• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

6.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan

6.3.2 Faktor pekerjaan

Masa kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kejadian keracunan merkuri pada pekerja PETI. Hal ini berkaitan seringnya pekerja terpapar oleh merkuri di lingkungan kerjanya yang menyebabkan meningkatnya akumulasi merkuri dalam tubuh. Dari hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang memiliki masa kerja lebih lama dibandingkan dengan yang tidak lama dengan p value sebesar 0,0005.

Hasil tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hartono (2003) pada 45 orang pekerja laboratorium di Bandar lampung. Diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara var masa kerja dengan kadar merkuri pada rambutnya dengan p value sebesar 0,005. Diketahui pula pekerja dengan masa kerja >15 tahun mempunyai kemungkinan terpapar Hg sebesar 7,5 kali kadar merkuri pada rambutnya > 2ppm dibandingkan dengan pekerja yang mempunyai masa kerja < 1-15 tahun (95% CI OR = 1,830-30,728).

Hal tersebut sejalan dengan Suma’mur (1996), yang menyatakan bahwa semakin lama seseorang bekerja maka semakin banyak paparan bahaya yang ditimbulkan dari area tempat kerjanya. Kemudian, berdasarkan konsep teori yang dikemukakan oleh magos et, al.(1978) dalam Hartono (2003), bahwa tidak hanya konsentrasi maksimum yang mempengaruhi efek intoksikasi merkuri, tetapi juga tergantung lamanya paparan merkuri yang terjadi.

Pada umumnya, para penambang terpapar merkuri melalui kontak langsung dengan kulit dan inhalasi, yaitu dengan menghirup uap merkuri pada saat proses pengolahan emas. Pada paparan melalui inhalasi dengan saluran pernapasan sebagai jalur utamanya merupakan cara penyerapan merkuri dalam bentuk unsur di tubuh dengan persentasi akumulasi yang tinggi, yaitu sekitar 80%. Hal ini dikarenakan sifat merkuri yang dapat larut dalam lipida (Berlin, 1979; Alfian, 2006; Maywati, 2011)

Besarnya risiko keracunan merkuri akibat massa kerja tersebut dapat semakin besar apabila diikuti dengan tidak menggunakannya APD. Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa rata-rata pekerja tidak menggunakan APD pada saat proses pengolahan emas. Sedangkan, diketahui bahwa salah satu cara untuk mengurangi terjadinya paparan merkuri di lingkungan kerja tersebut adalah dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) secara benar dan kontinyu. Adapun APD yang direkomendasikan untuk pekerja penambang dan pengolahan emas adalah masker, sarung tangan karet dan baju lengan panjang (Setiyono dan Maywati, 2010).

Masker dapat mengurangi paparan Hg lewat pernafasan. Pada saat uap Hg terhirup, 80% Hg masuk ke aliran darah melalui paru-paru dan menyebar ke organ tubuh lain, termasuk otak dan ginjal. Sedangkan, sarung tangan karet dan pakaian lengan panjang mampu mengurangi paparan Hg lewat kulit. Beberapa

senyawa air raksa (II) organik dan anorganik dapat diabsorpsi melalui kulit (Setiyono dan Maywati, 2010).

b. Jam kerja

Jam kerja merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kejadian keracunan merkuri pada pekerja PETI. Jam kerja terkait dengan lama keterpaparan pekerja di lingkungan kerjanya dalam sehari. Dari hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa risiko keracunan merkuri lebih besar terjadi pada pekerja PETI yang memiliki jam kerja lebih lama dibandingkan dengan yang tidak lama dengan p value sebesar 0,035. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lestarisa pada pekerja PETI di Kecamatan Kurun tahun 2010, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara jam kerja terhadap keracunan merkuri dengan p value sebesar 0,002. Dinyatakan pula bahwa pekerja dengan jam kerja >8 jam dalam sehari berisiko tinggi mengalami keracunan merkuri dibandingkan dengan pekerja dengan jam kerja ≤ 8 jam/hari.

Kemudian, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rianto (2010) pada 60 penambang emas tradisional di Desa Jendi Kecamatan Selogiri, diketahui pula bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara jam kerja dalam sehari dengan keracunan merkuri dengan p value sebesar 0,047. Serta, diperoleh hasil dari 7 orang penambang dengan jam kerja >8 jam, didapat 7 orang (100%) yang mengalami keracunan. Sedangkan penambang dengan lama kerja 8 jam dari 53 orang penambang, terdapat 33 orang (62,3%) yang mengalami keracunan merkuri dan 20 orang (37,7%) tidak mengalami keracunan merkuri.

Berdasarkan hasil dari analisis univariat, diketahui bahwa rata-rata jam kerja yang dimiliki oleh pekerja adalah 8,3 jam. Hal tersebut telah melebihi jam kerja standar dalam sehari. Menurut Suma’mur (1996), pada umumnya lama bekerja seseorang dalam sehari sebaiknya 6-8 jam. Pekerjaan biasa (tidak terlalu ringan atau berat) yang dilakukan setelah 4 jam bekerja dapat menurunan produktivitas kerja dan sejalan dengan menurunnya kadar gula dalam darah. Hal ini dapat terkait dengan status gizi seseorang. Pada dasarnya apabila seseorang memiliki status gizi yang kurang baik maka akan menjadi rentan terhadap penyakit (Inswiasri dan Sintawati, 2011).

Hal tersebut juga sejalan dengan Suma’mur (1996), yang menyatakan bahwa tingkat gizi seorang pekerja memiliki hubungan yang sangat erat dengan kesehatan dan daya kerja.Sehingga, diperlukannya istirahat setelah 4 jam kerja secara terus-menerus sekitar setengah jam. Karena tingkat gizi seorang pekerja (terutama pekerja berat dan kasar), merupakan faktor penentu derajat produktivitas kerjanya. Sehingga, beban kerja yang berat umumnya disertai dengan penurunan berat badan.

c. Jenis Aktivitas

Jenis aktivitas yang dilakukan oleh PETI terdiri dari menambang dan mengolah emas hasil dari kegiatan pertambangan. Pengolahan emas tersebut dibagi lagi menjadi kegiatan mengerakkan gelundung sehingga menjadi serbuk emas, membuat amalgram dimana terjadi proses pencampuran merkuri dan

pemerasan emas yang telah dicampur dengan air dan merkuri dengan menggunakan kain, pemijaran atau pembakaran, dan penumbukkan emas menjadi lempengan.

Dari hasil uji bivariat pada tabel 5.13 dapat diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara jenis aktivitas dengan keracunan merkuri dengan p value sebesar 0,2285. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiyono dan Maywati (2010) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kegiatan pekerja terhadap kadar Hg dengan p value sebesar 0,058.

Berbeda dengan Lestarisa (2010) yang menyatakan bahwa sebagian besar penambang yang mempunyai aktivitas berupa pencampuran merkuri dan membakar amalgram mempunyai presentase tertinggi terkena keracunan merkuri. Hal ini disebabkan karena pada pencampuran merkuri terjadi kontak langsung dengan penambang melalui kulit. Hal tersebut dapat diperparah apabila penambang tidak menggunakan sarung tangan. Selain itu, uap hasil dari pembakaran amalgram dapat langsung terhirup oleh penambang melalui saluran pernapasan akan masuk kedalam paru-paru. Setelah itu, merkuri tersebut dapat berikatan dengan darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh (Lestarisa, 2010).

Hal ini mugkin dapat terjadi karena berdasarkan hasil analisis univariat, diketahui bahwa proporsi pekerja yang memiliki aktivitas tidak kontak langsung lebih banyak dibandingkan dengan pekerja yang memiliki aktivitas kontak langsung. Hal ini dapat mempengaruhi perhitungan statistik yang dilakukan.

Selain itu, diduga pula adanya pengaruh jam kerja. Apabila pekerja yang memiliki jenis aktivitas tidak kontak langsung namun memiliki jam kerja yang lama maka mereka memiliki risiko yang besar pula untuk terpapar merkuri di lingkungan kerjanya, khususnya dari uap merkuri yang mengontaminasi udara di area kerja.

Selain itu, peneliti juga menduga bahwa jalur masuk merkuri dapat terjadi melalui faktor lainnya selain dari lingkungan kerja, yaitu seperti dari pangan (khususnya dari konsumsi ikan). Hal tersebut juga sejalan dengan pernyataan dari R. Kowalski dan J. Wierciński (2006) yang menyatakan bahwa konsentrasi merkuri dari rambut masyarakat tersebut menegaskan adanya pengaruh frekuensi konsumsi ikan dengan konsentrasi merkuri.

6.3.3. Faktor prilaku

Dokumen terkait