BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISA
C. Faktor-Faktor Yang Menjadi Kendala Penetapan Kawasan
Seperti telah disebut di atas, gencarnya pengalihfungsian ini bukan
hanya karena peraturan perundang-undangan yang tidak efektif, baik itu dari
segi substansi ketentuannya yang tidak jelas dan tegas, maupun penegakannya
lx
yang tidak didukung oleh pemerintah sendiri sebagai pejabat yang berwenang
memberikan izin pemfungsian suatu lahan. Tetapi juga tidak didukung oleh
“tidak menarik”nya sektor pertanian itu sendiri. Langka dan mahalnya pupuk,
alat-alat produksi lainnya, tenaga kerja pertanian yang semakin sedikit, serta
diperkuat dengan harga hasil pertanian yang fluktuatif, bahkan cenderung
terus menurun drastis mengakibatkan minat penduduk (atau pun sekedar
mempertahankan fungsinya) terhadap sektor pertanian pun menurun.
Menurut pendapat Rija Sudirja (2007), alasan petani menjual lahannya
antara lain karena: pertama, melihat kondisi sawah yang tanahnya tidak bisa
diharapkan untuk berproduksi optimal; kedua, harga tanah di sekitar lokasi
meningkat pesat; ketiga, kebutuhan ekonomi yang tidak bisa dihindari,
misalnya makan, sekolah, dan lain-lain.
Pengalihfungsian tanah pertanian itu sendiri tidak harus dilakukan
dengan menjualnya kepada pihak lain lebih dulu, tetapi juga dapat dilakukan
oleh pemilik tanah pertanian itu sendiri. Misalnya di Jawa Barat, sawah
dengan sistem irigasi tehnis dikeringkan lebih dulu agar terkesan tidak
produktif untuk pertanian (seperti tegalan), baru kemudian difungsikan untuk
tanah non pertanian.
Sayangnya, Pemerintah tidak banyak memberi perhatian pada
permasalahan ini, dalam arti tindakan preventif. Pada kasus impor beras
misalnya, Pemerintah menanggapi minimnya stok beras dengan suatu
kebijakan yang pragmatis dan insidental. Bukan lebih menitikberatkan pada
kebijakan subsidi pupuk dan peralatan pertanian lainnya untuk meningkatkan
produktivitas pertanian itu sendiri, atau dengan pemaksimalan sumber-sumber
produksi di daerah-daerah yang produktif/subur, atau pendistribusian yang
merata antar daerah, atau bahkan dengan infrastruktur pertanian yang tepat,
atau kebijakan nasional lainnya yang dilakukan secara internal (bukan
melibatkan faktor eksternal dengan mengimpor beras dari luar negeri).
Dalam konteks otonomi daerah dimana kewenangan pertanahan
termasuk tentang penatagunaan tanah juga menjadi kewenangan masing-
masing daerah yang seharusnya kebijakan mengenai penatagunaan tanah akan
lxi
benar-benar dapat meliputi kepentingan daerah secara tepat dan menjadi lebih
terkontrol, ternyata banyak pula yang kemudian menambah jumlah konversi
tanah pertanian. Apalagi jika pemerintah daerah lebih berorientasi
pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada usaha-usaha non pertanian.
Sehingga komitmen pemerintah dan pemerintah daerah memang
sangat penting dalam hal ini. Bukan hanya membuat peraturan yang melarang
pengalihfungsian tanah pertanian menjadi non pertanian, tetapi kebijakan
antisipatif yang berpihak pada pertanian, dan segala kebijakan yang terkait
dengan pertanian, harus mendapat perhatian utama. Contoh, subsidi atau
minimal perbaikan manajemen dan distribusi pupuk dan sarana pertanian
lainnya, pengendalian harga dan stok beras nasional, pembangunan
infrastruktur pertanian yang tepat, dan kebijakan lainnya.
Akan halnya dengan tanah pertanian abadi yang direncanakan oleh
Pemerintah, haruslah dengan perencanaan dan pengelolaan yang tepat. Jika
dikelola oleh Negara (pemerintah), swasta atau pun diredistribusikan kepada
rakyat, maka pengawasan terhadap pemanfaatan tanah pertanian tersebut harus
benar-benar dilakukan secara jelas dan tegas. Sehingga tidak dimungkinkan
perubahan fungsi menjadi tanah non pertanian.
lxii
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka diperoleh kesimpulan bahwa tekanan alih fungsi lahan sawah di wilayah Kabupaten Klaten semakin meningkat dari tahun ke tahun. Posisi geografis yang strategis Kabupaten Klaten mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga memberikan dampak pada peningkatan laju alih fungsi lahan yang signifikan. Laju ini kalau dibiarkan tidak terkendali secara langsung akan mengancam ketahanan pangan dan tidak langsung menurunkan fungsinya sebagai penyangga kehidupan.
1. Strategi yang dilakukan di Kabupaten Klaten dalam pelaksanaan kawasan pangan yang merupakan bagian dari penetapan rencana tata ruang kawasan di wilayah Desa/Kabupaten sudah sesuai dengan UU No. 41 tahun 2009 dilaksanakan dengan konsep bangun yang dipakai sebagai landasan dalam menyusun strategi pencegahan alih fungsi lahan berikut: a. Pengembangan tata ruang wilayah berbasis sosial-ekonomi-budaya dan ekosistem b. Bentuk strategi pendekatan pengendalian alih fungsi lahan irigasi
c. Penetapan zonasi ”permanen” kawasan lahan sawah beririgasi
d. PERDA sebagai instrumen perlindungan hukum zonasi permanen kawasan lahan irigasi
2. Faktor-faktor yang menjadi kendala penetapan kawasan pangan sebagai lahan abadi diantaranya adalah : 1) faktor ekonomi yaitu tingginya harga tanah saat ini, 2) perubahan perilaku petani yang enggan menggarap sawahnya, dan 3) lemahnya peraturan perundang-undangan.
3. Solusi guna mengatasi faktor-faktor yang menjadi kendala penetapan kawasan pangan sebagai lahan abadi di Kabupaten Klaten dilaksanakan dengan cara melakukan pengawasan dan pengelolaan lahan sawah dengan tepat, di samping itu saat ini Kabupaten Klaten sudah melakukan rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Klaten Tahun 2010-2029.
B. Saran
Adapun saran-saran yang peneliti sampaikan berkaitan dengan hasil penelitian dan pembahasan adalah sebagai berikut:
1. Hendaknya perlu dilakukan kajian akademis lanjutan yang lebih mengarah pada: indentifikasi faktor yang berpengaruh secara kuantitatif, penentuan posisi secara spasial kawasan pangan sebagai lahan abadi atas tingkat tekanan alih fungsi (ring-1, ring-2 dan ring-3), analisis kemandirian pangan (beras) regional (Kabupaten Klaten), sistem dan prosedur legal proses alih fungsi lahan, potensi teknis keberadaan lahan, bentuk insentif- disinsentif alih fungsi lahan kawasan pangan sebagai lahan abadi, perlindungan dan pemberdayaan petani dan pertimbangan lain yang diperlukan.
lxiii
2.
Hendaknya hasil kajian lanjutan dipakai sebagai landasan penyusunan Raperda Pengendalian Alih Fungsi Lahan dengan arah kerangka yang substansinya perlu memuat hal-hal berikut: Konsideran, Ketentuan Umum, Azas dan tujuan, Perencanaan dan penetapan, Pengendalian, Pengawasan, Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Partisipasi masyarakat, Ketentuan pidana, Ketentuan peralihan dan Ketentuan penutup.3. Upaya pencegahan konversi lahan sawah sulit dilakukan, guna meminimalisasi konversi lahan sawah yang terjadi hendaknya pemerintah Daerah Kabupaten Klaten dapat melakukan upaya yang bersifat pengendalian. Prasyarat yang diperlukan untuk itu adalah perangkat peraturan yang tegas dan harus didukung oleh keakuratan pemetaan dan pendataan penggunaan lahan yang dilengkapi dengan teknologi yang memadai. Dengan pendataan yang akurat dan penegakan hukum yang konsisten, pengenaan pajak progresif pada pembelian lahan sawah lebih aplikatif. Dana penerimaan pajak tersebut digunakan untuk pencetakan sawah baru dan perbaikan irigasi.
lxiv
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010, Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Klaten Tahun 2010-2029.
Afan Gaffar, 1991, Otonomi Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta.
Charles O. Jones,1991, Pengantar Kebijakan Publik¸ Alih Bahasa Dwi Joko Supriyono, Rajawali Press, Jakarta.
Geprge C. Edward, 1980, Implementing Public Policy, Washington: Congressional Quarterly Press.
I. Djumhur dan Muh. Surya, 2002, Metodologi Penelitian, Bandung: CV Ilmu.
Irawan, B. dan S. Friyatno. 2002. Dampak Konversi Lahan Sawah di Jawa Terhadap Produksi Beras dan Kebijakan Pengendaliannya. Jurnal Sosial-Ekonomi Pertanian dan Agribisnis SOCA: Vol.2 No.2 : 79 – 95. Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Denpasar.
Jamal, E. 2001. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Harga Lahan Sawah pada Proses Alih Fungsi Lahan ke Penggunaan Non Pertanian: Studi Kasus di Beberapa Desa, Kabupaten Karawang, Jawa Barat. Jurnal Agro Ekonomi, Volume 19 Nomor 1:45-63. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor
James E. Anderson, 1999, The Mercantilist Index of Trade Policy," NBER Working Papers
6870, National Bureau of Economic Research, Inc.
M. Irfan Islamy 1997, Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakansanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
Nasoetion, L. dan J. Winoto. 1996. Masalah Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya terhadap Keberlangsungan Swasembada Pangan. Dalam Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 64 - 82. Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor
Rusastra, I W. dan G.S. Budhi. 1997. Konversi Lahan Pertanian dan Strategi Antisipatif dalam Penanggulangannya. Julnal Penelitian dan Pengembangan Pertaanian. Volume XVI, Nomor 4 : 107 – 113. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Samudra Wibowo, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, PT. Rajawali Grafindo Persada, Jakarta.
Santoso, 1998, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sjahrir, 1988, Pembangunan Berdimensi Kerakyatan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Solichin Abdul Wahab, 1997, Analisis KKebijaksanaan : Dari Formulasi ke lmplementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta . Bumi Aksara.
lxv
Suwarno, P.S. 1996. Alih Fungsi Tanah Pertanian dan Langkah-Langkah Penanggulangannya. Dalam Prosiding Lokakarya “ Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 121 - 134. Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor.
Syafa’at, N., H.P. Saliem dan Saktyanu, K.D. 1995. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Sawah di Tingkat Petani. Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian “Profil Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Pertanian, dan Prospek Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Buku 1: 42 – 56. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Bogor.
Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.7
Witjaksono, R. 1996. Alih Fungsi Lahan: Suatu Tinjauan Sosiologis. Dalam Prosiding Lokakarya “Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air”: Dampaknya terhadap Keberlanjutan Swasembada Beras: 113 - 120. Hasil Kerja sama Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dengan Ford Foundation. Bogor.