• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.3 Prosedur Kerja

3.4.2 Faktor Kondisi 30

Faktor kondisi (K) dihitung berdasarkan pada panjang dan berat ikan sampel. Apabila pertumbuhan ikan isometrik (b=3), maka faktor kondisi menggunakan rumus (Effendie, 1997) :

Keterangan : K = Faktor kondisi

W = Berat rata-rata ikan dalam satu stasiun (g) L = Panjang rata-rata ikan dalam satu stasiun (mm)

Ikan yang mempunyai pertumbuhan bersifat alometrik apabila b ≠ 3, maka persamaan yang digunakan adalah :

Keterangan :

K = Faktor kondisi

W = Berat rata-rata ikan dalam satu stasiun (g) L = Panjang rata-rata ikan dalam satu stasiun (mm) a dan b = Konstanta dari regresi

Apabila nilai K berkisar antara 2 - 4, maka tubuh ikan tergolong agak pipih dan apabila nilai K < 2 menyatakan tubuh ikan tergolong kurang pipih. Variasi nilai K salah satunya bergantung kepada makanan. Semakin besar nilai K maka dapat dikatakan faktor kondisinya baik (Effendie, 1997).

3.4.3 Kebiasaan Makanan

Analisis kebiasaan makanan menggunakan metode Indeks Bagian Terbesar atau Index of Preponderance (IP) yang merupakan gabungan dari metode frekuensi kejadian dan metode volumetrik. Persentase frekuensi kejadian suatu

jenis makanan dihitung berdasarkan jumlah kejadian ditemukannya suatu jenis organisme makanan pada lambung ikan. Rumus Index of Preponderance (IP) oleh Natarajan dan Jhingran dalam Effendie (1979) adalah:

Keterangan :

IP = Index of Preponderance/Indeks Bagian Terbesar (%) Vi = Persentase volume satu macam makanan (%)

Oi = Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan (%) ∑(Vi x Oi) = Jumlah Vi x Oi dari semua macam makanan

Berdasarkan nilai IP, Nikolsky (1963) membedakan makanan ikan ada tiga golongan, yaitu :

a. Makanan utama, jika nilai IP > 40% b. Makanan pelengkap, jika nilai IP 4 - 40 % c. Makanan tambahan, jika nilai IP < 4 %

3.4.4 Analisis Hubungan Antara Faktor Fisik-Kimia Lingkungan Perairan Sungai Asahan dengan Jenis Makanan Ikan Batak (Tor douronensis)

Analisis Korelasi Pearson digunakan untuk mengetahui hubungan antara sifat fisik-kimia perairan Sungai Asahan dengan jenis makanan yang dimakan ikan batak (Tor douronensis). Analisis dilakukan dengan metode komputerisasi SPSS Vers.16.00 (Santoso, 2008).

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak (Tor douronensis)

Hubungan panjang dan berat dapat dilihat dari nilai konstanta b. Perolehan nilai konstanta b = 3, hubungan yang terbentuk adalah isometrik (pertambahan panjang seimbang dengan pertambahan berat). Nilai konstanta b > 3, dinamakan pertumbuhan alometrik positif (ikan montok, pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjang). Nilai konstanta b < 3, dinamakan pertumbuhan alometrik negatif (ikan kurus, pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan berat) (Effendie, 1997). Hasil analisis data hubungan panjang berat ikan batak (Tor douronensis) disajikan pada Tabel 4.1 berikut ini :

Tabel 4.1 Hubungan Panjang-Berat Ikan Batak (Tor douronensis)

Stasiun n (ekor) a b Pola Pertumbuhan

Sungai Ponot 12 1,3561 x 10-5 2,9179 Alometrik Negatif Sungai Baturangin 11 1,0205 x 10-5 3,1855 Alometrik Positif Sungai Tangga 24 1,2761 x 10-5 2,9342 Alometrik Negatif Sungai Parhitean 11 1,9284 x 10-4 2,2589 Alometrik Negatif Sungai Hula-Huli 11 3,1456 x 10-5 2,8029 Alometrik Negatif

Dari hasil analisis hubungan panjang berat ikan batak (Tor douronensis) di Perairan Sungai Asahan (Tabel 4.1) menunjukkan pola pertumbuhan Alometrik, terlihat dari perolehan nilai konstanta b. Nilai b yang menunjukkan pola pertumbuhan Alometrik Positif diperoleh pada stasiun 2 (Sungai Baturangin) yaitu b = 3,1855 (b>3) artinya ikan batak pada stasiun ini termasuk ikan-ikan yang montok karena pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjang, dan nilai b yang menunjukkan pola pertumbuhan Alometrik Negatif (b<3) diperoleh pada stasiun 1 (Sungai Ponot), stasiun 3 (Sungai Tangga), stasiun 4 (Sungai Parhitean), dan stasiun 5 (Sungai Hula-Huli), artinya ikan batak pada stasiun

tersebut termasuk ikan-ikan yang kurus karena pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan berat.

Perbedaan nilai b antara masing-masing stasiun terjadi karena pengaruh faktor ekologi dan biologi, dimana kondisi ekologi tersebut terkait erat dengan ketersediaan makanan dan dinamika kualitas Perairan Sungai Asahan. Banyaknya aktifitas manusia yang terjadi di daerah aliran Sungai Asahan maupun di Sungai Asahan itu sendiri, seperti areal pemukiman, pabrik, objek wisata, serta penangkapan yang berlebihan (overfishing) yang menyebabkan kondisi lingkungan berubah. Hal ini dikarenakan faktor ekologi dan biologi sangat mempengaruhi habitat ikan batak (Tor douronensis). Merta (1993) mengatakan karena sering keadaan lingkungan berubah atau kondisi ikannya berubah, maka hubungan panjang berat ikan akan sedikit menyimpang dari hukum kubik (b ≠ 3). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Sulistiono et al.,(2001), dimana hubungan panjang berat menunjukkan pertumbuhan yang bersifat relatif artinya dapat berubah menurut kondisi lingkungan. Apabila terjadi perubahan terhadap lingkungan dan ketersediaan makanan di perairan tersebut maka diperkirakan nilai konstanta b juga akan berubah.

Perbedaan ukuran berat dan panjang antara tiap ikan tersebut juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, seperti yang telah dikemukakan oleh Djajasewaka (1985), dimana ada dua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ikan yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam ini sulit untuk dilakukan pengontrolan, sedangkan faktor luar mudah untuk pengontrolannya. Adapun yang termasuk faktor dalam adalah faktor keturunan, dimana faktor ini mungkin dapat dikontrol dalam suatu kultur, salah satunya dengan mengadakan seleksi yang baik bagi pertumbuhannya sebagai induk. Faktor luar adalah makanan, dalam hal ini makanan adalah faktor yang paling penting karena dengan adanya makanan berlebih dapat menyebabkan pertumbuhan ikan menjadi lebih pesat. Faktor luar lain yang mempengaruhi yaitu kualitas air, misalnya suhu, oksigen terlarut dan karbondioksida. Hasil analisa hubungan panjang berat ikan batak (Tor douronensis) pada masing-masing stasiun penelitian juga dapat ditunjukkan pada Grafik berikut ini :

Gambar 4.1 Grafik hubungan panjang berat ikan batak (Tor douronensis)

di Stasiun 1 (Sungai Ponot)

Gambar 4.2 Grafik hubungan panjang berat ikan batak (Tor douronensis)

di Stasiun 2 (Sungai Baturangin)

Gambar 4.3 Grafik hubungan panjang berat ikan batak (Tor douronensis)

di Stasiun 3 (Sungai Tangga)

W = 1,3561 x 10-5 L2,9179 r = 0,927 n = 12 -10 0 10 20 30 40 50 0 50 100 150 200 B er a t (g ) Panjang (mm) W = 1,0205 x 10-5 L3,1855 r = 0,989 n = 11 -10 0 10 20 30 40 50 0 50 100 150 200 B er a t (g ) Panjang (mm) W = 1,2761 x 10-5 L2,9342 r = 0,956 n = 24 0 2 4 6 8 10 0 20 40 60 80 100 B er a t (g ) Panjang (mm)

Gambar 4.4 Grafik hubungan panjang berat ikan batak(Tor douronensis) di Stasiun 4 (Sungai Parhitean)

Gambar 4.5 Grafik hubungan panjang berat ikan batak (Tor douronensis)

di Stasiun 5 (Sungai Hula-Huli)

Dari hasil analisis hubungan panjang berat ikan batak (Tor douronensis)

pada masing-masing stasiun penelitian sebagaimana telihat dalam Grafik diatas menunjukkan nilai-nilai koefisien korelasi (r) linear yang merupakan ukuran kesesuaian (goodness of fit) garis regresi terhadap data, semuanya diatas 0,90 (90 %), yaitu dengan perolehan nilai antara 0,90-0,98. Ini menunjukkan bahwa hubungan antara panjang dan berat ikan batak (Tor douronensis) sangat erat pada stasiun penelitian tersebut.

W = 1,9284 x 10-4 L2,2589 r = 0,908 n = 11 -5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 0 50 100 150 200 B er a t (g ) Panjang (mm) W = 3,1456 x 10-5 L2,8029 r = 0,927 n = 11 0 5 10 15 20 25 30 35 0 20 40 60 80 100 120 140 B er a t (g ) Panjang (mm)

4.2 Faktor Kondisi

Faktor kondisi adalah keadaan yang menyatakan kemontokan ikan secara kualitas, dimana perhitungannya didasarkan pada panjang dan berat ikan (Effendie, 1979). Nilai FK salah satunya dipengaruhi oleh keadaan makanan (Weatherly, 1972). Menurut Effendie (1979), harga K berkisar antara 2 - 4 menunjukkan kondisi ikan agak pipih, dan apabila harga K < 2 menunjukkan kondisi ikan kurang pipih. Faktor kondisi ikan batak (Tor douronensis) untuk masing-masing stasiun penelitian disajikan pada Tabel 4.2 berikut ini :

Tabel 4.2 Faktor Kondisi Ikan Batak (Tor douronensis)

No n (ekor)

Stasiun L rataan(mm) W rataan (g) FK=W/aLb

1. 12 Sungai Ponot 117 19,0583 1,2971

2. 11 Sungai Baturangin 94,0909 13,0909 1,5977

3. 24 Sungai Tangga 55,2083 1,8125 1,0988

4. 11 Sungai Parhitean 99,5455 11,5545 1,0937

5. 11 Sungai Hula-Huli 100 14,2364 1,1220

Dari hasil analisis Faktor Kondisi (Tabel 4.2) pada seluruh stasiun penelitian diperoleh Nilai FK < 2, kondisi tersebut menunjukkan bahwa ikan batak tergolong kurang pipih, hal ini berbanding lurus dengan nilai panjang berat yang bersifat Alometrik. Faktor Kondisi ikan tersebut diinterpretasikan sebagai indikasi dari berbagai sifat-sifat biologi ikan batak seperti : kegemukan ikan serta kesesuaian

dengan lingkungannya. Faktor kondisi ikan batak (Tor douronensis) juga bergantung pada berbagai faktor eksternal lingkungan seperti faktor fisik kimia perairan. Variasi nilai FK pada masing-masing stasiun penelitian sangat bergantung kepada makanan serta kualitas lingkungan tempat hidup ikan batak

(Tor douronensis) tersebut. Semakin besar nilai FK maka dapat dikatakan faktor kondisinya baik (Effendie, 1979). Menurut Syahailatua (2004) ikan yang kondisinya baik dapat menggunakan energi untuk mencari makan dibandingkan kondisi yang buruk.

4.3 Kebiasaan Makanan Ikan Batak (Analisis Isi Lambung)

Tabel 4.3 Hasil Analisis Index of Preponderance (IP)Pada Stasiun Penelitian Jenis makanan Index of Preponderance/IP (%)

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 Stasiun 5 Kelas Bacillariophyceae : Cymbella 56,32 12.61 43,67 7,39 - Navicula 13,88 4,87 16,84 46,65 0,21 Diatoma 9,28 6,1 15,33 - 0,09 Nitzschia 4,02 3,87 3,74 2,09 0,14 Stauroneis 3,90 3,99 3,39 0,49 0,02 Surirella 3,79 7,21 3,48 13,39 - Fragilaria 2,73 7,27 2,76 0,28 0,09 Caloneis 1,33 - 3,03 - - Frustulia 1,24 0,44 - 0,84 - Pinnularia 1,08 0,82 1,34 3,35 - Achnanthes 0,56 0,48 0,09 0,14 - Amphipora 0,27 - 0,18 1,81 0,05 Gomphonema 0,11 5,34 - 0,56 - Opephora 0,07 - - - - Bacillaria 0,05 - - 0,28 - Epithemia 0,04 - - 4,39 - Mastogloia 0,04 - - - - Cocconeis 0,01 - - - - Denticula 0,01 0,03 - 0,14 - Rhopalodia - 0,09 - - - Anomoeneis - 0,01 - - - Neidium - 0,01 - 0,49 - Melosira - - 0,09 - - Ceratoneis - - 0,09 - - Tabellaria - - - 2,79 - Gyrosigma - - - 2,09 - Amphipleura - - - 0,35 - Brebissionia - - - 0,14 - KelasChlorophyceae : Gonatozygon 0,01 - 0,09 0,98 - Cosmarium - 0,59 0,27 - - Zygnema - 0,23 0,98 - - Binoclearia - 0,12 - - - Ulothrix - 0,09 0,36 7,74 76,21 Hydrurs - 0,03 - - - Cladophora - - - - 11,02 KelasCryptophyceae : Bangia 1,03 0,01 3,83 2,93 0,77 Kyliniella - 1,52 - - - Kelas Cyanophyceae : Spirulina 0,01 - 0,09 - - Oscillatoria - - - - 0,83 Kelas Xanthophyceae : Characiopsis - - 0,09 - - Kelas Proteobacteria : Thiothrix - 44,25 - - - Kelas Insecta Kaki serangga 0,23 0,01 0,27 0,63 0,03 Total 100 100 100 100 100 Jenis Makanan 23 24 21 24 12

Ikan batak (Tor douronensis) yang tertangkap selama penelitian sebanyak 69 ekor. Hasil analisis lambung ikan batak diperoleh 42 jenis makanan yang dididominasi oleh kelompok fitoplankton. Menurut Nikolsky (1963) kategori pakan utama bagi ikan apabila nilai Indeks Preponderan (IP) lebih besar dari 40%, pakan pelengkap 4%<IP<40% dan pakan tambahan apabila IP kurang dari 4%. Komposisi jenis makanan utama dan makanan pelengkap ikan batak (Tor douronensis) berdasarkan nilai Index of Preponderance (%) pada masing-masing stasiun penelitian juga dapat ditunjukkan pada diagram berikut ini :

Index of Preponderance (%) Pada Stasiun 1 (Sungai Ponot)

Gambar 4.6 Diagram Komposisi Makanan Ikan Batak di Stasiun 1 (Sungai Ponot)

Dari hasil analisis isi lambung ikan batak (Tor douronensis) yang ditunjukkan pada Gambar 4.6 diketahui bahwa makanan utama ikan batak (Tor douronensis) yang diperoleh pada stasiun 1 (Sungai Ponot) berasal dari kelas Bacillariophycea dari genera: Cymbella dengan perolehan Nilai Indeks Preponderan (%) sebesar 56,32%. Makanan pelengkap yang diperoleh juga berasal dari kelas Bacillariophycea sebanyak 3 komposisi jenis makanan yaitu dari genera : Navicula (13,88%), Diatoma (9,28%), dan Nitzschia (4,02%).

1 2 3 4 1. Cymbella (56,32%) 2. Navicula (13,88%) 3. Diatoma (9,28%) 4. Nitzschia (4,02%)

Index of Preponderance (%) Pada Stasiun 2 (Sungai Baturangin)

Gambar 4.7 Diagram Komposisi Makanan Ikan Batak di Stasiun 2 (Sungai Baturangin)

Dari hasil analisis isi lambung ikan batak (Tor douronensis) yang ditunjukkan pada Gambar 4.7 diketahui bahwa makanan utama ikan batak (Tor douronensis) pada stasiun 2 (Sungai Baturangin) berasal dari Kelas Proteobacteria dari genera : Thiothrix dengan perolehan Nilai Indeks Preponderan (%) sebesar 44,25%. Makanan pelengkap sebanyak 6 komposisi jenis makanan berasal dari Kelas Bacillariophycea yaitu dari genera: Cymbella (12,61%), Fragilaria

(7,27%), Surirella (7,21%), Diatoma (6,1%), Gomphonema (5,34%), dan

Navicula (4,87%).

Index of Preponderance (%) Pada Stasiun 3 (Sungai Tangga)

Gambar 4.8 Diagram Komposisi Makanan Ikan Batak di Stasiun 3 (Sungai Tangga)

Dari hasil analisis isi lambung ikan batak (Tor douronensis) yang ditunjukkan pada Gambar 4.8 diketahui bahwa makanan utama ikan batak (Tor douronensis) pada stasiun 3 (Sungai Tangga) berasal dari Kelas Bacillariophycea dari genera: Cymbella dengan perolehan Nilai Indeks Preponderan (%) sebesar

1 2 3 4 5 6 7 1. Thiothrix (44,25%) 2. Cymbella (12,61%) 3. Fragilaria (7,27%) 4. Surirella (7,27%) 5. Diatoma(6,1%) 6. Gomphonema (5,34%) 7. Navicula (4,87%) 1 2 3 1. Cymbella (43,67%) 2. Navicula (16,84%) 3. Diatoma (15,33%)

43,67%. Makanan pelengkap sebanyak 2 komposisi jenis makanan juga berasal dari Kelas Bacillariophycea yaitu dari genera : Navicula (16,84%), dan Diatoma

(15,33%).

Index of Preponderance (%) Pada Stasiun 4 (Sungai Parhitean)

Gambar 4.9 Diagram Komposisi Makanan Ikan Batak di Stasiun 4 (Sungai Parhitean)

Dari hasil analisis isi lambung ikan batak (Tor douronensis) yang ditunjukkan pada Gambar 4.9 diketahui bahwa makanan utama ikan batak (Tor douronensis) pada stasiun 4 (Sungai Parhitean) berasal dari Kelas

Bacillariophyceae yaitu genera : Navicula dengan perolehan Nilai Indeks Preponderan (%) sebesar 46,65%. Makanan pelengkap sebanyak 4 komposisi jenis makanan berasal dari Kelas Bacillariophyceae yaitu dari genera : Surirella

(13,39%), Cymbella (7,39%) dan Epithemia (4,39%) serta berasal dari Kelas Chlorophyceae yaitu dari genera : Ulothrix (7,74%).

Index of Preponderance (%) Pada Stasiun 5 (Sungai Hula-Huli)

Gambar 4.10 Diagram Komposisi Makanan Ikan Batak di Stasiun 5 (Sungai Hula-Huli)

1 2 3 4 5 1. Navicula (46,65%) 2. Surirella (13,39%) 3. Ulothrix (7,74%) 4. Cymbella (7,39%) 5. Epithemia (4,39%) 1 2 1. Ulothrix (76,21%) 2. Cladophora (11,02%)

Dari hasil analisis isi lambung ikan batak (Tor douronensis) yang ditunjukkan pada Gambar 4.10 diketahui bahwa bahwa makanan utama ikan batak

(Tor douronensis) pada stasiun 5 (Sungai Hula-Huli) berasal dari Kelas Chlorophyceae dari genera : Ulothrix dengan perolehan nilai Indeks Preponderan (%) sebesar 76,21%. Makanan pelengkap juga berasal dari Kelas Chlorophyceae yaitu dari genera : Cladophora (11,02%).

Makanan utama yang diperoleh pada stasiun 1 (Sungai Ponot), stasiun 3 (Sungai Tangga), dan Stasiun 4 (Sungai Parhitean) berasal dari Kelas Bacillariophyceae. Pada stasiun 2 (Sungai Baturangin) berasal dari Kelas Proteobacteria. Pada stasiun 5 (Sungai Hula-Huli) berasal dari Kelas Chlorophyceae. Jenis makanan yang mendominasi pada kelima stasiun pengamatan berasal dari kelompok fitoplankton yaitu Kelas Bacillariophyceae.

Banyaknya fitoplankton dari Kelas Bacillariophycae karena jenis tersebut disukai oleh ikan dan fitoplankton tersebut banyak dimanfaatkan serta mudah dicernakan oleh ikan (Sachlan 1982). Barus (2004) selanjutnya menjelaskan bahwa Kelompok fitoplankton yang mendominasi perairan tawar pada umunya terdiri dari Bacillariophycea dan Chlorophyceae serta dari kelompok Cyanophyceae. Menurut Bayuri (2006), Kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae serta Proteobacteria mampu hidup di air tawar yang mempunyai arus yang cepat. Kondisi Perairan Sungai Asahan yang mempunyai arus yang deras mendukung kehidupan fitoplankton khususnya dari kelas Bacillariophyceae, Chlorophyceae, serta Proteobacteria. Faktor suhu, oksigen dan nutrisi yang cukup pada suatu perairan juga mendukung pertumbuhan fitoplankton. Menurut Barus (2004) bahwa fluktuasi dari populasi fitoplankton dipengaruhi oleh perubahan berbagai kondisi lingkungan, salah satunya adalah ketersediaan nutrisi di perairan. Unsur nutrisi berupa nitrogen dan fospor yang terakumulasi dalam suatu perairan akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan populasi fitoplankton.

Kualitas air secara umum di semua stasiun penelitian di Sungai Asahan cukup baik dalam mendukung kehidupan dan perkembangan fitoplankton di perairan. Berdasarkan data yang didapat maka suhu perairan di setiap stasiun

cukup mendukung kehidupan fitoplankton sesuai dengan pernyataan Liyod (1980) bahwa toleransi suhu optimum untuk organisme perairan adalah 20-280C. Hasil pengukuran suhu di setiap stasiun penelitian relatif stabil yaitu berkisar antara 22-260C.

Banyaknya jenis makanan dari kelas Bacillariophycea selain faktor diatas juga di dukung oleh nilai pH yang optimal pada kisaran pH 4,5-8,5. Sungai Asahan termasuk dalam kisaran pH yang ideal untuk tumbuh dan berkembangnya anggota kelas Bacillariophycea yaitu pH berkisar antara 6,2-6,6. Jenis makanan dari kelas Bacillariophycea pada lambung ikan batak (Tor douronensis) juga didukung oleh beberapa faktor abiotik perairan yaitu oksigen terlarut dan kecerahan. Oksigen terlarut (DO) berkisar antara 7,1-8,2 dan tingkat kecerahan Sungai Asahan mendukung untuk pertumbuhan fitoplankton terutama dari kelas Bacillariophycea.

Umumnya ikan batak (Tor douronensis) yang diperoleh dari kelima stasiun pengamatan mempunyai ukuran panjang berat yang tidak terlalu berbeda jauh. Kondisi inilah juga diduga yang mempengaruhi jenis-jenis makanan yang dikonsumsi oleh ikan batak (Tor douronensis) pada kelima stasiun penelitian didominasi oleh kelompok fitoplankton yang berasal dari Kelas Bacillariophycea, karena menurut (Djajasewaka, 1985) bahwa jenis makanan yang dimakan oleh ikan juga salah satunya dipengaruhi oleh ukuran tubuh ikan.

4.4 Parameter Abiotik

Faktor abiotik merupakan faktor yang penting untuk diketahui nilainya karena sangat mempengaruhi faktor biotik lainnya di suatu perairan. Faktor abiotik yang diukur meliputi faktor fisika - kimia lingkungan. Menurut Barus (2004) ikan batak (Tor douronensis) memiliki pola adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan baik faktor fisik maupun faktor kimia lingkungan dan juga memiliki predator dalam jumlah yang relatif rendah dibandingkan jenis hewan akuatik lainnya. Adapun hasil pengukuran faktor fisikai - kimia lingkungan yang diperoleh pada setiap stasiun penelitian, seperti pada Tabel 4.4 berikut ini :

Tabel 4.4 Nilai Faktor Fisik Kimia Perairan Sungai Asahan pada Masing-Masing Stasiun Penelitian

No Parameter Satuan Baku Mutu Stasiun

1 2 3 4 5 Fisik 1. Temperatur °C 30C dari suhu alami 23 22 24 26 26 2. Kecerahan cm - 80 65 70 76 75 3. Intensitas Cahaya candella - 1490 1055 1114 1778 1157 4. Kecepatan Arus m/s - 0,5 0,8 0,6 0,5 0,9 Kimia 5. pH - 6-9 6,2 6,3 6,3 6,5 6,6 6. DO mg/l ≥ 6 8,2 8,0 7,6 7,1 7,6 7. BOD 5 mg/l < 6 4,6 4,1 3,2 3,1 3,9 8. NO 3 mg/l < 20 0,1 0,2 0,2 0,1 0,1 9. PO 4 mg/l < 1 0,12 0,25 0,19 0,21 0,11 4.4.1 Temperatur Air

Dari pengamatan yang telah dilakukan pada masing-masing stasiun penelitian diperoleh nilai temperatur berkisar antara 22-26ºC, dan temperatur tertinggi terdapat pada stasiun 4 (Sungai Parhitean) dan stasiun 5 (Sungai Hula-Huli), sedangkan temperatur terendah terdapat pada stasiun 2 (Sungai Baturangin) sebesar 22ºC. Tingginya temperatur pada stasiun 4 (Sungai Parhitean) dan stasiun 5 (Sungai Hula-Huli) disebabkan karena lokasi pengamatan tersebut merupakan hilir dari Sungai Asahan yang mana area ini masih terbuka sehingga langsung terkena panas matahari yang menyebabkan panas matahari langsung masuk kedalam badan air. Selain itu juga yang menyebabkan temperatur tinggi pada stasiun 4 (Sungai Parhitean) dan stasiun 5 (Sungai Hula-Huli) karena stasiun ini merupakan lokasi yang padat akan berbagai aktifitas manusia, seperti perkebunan sawit, pemukiman penduduk, jalur lintas, dan lain sebagainya. Rendahnya temperatur pada stasiun 2 (Sungai Baturangin) disebabkan pada daerah ini terdapat vegetasi sehingga menghambat kontak panas matahari dengan badan air. Suin (2002), menjelaskan kelarutan berbagai gas di dalam air serta semua aktifitas biologi-fisiologi di dalam ekosistem akuatik sangat dipengaruhi oleh temperatur. Pola temperatur ekosistem akuatik dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti

intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya dan juga oleh faktor kanopi (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh ditepi.

Secara keseluruhan kelima stasiun penelitian tersebut masih dapat mendukung bagi kehidupan ikan batak (Tor douronensis). Perbedaan temperatur tersebut sangat berpengaruh terhadap aktifitas organisme akuatik di dalam air tersebut. Menurut Suin (2002), bahwa berubahnya temperatur suatu badan air besar pengaruhnya terhadap komunitas akuatik. Naiknya temperatur perairan dari yang biasa, karena banyaknya aktivitas yang terjadi pada badan air misalnya dapat menyebabkan organisme akuatik terganggu, sehingga dapat mengakibatkan struktur komunitasnya berubah.

Temperatur suatu perairan sangat mempengaruhi keberadaan ikan batak

(Tor douronensis). Temperatur air yang tidak cocok, misalnya terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan ikan batak (Tor douronensis) tidak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Temperatur air yang cocok untuk pertumbuhan ikan di daerah tropis adalah berkisar antara 15º-30º C dan perbedaan temperatur antara siang dan malam kurang dari 5ºC (Lioyd, 1980). Kisaran temperatur yang baik bagi ikan adalah antara 25ºC-35ºC. Kisaran temperatur ini umumnya berada di daerah tropis. Hasil pengukuran temperatur pada kelima stasiun pada dasarnya masih normal dan belum membahayakan kehidupan ikan batak (Tor douronensis) sesuai dengan baku mutu air sungai yang diterbitkan oleh Menteri Negara Lingkungan hidup dalam Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 Tanggal 14 desember 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

4.4.2 Kecerahan Air

Nilai kecerahan yang didapat pada kelima stasiun penelitian berkisar antara 65-80 cm. Kecerahan tertinggi terdapat pada stasiun 1 (Sungai Ponot) sebesar 80 cm, sedangkan penetrasi cahaya terendah diperoleh pada stasiun 2 (Sungai Baturangin) sebesar 65 cm. Kecerahan pada lapisan air dipengaruhi oleh ada tidaknya kanopi yang menutupi perairan tersebut, misalnya terdapat pohon

dipinggir suatu perairan ataupun, banyaknya cahaya yang masuk akan mempengaruhi organisme yang berada dalam suatu badan perairan. Rendahnya nilai kecerahan pada stasiun 2 (Sungai Baturangin) tersebut juga disebabkan karena daerah ini merupakan daerah yang berlumpur. Banyaknya partikel terlarut dalam perairan akan menyebabkan kekeruhan yang tinggi. Kecerahan seringkali dihalangi oleh zat yang terlarut dalam air, membatasi zona fotosintesis dimana habitat akuatik dibatasi oleh kedalaman. Kekeruhan, terutama disebabkan oleh lumpur dan partikel yang mengendap, seringkali penting sebagai faktor pembatas. Kekeruhan dan kedalaman air mempunyai pengaruh terhadap jumlah dan jenis hewan akuatik (Lioyd, 1980).

Dengan mengetahui kecerahan suatu perairan kita dapat mengetahui sampai dimana masih ada kemungkinan terjadi proses asimilasi dalam air, lapisan-lapisan manakah yang tidak keruh, yang agak keruh dan paling keruh. Air yang tidak terlampau keruh dan tidak pula terlampau jernih baik untuk kehidupan ikan. Kekeruhan yang baik adalah kekeruhan yang disebabkan oleh jasad renik atau plankton (Barus, 2004).

Cahaya dibutuhkan oleh ikan batak (Tor douronensis) untuk memangsa, menghindar diri dari predator atau untuk beruaya. Pada umumnya ikan berada pada daerah-daerah yang kecerahannya masih baik, sedangkan pada daerah yang gelap di mana kecerahannya sudah tidak ada, hanya dihuni ikan buas atau predator yang lebih menyukai tempat gelap (Rupawan, 1999). Air yang terlalu keruh dapat menyebabkan ikan batak (Tor douronensis) mengalami gangguan pernapasan karena insangnya terganggu oleh kotoran. Air yang terlalu keruh juga dapat menurunkan atau melenyapkan selera makan ikan karena daya penglihatan ikan akan terganggu (Wardoyo, 1983).

4.4.3 Intensitas Cahaya

Intensitas cahaya dari kelima stasiun penelitian berkisar 1055 - 1490 candella. Intensitas cahaya tertinggi terdapat pada stasiun 1 (Sungai Ponot) sebesar 1490 candella dan terendah pada stasiun 2 (Sungai Baturangin) sebesar 1055 candella. Rendahnya intensitas cahaya pada stasiun 2 (Sungai Baturangin)

adalah karena pada stasiun ini merupakan daerah hutan lebat sehingga terdapat banyak vegetasi. Di sepanjang aliran sungai pada stasiun 2 (Sungai Baturangin) ini juga terdapat banyak vegetasi herba pada tepian sungai. Menurut Barus (2004), vegetasi yang ada di sepanjang aliran sungai dapat mempengaruhi intensitas cahaya, karena tumbuh - tumbuhan tersebut mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi cahaya matahari. Bagi organisme air, intensitas cahaya berfungsi sebagai alat orientasi yang akan mendukung kehidupan organisme tersebut dalam habitatnya.

Cahaya merupakan unsur yang paling penting dalam kehidupan ikan. Cahaya dibutuhkan ikan untuk mengejar mangsa, menghindarkan diri dari predator, membantu dalam penglihatan dan dalam proses metabolisme. Secara tidak langsung peranan cahaya matahari bagi kehidupan ikan adalah melalui rantai makanan (Barus,2004).

4.4.4 Kecepatan Arus

Kecepatan arus air dari kelima stasiun penelitian berkisar 0,5-0,9 m/s. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun 5 (Sungai Hula-Huli) yaitu dengan kecepatan 0,9 m/s, sedangkan kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun 1 (Sungai Ponot) dan staiun 4 (Sungai Parhitean) dengan kecepatan 0,5 m/s. Tingginya arus pada stasiun 5 (Sungai Hula-Huli) disebabkan oleh posisi sungai yang terjal sehingga aliran air sungai yang relatif lurus. Rendahnya arus air pada stasiun 1 (Sungai Ponot) dan stasiun 4 (Sungai Parhitean) dikarenakan pada stasiun ini banyak ditemukan bebatuan yang besar sehingga pergerakan arus air melambat.

Arus sangat mempengaruhi penyebaran ikan batak (Tor douronensis).

Hubungan arus terhadap penyebaran ikan batak (Tor douronensis) adalah arus mengalihkan ikan batak (Tor douronensis) ke tempat mencari makan. Ikan batak

(Tor douronensis) bereaksi secara langsung terhadap perubahan lingkungan yang dipengaruhi oleh arus dengan mengarahkan dirinya secara langsung pada arus. Menurut (Rupawan, 1999) biasanya gerakan ikan selalu mengarah menuju arus air.

Menurut Barus (2004), sangat sulit untuk membuat suatu batasan mengenai kecepatan arus karena di suatu ekosistem, air sangat berfluktuasi dari periode ke periode tergantung dari fluktuasi debit dan aliran air serta kondisi substrat yang ada. Pada musim penghujan misalnya akan meningkatkan debit air dan sekaligus mempengaruhi kecepatan arus. Adanya berbagai substrat pada dasar perairan akan menyebabkan kecepatan arus bervariasi. Pada alur sungai yang lurus arus tercepat berada pada bagian tengah sungai. Hal ini sesuai dengan hukum fisika mengenai gesekan (friction) yang menyatakan bahwa daerah yang terbebas dari gesekan akan mempunyai arus yang lebih cepat. Pada alur sungai yang membelok

(meander) kecepatan arus paling tinggi berada pada bagian pinggir sungai, sesuai dengan hukum fisika tentang putaran massa sentrifugal.

4.4.5 pH (Derajat Keasaman)

Derajat keasaman atau kebasaan (pH) pada setiap stasiun penelitian berkisar 6,2 -6,6. Nilai pH tertinggi terdapat pada stasiun 5 (Sungai Hula-Huli) sebesar 6,6 dan terendah pada stasiun 1 (Sungai Ponot) sebesar 6,2. Secara keseluruhan kisaran nilai pH pada kelima stasiun penelitian sudah memenuhi standar baku

Dokumen terkait