• Tidak ada hasil yang ditemukan

Foraminifera dapat hidup pada suhu antara –1,9-450C dengan kisaran yang berbeda untuk masing-masing jenis. Pada kelompok foraminifera bentik, suhu sangat berpengaruh terhadap sebarannya baik secara vertikal maupun horisontal (Boltovskoy dan Wright, 1976 dan Murray, 2006), jumlah populasi, dan besarnya cangkang (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000).

2.2.2 Kekeruhan dan Kecerahan

Kekeruhan yang tinggi menyebabkan fitoplankton yang berada dalam kolom perairan yang lebih dalam tidak dapat melakukan fotosintesis dengan efektif, sehingga pasokan makanan untuk foraminifera menjadi berkurang (Boltovskoy dan Wright, 1976). Kekeruhan yang berlebihan memberikan dampak yang merugikan bagi foraminifera karena jumlahnya akan berkurang baik karena mati atau tidak terjadi regenerasi (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Hasil penelitian Adisaputra dan Rostyati (2009) di Delta Mahakam, Kalimantan Timur menunjukkan pada perairan yang jernih, foraminifera bentik yang dominan adalah Amphistegina lessonii. Pada wilayah tersebut jenis ini umumnya berasosiasi dengan terumbu karang yang turbulensi arusnya rendah.

Aktivitas fotosintetik dari kolom permukaan sampai suatu kedalaman ekuivalen dengan dua setengah kali kedalaman dimana keping secchi tidak lagi terlihat (Boltovskoy dan Wright, 1976). Henderson (1987) dalam Garno (2000) menggolongkan tingkat trofik berdasarkan kedalaman keping secchi sebagai fungsi dari visibilitas perairan sebagaimana yang tertera pada Tabel 1.

Tabel 1 Penggolongan tingkat trofik berdasarkan keping secchi (meter)

No Trofik Rata – rata keping secchi Maksimal tahunan keping secchi

1. Ultra oligotrofik ≥12 ≥ 6,0 2. Oligotrofik ≥ 6,0 3,0 – 6,0 3. Mesotrofik 3,0 – 6,0 1,5 – 3,0 4. Eutrofik 1,5 – 3,0 0,7 – 1,5 5. Hipereutrofik < 1,5 <0,7 2.2.3 Kedalaman

Kedalaman mempengaruhi variasi spesies dan besarnya cangkang. Pada laut yang dangkal umumnya variasi jumlah spesies dan individunya lebih besar dibanding perairan dalam. Jenis-jenis cangkang gampingan akan semakin banyak dan cangkang aglutinin tidak terlalu melimpah pada zona perairan dangkal ini (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000).

Meskipun diduga kedalaman bukanlah merupakan faktor pembatas secara langsung, namun beberapa parameter yang berkaitan dengan perubahan kedalaman seperti tekanan air, densitas, penetrasi cahaya, suhu, kandungan

oksigen, dan karbon dioksida dapat membatasi pertumbuhan dan perkembangan foraminifera (Funnel in Murray, 1973 in Rositasari, 1989 dan Renema, 2008 ).

2.2.4 Arus

Keberadaan arus memiliki sisi yang menguntungkan dan merugikan bagi foraminifera. Faktor yang menguntungkan dari keberadaan arus akan menyebabkan sebaran suhu dan salinitas menjadi merata dalam suatu lokasi, membawa makanan dan mentranspor oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh foraminifera, serta sebaran jenis-jenis foraminifera juga akan lebih luas. Sebaliknya arus turbulen pada zona perairan yang dangkal dapat menyebabkan kekeruhan yang merugikan foraminifera (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Pada wilayah terumbu karang, pengaruh arus dan gelombang dapat memindahkan komunitas foraminifera besar. Foraminifera tersebut akan mengikatkan dirinya ke substrat menggunakan pseudopodia atau perluasan protoplasmik untuk mencegah perpindahan tubuhnya (Murray, 2006).

2.2.5 Substrat

Semua foraminifera bentik besar merupakan epifauna yang tinggal pada substrat keras seperti patahan karang dan beberapa adalah epifit pada lamun dan alga berkapur. Sedimen yang lembut menyediakan ruang tiga dimensi bagi kehidupan foraminifera epifauna dan infauna (Murray, 2006). Pada saat hidup, pseudopodia foraminifera cenderung akan menancapkan cangkang ke dalam sedimen sehingga mencegah terjadinya erosi pada substrat (Boltovskoy dan Wright, 1976).

Tekstur dan kandungan kimia substrat mempengaruhi distribusi dan morfologi foraminifera bentik. Foraminifera dengan bentuk agglutinin memiliki kertekaitan yang lebih kuat dengan kondisi substrat dasar karena banyak material cangkang agglutinin berasal dari dasar dibandingkan jenis gampingan yang mensekresikan cangkangnya secara kimia (Boltovskoy dan Wright, 1976).

Beberapa hasil penelitian mengindikasikan adanya peningkatan jumlah spesimen foraminifera dengan makin kecilnya ukuran butiran sedimen, dimana pada saat itu terjadi peningkatan nitrogen organik. Pada substrat zona pasir halus

(0,125-0,250 mm) yang mengandung moluska dan detritus alga ditemukan populasi foraminifera litoral yang tinggi, namun populasi yang lebih kaya terdapat pada zona alga berkapur yang masih hidup. Pada zona yang dipengaruhi pasir kasar (0,5-1 mm) didominasi oleh jenis gampingan. Pada sedimen tipe pasir kasar umumnya didominasi foraminifera yang berdinding tebal sedangkan yang berdinding tipis terdapat pada zona sedimen yang bertipe butiran halus (Boltovskoy dan Wright, 1976).

2.2.6 Salinitas

Foraminifera dapat hidup pada perairan dengan kisaran salinitas 0-70 tergantung jenisnya, namun jumlah dan keragaman tertinggi ditemukan pada kisaran salinitas 32-37, sedangkan pada salinitas 10-12, sel foraminifera tidak dapat berfungsi dengan baik (Murray, 2006) bahkan dapat menyebabkan kematian (Pringgoprawiro dan Kapid, 2000). Umumnya foraminifera bentik merupakan fauna stenohalin (Rositasari, 1989) meskipun kisarannya masih lebih lebar dibandingkan foraminifera planktonik (Boltovskoy dan Wright, 1976), namun beberapa jenis lainnya seperti Ammonia beccarii tepida memiliki toleransi salinitas yang tinggi yaitu dari 2 - 41.

Pada perairan yang bersalinitas rendah, keragaman foraminifera akan rendah, ukuran cangkang yang mengecil dan menipis, terjadi transformasi dari cangkang berkapur menjadi berkhitin, hilangnya ornamentasi cangkang, pola ornamentasi cangkang berubah, dan komunitas foraminifera didominasi oleh tipe agglutinin. Hal ini terjadi akibat adanya penurunan sekresi kalsium karbonat (CaCO3) dari dalam protoplasma. Proses tersebut terjadi karena solubilitas CaCO3 akan menurun dengan menurunnya salinitas, sehingga tidak akan terdapat CaCO3 yang mencukupi untuk membentuk cangkang foraminifera pada area yang bersalinitas rendah (Boltovskoy dan Wright, 1976, Rositasari, 1989).

2.2.7 Oksigen Terlarut

Suplai kebutuhan oksigen pada foraminifera bentik dicukupi oleh alga simbion yang ada pada protoplasma foraminifera (Boltovskoy dan Wright, 1976). Ketika menghadapi kondisi yang anoksik, maka foraminifera akan bertahan

sebentar lalu akan mencari zona yang mengandung oksigen terlarut yang tinggi bila tidak ingin menghadapi kondisi yang fatal seperti kematian (Murray, 2006). Rendahnya kandungan oksigen akan mengurangi kemampuan foraminifera untuk mensekresi kalsium karbonat, terutama pada kondisi perairan yang bersifat asam, akibatnya akan mereduksi jumlah spesies foraminifera bentik, meningkatkan kelimpahan beberapa jenis tertentu, merubah morfologi spesies, dan membatasi distribusinya (Boltovskoy dan Wright, 1976). Jenis yang melimpah di daerah tercemar telah beradaptasi dengan lingkungan anoksik (Rositasari, 1989). Rositasari (1997) menyatakan pada populasi anaerobik dicirikan dengan cangkang gampingan, tipis dan berukuran kecil, dan tidak berornamen.

Phleger dan Soutar in Braddier (1980) in Rositasari (1997) menduga bahwa kebutuhan oksigen pada foraminifera sangat kecil, namun demikian Boltovskoy dan Wright (1976) menuliskan pada beberapa genus bentik (Elphidium, Buccella, Bulimina, Nonion, Buliminella) membutuhkan pasokan oksigen yang relatif besar. Suplai kebutuhan oksigen pada foraminifera bentik tersebut dicukupi oleh simbiotik alga yang ada pada protoplasma foraminifera.

2.2.8 pH

Rendahnya nilai pH terjadi karena adanya dekomposisi material organik. Selain itu rendahnya nilai pH bisa juga terjadi karena adanya masukan H2SO4 dari sungai karena terjadi dekomposisi sulfida seperti di Pesisir Chilean. pH rendah akan membatasi distribusi foraminifera dan menyebabkan tekanan bagi kehidupannya. Sedimen lempung (clay) yang kaya akan material organik sehingga nilai pH menjadi rendah menyebabkan rendahnya foraminifera dibandingkan dengan area berpasir. Kandungan karbonat dan pH yang rendah juga memiliki korelasi dengan rendahnya kelimpahan foraminifera dan tingginya dominasi foraminifera jenis aglutinin dibandingkan gampingan. Cangkang gampingan mulai melarut dan jenis agglutinin mulai melimpah pada pH yang lebih rendah dari 7,8. Hal ini terjadi karena jenis ini harus mengeluarkan energi berlebih untuk melakukan proses re-kalsifikasi (recalcifying) pada cangkang mereka. Pada sedimen, rendahnya pH akan menyebabkan melarutnya cangkang yang kosong (Boltovskoy dan Wright, 1976).

2.2.9 Nutrien

Kadar nitrat nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 ppm. Kadar yang lebih dari 0,2 ppm dapat mengakibatkan eutrofikasi perairan, sedangkan bila lebih dari 5 ppm menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik (Effendi, 2003). Dalam air laut, rata – rata kadar fosfat adalah 0,06 ppm. Kadar ini semakin meningkat dengan masuknya limbah domestik dari deterjen, limbah industri, dan limbah pertanian/perkebunan akibat pemakaian pupuk yang banyak mengandung fosfat. Berdasarkan kadar ortofosfat, perairan diklasifikasikan menjadi tiga yaitu perairan oligotrofik antara 0,003 – 0,01 ppm, mesotrofik antara 0,011 – 0,05 ppm, dan eutrofik antara 0,031 – 0,1 ppm (Volenweider, 1969 in Effendi, 2003). Boltovskoy dan Wright (1976) menuliskan pada konsentrasi pospat yang tinggi (mencapai 10 kali konsentrasi normal) akan terjadi peningkatan produksi fitoplankton dan foraminifera planktonik. Keragaman foraminifera bentik menurun pada daerah tercemar dan beberapa spesies akan mendominasi.

Perairan tropis yang umumnya oligotrofik merupakan tempat yang sesuai untuk perkembangan foraminifera besar (Murray, 2006). Lingkungan terumbu karang yang konsentrasi nutriennya rendah akan didominasi oleh foraminifera bentik besar, sedangkan pada wilayah yang memiliki kandungan nutrien yang tinggi akan didominasi oleh foraminifera detrivor dan herbivor yang berukuran kecil (Hallock et al, 2003). Pertumbuhan foraminifera bentik yang terdapat pada ekosistem terumbu karang yang berdekatan dengan daratan umumnya tereduksi karena tingginya nutrien di zona tersebut, akibatnya tingkat reproduksi menjadi menurun dan akhirnya jumlah individunya akan menurun juga (Uthicke dan Altenrath, 2010). Hal tersebut terjadi karena endosimbion menyimpan hasil fotosintesis untuk pertumbuhan dan reproduksi endosimbion sehingga secara fisiologi menekan foraminifera (Osawa et al., 2010).

Dokumen terkait