• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Demam Berdarah Dengue

2.1.10 Faktor Lingkungan

Dalam model epidemiologi penyebaran penyakit infeksi, ada tiga faktor utama yang berperan menularkan penyakit DBD. Faktor-faktor tersebut adalah faktor pejamu (inang), penyebar (vektor) dan lingkungan (Ginanjar, 2012:12). Lingkungan yang mendukung perkembangan vektor dapat menjadi faktor risiko (Palaniyandi, 2014). Dari segi pandang kesehatan, interaksi antara manusia dan lingkungan dapat memberikan keuntungan maupun kerugian, salah satunya adalah

dapat menimbulkan penyakit. Namun demikian, di dalam lingkungan pun ada faktor-faktor yang dapat menguntungkan manusia (eugenik) (Soemirat, 2002).

Berdasarkan Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor (Depkes RI, 2004:8), lingkungan bersifat menyeluruh, multifaktoral dan dinamik. Di dalam lingkungan juga ada interaksi antarfaktor sehingga dapat saling mempengaruhi. Apabila dari faktor-faktor lingkungan yang diperlukan oleh nyamuk hanya terbatas atau berlimpah (kondisi maksimum atau minimum) maka nyamuk tidak dapat mempertahankan hidup. Namun, bila dalam keadaan optimum maka dapat menghasilkan kehidupan yang baik bagi nyamuk atau vektor lainnya. Secara umum, lingkungan dapat dibagi menjadi lingkungan fisik, lingkungan biologik dan lingkungan sosekbud (sosial, ekonomi, dan budaya) (Depkes RI, 2008: 16).

2.1.10.1 Lingkungan Fisik

Lingkungan fisik mencakup keadaan iklim maupun keadaan geografis. Lingkungan fisik sangat erat kaitannya dengan kehidupan vektor. Lingkungan fisik dapat menciptakan tempat-tempat perindukan dan beristirahatnya nyamuk. 1. Suhu udara

Nyamuk merupakan binatang berdarah dingin dan siklus kehidupannya tergantung pada suhu lingkungan. Nyamuk tidak dapat mengatur suhu tubuhnya sendiri, rata-rata nyamuk membutuhkan suhu optimum untuk berkembangbiak adalah 25-270C (Depkes RI, 2008: 11). Pertumbuhan nyamuk akan terhenti apabila berada pada suhu kurang dari 100C atau lebih dari 400C (Depkes RI, 2008: 12).

Selain memberikan pengaruh terhadap vektor, suhu juga mempengaruhi pertumbuhan parasit dalam tubuh vektor. Suhu terendah untuk mengalami siklus sporogonik di dalam tubuh nyamuk adalah 160C untuk P.vivax dan P.malariae, sedangkan P.falciparum adalah 190C (Depkes RI, 2008: 12). Menurut Soegijanto (2006), telur nyamuk Aedes aegypti akan menetas menjadi larva dalam waktu 1-2 hari. Tempat yang sesui dengan kondisi optimum adalah di dalam air dengan suhu 20-400C.

2. Kelembaban udara

Kelembaban udara adalah banyaknya kandungan uap air dalam udara yang biasanya dinyatakan dalam prosen (%). Jika suatu udara tidak memiliki banyak kandungan air maka udara tersebut akan memiliki penguapan yang besar. Sedangkan salah satu musuh nyamuk adalah penguapan. Hal tersebut berkaitan dengan sistem pernapasan yang dimiliki nyamuk (Depkes RI, 2008: 12)

Nyamuk bernafas dengan trakea dengan lubang-lubang pada dinding tubuh nyamuk (spirakle). Spirakle pada nyamuk terbuka tanpa ada mekanisme pengaturnya, sehingga ketika kelembaban rendah akan menyebabkan penguapan dari dalam tubuh nyamuk. Hal ini mengakibatkan keringnya cairan tubuh nyamuk (Depkes RI, 2008: 12).

3. Curah Hujan

Hujan merupakan salah satu faktor lingkungan yang berkaitan dengan kelembaban. Adanya hujan juga memungkinkan bertambahnya tempat perkembangbiakan nyamuk (breeding place). Curah hujan yang lebat menyebabkan perkembangbiakan vektor hanyut dan mati. Umumnya kejadian

penyakit yang ditularkan oleh nyamuk meninggi sebelum dan atau setelah hujan lebat. Namun, bila curah hujan yang cukup dengan jangka waktu lama maka akan memperbesar kesempatan nyamuk untuk berkembangbiak secara optimal (Depkes RI, 2008: 13).

4. Genangan air

Tempat perkembangbiakan nyamuk adalah pada genangan air. Berdasarkan Pedoman Ekologi dan Aspek Perilaku Vektor (Depkes RI, 2004:20), genangan air dapat diklasifikasikan dalam beberapa kelompok yang didasarkan pada ukuran, lamanya genangan air (tetap atau sementara) dan macam tempat air. Kelompok genangan air besar yang sifatnya sementara atau tetap diantaranya adalah rawa, danau, sawah, genangan air hujan, kubangan, parit irigasi di sawah, parit atau got buangan air limbah. Kelompok genangan air yang kecil meliputi lubang di pohon, tangki air, bak mandi dan sumur.

5. Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL)

Salah satu jenis dari genangan air adalah saluran pembuangan air limbah (SPAL). Keberadaan saluran pembuangan air limbah berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk, khususnya Culex sp (Kemenkes RI, 2011). Akan tetapi berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jacob dkk (2014), nyamuk Aedes spp tidak hanya mampu hidup pada perindukan air jernih saja, tapi dapat juga bertahan hidup dan tumbuh normal pada air got yang didiamkan dan menjadi jernih.

6. Penumpukan Ban Bekas

Menurut Ginanjar (2012: 26), lingkungan yang menjadi habitat nyamuk Aedes aegypti adalah di genangan air bersih yang tidak berkontak langsung dengan tanah dan tidak terkena sinar matahari langsung. Telur-telur nyamuk tersebut dapat ditemukan di sisa-sisa kaleng bekas, tempat penampungan air, bak mandi, bahkan pada penumpukan ban bekas.

Hasil penelitian Widyawati dkk (2011) menyatakan bahwa pada saat pengamatan banyak sekali jentik nyamuk di lokasi penumpukan ban bekas. Demikian pula studi pendahuluan yang dilakukan penulis pada bengkel-bengkel di empat kelurahan sebagai lokasi penelitian. Umumnya ban bekas di bengkel-bengkel, khususnya tambal ban dibiarkan tertumpuk di luar. Hal tersebut mengakibatkan ketika terjadi hujan, ruang dalam ban bekas dapat menampung air sehingga dapat menjadi breeding place jentik nyamuk, khususnya Aedes aegypti. Dari 5 bengkel di empat lokasi penelitian yang menumpuk ban bekas di luar, didapatkan hasil rata-rata 3 hingga 4 bengkel tersebut, pada penumpukan ban bekasnya ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti.

7. Sumur Gali

Sumur gali merupakan sarana air bersih yang mengambil air tanah dengan cara menggali lubang di tanah dengan diameter 1-2 meter dan kedalaman 5-20 meter (Kaufman, 2006 dalam Fauziah, 2012). Air pada sumur gali juga dapat berperan sebagai sarang insecta yang membawa atau menyebarkan penyakit pada masyarakat. Sebagaimana habitat dari vektor DBD senang bersarang di air yang

bersih. Karakteristik dari sumur gali dapat mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk (Fauziah, 2012).

8. Ketinggian tempat

Ada perbedaan antara ketinggian tempat dan suhu, yakni setiap ketinggian 100 meter maka akan berselisih dengan suhu udara sebanyak 0,50C. Apabila ada perbedaan cukup signifikan akan mempengaruhi persebaran nyamuk, silus pertumbuhan parasit dalam tubuh nyamuk dan musim penularan (Depkes RI, 2004: 9). Bagi tempat-tempat pada dataran rendah, misalnya daerah pesisir yang mudah tergenang air, akan memiliki risiko lebih besar terhadap pertambahan kepadatan populasi nyamuk.

9. Letak geografis tempat

Letak geografis suatu tempat akan mempengaruhi iklim, sehingga juga berpengaruh terhadap populasi nyamuk. Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa, memberikan kontribusi lebih untuk kehidupan nyamuk maupun vektor penyakit lainnya (Depkes RI, 2004: 10).

2.1.10.2 Lingkungan Biologik

Lingkungan biologik dapat menjadi rantai penularan penyakit demam berdarah dengue (DBD). Beberapa jenis nyamuk meletakkan telurnya di balik daun pada tumbuhan tertentu yang terapung di air (Depkes RI, 2004: 14).

2.1.10.3 Lingkungan Sosekbud

Lingkungan sosekbud atau sosial, ekonomi dan budaya adalah suatu lingkungan yang timbul sebagai adanya interaksi antar manusia. Kebiasaan

bekerja di kebun pada malam hari, bersantai-santai di dalam rumah pada pagi hari, perlu diperhatikan karena dapat menjadi kontak dengan vektor (Depkes RI, 2008).

Demikian pula dengan mobilitas penduduk. Kegiatan tersebut memudahkan penularan dari satu tempat ke tempat yang lain, dan biasanya penyakit menjalar dari suatu pusat sumber penularan mengikuti lalu lintas penduduk. Semakin ramai lalu lintas itu, maka makin besar kemungkinan penyebarannya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Gama T (2010) yang menyatakan bahwa mobilitas penduduk menjadi salah satu faktor risiko kejadian demam berdarah dengue. Menurut Achmadi (2012), penyakit menular tidak mengenal batas wilayah administrasi. Apabila dua wilayah berbatasan, baik antarkabupaten atau kota.

Dokumen terkait