• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.5. Faktor Fisik Kimia Perairan

Hasil pengukuran faktor fisik kimia perairan yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian di Perairan Danau Toba Desa Silalahi dapat dilihat pada Tabel 4.5. berikut:

Tabel 4.5. Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

No Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

1 Temperatur oC 21 24 25 23

2 Penetrasi Cahaya Cm 4,1 4,4 3,8 3,9

3 Intensitas Cahaya Candella 405 x 2000 428 x 2000 340 x 2000 342x 2000

4 pH air 7,8 7,7 7,8 7,3 5 DO mg/L 5 5 4,2 6,3 6 BOD5 mg/L 4,7 4,7 5,9 4,9 7 Kejenuhan Oksigen % 57,60 60,60 51,78 75,17 8 Nitrat mg/L 1,14 1,08 1,26 0,86 9 Posfat mg/L 0,15 0,13 0,18 0,11 Keterangan:

Stasiun 1 : Daerah PLTA

Stasiun 2 : Daerah Pariwisata

Stasiun 3 : Daerah Keramba

Stasiun 4 : Daerah Bebas Aktifitas

Dari Tabel 4.5. dapat dilihat bahwa nilai setiap faktor fisik kimia perairan memiliki perbedaan pada setiap stasiun. Hal ini juga secara langsung akan mempengaruhi kelimpahan fitoplankton pada setiap stasiunnya.

24

a. Temperatur

Dari Tabel 4.5. diperoleh nilai rata-rata temperatur tertinggi terdapat pada stasiun

3 dengan nilai 25 oC. Hal ini disebabkan pada stasiun 3 yang merupakan daerah

keramba paparan cahaya yang masuk ke badan perairan lebih besar sehingga dapat meningkatkan temperatur sekitar perairan dan juga pada daerah keramba tersebut terjadi penguraian pelet pakan ikan yang pada prosesnya dapat menghasilkan panas. Sedangkan nilai temperatur terendah terdapat pada stasiun 1

dengan nilai 210 C. Hal ini disebabkan pada stasiun 1 yang merupakan daerah

PLTA, hal ini disebabkan karena pembuangan limbah cair dari PLTA.

Menurut Barus (2004), pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Disamping itu pola temperatur perairan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor anthropogen (faktor yang diakibatkan manusia) seperti limbah panas yang berasal dari air pendingin pabrik, penggundulan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang menyebabkan hilangnya perlindungan sehingga badan air terkena cahaya matahari secara langsung.

b. Penetrasi Cahaya

Dari Tabel 4.5. diperoleh penetrasi cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 2 dengan nilai 4,4 cm yaitu daerah pariwisata sedangkan yang terendah di stasiun 3 dengan 3,8 cm yaitu daerah keramba. Hal ini disebabkan karena masukan zat-zat terlarut ke badan perairan seperti buangan dari aktivitas manusia. Selain itu sedikitnya vegetasi pada daerah tepi danau ini.

Menurut Barus (2004), bahwa kedalaman penetrasi cahaya akan berbeda pada setiap ekosistem air yang berbeda. Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya. Sastrawijaya (1991) menambahi padatan terlarut pada air umumnya terdiri dari fitoplankton, zooplankton, kotoran manusia, lumpur, sisa tanaman dan hewan serta limbah industri. Partikel yang tersuspensi akan menurunkan penetrasi cahaya yang masuk sehingga akan mempengaruhi tingkat transparansi dan warna air. Dengan minimnya penetrasi cahaya yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi regenerasi oksigen serta fotosintesis tumbuhan air.

Cholik et al., (1988) juga menambahkan bahwa kecerahan yang produktif adalah

c. Intensitas Cahaya

Dari Tabel 4.5. diperoleh nilai intensitas cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 2 yang merupakan daerah pariwisata dengan nilai 428 x 2000 Candella dan terendah pada stasiun 4 yang merupakan daerah PLTA dengan nilai 401 x 2000 Candella. Adanya perbedaan intensitas cahaya ini disebabkan karena adanya perbedaan tutupan vegetasi (kanopi) pada setiap stasiunnya.

Menurut Barus (2004), terjadinya penurunan nilai penetrasi cahaya disebabkan oleh kurangnya intensitas cahaya matahari yang masuk ke badan peairan, adanya kekeruhan oleh zat-zat terlarut dan kepadatan plankton di suatu perairan menyebabkan penetrasi cahaya pada suatu ekosistem perairan pada umumnya lebih tinggi dan faktor cahaya matahari yang masuk ke dalam air akan mempengaruhi sifat-sifat optis dari air. Sebagian cahaya matahari akan diabsorbsi

dan sebagian lagi akan dipantulkan keluar permukaan air.

d. pH

Dari Tabel 4.5. diperoleh pH tertinggi terdapat pada stasiun 1 dan 3 dengan nilai 7,8 sedangkan pH terendah terdapat pada stasiun 4 dengan nilai 7,3. Tinggi rendahnya pH air pada setiap stasiun dapat disebabkan oleh adanya berbagai macam aktifitas yang menghasilkan senyawa organik maupun anorganik yang mengalami penguraian sehingga mempengaruhi pH suatu perairan. Kisaran pH di perairan ini masih mendukung kehidupan plankton yang hidup di dalamnya.

Menurut Sinambela (1994), dalam Surbakti (2009), kehidupan di dalam

air masih dapat bertahan bila perairan mempunyai kisaran pH 5-9 Barus (2004),

menambahkan pada ekosistem perairan yang mengalami laju fotosintesis yang tinggi akan dibutuhkan karbondioksida yang banyak. Nilai pH suatu ekosistem air dapat berfluktuasi terutama dipengaruhi oleh aktifitas fotosintesis.

e. Oksigen Terlarut (DO)

Dari Tabel 4.5. diperoleh nilai DO tertinggi terdapat pada stasiun 4 yang merupakan daerah bebas aktifitas dengan nilai 6,3 mg/L sedangkan nilai DO terendah pada stasiun 2 yang merupakan daerah pariwisata. Hal ini dipengaruhi adanya pergerakan massa air dengan adanya kontak antara permukaan air dan udara, proses fotosintesis dan respirasi dari orgainisme perairan termasuk fitoplankton dan alga, sehingga kadar oksigen terlarut lebih tinggi dan rendahnya oksigen terlarut disebabkan adanya masukansenyawa organik dan anorganik sehingga dibutuhkan oksigen untuk menguraikan senyawa tersebut dan tingginya

26

suhu yang menimbulkan konsumsi oksigen meningkat oleh biota air yang menyebabkan terjadinya defisit oksigen terlarut di stasiun tersebut.

Menurut Siregar (2009), bahwa banyaknya tumbuhan air akan memberikan suplai oksigen terhadap perairan tersebut dan penguraian secara aerob hanya sedikit pada suhu yang tidak terlalu tinggi dan Barus (2004) juga menambahkan bahwa fluktuasi dipengaruhi oleh aktifitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Nilai oksigen terlarut dalam perairan sebaiknya berkisar antara 6-8 mg/L.

f. BOD5 (Biochemical Oxygen Demand)

Dari Tabel 4.5. diperoleh nilai BOD5 tertinggi terdapat padat stasiun 3 yang

merupakan daerah keramba dengan nilai 5,9 mg/L dan yang terendah terdapat pada stasiun 4 yang merupakan daerah bebas aktifitas dengan nilai 4.9 mg/L. Hal ini disebabkan karena daerah ini merupakan daerah industri PLTA yang limbah cairnya langsung masuk ke dalam badan air ini sehingga banyaknya bahan organik ini membutuhkan penguraian oleh mikroba yang mengakibatkan

tingginya nilai BOD di stasiun ini dan rendahnya nilai BOD5 pada stasiun 4 ini

disebabkan daerah ini merupakan daerah bebas aktivitas atau daerah kontrol yang sangat sedikit adanya beban masukan sehingga jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan senyawa organik itu rendah.

Menurut Effendi (2003), BOD5 merupakan gambaran kadar bahan

organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk

mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air. BOD5 hanya

menggambarkan bahan organik yang dapat diuraikan secara biologis. Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, glukosa dan sebagainya. Bahan organik dapat berasal dari pembusukan tumbuhan dan hewan yang mati atau hasil buangan limbah domestik dan industri.

g. Kejenuhan Oksigen

Dari Tabel 4.5. dapat diperoleh nilai tertinggi terdapat pada stasiun 4 dengan nilai 75,17%. yang merupakan daerah bebas aktifitas dan nilai terendah terdapat pada stasiun 3 dengan nilai 51,78% yang merupakan daerah keramba.

Menurut Barus (2004), nilai oksigen terlarut di suatu perairan mengalami fluktuasi harian maupun musiman. Fluktuasi ini dipengaruhi oleh temperatur dan juga aktifitas fotosintesis dari tumbuhan yang menghasilkan oksigen. Faktor yang

dapat menurunkan kadar oksigen dalam air adalah kenaikan suhu air, respirasi dan masuknya limbah organik.

h. Nitrat

Dari Tabel 4.5. diperoleh nilai paling tinggi pada stasiun 2 dengan nilai 1,26 mg/L yang merupakan daerah keramba, sedangkan nilai terrendah pada stasiun 0,86 mg/L yang merupakan daerah kontrol. Hal ini disebabkan karena banyakan aktivitas yang menyebabkan limbah yang dibuang langsung ke badan perairan sehingga ikan yang mengandung protein akan diuraikan oleh mikroba sehingga menjadi nitrat kemudian meningkatkan nilai nitrat pada daerah ini.

Menurut Barus (2004), nitrat merupakan produk akhir dari proses penguraian protein dan nitrit dan serta merupakan zat yang dibutuhkan tumbuhan untuk dapat tumbuh dan berkembang dan Siregar (2009) juga menambahkan tinggi rendahnya nilai nitrit dipengaruhi oleh masukan bahan organik dan anorganik pada suatu perairan. Nilai nitrit yang terdapat pada kawasan industri relatif lebih tinggi dibandingkan kawasan yang tidak ada hasil anthropogenik. Sumber nitrit berasal dari pembusukan vegetasi dan juga hasil pembuangan limbah industri.

i. Posfat

Dari Tabel 4.5. diperoleh nilai phosfat tertinggi terdapat pada stasiun 2 dengan nilai 0,18 mg/L yang merupakan daerah keramba, sedangkan yang terendah terdapat pada stasiun 4 dengan nilai 0,11 mg/L yang merupakan daerah kontrol. Tinggi rendahnya nilai phosfat dipengaruhi oleh konsentrasi senyawa organik maupun anorganik pada suatu perair

Perbedaan ini disebabkan kuantitas yang dihasilkan lebih tinggi konsentrasinya dibanding limbah buangan PLTA sehingga konsentrasi fosfat di perairan lebih tinggi. Sumber fosfat berasal dari perairan alami dan antropogenik seperti industri dan domestik. Fosfat pada perairan alami berasal dari pelapukan batuan mineral dan antropogenik berasal dari aktivitas industri dan domestik (Effendi, 2003).

4.6. Analisis Korelasi Pearson antara Faktor Fisik-Kimia dengan Indeks

Dokumen terkait