• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

3.5 Faktor Fisik Kimia Perairan

Hasil pengukuran dan analisis laboratorium terhadap faktor fisik-kimia perairan yang diperoleh pada masing-masing stasiun penelitian didapatkan seperti pada Tabel 3.5

Tabel 3.5 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

No. Parameter Satuan Stasiun

1 2 3

1. Suhu °C 28 29 30

2. pH - 7,3 7,5 7,8

3. Salinitas 0/00 27 27,5 28

4. Intensitas Cahaya Candela 473 562 497

5. Penetrasi Cahaya M 2,51 1,96 2,64 6. DO Mg/l 5,7 4,6 4,2 7. BOD5 Mg/l 2,7 3,1 3,3 8. Kejenuhan O2 % 73,54 60,20 55,77 9. Amoniak Mg/l 0,428 0,432 0,508 10. Phosphat Mg/l 0,026 0,030 0,032 Keterangan: a. Stasiun 1 : Kontrol

b. Stasiun 2 : Pertambakan Ikan c. Stasiun 3 : pemukiman penduduk

3.5.1 Suhu

Hasil pengukuran menunjukan bahwa suhu air berkisar antara 28-29 oC, dengan suhu tertinggi pada stasiun 3 yaitu 30oC (daerah pemukiman penduduk) dan terendah pada stasiun 1 yaitu 28 oC (daerah kontrol). Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Efendi (2003) dalam Yuliana (2007) bahwa kisaran suhu yang optimum untuk pertumbuhan plankton di perairan adalah 20-30oC.

Menurut Subarijanti (1990), suhu ini memungkinkan badan air untuk mengikat oksigen bebas dari udara secara optimal. Suhu perairan dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang masuk kedalam air, juga berpengaruh terhadap kelarutan gas dan unsur-unsur dalam air. Sedangkan perubahan suhu dalam kolom air akan menimbulkan arus secara vertikal. Secara langsung maupun tidak langsung, suhu berperan dalam ekologi dan distribusi plankton baik fitoplankton maupun zooplankton.

3.5.2 pH

Dari penelitian yang telah dilakukan pada stasiun 3 diperoleh nilai pH (derajat keasaman) yang tertinggi sebesar 7,8 sedangkan nilai pH terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 7,3. Tingginya pH pada daerah ini disebabkan oleh adanya berbagai macam aktivitas yang menghasilkan senyawa organik maupun anorganik yang selanjutnya akan mengalami penguraian. Namun secara keseluruhan pH pada stasiun penelitian masih tergolong normal yang berkisar antara 7,3-7,8.

Menurut Kristanto (2002, hlm: 73-74), niali pH air yang normal adalah sekitar netral yaitu 6-8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya air limbah (buangan) berbeda-beda tergantung pada jenis limbahnya. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi. Semakin lama pH air akan menurun menuju kondisi asam. Hal ini disebabkan oleh bertambahnya bahan-bahan organik yang membebaskan CO2 jika mengalami proses penguraian.

3.5.3 Salinitas

Nilai salinitas yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 27-280/00. Salinitas tertinggi diperoleh pada stasiun 3 sebesar 28 0/00, sedangkan nilai salinitas terendah diperoleh pada stasiun 1 sebesar 27 0/00. Hal ini disebabkan karena banyaknya limbah pemukiman masyarakat yang dapat meningkatkan kadar garam tersebut.

Menurut Barus (2004, hlm: 73) Secara alami kandungan garam terlarut dalam air meningkat apabila populasi fitoplankton menurun. Hal ini dapat terjadi karena melalui aktivitas respirasi pada hewan dan bakteri air akan meningkatkan proses proses mineralisasi yang menyebabkan kadar garam air meningkat. Garam-garam tersebut meningkat kadarnya dalam air karena tidak lagi dikonsumsi oleh fitoplankton yang mengalami penurunan jumlah populasi tersebut. Proses penguraian bahan organik dalam air, yang berasal dari pembuangan limbah cair misalnya, melalui proses biodegredasi akan meningkatkan garam-garam nutrisi yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai jenis alga dan fitoplankton lain. Hal ini akan menyebabkan kadar garam terlarut terlarut dalam air akan mengalami fluktuasi sesuai dengan fluktuasi dari populasi fitoplankton dan fluktuasi dari jumlah bahan organik yang ada dalam air. Toleransi dari organisma air terhadap kadar salinitas dapat dibedakan antara stenohalin, yaitu organisme yang mempunyai kisaran toleransi yang sempit terhadap fluktuasi salinitas, sedangkan euryhalin adalah organisme yang mempunyai air yang mempunyai toleransi yang luas/besar terhadap fluktuasi salinitas air.

3.5.4 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa intensitas cahaya yang tertinggi terhadap di stasiun 2 (keramba ikan) yaitu 562 Candela. Pengukuran dilakukan pada siang hari yang sangat cerah atau dapat dikatakan bahwa intensitas cahaya yang diukur juga dipengaruhi olah awan.

Menurut Suin (2002), prinsip penentuan kecerahan air dengan menggunakan keping sechii adalah berdasarkan batas pandangan kedalam air untuk melihat warna putih yang berada dalam air. Semakin keruh suatu perairan, akan semakin dekat batas pandangan, sebaliknya kalau air jernih, akan jauh batas pandangan tersebut. (tarumingkeng, 2001) antara penetrasi cahaya dan intensitas cahaya saling mempengaruhi. Semakin maksimal intensitas cahaya, maka semakin tinggi penetrasi cahaya. Jumlah radiasi yang mencapai permukaan perairan sangat dipengaruhi oleh awan. Ketinggian dari permukaan air laut, letak geografis dan musiman.

3.5.5 Penetrasi Cahaya

Nilai Penetrasi cahaya yang diperoleh dari ketiga stasiun penelitian berkisar 1,96-2,64 m. Penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 3 (daerah pemukiman penduduk) sebesar 2,64 m, sedangkan penetrasi cahaya terendah terdapat pada stasiun 2 (daerah pertambakan ikan) sebesar 1,96 m.

Menurut Sastrawijaya (1991, hlm: 99), padatan terlarut dalam air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, lumpur, sisa tanaman dan hewan dan limbah industri. Partikel yang tersuspensi akan menghamburkan cahaya yang ditransmisikan. Padatan tersuspensi akan mempengaruhi ketransparanan dan warna air. Sifat transparan ada hubungan dengan produktivitas. Menurut Agusnar (2007, hlm: 16), padatan tersuspensi akan mengurangi penetrasi cahaya kedalam air sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis.

3.5.6 DO (Disolved Oxygen)

Dari Hasil pengukuran dilakukan diperoleh nilai oksigen terlarut antara 4,2-5,7 mg/l pada setiap stasiun penelitian. Nilai oksigen terlarut yang tertinggi pada stasiun 1 sebesar 5,7 mg/l. Hal ini disebabkan oleh banyaknya tumbuhan air pada stasiun ini yang mensuplai

oksigen dari hasil fotosintesis dan suhu yang tidak terlalu tinggi pada stasiun ini sehingga oksigen yang digunakan untuk penguraian secara aerob hanya sedikit. Nilai oksigen yang terendah terdapat pada stasiun 3 sebesar 4,2 mg/l. Hal ini disebabkan oleh adanya senyawa organik dan organik yang membutuhkan oksigen untuk menguraikan senyawa ini dan tingginya suhu serata rendahnya penetrasi cahaya pada stasiun ini.

Menurut Sastrawijaya (1991, hlm: 85), oksigen terlarut bergantung kepada suhu, kehadiran tanaman fotosintetik, tingkat penetrasi cahaya yang bergantung kepada kedalaman dan kekeruhan air, tingkat kederasan aliran air, jumlah bahan organik yang diuraikan dalam air seperti sampah, ganggang mati atau limbah industri. Jika tingkat oksigen terlarut rendah, maka organisme aerob akan menguraikan bahan organik dan menghasilkan bahan seperti metana dan hidrogen sulfida. Zat-zat yang menyebabkan air berbau busuk.

3.5.7 BOD5 (Biological Oxygen Demand)

BOD5 (Biological Oxygen Demand) yang diperoleh dari hasil penelitian diketahui bahwa BOD yang tertinggi terdapat di stasiun 3 sebesar 3,3 mg/l. Hal ini disebabkan karena banyaknya kandungan senyawa organik dan anorganik dalam badan perairan yang membutuhkan oksigen untuk menguraikannya. BOD terendah terdapat pada stasiun 1 (daerah kontrol) yaitu 2,2 mg/l.

Menurut Kristanto (2002, hlm: 87) BOD menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme hidup untuk menguraikan atau mengoksidasi bahan-bahan buangan di dalam air. Jika konsumsi oksigen tinggi, yang ditunjukkan dengan semakin kecilnya sisa oksigen terlarut dalam air, maka berarti kandungan bahan buangan yang membutuhkan oksigen adalah tinggi. Menurut Agusnar (2007, hlm: 22), bahan-bahan buangan yang memerlukan oksigen terutama terdiri dari bahan-bahan-bahan-bahan organik dan mungkin beberapa bahan anorganik. Polutan semacam ini berasal dari berbagai sumber

seperti kotoran hewan maupun manusia, tanaman-tanaman mati atau sampah organik, bahan-bahan buangan industri dan sebagainya.

3.5.8 Kejenuhan Oksigen

Nilai kejenuhan oksigen tertinggi dari hasil penelitian terdapat pada stasiun 1 sebesar 73,54% dan terendah pada stasiun 3 sebesar 55,77%. Hal ini menunjukkan bahwa pada stasiun 1 memiliki defisit oksigen yang lebih kecil dan respirasi meningkat dari seluruh stasiun penelitian yang dapat memberikan informasi bahwa daerah ini memiliki tingkat pencemaran yang lebih rendah.

Menurut Barus (2004, hlm: 60), Untuk dapat mengukur tingkat kejenuhan oksigen suatu contoh air, maka disamping mengukur konsentrasi oksigen dalam mg/L, diperlukan pengukuran temperatur dari ekosistem air tersebut, kehadiran senyawa organik akan menyebabkan terjadinya proses penguraian yang dilakukan oleh mikroorganisme dan berlangsung secara aerob, artinya membutuhkan oksigen. Peranan temperatur sangat penting untuk diamati terutama dalam kaitannya untuk menilai kandungan oksigen dalam suatu contoh air yang diukur.

3.5.9 Amoniak

Dari data pada tabel 3.5 menunjukan bahwa hasil pengukuran amoniak berkisar antara 0,428-0,508 mg/l. Nilai kandungan amoniak tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,0508 mg/l. Hal ini disebabkan karena pada stasiun ini limbah domestik yang masuk kebadan perairan banyak mengandung senyawa anorganik dibandingkan senyawa organik. Sedangkan kandungan amoniak terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,428 mg/l. Banyaknya senyawa organik dapat dilihat dari nilai BOD.

Menurut barus (2004, hlm: 69), nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit. Nitrat merupakan zat nutrisi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk algae dan fitoplankton untuk dapat tumbuh dan berkembang, sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang bisa mematikan organisme air.

3.5.10 Kadar Phosfat

Dari tabel 3.5 diperoleh hasil pengukuran phosfat berkisar antara 0,026-0,032 mg/l. Dari data tersebut diperoleh nilai phosfat tertinggi terdapat pada stasiun 3 sebesar 0,032 mg/l. Hal ini dikarenakan pada stasiun 3 merupakan lokasi pembuangan limbah domestik. Sedangkan nilai phosfat terendah terdapat pada stasiun 1 sebesar 0,026 mg/l. Hal ini karena pada stasiun 1 merupakan daerah kontrol (tanpa aktivitas) sehingga tidak ada masukan nutrisi dari luar yang dapat mempengaruhi kandungan phosfat pada stasiun ini.

Dokumen terkait