• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Faktor Pendukung dan Penghambat Badan Kehormatan DPR

Badan Kehormatan DPR dari awal pembentukannya memang mempunyai misi untuk menegakkan Kode Etik. Kode Etik ini yang dapat dijadikan sebagai alat untuk mengontrol perilaku Anggota DPR dalam menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Sehingga peran Badan Kehormatan itu patut menjadi contoh dan sebagai acuan bagi negara-negara dan daerah-daerah lain dalam melakukan pengawasan etika terhadap lembaga legislasinya. Pengawasan yang dilakukan oleh Badan Kehormatan DPR tersebut, terdapat faktor pendukung adalah sebagai berikut:

a. Penegakan Kode Etik dalam DPR tidak lepas dari partisipasi masyarakat151. Dalam hal ini masyarakat mempunyai hak serta kewajiban untuk memberikan laporan atau keterangan atas pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR yang dinilai tidak sesuai dengan Peraturan Tata Tertib DPR dan Kode Etik yaitu pelanggaran etika yang dapat merusak martabat, kehormatan, citra dan kredibilitas DPR RI. Pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR tersebut sangat meresahkan dan merugikan rakyat. Oleh sebab itu, keterbukaan terhadap kegiatan DPR kepada masyarakat sangat membantu agar masyarakat dapat menilai, mengadukan, dan memberikan keterangan sehubungan dengan pelanggaran tersebut. Lebih lanjut, Nudirman Munir152 menyatakan bahwa,

151 Badan Kehormatan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan, lihat Pasal 2 ayat (1) Tata Beracara Badan Kehormatan DPR RI.

152 Hasil wawancara dengan Nudirman Munir, Wakil Ketua Badan Kehormatan

132

“peran dan kerjasama masyarakat terhadap pengaduan tersebut sangat penting sehubungan dengan kelanjutan dari tindakan yang akan dilakukan oleh Badan Kehormatan DPR”.

Tindak lanjutnya adalah bahwa Badan Kehormatan DPR akan melakukan proses setelah adanya pengaduan terhadap permasalahan yang diadukan serta berdasarkan pada bukti dan saksi sebagai pendukungnya dari masyarakat, sebab proses tersebut harus jelas peristiwa hukumnya.

b. Berdasar pada Pasal 3 ayat (1) huruf c Tata Beracara Badan Kehormatan DPR RI, penegakan Kode Etik terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR dapat juga dilakukan tanpa adanya pengaduan. Sebagaimana pernyataan dari Gayus Lumbuun153 bahwa:

“Dengan adanya aturan yang baru yang menyatakan bahwa Anggota DPR dapat di proses di Badan Kehormatan sesuai dengan perkembangan kasus yang berkembang di masyarakat, sehingga tidak diperlukan adanya pengaduan”.

Hal tersebut Badan Kehormatan dapat melakukan proses penyelidikan dan verifikasi terhadap ketidakhadiran Anggota DPR dalam Rapat DPR RI yang menjadi kewajibannya. Di samping hal itu juga apabila Anggota DPR tertangkap tangan melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan. Hal tersebut dapat juga dilakukan apabila sudah tersiar di beberapa media cetak dan/atau elektronik. Oleh karena itu, Badan Kehormatan dituntut untuk segera melakukan tindakan terhadap dugaan seperti yang diberitakan di media cetak dan/atau elektronik dan telah tersebar di masyarakat.

153 Hasil wawancara dengan Gayus Lumbuun, Mantan Ketua Badan Kehormatan

133

Berkaitan dengan pelanggaran yang juga tidak memerlukan pengaduan adalah apabila Anggota terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman lebih dari 5 (lima) tahun penjara dan telah mendapat putusan yang berkekuatan hukum tetap.

c. Pengaduan sebagai wujud dari partisipasi masyarakat itu akan memberikan implikasi terhadap tindakan Badan Kehormatan yaitu berupa penyelidikan dan verifikasi terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR. Pemeriksaan tersebut harus didukung dengan adanya alat bukti, baik berupa bukti saksi maupun bukti tertulis serta bukti-bukti lain sebagai pendukungnya. Bukti tersebut yang dapat membawa suatu kasus pelanggaran etika diajukan kepersidangan Badan Kehormatan DPR.

d. Sidang terhadap kasus yang masuk dalam Badan Kehormatan DPR tersebut akan memperoleh hasil akhir berupa keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Putusan Badan Kehormatan DPR tidak dapat dipengaruhi oleh pihak manapun karena putusan itu bersifat final dan mengikat, sehingga tidak ada upaya banding seperti di pengadilan pada umumnya. Hasil keputusan terhadap sidang Badan Kehormatan DPR itu akan direkomendasikan kepada Pimpinan DPR. Rekomendasi dari Pimpinan DPR tersebut akan disampaikan di Rapat Paripurna DPR sebagai forum tertinggi dalam DPR.

134

Badan Kehormatan DPR akan memberikan tindakan terhadap kasus yang menjadi lingkup kewenangan badan kehormatan. Oleh sebab itu, yang menjadi faktor penghambatnya adalah sebagai berikut :

a. Badan Kehormatan terkesan pasif.

Sifat pasif ini walaupun Badan Kehormatan dapat melakukan penyelidikan dan verifikasi tidak hanya berdasarkan pada pengaduan saja, tetapi dapat juga dengan perkembangan kasus yang terjadi di masyarakat, tetap belum dapat dikatakan berfungsi secara optimal, sebab Badan Kehormatan ini prosesnya tidak seperti di pengadilan yang aktif mencari bukti sehingga sanksi dapat dijatuhkan apabila Anggota benar-benar melakukan pelanggaran. Endah Dewi

Nawangsasi154 menyatakan bahwa:

“secara teknis Badan Kehormatan memang tidak dapat

mencari bukti sebagai pendukung terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Anggota DPR, tetapi dari pihak pengadu yang harus melengkapi semua bukti-bukti yang ada, baik itu saksi maupun berupa benda”.

b. Birokrasi yang tidak sistematis.

Sistem birokrasi ini yang terkesan menunda proses persidangan Badan Kehormatan tidak dapat segera dilakukan. Disamping hal itu juga pada proses persidangan yang menuai pro dan kontra dari peserta sidang dalam hal ini adalah Anggota, serta adanya intervensi dari partai yang bersangkutan, walaupun berdasarkan Pasal 33 Tata Beracara Badan Kehormatan DPR bahwa upaya intervensi dari Anggota, pimpinan fraksi, dan/atau Pimpinan DPR RI merupakan

154 Hasil wawancara dengan Endah Dewi Nawangsasi, Tenaga Ahli Badan

135

pelanggaran Kode Etik. Hal tersebut yang menyebabkan proses sidang penegakan kode etik dalam Badan Kehormatan menjadi lambat.

c. Sidang Badan Kehormatan dalam kasus dugaan pelanggaran Kode Etik dan Tata Tertib oleh Anggota DPR dalam pengambilan Keputusan Anggota Badan Kehormatan DPR RI harus berdasarkan pada suara mayoritas. Suara mayoritas itu yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam mengambil keputusan. Berdasarkan Pasal 34 ayat (1) Tata Beracara Badan Kehormatan, bahwa Rapat Badan Kehormatan untuk mengambil keputusan dihadiri oleh lebih dari ½ (satu perdua) jumlah anggota Badan Kehormatan dan terdiri atas lebih dari ½ (satu perdua) jumlah fraksi pada Badan Kehormatan.

136

BAB V

Dokumen terkait