• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Fisik-Kimia dan Biologis Perairan Sungai 1 Suhu Air Sunga

TINJAUAN PUSTAKA

2.6. Faktor Fisik-Kimia dan Biologis Perairan Sungai 1 Suhu Air Sunga

Suhu merupakan faktor lingkungan yang sering sekali beroperasi sebagai faktor pembatas. Suhu juga mempengaruhi termoregulasi tubuh ikan dalam lingkungan yang berbeda. Suhu juga mempengaruhi aktivitas reproduksi ikan dalam pembentukan gonad. Organisme perairan seperti ikan maupun udang mampu hidup baik pada kisaran suhu 20-30°C. Perubahan suhu di bawah 20°C atau di atas 30°C menyebabkan ikan mengalami stres yang biasanya diikuti oleh menurunnya daya cerna (Ardiyana, 2010).

Kenaikan suhu air akan mengakibatkan : 1) jumlah 15 oksigen terlarut dalam air menurun, 2) kecepatan reaksi kimia meningkat, 3) kehidupan ikan dan biota air lainnya terganggu, 4) jika batas suhu yang mematikan terlampaui maka akan menyebabkan ikan dan biota air mati (Fardiaz, 1992). Peningkatan suhu menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air sehingga mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan suhu juga menyebabkan terjadinya peningkatan dekomposisi bahan organik oleh mikroba. (Effendi, 2003).

2.6.2 Arus Sungai

Perpindahan air sangat penting dalam penentuan penyebaran plankton, gas terlarut dan garam-garam juga mempengaruhi perilaku organisme kecil. Kecepatan aliran air yang mengalir beragam dari permukaan ke dasar, meskipun berada dalam saluran buatan yang dasarnya halus tanpa rintangan apa pun. Arus akan semakin lambat bila makin dekat ke dasar. Perubahan kecepatan air itu tercermin dalam modifikasi yang diperlihatkan oleh organisme yang hidup dalam air mengalir yang kedalamannya berbeda (Michael, 1995).

2.6.3 Kekeruhan Air Sungai

Kekeruhan pada sungai lebih banyak disebabkan oleh bahan-bahan tersuspensi yang berukuran lebih besar yang berupa lapisan permukaan tanah yang terbawa oleh aliran air pada saat hujan. Kekeruhan yang tinggi dapat mengakibatkan terganggunya sistem osmoregulasi, misalnya pernafasan dan daya lihat organisme

akuatik, serta dapat menghambat penetrasi cahaya dan kedalaman air (Odum, 1996).

Nilai kekeruhan di perairan alami merupakan salah satu faktor terpenting untuk mengontrol produktivitasnya. Kekeruhan yang tinggi akan mempengaruhi penetrasi cahaya matahari oleh sebab itu dapat membatasi proses fotosintesis sehingga produktivitas primer perairan cenderung akan berkurang (Wardoyo, 1975, dalam Supartiwi, 2000).

2.6.4 Kelarutan Oksigen (Dissolved Oxygen)

Oksigen terlarut atau kebutuhan oksigen merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas air. Nilai DO yang semakin besar pada air mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan mikroorganisme. Oksigen terlarut pada air yang ideal pada ikan adalah 5-7 ppm, jika kurang dari itu maka resiko kematian akan semakin tinggi. Menurut Salmin (2005), kadar oksigen dalam air akan bertambah dengan rendahnya suhu dan semakin tingginya salinitas.

Kelarutan oksigen optimum atau yang tidak dapat ditoleransi bervariasi bergantung pada jenis ikan. Toleransi umumnya adalah 4-12 ppm yang dapat diterima oleh ikan. Ikan yang biasa memijah di air mengalir dan dingin biasanya memerlukan oksigen terlarut lebih tinggi daripada ikan yang biasanya memijah di air tergenang (stagnan) atau berarus lambat. Tekanan oksigen dapat mempengaruhi jumlah elemen meristik (Rahardjo et al., 2011).

2.6.5 Kejenuhan Oksigen

Disamping pengukuran konsentrasi oksigen, biasanya dilakukan pengukuran terhadap tinggkat kejenuhan oksigen dalam air. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui apakah nilai tersebut merupakan nilai maksimum atau tidak. Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen suatu contoh air maka disamping mengukur konsentrasi oksigen terlarut dalam mg/l, diperlukan juga pengukuran temperatur dari air (Barus, 2004).

2.6.6 Nilai pH

Potensial Hidrogen (pH) merupakan derajat keasaman yang menyatakan keasaman atau kebasaan dalam suatu larutan. pH juga merupakan suatu ukuran keasaman air yang dapat mempengaruhi kehidupan tumbuhan dan hewan perairan (Odum, 1993). pH didaerah hulu sungai umumnya cenderung lebih rendah (Samuel, 2008). Hal ini dikarenakan sungai bagian hulu masih belum tercemar. Adanya pengaruh pembuangan limbah dari penduduk dapat menurunkan pH air di Sungai. Maka pH air sangatlah penting dari faktor lingkungan di sungai dan berpengaruh terhadap keanekaragam jenis ikan pada sungai.

Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi tergantung pada suhu, oksigen terlarut, dan kandungan garam-garam ionik suatu perairan. Kebanyakan perairan alami memiliki pH berkisar antara 6-9. Sebagian besar biota perairan sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7–8,5 (Effendi, 2003). Kondisi bersifat sangat asam atau sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 1996 dalam Siagian, 2009).

2.6.7 Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Biochemical Oxygen Demand atau kebutuhan oksigen biologis adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerobik di dalam air lingkungan untuk memecah (mendegradasi) bahan buangan organik yang ada didalam air lingkungannya tersebut. Pembuangan bahan organik melalui proses oksidasi oleh mikroorganisme di dalam air adalah proses alamiah yang mudah terjadi apabila air lingkungan mengandung oksigen yang cukup (Salmin, 2005).

Nilai BOD menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob dalam proses penguraian senyawa organik, yang diukur pada temperature 20oC. Dalam proses oksidasi secara biologis ini tentu saja dibutuhkan waktu yang lebih lama jika dibandingkan dengan proses oksidasi secara kimia. Pengukuran BOD didasarkan kepada kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan senyawa organik, artinya hanya terhadap senyawa yang mudah diuraikan secara biologis seperti senyawa yang umumnya terdapat dalam limbah rumah tangga. Untuk produk-produk kimia seperti senyawa minyak dan

buangan kimia lainnya akan sangat sulit atau bahkan tidak bisa diuraikan oleh mikroorganisme (Barus, 2004). BOD dalam suatu perairan dapat digunakan sebagai petunjuk terjadinya pencemaran. Menurut Lee et al., (1978), dalam Supartiwi (2000), mengklasifikasikan besarnya tingkat pencemaran perairan untuk kehidupan organisme akuatik berdasarkan BOD.

2.6.8 Chemical Oxygen Demand (COD)

Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah oksigen yang dibutuhkan dalam proses oksidasi kimia yang dinyatakan dalam mg O2/l. Dengan mengukur nilai COD maka akan diperoleh nilai yang menyatakan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk proses oksidasi terhadap total senyawa organik baik yang mudah diuraikan secara biologis maupun terhadap yang sukar atau tidak bisa diuraikan secara biologis (Barus, 2004).

2.6.9 Kandungan Nitrat dan Posfat

Nitrat adalah bentuk utama dari nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga. Nitrat nitrogen sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Senyawa nitrat dapat dihasilkan dari proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan (Effendi 2003). Nitrat juga merupakan zat hara penting bagi organisme ototrof dan diketahui sebagai faktor pembatas pertumbuhan (Eaton et al., 1995).

Posfat juga merupakan unsur penting. Posfat dapat berasal dari sedimen yang selanjutnya akan terfiltarasi dalam air tanah dan akhirnya masuk ke dalam sistem perairan terbuka dan selain itu juga dapat berasal dari atmosfter bersama air hujan (Barus, 2004). Ortofosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan akuatik. Sumber fosfor lebih sedikit dibandingkan dengan sumber nitrogen di perairan dan keberadaan fosfor di perairan alami biasanya relatif sedikit dengan konsentrasi yang relatif kecil dibandingkan nitrogen (Effendi 2003). Umumnya kandungan fosfor total di perairan alami tidak lebih dari 0,1 mg/liter kecuali pada perairan penerima limbah rumah tangga dan dari daerah pertanian yang mengalami pemupukan fosfor (Eaton et al., 1995).

BAB 1 PENDAHULUAN

Dokumen terkait