutuhkan oleh fitoplankton atau vegetasi air lainnya yang hidup di dalam tambak. Di samping itu, tanah juga merupakan komponen utama dalam pembuatan petakan tambak, pematang, saluran air dan pintu air serta mempunyai peranan penting dalam menentukan kualitas air.

c. Aspek Biologi

Dilihat dari aspek biologi ada lima kriteria didalam analisis kesesuaiaan lahan untuk budidaya tambak yang meliputi sebagai berikut: a. Sumber Benih b. Sifat Organisme yang akan dibudidaya c. Organisme lain d. Vegetasi di sekitar Tambak e. Kelestarian Lingkungan

d. Aspek Sosial Ekonomi.

Dalam budidaya tambak masalah aspek sosial dipelihat dari beberapa permasalahan antara lain sebagai berikut. a. Lokasi peruntukan dan status lahan b. Transportasi c. Tenaga kerja d. Ketersediaan alat dan bahan e. Ketersediaan pasar dan harga yang stabil

II.5.2. Kesesuaiaan Lahan Untuk Pemukiman

Pemukiman merupakan tempat dimana sejumlah penduduk tinggal dan melakukan kegiatan sehari-harinya. Untuk keperluan tersebut diperlukan tanah untuk mendirikan bangunan seperti rumah, septic tank, jalan, tempat pembuangan sampah, dan sebagainya. Karena bangunan-bangunan tersebut didirikan di atas tanah maka sifat-sifat tanah pun perlu diperhatikan. Sifat-sifat tersebut antara lain adalah klasifikasi tanah berdasar atas besar butir dan sifat geologi, potensi mengembang dan mengerut tanah, tata air atau drainase tanah, tebal tanah sampai ke hamparan batuan, kepekaan erosi, bahaya banjir, lereng, daya menyangga tanah (daya dukung tanah), potensi terjadi korosi, lapisan organik, mudah tidaknya tanah digali, dan sebagainya.

II.5.3. Klasifikasi Kesesuaian Lahan Untuk Sawah Irigasi

Lahan untuk irigasi memerlukan syarat-syarat yang berbeda dengan lahan tanpa irigasi, sehingga perlu disusun kriteria-kriteria khusus untuk tujuan ini. Di bawah ini dikemukakan kriteria-kriteria yang dikemukakan oleh Arsyad (1989), yang banyak digunakan dalam survai tanah untuk irigasi oleh Institut Pertanian Bogor.

Klasifikasi Kesesuaian Lahan Untuk Irigasi (Land Classification for Irrigation) terutama bertujuan untuk menetapkan penggunaan tanah dan air secara tepat, meliputi perencanaan (design) sistem jaringan irigasi dan drainase, luas usaha tani, kebutuhan air untuk irigasi, dan untuk menentukan ongkos-ongkos pembayaran kembali kredit serta operasi dan pemeliharaan.

II.5.4. Analisis Kesesuaian Lahan Tegalan

Untuk tanaman upland (tanaman pertanian) faktor–faktor yang mempengaruhi kesesuaiaan lahan untuk tegalan meliputi a. Kedalaman efektif tanah b. Ketebalan gambut c. Ketebalan peaty mineral d. Ukuran partikel atau tekstur dari bahan mineral e. Lereng f. Drainase g. Defisiensi kesuburan h. Salinitas i. Persentase Na dapat dipertukarkan j. Bahaya subsiden dan Kualitas air

II.6. Data Envelopment Analysis Produktivitas Penggunaan Lahan

Menurut Fauzi dan Anna (2005), dalam bukunya permodelan sumberdaya perikanan dan Kelautan, Data envelopment analysis merupakan metode pendekatan nonparametric yang cukup baik untuk aplikasi yang luas dan mudah dilakukan berkaitan dengan defenisi ekonomi teknologi yang terfokus pada kapasitas output dan input. Pendekatan yang berorientasi pada pendekatan input dan output ini dikemukakan pertamakali oleh Carnes et al. (1978) dan kemudian dikembangkan oleh Fare et al. (1994).

DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai (value free) karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan penilaian dari pengambil keputusan (Korhonen et al dalam Fauzi & Anna 1998), teknik ini didasarkan pada pemograman matematis untuk menentukan solusi optimal yang berkaitan dengan sejumlah kendala, DEA bertujuan mengukur keragaan relatif dari unit analisa pada kondisi keberadaan multiple input dan output.

Selain kemampuan DEA dalam mengestimasi kapasitas di bawah kendala penerapan kebijakan tertentu, DEA dapat digunakan dalam mengakomodasi multiple outputs dan multiple inputs, serta tingkat input atau output yang riil maupun nondiskret. DEA juga dapat menentukan tingkat potensi maksimal dari effort atau variable input secara umum dan laju utilisasi optimalnya.

Pengukuran efisiensi pada dasarnya merupakan rasio pembagian antara output dan input. Dalam menggunakan metode DEA ini, pengukuran efisinesi ini menjadi tidak tepat apabila berhadapan dengan data multiple input dan output yang berkaitan dengan sumber daya, faktor aktivitas dan lingkungan yang berbeda. Meskipun pengukuran efisiensi yang menyangkut multiple input dan output dapat diatasi dengan menggunakan pengukuran efisiensi relative yang dibobot yaitu pembagian antara jumlah output yang sudah dibobot dan jumlah input yang sudah dibobot. Namun, pengukuran tersebut tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output. keterbatasan tersebut kemudian dijembatani dengan konsep DEA , dimana efisiensi tidak semata-mata diukur dari rasio output dan input, tetapi juga memasukkan faktor pembobotan dari setiap output dan input yang digunakan.

Oleh karena itu, didalam DEA efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi yang maksimum, dengan kendala relative efisiensi seluruh unit tidak boleh melebihi 100% . secara matematis, efisiensi dalam DEA merupakan solusi dari persamaan 10 dan dengan kendala yang diberikan pada Persamaan 11 dan 12.

Pemecahan masalah pemograman matematis diatas akan menghasilkan nilai Em yang maksimum, sekaligus nilai bobot (w dan v) yang mengarah keefisiensi. Jadi jika nilai = 1, unit ke-m tersebut dikatakan efisien relative terhadap unit yang lain. Sebaliknya, jika nilai lebih kecil dari 1 maka unit lain dikatakan lebih efisien relative terhadap unit m, meskipun pembobotan dipilih untuk memaksimalkan unit m.

Salah satu kendala dari pemecahan persamaan diatas adalah persamaan tersebut berbentuk fractional sehingga sulit di pecahkan melalui pemograman linier. Namun, dengan melakukan linieritas, persamaan diatas dapat diubah menjadi persamaan linier. Sehingga pemecahan melalui pemograman linier dapat dilakukan. Linierisasi persamaan di atas menghasilkan persamaan 12 dan dengan kendala yang diberikan pada persamaan 13, 14,dan 15.

Salah satu manfaat dilakukan linierisasi adalah kita dapat melakukan pemecahan pemograman linier diatas dengan pemecahan dual, sebagaimana ciri yang dimiliki oleh program linier, pemecahan baik primal maupun dual akan menghasilkan solusi yang sama, namun pemecahan dengan dual seringkali lebih sederhana, sebab dimensi kendala berkurang. Primal dan dual variable dari persamaan diatas dapat dilihat pada persamaan 16 dan dengan kendala pada persamaan 17, 18,dan 19.

Hasil analisis DEA dapat dijabarkan dalam bentuk grafis apa yang disebut efficiency frontier, dari enam unit yang menghasilkan dua jenis output y1 dan y2. Pada gambar berikut, titik E1 sampai E6 menggambarkan unit pada efficiency frontier dengan DEA, titik-titik E1, E3 dan E4 menggambarkan unit yang efisien karena tepat berada di efficiency frontier, sekaligus menjadi “amplop” (envelope) yang menutupi seluruh set data yang ada. Unit E5 dan E6 berada dalam “Envelop” tersebut sehingga dikatakan tidak efisien. Amplop data ditutup ke horizontal akses dengan E4Y1, sementara ke vertikal aksis ditutup dengan E1Y2.

Y1 Y1’ Y2 Y2’ E1 E5’ E5” E2’ E3 E4 E6’ E5 E6

Sumber : Fauzi , Ana (2004)

Gambar 1 Grafik Effisiensi Frontier

Dari gambar di atas terlihat bahwa kelompok terdekat (perunit) untuk unit E5 adalah E1 dan E2, dan target efisien dari E5 adalah E5’. Target tersebut dapat dicapai dengan meningkatkan output E5 secara proporsional (pro rata) antara Y1 dan Y2. peningkatan tersebut diperoleh dengan pembobotan unit E1 dan E2. Namun, jika misalnya output Y2 tidak dapat ditingkatkan, pilihan target efisisen berikutnya dari E5 adalah titik E5 yang sepenuhnya mengandalkan peningkatan output Y1. Sementara itu untuk unit E6, target efisien telah didomonasi oleh E4 sebab dengan output Y1 yang sama, E4 memiliki output Y2 yang lebih banyak dari E6.

Pengukuran efisiensi dengan DEA sebagaimana pengukuran efisiensi lain, terkait dengan aspek produksi dari aktivitas ekonomi yang diamati. Dari sisi teoritis, fungsi produksi berkaitan dengan return to scale yang menghubungkan bagaimana output bereaksi terhadap perubahan input. Didalam model DEA yang dikembangkan oleh CCR, efisiensi diukur dengan asumsi bahwa fungsi produksi besifat constant return to scale (CRS) artinya, jika input dinaikkan dari dua kali lipat, misalnya output juga meningkat secara proporsional (dua kali lipat). Model ini sangat bersifat linier dan sangat mudah diformulasikan serta dikerjakan dalam program linier. Namun model yang didasarkan pada constant return to scale ini tidak selalu tepat bila diaplikasikan pada aktivitas produksi yang mengalami non constant return to scale. Beberapa fungsi produksi, seperti produksi perikanan,

bersifat decreasing return to scale. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, model asal dari CCRS ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Banker et al. (1984) dan dikenal dengan model BCC DEA, yang memungkinkan kita melakukan analisis efisiensi bagi aktivitas ekonomi yang bersifat variable return to scale. Kedua pendekatan DEA tersebut merupakan pendekatan dasar yang digunakan dalam analisis DEA.

Dokumen terkait