• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.3 Faktor Fisik Kimia Perairan

Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh nilai factor fisik kimia pada setiap stasiun seperti pada Tabel 4.4 berikut:

Tabel 4.4. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun Penelitian Stasiun/Lokasi 1 2 3 4 5 Kedalaman (m) N o Parameter Unit Baku Mutu 0 2 0 2 0 2 0 2 0 2 Fisik 1 Suhu Air °C Deviasi 3 28,5 28,5 29 29 29 29 29 29 30,5 30,5 2 P.Cahaya m 2 2,2 1,9 2 2 3 I. Cahaya Lux 1991 1424 1447 1615 1375 4 TDS mg/l 1000 151 156 142 163 147 5 TSS mg/l 50 32 34 32 34 32 Kimia 6 pH Air - 6-9 6,3 6,3 5,7 5,7 6,4 6,4 6,7 6,7 7,4 7,4 8 DO mg/l 6 7,6 7,4 7,6 7,4 7,4 7,2 7,4 7,2 7,2 7,1 9 BOD5 mg/l 2 0,3 0,2 0,6 0,4 0,4 0,4 0,6 0,4 0,2 0,2 10 COD mg/l 10 3.5496 3.1552 5.1272 4.7328 5.5216 11 Nitrat mg/l 10 0.0319 0.0341 0.0518 0.0376 0.0544 12 Fosfat mg/l 0,2 0.1186 0.1367 0.2125 0.0897 0.1877 Keterangan :

6. TDS : Total Dissolved Solid 7. TSS : Total Suspended Solid

8. DO : Dissolved Oxygen

9. BOD : Biological Oxygen Demand

a. Suhu

Dari hasil pengukuran suhu pada masing-masing stasiun penelitian, nilai rata- rata suhu berkisar antara 28,5 - 30,50C, nilai suhu tertinggi terdapat pada stasiun 5 dengan nilai 30,50C. Suhu pada masing-masing stasiun dan kedalaman relatif konstan, suhu yang konstan disebabkan karena adanya pencampuran air yang merata sehingga perbedaan suhu dari kedalaman yang berbeda tidak ada. Dengan kisaran suhu seperti ini dapat dikategorikan bahwa perairan Danau Siais masih layak untuk diminum sesuai dengan baku mutu air PP No.82 tahun 2001.

Menurut Hutabarat, (2000), bahwa suhu merupakan faktor pembatas bagi proses produksi fitoplankton. Jika suhu terlalu tinggi dapat merusak jaringan tubuh fitoplankton sehingga proses fotosintesis terganggu. Menurut Barus, (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Disamping itu pola temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen (faktor yang diakibatkan oleh manusia).

b. Penetrasi Cahaya

Hasil pengukuran penetrasi cahaya pada kelima stasiun berkisar antara 1,9 – 2,2 m. penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 2 dengan nilai penetrasi 2,2 meter. Edward, (1995) menyatakan kecerahan yang baik untuk kehidupan biota adalah jumlah cahaya yang masuk tidak terlalu besar, sehingga proses fotosintesis dapat berjalan seimbang dan jumlah fitoplanton memadai untuk kehidupan semua biota perairan.

Menurut Sastrawijaya, (1991), partikel yang tersuspensi akan menghamburkan cahaya yang datang, sehingga akan menurunkan intensitas cahaya yang ditransmisikan. Padatan tersuspensi akan mempengaruhi transparansi dan warna air. Sifat transparan ada hubungan dengan produktivitas primer.

c. Intensitas Cahaya

Nilai rata-rata intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian berkisar antara 1375 – 1991 lux. Menurut Erlina, (2007) menyatakan bahwa intensitas cahaya dipengaruhi oleh faktor kedalaman dan cuaca yaitu adanya awan. Awan yang melintas mengakibatkan isolation (pemanasan lautan atau daratan oleh sinar matahari) berkurang karena awan menyerap dan menyebarkan sinar-sinar yang datang.

Antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi cahaya. Jumlah radiasi yang mencapai permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh awan, ketinggian dari permukaan air laut, letak geografis dan musiman (Tarumingkeng, 2001).

d. Total Dissolved Solid (TDS)

Dari pengukuran yang telah dilakukan, besarnya nilai padatan terlarut di Danau Siais berkisar 142 – 163 mg/l, dimana padatan terlarut tertinggi berada di stasiun 4. Nilai padatan terlarut pada kelima stasiun masih berada dalam ambang batas baku mutu air kelas I (PP No.82 tahun 2001). Menurut Hutter, (1990) dalam Barus, (2004) menyatakan pada perairan yang konsentrasi mineralnya sedikit mempunyai harga total dissolved solid berkisar antara 50 – 400 mg/l, sementara pada perairan yang kaya akan mineral mempunyai harga total dissolved solid pada kisaran antara 500 – 2000 mg/l.

e. Total Suspended Solid (TSS)

Jumlah padatan tersuspensi pada perairan berpengaruh terhadap penetrasi cahaya. Semakin tinggi padatan terlarut berarti akan semakin menghambat penetrasi cahaya ke dalam perairan. Hal ini secara langsung akan berakibat terhadap penurunan aktivitas dari fotosintesis oleh organisme berhijau daun yang terdapat pada perairan. Dari pengukuran yang telah dilakukan, besarnya nilai padatan tersuspensi berkisar

antara 32-34 mg/l. Nilai padatan tersuspensi dari kelima stasiun masih berada dalam ambang batas baku mutu air kelas I (PP No.82 tahun 2001).

Wofsy, (1983) dalam Cloern, (1987) menyatakan cahaya dapat menjadi faktor pembatas bagi fotosintesis ketika konsentrasi partikel tersuspensi melebihi 50 mg/l. Nybakken, (1987) menyatakan bahwa pengaruh ekologi utama dari kekeruhan adalah penurunan penetrasi cahaya secara mencolok. Selanjutnya hal ini akan menurunkan fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan bentik, yang mengakibatkan turunnya produktivitas.

d. pH Air

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai pH pada masing-masing stasiun penelitian, pH berkisar antara 5,7-7,4. Nilai rata-rata pH tertinggi terdapat pada stasiun 5 yakni 7,4, sedangkan nilai terendah diperoleh pada stasiun 2 dengan nilai 5,7 dan sudah berada di bawah baku mutu air kelas I. Menurut Barus (2004), organisme air dapat hidup dalam suatu perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam lemah sampai basah lemah. pH mempunyai peranan penting dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan di air, sehingga pH dalam suatu perairan dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menyatakan baik buruknya suatu perairan sebagai lingkungan hidup.

Banerjea (1971), menyatakan bahwa nilai pH yang berkisar antara 6,5-8,5 menunjukkan tingkat kesuburan perairan tersebut berkisar antara cukup produktif sampai produktif. Menurut Sutrisno, (1991), bahwa kebanyakan mikroorganisme seperti fitoplankton tumbuh baik pada pH 6,0-8,0.

h. Oksigen Terlarut (DO = Dissolved Oxygen)

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai oksigen terlarut pada masing- masing stasiun penelitian maka diperoleh nilai rata-rata oksigen terlarut berkisar

antara 7,1-7,6 mg/l. Nilai oksigen terlarut dari kelima stasiun masih berada dalam ambang batas baku mutu air minum kelas I (PP No.82 tahun 2001). Menurut Effendi (2003), kadar oksigen terlarut dalam perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman bergantung pada pencampuran, dan pergerakan massa air, aktifitas fotosintesis, respirasi dan limbah. Menurut Barus (2004), sumber oksigen terlarut dalam air adalah penyerapan oksigen dari udara, melalui kontak antara permukaan dengan udara, dan dari proses fotosintesis. Organisme air akan hidup dengan baik jika nilai oksigen terlarut lebih besar dari 5,0 mg/l air.

Menurut Eden, (1990) oksigen merupakan hasil sampingan dari fotosintesis sehingga ada hubungan erat antar produktivitas dengan oksigen yang dihasilkan. Oksigen yang terlarut digunakan oleh organisme untuk melakukan proses pembakaran bahan makanan dan proses tersebut menghasilkan energi untuk keperluan aktivitas organisme. Odum, (1993) mengatakan kebutuhan oksigen terlarut pada organisme sangat bervariasi tergantung jenis, stadia dan aktivitasnya.

i. Biological Oxygen Demand (BOD5)

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai BOD5 pada kelima stasiun

penelitian maka diperoleh nilai BOD5 berkisar antara 0,2-0,6 mg/l. Nilai oksigen

terlarut dari kelima stasiun masih berada dalam ambang batas baku mutu air minum kelas I (PP No.82 tahun 2001).

Menurut Sastrwijaya (1991), perairan alami memiliki nilai BOD antara 0.5-7.0 mg/l. Perairan yang memiliki nilai BOD5 lebih dari 10 mg/l dianggap tercemar. Menurut Effendi (2003), BOD5 merupakan gambaran kadar bahan organik,

yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air. BOD5 hanya menggambarkan bahan organik

glukosa dan sebagainya. Bahan organik dapat berasal dari pembusukan tumbuhan dan hewan yang mati atau hasil buangan limbah dari domestik dan industri.

j. Chemical Oxygen Demand (COD)

Dari hasil pengukuran yang dilakukan diperoleh nilai COD (Chemical Oxygen Demand) berkisar antara 3.1552-5.5216mg/l. Secara keseluruhan nilai COD yang di dapat dari kelima stasiun tergolong rendah dan masih berada dalam ambang batas baku mutu air minum kelas I (PP No.82 tahun 2001).

Menurut Kristanto (2002), untuk mengetahui jumlah bahan organik di dalam air dapat dilakukan suatu uji berdasarkan reaksi kimia dari suatu bahan oksidan, misalnya Kalium Dikromat, untuk mengoksidasi bahan-bahan organik yang terdapat dalam air. Banyaknya bahan organik yang tidak mengalami penguraian biologis secara cepat berdasarkan pengujian BOD5, tetapi senyawa organik tersebut juga

menurunkan kualitas air. Bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi dalam uji COD.

h. Nitrat

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai nitrat pada masing-masing stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai nitrat berkisar antara 0.0319 -0.0544 mg/l. Secara keseluruhan nilai nitrat yang di dapat dari kelima stasiun masih berada dalam ambang batas baku mutu air minum kelas I (PP No.82 tahun 2001).

Menurut Barus (2004), nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk algae dan fitoplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang dapat mematikan organisme air. Odum, (1971) zat-zat hara anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak adalah nitrogen dan fosfor. Nitrogen dalam perairan tawar biasanya

ditemukan sedikit dalam bentuk molekul N 2 terlarut, amonia, NH4 + (nitrogen), nitrit (NO 2 - ), nitrat (NO 3 -

) dan sejumlah besar persenyawaan organik.

i. Fosfat

Berdasarkan hasil pengukuran terhadap nilai fosfat pada masing-masing stasiun penelitian maka diperoleh rata-rata nilai fosfat berkisar antara 0.0897-0.2125 mg/l. Secara keseluruhan nilai fosfat yang di dapat dari kelima stasiun masih berada dalam ambang batas baku mutu air minum kelas I (PP No.82 tahun 2001).

Fosfat dalam perairan berasal dari sisa-sisa organisme dan pupuk yang masuk dalam perairan. Menurut Wetzel, (1977), bahwa fitoplankton dapat menggunakan unsur fosfor dalam bentuk fosfat yang sangat penting bagi pertumbuhannya. Fosfor dalam bentuk ikatan fosfat dipakai fitoplankton untuk menjaga keseimbangan kesuburan perairan.

Jollenweider, (1968) dalam Wetzel, (1975) menyatakan bahwa kandungan orthofosfat dalam air merupakan karakteristik kesuburan perairan tersebut. Perairan yang mengandung orthofosfat antara 0,003-0,010 mg/L merupakan perairan yang oligotrofik, 0,01-0,03 mg/L adalah mesotrofik dan 0,03-0,1 mg/L adalah eutrofik. Sedangkan perairan yang mengandung nitrat dengan kisaran 0-1 mg/L termasuk perairan oligotropik, 1-5 mg/L adalah mesotrofik dan 5-50 mg/l adalah eutrofik.

Dokumen terkait