• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN

4.2 Faktor yang Menyebabkan Konflik Sosial dan Politik dalam Novel

4.2.1 Faktor yang menyebabkan konflik sosial

Praktek-praktek penjajahan yang diterapkan oleh negara-negara Imperial seperti Belanda telah membawa dampak yang cukup besar bagi perkembangan ekonomi masyarakat. Hal terpenting selama masa imperialis di negara-negara imperial adalah emansipasi politik kaum borjuis begitu besar yang sampai pula pada upaya untuk menjadi kelas-kelas penguasa.

Dalam hal ini kaum borjuis kemudian memanfaatkan alat-alat kekuasaan untuk mencapai tujuan-tujuan politik mereka. Tanpa diragukan lagi tujuan kaum borjuis ini menyangkut ambisi mereka dalam mengembangkan sayap kepentingan ekonomi mereka. Ekspansi adalah salah

satu cara yang paling dianjurkan oleh kaum borjuis.

Ekspansi dalam kaitannya dengan perkembangan ekonomi merupakan sebuah konsep dalam menjawab tantangan yang dikemukakan oleh pertumbuhan industri Dengan demikian ekspansi lebih didorong oleh kepentingan kaum dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan untuk mengembangkan pengaruh ekonomi mereka.

Bersamaan dengan itu maka ekspansi yang dilakukan oleh negara-negara imperialis ini telah menyebar ke seluruh penjuru dunia bahkan lambat laun telah meruntuhkan kekuasaan-kekuasaan negara-negara yang jajahan mereka. Hal ini pada gilirannya membangkitkan semangat nasionalisme di kalangan masyarakat negara jajahan yang diimplementasikan dalam bentuk-bentuk perlawanan.

Dalam pengertian ini, ekspansi merupakan tujuan permanen dalam politik. Sebab di dalam prakteknya, imperialisme tidak menganjurkan adanya asimilasi yang langgeng. Imperialisme secara tidak langsung merupakan konsep penjarahan yang panjang. Hal inilah yang kemudian membawa petaka bagi kelangsungan hidup, baik dari aspek ekonomi maupun sosial bangsa-bangsa terjajah. Kesulitan ekonomi yang ditimbulkan dari praktek kekuasaan imperialisme telah menyeret bangsa-bangsa terjajah ini ke dalam jurang kehancuran yang pada suatu saat dapat memungkinkan penghapusan atas entitas kebangsaan bangsa-bangsa terjajah ini.

Kemungkinan atas penghapusan entitas ini merupakan suatu praktek kekuasaan imperialisme dengan menjalankan prinsip-prinsip rasialisme yang

sempit. Pemikiran mengenai ras dalam panggung politik imperialisme lahir bersamaan dengan persiapan besar bangsa-bangsa Eropa dalam menciptakan lembaga politik baru. Pemikiran ini terutama dipengaruhi oleh kajian-kajian ilmiah mengenai asal-usul manusia atau yang lebih dikenal sebagai teori evolusi Darwin.

Kelas penguasa dan kelas budak sering digambarkan dalam dunia serangga. Kelas penguasa di dalam dunia serangga merupakan sifat turunan yang berasal dari induk mereka. Dalam hal ini kelas penguasa mewarisi hak-hak istimewa yang secara otomatis diturunkan dari sifat-sifat generasi sebelumnya. Dengan demikian kelas penguasa merupakan kelas unggul dan tidak terbantahkan. Adapun kelas budak merupakan kelas pekerja yang memiliki tanggung jawab besar terhadap kelangsungan hidup kelas pengu-asa. Sehingga apa yang dilakukan oleh kelas budak merupakan sebuah kewajiban yang tanpa harus diminta oleh kelas penguasa. Kelas penguasa merupakan kelas yang superior dalam spesiesnya. Kelas ini lebih menggantungkan hidupnya dari kelas budak. Dalam hal lain, Darwin menyatakan, kelas budak secara fisiologi memiliki ciri fisik yang berbeda dengan kelas penguasa. Dengan demikian, hanya jenis-jenis yang kuatlah yang mampu memiliki kekuasan secara penuh dan mampu mengatur kehidupan seluruh jenis lain dalam satu spesies.

Dalam novel tersebut, pengarang memberikan perbandingan yang nyata antara kaum terjajah dan kaum penjajah. Novel ini mengisahkan bagaimana Ranta dan kawan-kawannya sebagai warga desa menjadi kaum

terjajah dan hidup dalam keadaan carut marut ekonomi di daerahnya. Carut marut ekonomi tersebut disebabkan oleh adanya kaum penjajah, yang dalam novel ini adalah Juragan Musa beserta pengikutnya. Mereka senantiasa menghentikan segala akses perekonomian yang dibutuhkan oleh warga desa, sehingga warga desa hidup dalam segala kemiskinan dan serba kekurangan. Penguasaan ekonomi ini lambat laun disadari oleh warga desa telah melahirkan serangkaian kesengsaraan. Ekonomi yang merupakan suatu sumber penting yang seharusnya dikelola oleh warga ini telah direbut dan dimanfaatkan secara efisien oleh para gerombolan pengacau yang dipimpin oleh Juragan Musa. Hal inilah yang telah memicu konflik sosial.

“… panen seluruhnya mereka ambil. Kita kelaparan, terpaksa jual tanah. Mereka juga yang ambil tanah kita. Berapa harganya? Tak cukup buat modal dagang di pasar! Ludas! Tandas! Kuras! (hal 26)

“Hati mau menyugu kopi. Tapi apa boleh buat, kopi tidak gulapun tidak” (hal 27)

“… dulu kita diuber-uber lurah, tuan besar adminstratur, rodi, wajib desa. Kita tak sempat cari penghidupan layak. Zaman Jepang apa? Romusha sampai kurus kering, sampai mampus. Zaman NICA apa? Lagi-lagi diuber-uber kena rodi, ditembaki saban hari. Sekarang apa? Diuber-uber DI. Itu belum lagi. Kawan-kawan kita sendiri sekarang sudah sama meningkat jadi juragan.” (hal 28)

“…. Kita sendiri mesti belajar mempertahankan keselamatan kita sendiri. Bukan saja dari keganasan gerombolan, juga dari kemiskinan dan bencana alam.” (hal 85)

“…. Dari dulu sampai sekarang hidup kita kayak begini. Tiap panen dua kali memang datang truk beli hasil bumi, tapi harganya, Pak? Di Pelabuhan Ratu mereka jual tiga kali lipat! Kalau sampai di Jakarta, entah berapa kali lipat” (hal 118)

masyarakat di bawah tekanan gerombolan pengacau semakin mengalami keterpurukan. Warga tidak memiliki kesempatan untuk mengelola dan mengolah sumber-sumber ekonomi secara maksimal. Hal ini menunjukkan adanya penguasan atas sumber-sumber ekonomi masyarakat oleh gerombolan pengacau yang dipimpin oleh Juragan Musa.

Kemiskinan merupakan faktor terbesar terjadinya konflik dan melebarkannya. Daerah yang dikisahkan dalam novel tersebut, merupakan daerah yang sangat subur dan kaya akan bahan alam tetapi tingkat kemiskinan cukup tinggi. Keadaan ini diperparah dengan segala ketakutan adanya gerombolan pengacau yang setiap kali menghunuskan taringnya pada mereka. Ketakutan-ketakutan ini kemudian memunculkan segala persoalan di antaranya pemenuhan kebutuhan dan kepentingan masyarakat menjadi tertekan. Dengan demikian, daerah yang digambarkan dalam novel tersebut memiliki potensi yang besar bagi kemunculan konflik baik secara sosial maupun secara politik.

Di lain hal, konflik ini dimunculkan pula oleh adanya perlakuan istimewa yang diberikan kepada orang-orang tertentu yang memiliki kedekatan dengan gerombolan pengacau. Pemberlakuan istimewa tidak lain hanya untuk mencari lebih banyak massa demi kokohnya kelompok mereka.

“...daerah sini daerah paling kacau. Sudah kuusahakan bermusyawarah dengan orang-orang terkemuka di sini dan Pak Lurah, tapi apa buktinya? Bukti-buktinya: Juragan dan Pak Lurah sendiri pengkhianat rakyatnya sendiri. (hal 66)

politik yang digunakan Juragan Musa untuk memanfaatkan kelompok-kelompok ini sebagai benteng pertahanan kekuasaan mereka dalam mengamankan investasi kekuasaan di daerahnya. Apalagi Juragan Musa mengerahkan orang-orang terpandang, semisal Pak Lurah, untuk menjadi tangan kanannya. Sistem politik yang dibangun oleh Juragan Musa inilah yang kemudian akan mengarahkan masyarakat pada suatu situasi konflik. Sebab, sistem ini secara tidak langsung telah menciptakan suatu klasifikasi masyarakat ke dalam bentuk kelas-kelas sosial. Pembagian kelas-kelas sosial di dalam masyarakat ini lebih didasarkan pada status sosial serta kemampuan secara ekonomi masyarakat.

“Ah, si Ranta, apa sih dia? Aku kan lebih pintar? Aku kan lebih pandai dari dia? Aku keluaran SKP. Dia? Menulis saja hampir-hampir tak dapat!” (hal 92)

“Mau pergi ke mana orang seperti dia? Tidak ada orang yang mau percaya. Si pencuri itu! Siapa mau percaya sama pencuri? (hal 50)

Ungkapan tersebut secara tidak langsung telah mendiskreditkan warga desa sebagai kelompok yang berada paling bawah. Yang satu sebagai orang bodoh, yang lain sebagai pencuri. Pembagian-pembagian kelas tersebut justru akan berakibat buruk pada ekonomi warga serta tidak lagi memiliki kesempatan untuk dapat mengembangkan kondisi ekonomi mereka. Sebab orang akan selalu dianggap pencuri manakala ia terlalu bodoh untuk memberikan alasan yang sebenarnya. Ia selalu merasa di bawah dan perjalanan akses ekonomi tidak akan sampai kepadanya.

tersebut, juga akan membawa dampak pada kurangnya solidaritas dan persatuan antarwarga. Seakan mereka hanya peduli pada dirinya sendiri, sebab keselamatan hidupnya lebih penting. Mereka tidak tahu mana saudara dan mana musuh. Pikiran mereka selalu dibayangi oleh rasa takut, kematian, dan kelaparan yang setiap waktu mendatangi.

Pada dasarnya, keadaan alamiah manusia selalu diliputi oleh rasa takut dan terancam bahaya kematian karena kekerasan. Kehidupan manusia selalu dalam keadaan menyendiri, miskin, penuh kekotoran, dan kekerasan, serta jangka waktu kehidupan pendek. Apabila manusia dibiarkan menanggung nasibnya sendiri, maka manusia akan menjadi korban keinginan merebut kekuasaan dan keuntungan. Sehingga, sebetulnya manusia dikuasai oleh motif-motif untuk memenuhi kepentingan dirinya.

“Mereka! Yang datang pada kita hanya untuk menyuruh kita jadi maling. Mereka! Yang hidup memisah dari kita, seperti binatang buas di rimba. Mereka, yang dalam kepalanya cuma ada pikiran mau mangsa sesamanya. Mereka! Mereka! (hal 21)

“Kalau kita semua tidak bersatu, kita semua akan berkelahi terus-menerus satu dengan yang lain.” (hal 76)

Kondisi Ranta yang hidup dalam perpecahan solidaritas, sangatlah sulit untuk segera mengakhiri masa krisis tersebut. Berkali-kali Ranta mencoba memberikan masukan kepada warga desa, seringkali mendapat pertentangan juga. Hal ini disebabkan karena kuatnya idealisme yang dibawa masing-masing. Diceritakan pula bahwa antara yang satu dengan yang lain tidaklah mengenali. Masing-masing disibukkan dengan urusan

pribadi. Dalam hal ini, urusan keselamatan hidup menjadi hal yang paling utama.

Kurangnya rasa persatuan tersebut lebih disebabkan rasa trauma antarindividu dalam menjalankan aktivitas kesehariannya. Mereka selalu diteror dengan segala macam pembunuhan dan penindasan. Kekacauan yang muncul di setiap waktu dan tempat, menjadi makanan sehari-hari mereka. Secara psikologis, segala teror, ancaman, dan bahkan penindasan yang terang-terangan, akan berakibat jatuhnya mental seseorang. Rasa traumatis akan menjadi akibat yang paling utama. Orang akan merasa takut dan was-was jika di sekitarnya sering terjadi berbagai ancaman yang dapat mencederai pribadinya. Apalagi jika sudah menyangkut masalah nyawa atau keselamatan jiwa. Mereka lebih memilih mengasingkan diri dan menghindari serangkaian ancaman-ancaman tersebut. Bahkan tidak jarang dari mereka yang saling tuduh sebagai akibat dari pernyelamatan pertama pada jiwanya.

“Pak, Pak! Bukan DI ini, orang baik-baik. Boleh menginap sini, Pak?” (hal 21)

“Djali, maafkan kekhilafanku. Dahulu aku curigai kau. Ternyata kau pembantu utama. Tanpa kau tak dapat perusuh-perusuh itu digulung.” (hal 75)

Para pendatang berunding satu sama lain dengan bisik dan kelasak-kelusuk. Melihat gelagat seperti itu Nyonya merasa tersinggung.(hal 87)

Dalam kutipan tersebut menjelaskan bahwa antara warga terjadi saling curiga satu sama lain. Gejolak politik yang sangat deras, membawa dampak pada kehidupan sosial masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat selalu

berhati-hati bahkan merasa trauma jika ada Darul Islam yang muncul di sekitarnya. Oleh karena trauma yang begitu mendalam, menyebabkan satu sama lain tidak mengetahui mana yang Darul Islam dan mana yang bukan. Hal ini merupakan suatu kewajaran, karena dalam novel tersebut antara warga biasa dengan anggota Darul Islam tidak ada bedanya dalam kehidupan sehari-hari dan dalam caranya berpenampilan. Hanya Juragan Musa saja yang berpenampilan berbeda dengan lainnya.

Kemiskinan solidaritas tersebut jika tidak segera diperbaiki, tentu akan menjadi celah bagi kelompok lain untuk masuk dan merusak segala tatanan yang ada di daerah tersebut. Masyarakat yang dikisahkan dalam novel tersebut adalah masyarakat yang belum mapan atau belum stabil. Masyarakat yang belum stabil pada umumnya belum mempunyai konsensus yang disepakati bersama sehingga sering dihadapkan pada konflik untuk memperebutkan atau memperjuangkan aspirasi dari kelompok-kelompok masyarakat. Tiadanya konsensus yang mampu mengakomodir dan mengatur kepentingan-kepentingan berbeda dari berbagai kelompok masyarakat, akan semakin memperlebar konflik.

Dokumen terkait