• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Suatu Akta Menjad

BAB II. AKTA NOTARIS DAPAT MENJADI BATAL OLEH

C. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Suatu Akta Menjad

harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu :

1. Adanya kata sepakat di antara dua pihak atau lebih; 2. Cakap dalam bertindak;

3. Adanya suatu hal tertentu; 4. Adanya suatu sebab yang halal.

Apabila perjanjian tersebut melanggar syarat objektif yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Sedangkan apabila perjanjian tersebut melanggar syarat subjektif yaitu kata sepakat dan cakap dalam bertindak maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan suatu akta menjadi batal atau dapat dibatalkan adalah sebagai berikut :

1. Ketidakcakapan dan Ketidakwenangan Dalam Bertindak.

Secara umum dibedakan antara kewenangan bertindak dan kecakapan bertindak. Sejak seorang anak lahir, malahan anak dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan berkedudukan sebagai subjek hukum dan sebab itu pula memiliki kewenangan hukum (Pasal 1 ayat (2) KUHPerdata). Kewenangan bertindak dari subjek hukum untuk melakukan tindakan hukum dapat dibatasi oleh atau melalui

hukum. Setiap orang dianggap cakap melakukan tindakan hukum, tetapi kebebasan ini dibatasi pula oleh daya kerja hukum objektif.

Dikatakan mereka yang tidak mempunyai kecakapan bertindak atau tidak cakap adalah orang yang secara umum tidak dapat melakukan tindakan hukum. Bagi mereka yang di bawah umur batasan tertentu dikaitkan dengan ukuran kuantitas, yaitu usia. Sebagai penghadap untuk pembuatan akta Notaris harus memenuhi syarat paling sedikit berumur 18 tahun (Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris).60

Mereka yang tidak mempunyai kewenangan bertindak atau tidak berwenang adalah orang yang tidak diperbolehkan untuk melakukan tindakan hukum tertentu.

Notaris (termasuk para saksi) yang dengan perantaraannya telah dibuat akta wasiat dari pewaris tidak boleh menikmati sedikit pun dari apa yang pada mereka dengan wasiat itu telah dihibahkannya (Pasal 907 KUHPerdata). Ini berarti bahwa Notaris tersebut boleh saja mendapat hibah wasiat dari orang lain asal bukan dari klien yang membuat wasiat di hadapannya tersebut.61

2. Cacat Dalam Kehendak

KUHPerdata (Pasal 1322 – Pasal 1328 KUHPerdata) menetapkan secara limitatif adanya cacat kehendak, yakni kekhilafan/kesesatan (dwaling), penipuan (bedrog), dan paksaan (dwang).62

a. Kekeliruan dan Penipuan

60Herlien Budiono,Op Cit, hal. 368. 61Ibid, hal. 370.

Dikatakan penipuan apabila seseorang dengan sengaja dengan kehendak dan pengetahuan memunculkan kesesatan pada orang lain. Penipuan dikatakan terjadi tidak saja bilamana suatu fakta tertentu dengan sengaja tidak diungkapkan atau disembunyikan, tetapi juga suatu informasi keliru dengan sengaja diberikan ataupun terjadi dengan tipu daya lain. Di dalam praktik penipuan dan kekhilafan menunjukkan perkaitan yang erat, tetapi ada pula sejumlah perbedaan.

b. Ancaman

Ancaman terjadi bilamana seseorang menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindakan hukum, yakni dengan melawan hukum, mengancam, dan menimbulkan kerugian pada diri orang tersebut atau kebendaan miliknya atau terhadap pihak ketiga. Ancaman tersebut sedemikian menimbulkan ketakutan sehingga kehendak seseorang terbentuk secara cacat. Kehendak betul telah dinyatakan, tetapi kehendak tersebut muncul sebagai akibat adanya ancaman.

c. Penyalahgunaan Keadaan

Penyalahgunaan keadaan adalah keadaan tergeraknya seseorang karena suatu keadaan khusus untuk melakukan tindakan hukum dan pihak lawan menyalahgunakan hal ini. Keadaan khusus ini terjadi karena keadaan memaksa/darurat, keadaan kejiwaan tidak normal, atau kurang pengalaman.

3. Bertentangan dengan Undang-Undang

Larangan yang ditetapkan undang-undang berkenaan dengan perjanjian akan berkaitan dengan tiga aspek dari perbuatan hukum yang dimaksud, yakni :

b) Substansi dari tindakan hukum.

c) Maksud dan tujuan tindakan hukum tersebut.

Suatu perjanjian yang dibuat pada saat tidak adanya larangan mengenai perbuatan hukum tersebut, tetapi ternyata di kemudian hari ada ketentuan undang- undang yang melarangnya, maka perjanjian tersebut tidak batal demi hukum, tetapi menjadi dapat dibatalkan atau mungkin masih dapat dilaksanakan setelah adanya izin tertentu. Penentuan apakah suatu perjanjian adalah batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-undang adalah pada waktu perjanjian tersebut dibuat. 4. Bertentangan dengan Ketertiban Umum dan Kesusilaan Baik

Pada umumnya perbuatan hukum dianggap bertentangan dengan ketertiban umum jika perbuatan tersebut melanggar atau bertentangan dengan asas-asas pokok (fundamental) dari tatanan masyarakat, sedangkan perbuatan hukum dianggap bertentangan dengan kesusilaan baik jika perbuatan tersebut melanggar atau bertentangan dengan norma kesusilaan dari suatu masyarakat.

BAB III

TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA YANG MENJADI BATAL OLEH SUATU PUTUSAN PENGADILAN

A. Tanggung Jawab Notaris Secara Perdata

Dalam kontruksi hukum kenotariatan, bahwa salah satu tugas jabatan Notaris yaitu “ memformulasikan keinginan / tindakan penghadap / para penghadap ke dalam bentuk akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku ”, hal ini sebagaimana tersebut dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia, yaitu “ ... Notaris fungsinya hanya mencatatkan / menuliskan apa-apa yang dikehendaki dan dikemukakan oleh para pihak yang menghadap Notaris tersebut. Tidak ada kewajiban bagi Notaris untuk menyelidiki secara materil apa-apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh penghadap di hadapan Notaris tersebut ” (Putusan Mahkamah Agung Nomor : 702 K/Sip/1973, 5 September 1973).

Berdasarkan makna Putusan Mahkamah Agung tersebut, jika akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris bermasalah oleh para pihak sendiri, maka hal tersebut menjadi urusan para pihak sendiri, Notaris tidak perlu dilibatkan, dan Notaris bukan pihak dalam akta. Jika dalam posisi kasus seperti ini, yaitu akta dipermasalahkan oleh para pihak sendiri, dan akta tidak bermasalah dari aspek lahir, formil dan materil maka sangat bertentangan dengan kaidah hukum tersebut di atas, dalam praktik Pengadilan Indonesia :

1. Notaris yang bersangkutan diajukan dan dipanggil sebagai saksi di pengadilan menyangkut akta yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris yang dijadikan alat bukti dalam suatu perkara.

2. Notaris yang dijadikan sebagai Tergugat di pengadilan menyangkut akta yang dibuatnya dan dianggap merugikan bagi pihak Penggugat, di peradilan umum (perkara perdata).63

Ada batasan jika ingin menggugat Notaris yaitu jika para pihak yang menghadap Notaris (para pihak / penghadap yang namanya tersebut / tercantum dalam akta) ingin melakukan pengingkaran (atau ingin mengingkari) :

1. Hari, tanggal, bulan dan tahun menghadap. 2. Waktu (pukul) menghadap.

3. Tanda tangan yang tercantum dalam minuta akta. 4. Merasa tidak pernah menghadap.

5. Akta tidak ditandatangani di hadapan Notaris. 6. Akta tidak dibacakan.

7. Alasan lain berdasarkan formalitas akta.

Pengingkaran atas hal-hal tersebut dilakukan dengan cara menggugat Notaris (secara perdata) ke Pengadilan Negeri, maka para pihak tersebut wajib membuktikan hal-hal yang ingin diingkarinya, dan Notaris wajib mempertahankan aspek-aspek tersebut, sehingga dalam kaitan ini perlu dipahami dan diketahui kaidah hukum Notaris yaitu “ akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian

yang sempurna, sehingga jika ada orang / pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang / pihak yang menilai atau menyatakan tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan hukum ”.

Jika gugatan terhadap pengingkaran tersebut tidak terbukti, maka akta Notaris tersebut tetap berlaku dan mengikat para pihak dan pihak-pihak yang terkait sepanjang tidak dibatalkan oleh para pihak sendiri atau berdasarkan putusan pengadilan, demikian pula jika gugatan tersebut terbukti, maka akta Notaris terdegradasi kedudukannya dari akta otentik menjadi akta di bawah tangan, sebagai akta di bawah tangan maka nilai pembuktiannya tergantung para pihak dan Hakim yang akan menilainya. Jika pendegradasian kedudukan akta tersebut ternyata merugikan pihak yang bersangkutan (Penggugat) dan dapat dibuktikan oleh Penggugat, maka Penggugat dapat menuntut ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan. Jika Notaris tidak membayar ganti rugi yang dituntut tersebut, maka berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut Notaris dapat dinyatakan pailit. Kepailitan Notaris tersebut dapat dijadikan dasar untuk memberhentikan sementara Notaris dari jabatannya, jika berada dalam proses pailit (Pasal 9 ayat (1) huruf a UUJN), dan diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, jika dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 12 huruf a UUJN).64

Dalam kaitan ini sebagai suatu Kaidah Hukum Notaris Indonesia yaitu meskipun akta Notaris telah dinyatakan tidak mengikat oleh putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka kepada Notaris yang bersangkutan atau kepada pemegang protokolnya masih tetap berkewajiban untuk mengeluarkan salinannya atas permintaan para pihak atau penghadap atau para ahli warisnya.

B. Tanggung Jawab Notaris Secara Pidana

Dalam UUJN diatur bahwa ketika Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka Notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan Notaris sanksi- sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa, baik sebelumnya dalam PJN maupun sekarang dalam UUJN dan kode etik jabatan Notaris, yang tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap Notaris. Dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan Notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi atau perdata atau kode etik jabatan Notaris, tapi kemudian ditarik atau dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris.65

Penjatuhan hukuman pidana terhadap Notaris tidak serta merta akta yang bersangkutan menjadi batal demi hukum. Suatu hal yang tidak tepat secara hukum jika ada putusan pengadilan pidana dengan amar putusan membatalkan akta Notaris dengan alasan Notaris terbukti melakukan suatu tindak pidana pemalsuan. Dengan demikian yang harus dilakukan oleh mereka yang akan atau berkeinginan untuk menempatkan Notaris sebagai terpidana, atas akta yang dibuat oleh atau di hadapan

Notaris yang bersangkutan, maka tindakan hukum yang harus dilakukan adalah membatalkan akta yang bersangkutan melalui gugatan perdata.

Dalam penjatuhan sanksi tersebut perlu dikaitkan dengan sasaran, sifat dan prosedur sanksi-sanksi tersebut. Penjatuhan sanksi perdata, administratif, dan pidana mempunyai sasaran, sifat, dan prosedur yang berbeda.

Sanksi administratif dan sanksi perdata dengan sasaran yaitu perbuatan yang dilakukan oleh yang bersangkutan dan sanksi pidana dengan sasaran, yaitu pelaku (orang) yang melakukan tindakan hukum tersebut.

Sanksi administratif dan sanksi perdata bersifat reparatoir atau korektif, artinya untuk memperbaiki suatu keadaan agar tidak dilakukan lagi oleh yang bersangkutan ataupun oleh Notaris yang lain. Regresif berarti segala sesuatunya dikembalikan kepada suatu keadaan ketika sebelum terjadinya pelanggaran. Dalam aturan hukum tertentu, di samping dijatuhi sanksi administratif, juga dapat dijatuhi sanksi pidana (secara kumulatif) yang bersifat condemnatoir (punitif) atau menghukum, dalam kaitan ini UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris yang melanggar UUJN. Jika terjadi hal seperti itu maka terhadap Notaris tunduk kepada tindak pidana umum.66

Aspek-aspek formal akta Notaris dapat saja dijadikan dasar atau batasan untuk memidanakan Notaris, sepanjang aspek-aspek formal tersebut terbukti secara sengaja (dengan penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan oleh Notaris yang bersangkutan) bahwa akta yang dibuat di hadapan dan oleh Notaris untuk dijadikan

suatu alat melakukan suatu tindak pidana atau dalam pembuatan akta pihak atau akta relaas. Di samping itu, Notaris secara sadar, sengaja untuk secara bersama-sama dengan para pihak yang bersangkutan (penghadap) melakukan atau membantu atau menyuruh penghadap untuk melakukan suatu tindakan hukum yang diketahuinya sebagai tindakan yang melanggar hukum. Jika hal ini dilakukan, selain merugikan Notaris, para pihak, dan pada akhirnya orang yang menjalankan tugas jabatannya sebagai Notaris, diberi sebutan sebagai orang yang senantiasa melanggar hukum.

Aspek lainnya yang perlu untuk dijadikan batasan dalam hal pelanggaran oleh Notaris harus diukur berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang dilakukan oleh Notaris melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUJN, karena ada kemungkinan menurut UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah sesuai dengan UUJN, tetapi menurut pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak pidana. Dengan demikian sebelum melakukan penyidikan lebih lanjut, lebih baik meminta pendapat mereka yang mengetahui dengan pasti mengenai hal tersebut, yaitu dari organisasi jabatan Notaris.

Dengan demikian pemidanaan terhadap Notaris dapat saja dilakukan dengan batasan, jika :

1. Ada tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat di hadapan Notaris atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu tindak pidana.

2. Ada tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN ; dan 3. Tindakan Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk

menilai tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.

Penjatuhan sanksi pidana terhadap Notaris dapat dilakukan sepanjang batasan- batasan sebagaimana tersebut di atas dilanggar, artinya di samping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN dan kode etik jabatan Notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUHP.67

Dalam hal untuk meminta keterangan Notaris atas laporan pihak tertentu, menurut Pasal 66 UUJN, maka jika Notaris dipanggil oleh Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim, maka instansi yang ingin memanggil tersebut wajib minta persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD). Ketentuan Pasal 66 UUJN tersebut bersifat imperatif atau perintah. Dalam praktik sekarang ini, ada juga Notaris yang dipanggil oleh Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim langsung datang menghadap kepada instansi yang memanggilnya, tanpa diperiksa dulu oleh MPD artinya menganggap sepele terhadap MPD, jika Notaris melakukan seperti ini, maka menjadi tanggung jawab Notaris sendiri, misalnya jika terjadi perubahan status dari saksi menjadi tersangka atau terdakwa. Ketentuan Pasal 66 UUJN tersebut bagi Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim bersifat imperatif, artinya jika Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim menyepelekan ketentuan Pasal 66 UUJN, maka terhadap Kepolisian, Kejaksaan atau Hakim dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap undang-undang, maka jika

hal ini terjadi, dapat melaporkan Kepolisian, Kejaksaan dan Hakim kepada atasannya masing-masing, dan di sisi yang lain, perkara yang disidik atau diperiksa tersebut dapat dikategorikan cacat hukum (dari segi Hukum Acara Pidana) yang tidak dapat dilanjutkan (ditunda untuk sementara) sampai ketentuan Pasal 66 UUJN dipenuhi. Dalam praktik ditemukan juga, ketika seorang Notaris tidak diizinkan oleh MPD untuk memenuhi panggilan Kepolisian atau Kejaksaan, maka pihak Kepolisian atau Kejaksaan akan memanggil saksi akta Notaris yang tersebut pada bagian akhir akta.

Jika tindakan Notaris memenuhi rumusan suatu tindak pidana, tapi jika ternyata berdasarkan UUJN dan menurut penilaian dari Majelis Pengawas Notaris bukan suatu pelanggaran, maka Notaris yang bersangkutan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, karena ukuran untuk menilai sebuah akta harus didasarkan pada UUJN dan kode etik jabatan Notaris.

Jika ternyata akta yang dibuat oleh Notaris terbukti melanggar batasan- batasan tersebut atau memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN, maka Notaris diwajibkan memberikan ganti rugi, biaya, dan bunga kepada para pihak yang menderita kerugian.

C. Sanksi Administratif

Secara garis besar sanksi administratif dapat dibedakan 3 (tiga) macam, yaitu : 1. Sanksi Reparatif ;

Sanksi ini ditujukan untuk perbaikan atas pelanggaran tata tertib hukum. Dapat berupa penghentian perbuatan terlarang, kewajiban perubahan sikap / tindakan

sehingga tercapai keadaan semula yang ditentukan, tindakan memperbaiki sesuatu yang berlawanan dengan aturan. Contohnya paksaan untuk berbuat sesuatu untuk pemerintah dan pembayaran uang paksa yang ditentukan sebagai hukuman.

3. Sanksi Punitif ;

Sanksi yang bersifat menghukum, merupakan beban tambahan. Sanksi hukuman tergolong dalam pembalasan, dan tindakan preventif yang menimbulkan ketakutan kepada pelanggar yang sama atau mungkin untuk pelanggar-pelanggar lainnya. Contohnya pembayaran denda kepada pemerintah, teguran keras.

3. Sanksi Regresif ;

Sanksi sebagai reaksi atas suatu ketidaktaatan, dicabutnya hak atas sesuatu yang diputuskan menurut hukum, seolah-olah dikembalikan kepada keadaan hukum yang sebenarnya sebelum keputusan diambil. Contohnya pencabutan, perubahan atau penangguhan suatu keputusan.

Dalam Pasal 85 UUJN ditentukan ada 5 (lima) jenis sanksi administratif, yaitu:

1. Teguran lisan. 2. Teguran tertulis.

3. Pemberhentian sementara. 4. Pemberhentian dengan hormat. 5. Pemberhentian tidak hormat.

Sanksi-sanksi tersebut berlakunya secara berjenjang mulai dari teguran lisan sampai dengan pemberhentian tidak hormat, karena Notaris melanggar pasal-pasal tertentu yang tersebut dalam Pasal 85 UUJN, yaitu Notaris :

1. Melanggar ketentuan Pasal 7, Notaris dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pengambilan sumpah / jabatan Notaris tidak :

a. Menjalankan jabatannya dengan nyata ;

b. Menyampaikan berita acara sumpah / janji jabatan Notaris kepada : 1. Menteri ;

2. Organisasi Notaris ; 3. Majelis Pengawas Daerah.

c. Menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta teraan cap / stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada :

1. Menteri ;

2. Pejabat lain yang bertanggungjawab di bidang agraria / pertanahan ; 3. Organisasi Notaris ;

4. Ketua Pengadilan Negeri ; 5. Majelis Pengawas Daerah ; serta

6. Bupati atau Walikota di tempat Notaris diangkat.

2. Melanggar kewajiban Notaris sebagaimana tersebut dalam ketentuan :

a. Pasal 16 ayat (1) huruf a, dalam menjalankan jabatannya Notaris bertindak jujur, tidak seksama, tidak mandiri, berpihak, dan tidak menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum ;

b. Pasal 16 ayat (1) huruf b, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak membuat akta dalam bentuk minuta akta dan tidak menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris ;

c. Pasal 16 ayat (1) huruf c, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan minuta akta ;

d. Pasal 16 ayat (1) huruf d, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya ;

e. Pasal 16 ayat (1) huruf e, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah / janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain ;

f. Pasal 16 ayat (1) huruf f, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, dan mencatat jumlah minuta akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku ;

g. Pasal 16 ayat (1) huruf g, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga ;

h. Pasal 16 ayat (1) huruf h, dalam menjalankan tugas jabatannya Notaris tidak membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan setiap bulan ;

i. Pasal 16 ayat (1) huruf i, dalam menjalankan tugas jabatannya Notaris tidak mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan ;

j. Pasal 16 ayat (1) huruf j, dalam menjalankan tugas jabatannya Notaris tidak mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan ;

k. Pasal 16 ayat (1) huruf k, dalam menjalankan jabatannya Notaris tidak mempunyai cap / stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan.

4. Melanggar larangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 17, yaitu : a. Menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya.

b. Meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut- turut tanpa alasan yang sah.

c. Merangkap sebagai Pegawai Negeri. d. Merangkap jabatan sebagai pejabat negara. e. Merangkap jabatan sebagai Advokat.

f. Merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta.

g. Merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah di luar wilayah jabatan Notaris.

h. Menjadi Notaris Pengganti.

i. Melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

5. Notaris dalam melaksanakan ketentuan Pasal 20, yaitu dalam membentuk perserikatan perdata atau perserikatan Notaris telah bertindak tidak mandiri dan ada keberpihakan dalam menjalankan jabatannya atau dalam menjalankan kantor bersama tersebut.

6. Melanggar ketentuan Pasal 27, yaitu dalam mengajukan permohonan cuti, tidak memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27, bahwa cuti harus diajukan secara tertulis disertai dengan penunjukan Notaris Pengganti, dan permohonan diajukan, kepada :

a. Majelis Pengawas Daerah, apabila jangka waktu cuti tidak lebih dari 6 (enam) bulan ;

b. Majelis Pengawas Wilayah, apabila jangka waktu cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Pusat ;

c. Majelis Pengawas Pusat, apabila jangka waktu cuti lebih dari 1 (satu) tahun dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Wilayah ; disertai usulan penunjuk Notaris Pengganti.

7. Melanggar ketentuan Pasal 32, yaitu Notaris yang menjalankan cuti tidak menyerahkan protokol Notaris kepada Notaris Pengganti dan Notaris Pengganti menyerahkan kembali protokol kepada Notaris setelah cuti berakhir. Serah terima terhadap hal tersebut dibuatkan berita acara dan disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah.

8. Melanggar ketentuan Pasal 37, Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya tidak memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu (prodeo).

9. Melanggar ketentuan Pasal 54, Notaris telah memberikan, memperlihatkan, atau kutipan akta, kepada orang yang tidak berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

10. Melanggar ketentuan Pasal 58, Notaris :

a. Tidak membuat daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, daftar surat di bawah tangan yang dibukukan, dan daftar surat lain yang diwajibkan oleh undang-undang.

b. Tidak setiap hari mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapannya, baik dalam bentuk minuta akta maupun originali, tanpa sela-sela kosong,

Dokumen terkait